Pagi ini sungguh cerah, mentari pagi sudah menyorot masuk ke dalam celah jendela kamar Bulan dan Bintang yang terletak bersebelahan. Tahun ini adalah tahun kelulusan mereka di Sekolah Dasar Favorit di Kota K.
Satu bulan yang lalu, saat mengikuti pengajian di Masjid dekat rumahnya, Bintang menemukan brosur sekolah sambil mondok, begitu tulisan yang tertera disana.
Bintang Pratama adalah anak dari pasangan Rendy dan Sofi. Memiliki sikap alim, Sholeh dan dewasa. Sikap ini sangat berbanding terbalik dengan sikap kakak kembarnya bernama Bulan Az-Zahra, sikap tomboy dan keras kepala cenderung mau menang sendiri.
Dua anak yang notabene kembar tapi memilki sifat yang berbeda bahkan bertolak belakang. Walaupun begitu, mereka berdua saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.
Brosur itu dibawa pulang dan dipelajari oleh Bintang hingga akhirnya Bintang pun memantapkan hatinya untuk masuk ke Pesantren untuk menjadi seorang Hafiz.
Brosur itu pun diberikan kepada Abinya untuk dibaca dan ditimbang timbang keputusannya. Sebenarnya berat bagi Rendy dan Sofi untuk melepaskan kedua anaknya bersekolah jauh di beda kota, namun demi kebaikan berdua maka itu harus dilakukan agar mereka menjadi dewasa, mandiri dan bijaksana.
Sedangkan Bulan yang mendengar informasi itupun menjadi kecewa dan marah, karena Bulan sudah berjanji dengan teman seperjuangannya untuk sekolah di SMP Negeri Favorit di Kota K.
Perdebatan pun selalu terjadi setiap hari. Bosan sudah pasti mendegar anak perempuannya selalu merengek tidak jelas untuk tetap menyekolahkannya di kota ini.
Lelah sudah sangat lelah untuk membujuk anak perempuannya agar bisa menjadi wanita muslimah seperti Uminya.
Bulan terus saja merajuk dan merayu Umi Sofi untuk membujuk Abi agar berubah pikiran untuk tidak menyekolahkannya di Pesantren nun jauh disana.
Malam ini adalah malam terakhir Bulan berada di kamarnya. Setelah siang tadi menghabiskan waktu untuk nongkrong di kafe dan berbelanja di Mall.
Anak jaman sekarang usia tiga belas tahun saja sudah bisa nongkrong di kafe. Dengan menggunakan pakaian kesukaan rok pendek berbahan jeans dan kaos oblong pres body.
Bulan pulang sudah hampir jam sepuluh malam. Abi Rendy pun menjadi murka melihat kedatangan Bulan yang semakin lama semakin tidak aturan.
Karena kesal dan marah, Bulan pun masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan sangat keras.
"Mas ... Jangan terlalu keras. Bulan itu perempuan?!" ucap Sofi lembut dan mengusap bahu Rendy dengan lembut. Berharap emosinya pun turun dan stabil kembali.
"Hufftt ... Mau jadi apa anak itu nanti Fi. Lihat pakaiannya, Bulan itu baru lulus SD namun sudah bergaya seperti anak dewasa. Itu gak pantas Fi." ucap Rendy tegas. Rahangnya mulai mengeras menahan amarahnya.
Rendy hanya bisa menghela napas panjang lalu menghembuskan napasnya dengan perlahan.
"Kamu tidur dulu Mas. Besok kan kita harus mengantarkan anak-anak ke Pondok. Aku mau ke kamar Bulan untuk mencari tahu kenapa anak itu gak mau sekolah di Pondok." ucap Sofi pelan.
"Ya Fi. Kamu benar, mungkin dengan kamu Bulan bisa lebih terbuka." ucap Rendy pelan.
Rendy pun masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Sofi masuk ke kamar Bulan. Tiga koper berukuran sedang sudah dipersiapkan Sofi sejak siang tadi.
Bulan tampak sedang tidur dengan posisi tengkurap dan sesekali masih sesegukan menangis. Sofi pun menghampiri Bulan dan mengusap punggung anak itu, lalu membelai rambut hitam terurai panjang yang menutupi wajah Bulan.
"Disaat suatu keputusan tidak sesuai dengan keinginan hati kamu, maka belajarlah menerima dengan ikhlas walau dengan duka lara. Tapi disaat apa yang kamu inginkan itu tercapai, maka belajarlah untuk rendah diri sehingga kamu akan lebih menikmati rasa syukur itu. Umi yakin Bulan pasti bisa melewati ini semua." ucap Sofi dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Bulan pun membalikkan tubuhnya hingga terlentang. Kedua matanya sudah bengkak dan sembab akibat menangis hebat sejak tadi.
"Kalau Bulan gagal atau Bulan gak betah gimana Umi?" ucap Bulan serak dan terbata bata.
"Belum dicoba udah bilang gagal, belum dijalani udah bilang gak betah. Mana Bulan yang tomboy dan gak takut dengan apapun." ucap Sofi pelan lalu mengecup kening Bulan dengan lembut.
Bulan tampak terdiam menatap Uminya yang semakin lama semakin cantik dan anggun.
"Umi ... Bulan kan gak bisa pakai kerudung seperti Umi." ucap Bulan dengan polos.
Umi Sofi pun terkekeh pelan mendengar penuturan Bulan yang teramat polos dan jujur.
"Umi sudah belikan hijab yang instant dan tinggal dipakai saja. Umi tahu gimana perasaan kamu, Bulan." ucap Umi Sofi ramah.
"Terima kasih Umi. Bulan sayang sama Umi." ucap Bulan pelan. Ucapan dan pikirannya tidak sepadan.
Bulan masih saja mencari cara agar ia bisa menggagalkan rencana Abi untuk memasukkan keduanya ke pesantren.
Waktu terus bergulir hingga pagi pun datang, Bulan masih saja menangis semalaman sejak ditinggal Uminya untuk beristirahat malam.
Begitulah Abi Rendy, bila mengambil keputusan maka harus dituruti. Tidak ada pilihan bagi Bulan untuk tidak menuruti keinginan Abinya itu.
Bintang saudara kembarnya pun ikut menenangkan Bulan, bahkan memberikan ketenangan bahwa semuanya akan baik-baik saja selama disana. Bintang akan selalu siap membantu Bulan dalam keadaan apapun.
Perjalanan sekitar empat jam.pun ditempuh dengan suasana hening dan senyap hingga terasa amat sangat lama. Bulan terus saja diam dan merajuk agar Abi memutar balik mobilnya dan mengurungkan niatnya membawa kedua anaknya ke pondok pesantren.
Selama dalam perjalanan Umi Sofi pun terus saja menasehati kedua buah hatinya dengan lembut. Terlebih untuk Bulan agar bisa menjaga sikap dan sopan santun selama di Pondok Pesantren.
Bintang pun mengganggukkan kepalanya tanda mengerti dan semua yang diamanahkan oleh Umi akan dijalankan dengan baik.
Perjalanan empat jam menuju tempat dimana Pondok itu berada. Ya, Pondok Pesantren Al Ikhlas dibawah asuhan Kyai Mansyur. Terletak di pelosok pedesaan di kota G.
Mobil sudah masuk ke halaman Pondok Pesantren Al Ikhlas. Aby Rendy, Umi Sofi, Bukan dan Bintang pun segera turun.
Ada seorang laki-laki menghampiri Aby Rendy dan berbincang.
"Assalamualaikum .. Apakah anda Pak Rendy? Pak Kyai sudah menunggu di Saung sebelah sana." ucap lelaki itu dengan sopan. Usianya sekitar dua puluh tahunan dan menggunakan baju Koko lengkap dengan peci.
"Waalaikumsalam ... Baik. Bisa antar saya ke Saung untuk bertemu Kyai Mansyur? Nama Anda siapa?" tanya Rendy pelan dan berjabat tangan dengan anak muda itu.
"Maaf saya asisten Pak Kyai Mansyur, nama saya Ihsan Hasanuddin panggil saja Ihsan. Saya bertanggungjawab atas Ponpes ini bila Pak Kyai Mansyur tidak ada." ucap Ihsan dengan sopan.
"Baiklah Nak Ihsan. Ini Sofi istri saya, dan ini kedua anak saya yang akan mondok disini. Itu Bulan dan ini Bintang." ucap Rendy mengenalkan seluruh anggota keluarganya.
"Salam kenal semua, saya Ihsan." ucap Ihsan pelan dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Salam kenal Kakak Ihsan, Saya Bintang dan ini Kakak Saya Bulan. Bantu kami selama disini." ucap Bintang pelan.
"Ya Bintang. Ayok Pak silahkan lewat sini untuk menuju Saung." ucap Ihsan dengan sopan.
Ihsan Hasanuddin adalah seorang anak muda dari keluarga kaya raya. Orang tuanya adalah donatur tetap di Pondok Pesantren Al Ikhlas ini. Ihsan Hasanuddin adalah pewaris tunggal yang lebih memilih hidup di Pondok Pesantren Al Ikhlas. Usianya tahun ini tepat dua puluh empat tahun. Tapi wajah baby face nya menyihir seakan usianya lima tahun lebih muda dari pada usianya.
Ihsan adalah guru agama di Pondok Pesantren Al Ikhlas ini. Masih Single dan belum memiliki kekasih. Tapi, siang ini seolah semesta menguji keimanannya dengan pertemuannya dengan seorang gadis cantik bernama Bulan Az-Zahra.
"Ini Pak Rendy Saung Pak Kyai. Sebentar saya panggilkan. Silahkan duduk dulu." ucap Ihsan pelan.
Rendy dan keluarganya duduk di tukar bambu khas kota G. Disana sudah ada kendi berisi air putih dan teko berisi teh panas dan beberapa toples berisi makanan ringan untuk cemilan.
Ihsan masuk ke dalam Saung Kyai dan memanggil Kyai Mansyur untuk segera keluar karena tamu yang ditunggunya sudah datang.
"Assalamualaikum Pak Kyai. Keluarga Pak Rendy sudah ada di depan." ucap Ihsan pelan.
"Waalaikumsalam baiklah. Panggil Umi dibelakang untuk menemui tamu." ucap Pak Kyai kepada Ihsan.
"Baik Pak Kyai." ucap Ihsan dengan sopan.
Ihsan segera ke belakang dan menemui Umi Siti untuk menyampaikan pesan Pak Kyai.
"Assalamualaikum Umi ... Pak Kyai meminta agar Umi segera menemui tamu didepan." ucap Ihsan pelan.
"Waalaikumsalam ... Ihsan ... Baiklah Umi segera ke luar. Bantu Umi bawakan makanan ini, nanti Ihsan sekalian makan bersama dengan kami." ucap Umi Susan lembut.
"Baik Umi." jawab Ihsan pelan.
Umi Siti dan Ihsan pun ke luar teras Saung dengan membawa makanan untuk makan siang. Umi Siti sudah menyiapkan Nasi Putih, Ayam Goreng, tahu dan tempe goreng lalapan dan tidak lupa petey dan sambal goreng.
Ihsan meletakkan dan merapikan makanan tersebut diatas tikar bambu dan meletakkan beberapa tumpukan piring. Gerakannya terhenti saat Bulan pun menatap ke arah Ihsan.
Ihsan pun segera menundukkan wajahnya. Malu karena tatapan gadis itu membuat hatinya berdesir dan bergetar tidak karuan.
"Assalamualaikum gimana Rendy ... makin gagah aja nih." ucap Kyai Mansyur berjabat tangan dan memeluk sahabatnya.
"Waalaikumsalam Kyai Mansyur... Alhamdulillah masih gagah. Biar harim ana gak kabur. Hahaha ..." jawab Rendy asal dan tertawa lepas.
"Antum bisa aja. Ana sudah siapkan makan besar. Kita makan dulu, baru kita ngobrol. Ayo makan dulu." ucap Kyai Mansyur menawarkan kepada para tamunya.
Semua pun makan siang bersama di teras Saung. Kehangatan keluarga Kyai Mansyur dengan Rendy sudah terlihat karena mereka bersahabat sejak lama. Obrolan santai hingga obrolan serius pun menemani makan siang yang nikmat itu.
Umi Siti pun berbincang sendiri dengan Sofi. Sedangkan Bintang lebih mengakrabkan diri dengan Ihsan. Bulan duduk disebelah Bintang. Mereka pun fokus berbincang tentang Pondok Pesantren Al Ikhlas.
Ihsan diam-diam mengamati Bulan yang sedang makan menggunakan tangannya. Pandangannya tidak luput dari perhatian Bintang.
"Bulan ... Dilihatin Kak Ihsan tuh." ucap Bintang setengah berbisik.
"Apaan sih. Ini kulit ayam buat kamu." ucap Bulan sambil menyodorkan kulit ayam tepat didepan mulut Bintang.
"Malu Bulan." ucap Bintang berbisik.
"Malu apaan sih. Kita saudara Bintang." ucap Bulan pelan sambil menyuapi kulit ayam kepada Bintang.
Bintang paling doyan dengan kulit ayam, sedangkan Bulan paling tidak suka dengan kulit ayam dan sudah menjadi kebiasaan kalau kulit ayam milik Bulan akan selalu diberikan kepada Bintang.
Bintang pun nampak malu dan cemas. Lalu menundukkan kepala.
"Kenapa Bintang? Itu kan saudara kembar kamu." ucap Ihsan pelan. Ihsan paham sekali melihat Bintang yang berubah sikap karena Bulan menyuapinya di depan umum.
"Kak Ihsan, jangan bilang kalau kami saudara kembar. Cukup Kak Ihsan yang tahu hal ini." ucap Bintang pelan dengan sedikit memohon.
"Memang ada apa?" tanya Ihsan sedikit heran.
"Itu permintaan Bulan. Bulan itu mau belajar mandiri. Jadi Bintang hanya mau memantau saja." ucap Bintang pelan.
"Saya gak paham dengan maksud Bintang." ucap Ihsan yang masih fokus dengan makan siangnya.
"Nanti akan saya ceritakan Kak Ihsan." ucap Bintang dengan sopan.
"Bintang, itu ustad Ihsan namanya, beliau guru di Pondok." ucap Aby Rendy pelan.
Bintang dan Bulan pun menoleh ke arah Ustad Ihsan yang tersenyum kepada calon santrinya. Bulan menatap ke arah Ihsan tanpa berkedip. Bintang pun menyenggol tangan Bulan.
"Afwan Pak Ustad Ihsan." ucap Bintang pelan dan menunduk.
"Tidak apa-apa Bintang." ucap Ihsan pelan.
Seusai makan siang dan berbincang. Pak Kyai Mansyur memberikan amanah kepada Ustad Ihsan untuk mengajak Bulan dan Bintang berkeliling Pondok Pesantren, agar mereka berdua bisa lebih mengenal tempat ini dengan baik dan beradaptasi dengan cepat dengan lingkungan dan teman-teman barunya.
Ustad Ihsan, Bulan dan Bintang pamit untuk segera berkeliling Pondok Pesantren dan bersiap untuk mempelajari hal hal baru yang mungkin akan sangat berbeda dengan kehidupan mereka selama ini.
"Pak Ustad Ihsan sudah lama mengajar disini?" tanya Bintang dengan sopan memecah keheningan diantara ketiganya.
Bulan berjalan dibelakang Bintang, sedangkan Bintang berjalan bersisian dengan Ustad Ihsan.
"Saya dari MTs disini." ucap Ustad Ihsan singkat. Pandangannya tetap lurus ke depan ke arah pelataran Pondok Pesantren Al Ikhlas.
"Dalam satu bulan, kita boleh pulang?" tanya Bintang kemudian dengan sopan.
"Aturan Pondok Pesantren, masa percobaan enam bulan tidak boleh dijenguk dan tidak boleh pulang. Setelah enam bulan baru boleh pulang setiap liburan sekolah. Satu bulan sekali boleh dijenguk oleh orang tua." ucap Ustad Ihsan menjelaskan detail.
Bulan menyimak percakapan antara ustad Ihsan dan adiknya itu. Matanya jengah, dan hatinya mulai kesal karena aturan itu.
"Terus kita disini kayak dipenjara!! Gak bisa kemana-mana." celetuk Bulan dengan kesal.
Ustad Ihsan pun berhenti dan menatap Bulan dengan tatapan seolah mengerti keadaan Bulan. Bintang pun ikut berhenti dan menoleh ke belakang menatap netra kakaknya yang dipenuhi rasa kesal.
"Cukup Bulan. Ini yang terbaik buat kita. Jangan campur adukkan Pesantren dan urusan bar barmu yang gak jelas itu. Makanya bisa ngaji biar ngerti cinta sama Allah dan Rasulnya." ucap Bintang tegas.
Kini giliran Ustad Ihsan yang takjub dengan kata-kata Bintang yang bisa memberikan pesan tersembunyi. Usianya memang masih kecil baru saja menginjak 14 tahun namun pemikiran dan akhlaknya sudah cukup mumpuni.
"Sudah Bintang. Mungkin Bulan butuh adaptasi dengan hal ini. Bulan, bisa mengaji?" tanya Ustad Ihsan pelan.
Bulan langsung menunduk. Isak tangisnya terdengar lirih sekali. Sejak kecil Bulan selalu di manja hingga salah pergaulan seperti ini.
"Bulan itu belum bisa baca Al-Qur'an Ustad Ihsan. Baca Iqro aja belum tuntas." ucap Bintang lantang.
Bulan pun mendongakkan kepalanya dan menatap tajam ke arah Bintang.
"Jahat kamu Bintang. Kamu sendiri yang bilang akan melindungi aku. Sekarang aku yang dipermalukan seperti ini. Saya memang gak bisa mengaji Pak Ustad!! Puas??" ucap Bulan keras.
Bintang memegang tangan Bulan dan memeluknya.
"Bukan maksudku Bulan. Aku hanya ingin kamu berubah, bisa ibadah dan mengaji. Itu saja. Maafkan aku." ucap Bintang lirih menyesali ucapannya yang membuat Bulan menangis.
Ustad Ihsan menatap keduanya dengan rasa yang aneh. Kedua saudara kembar itu begitu menyayangi namun memiliki sifat dan akhlak yang bertolak belakang.
"Iya Bintang. Bulan cuma punya Bintang. Bulan gak ada pilihan lain, selain menerima permintaan Aby dan Umi untuk sekolah disini, dari pada semua fasilitas Bulan dicabut sama Aby." ucap Bulan lirih.
"Ada aku, Bulan jangan sedih ya. Malu sama Ustad Ganteng." ucap Bintang berbisik di telinga Bulan.
"Bintang!!!! Ngomong apa sih!! Ngeselin banget." ucap Bulan ketus sambil melepas pelukannya dengan Bintang.
Ustad Ihsan tampak menghela nafas panjang melihat interaksi keduanya. Cantik-cantik gak bisa ngaji, batinnya di dalam hati.
"Maaf Pak Ustad. Kita lanjutkan lagi." ucap Bintang dengan sopan.
Mereka bertiga berjalan memasuki area Pondok Pesantren. Ustad Ihsan menjelaskan fungsi setiap ruangan dan kegiatan apa saja yang akan mereka lakukan selama di Pondok Pesantren Al Ikhlas ini.
"Itu Pondok Putrinya. Bulan nanti disana. Nanti akan saya perkenalkan Ustadzah yang bertanggungjawab disana. Namanya Ustadzah Hilya." ucap Ustad Ihsan pelan sambil menunjuk ke arah pondok putri tersebut
Bulan menatap tempat itu dengan seksama. Tempat yang sederhana dan sangat berbeda dengan rumahnya yang cukup besar dan mewah.
"Kamu pasti bisa Bulan. Semangat." ucap Bintang berbisik.
Seolah Bintang itu mengerti dengan situasi dan kondisi yang saat ini dialami oleh Bulan. Menerima dengan ikhlas itu kan tidak mudah, perlu proses yang mana proses itu pasti sulit.
Bulan hanya menunduk pasrah. Pilihannya cuma satu mau gak mau harus mau. Suka gak suka harus suka.
DI SAUNG KYAI
"Antum mengerti kan. Bulan itu manja sekali, tolong diperhatikan secara khusus. Ana yang salah mendidik anak perempuan. Ana juga kasihan, tapi ini demi Bulan sendiri." ucap Rendy dengan gusar.
Sofi mengusap lengan suaminya dengan lembut.
"Antum harus ikhlas Rendy. Percayakan anak antum pada Ustadz Ihsan. Anakmu aman." ucap Kyai Mansyur pelan.
"Ana hanya ingin, anak ana jadi wanita Sholehah, memiliki jodoh yang baik yang bisa membimbing Bulan dunia dan akhirat. Kalau ada yang pantas, ana mau menjodohkan anak ana lewat ta'aruf." ucap Rendy pelan.
Dalam pikiran Rendy, agar Bulan bisa betah dan cepat beradaptasi.
"Antum yakin? Ana ada calonnya, dia lelaki yang amat sholeh. Banyak yang suka dan dan mengidamkan dia, hanya saja dia masih memilih yang benar-benar sesuai." ucap Kyai Mansyur pelan.
"Boleh ana tahu siapa dia?" tanya Rendy kemudian.
"Boleh, Dia ustad Ihsan, guru agama yang tadi ada disini." ucap Kyai Mansyur pelan.
"Ustad Ihsan? Kalau lelaki itu dia, tidak ada alasan ana menolaknya Kyai. Bisa pertemukan ana dengannya secara pribadi? ana akan minta langsung." tanya Rendy kemudian.
"Menginaplah semalam, nanti malam akan ana atur waktu yang tepat agar antum bisa berbicara lebih banyak tentang ustad Ihsan." ucap Kyai Mansyur pelan.
"Baiklah Kyai. Ana mau, tapi ana merepotkan antum." tanya Rendy pelan.
"Sudah ana siapkan semuanya. Antum tenang saja." ucap Kyia Mansyur pelan.
"Terima kasih Kyai." ucap Rendy pelan.
Sudah dua jam menjelang waktu ashar sejak selesai makan siang, Bulan dan Bintang berkeliling Pondok Pesantren Al Ikhlas bersama Ustad Ihsan. Mereka bertiga kembali ke Saung Kyai Mansyur.
Pak Kyai dan Rendy pun masih di tempat yang sama membicarakan masalah anak perempuannya yang perlu bimbingan khusus. Sedangkan Sofi dan Umi Siti sibuk mengurus dapur untuk persiapan makan malam dan membuat snack sore untuk santai setelah ashar.
"Assalamualaikum ... Pak Kyai. Afwan saya pamit dulu mau adzan di Masjid Ponpes. Ini sudah saya ajak berkeliling, mungkin setelah ashar saya kembali untuk mengantarkan mereka ke kobong." ucap Ustad Ihsan dengan sopan dan lembut.
"Waalaikumsalam makasih Ihsan. Antum adzan dulu, sudah mau waktunya." ucap Kyai Mansyur pelan menitah Ustad Ihsan.
"Saya ikut Pak Ustad." ucap Bintang pelan.
"Silahkan Bintang, ayo." ucap Ustad Ihsan pelan.
Ustad Ihsan dan Bintang kembali lagi ke Pondok Pesantren menuju Masjid Ponpes. Mereka memasuki masjid dan berwudhu sebelum masuk ke dalam.
"Bintang bisa adzan? Silahkan adzan." ucap Ustad Ihsan.
"Bisa Pak Ustad. Insya Allah Bintang coba." ucap Bintang mantap.
Bintang pun berjalan ke depan dan mulai mengumandangkan adzan. Suaranya bagus sekali tanpa cela. Bintang selalu juara adzan. Suaranya sangat merdu dan syahdu.
Suara adzan itu pun sampai juga di Saung Kyai Mansyur. Kyai Mansyur sempat terdiam mendengarkan dengan khidmat sambil memejamkan mata. Suaranya merdu hingga membuat hati bergetar hebat.
"Ini suara Bintang kan?" celetuk Bulan polos.
"Iya. Bintang itu selalu sempurna dalam mengumandangkan adzan." ucap Rendy pelan.
"Iya Bintang memang sempurna." ucap Bulan ketus.
"Bukan gitu Bulan. Bulan juga sempurna hari ini menjadi wanita Sholehah. Memakai gamis dan berkerudung, pokoknya cantik maksimal." ucap Rendy pelan memuji Bulan.
Bulan yang awalnya mencebikkan bibirnya pun kemudian tertawa lepas mendengar Aby nya memuji cantik maksimal. Dasar anak labil, baru dibilang cantik maksimal sudah bahagia. Ternyata bahagia itu sederhana ya, ada yang memuji saja kita bahagia. Maka sering-seringlah memuji orang karena akhlaknya, karyanya ataupun sesuatu yang dilakukan karena manfaatnya.
Kyai Mansyur, Rendy, Umi Siti, Sofi dan Bulan sholat berjamaah di Saung dengan Kyai Mansyur sebagai imamnya.
Sedangkan di Masjid, banyak santriwan dan santriwati bertanya tanya siapa gerangan yang mengumandangkan adzan dengan sempurna. Semua takjub mendengar suara Bintang, tak terkecuali Ustad Ihsan pun memberikan kedua jempolnya.
Setelah sholat ashar berjamaah di Masjid Ponpes. Ustad Ihsan dan Bintang pun kembali ke Saung Kyai Mansyur. Banyak Santriwan dan Santriwati yang bertanya-tanya tentang siapa lelaki yang mengumandangkan adzan dan berjalan beriringan dengan Ustadz Ihsan.
Di Kediaman Saung Kyai Mansyur. Semua orang sudah berkumpul dan menikmati sore dengan udara yang semakin sejuk khas pedesaan.
Teh manis panas dengan pisang goreng pun cocok menemani obrolan santai di sore hari. Kyai Mansyur dan Rendy sudah sepakat untuk memasukan Bulan dan Bintang setelah ashar ini.
"Assalamualaikum ... Aby, Pak Kyai." ucap Bintang sopan saat memasuki teras Saung.
Bintang dan Ustad Ihsan pun masuk ke teras Saung dan menyalami semua orang disana dengan mencium punggung tangan mereka dengan hormat.
"Waalaikumsalam ... sini Nak. Makan dulu, setelah ini kita ke Kobong untuk mengantarkan kalian berdua mulai masuk dan belajar di Pondok Pesantren ini." ucap Aby Rendy mantap.
"Iya Aby. Bintang setuju." ucap Bintang pelan sambil melirik Bulan yang masih saja menggelendot pada lengan Umi Sofi dengan manja.
"Suara Bintang sangat bagus saat adzan tadi." ucap Kyai Mansyur memuji.
Bintang pun tersenyum dan menjawab "Bintang sering ikut lomba adzan Pak Kyai. Alhamdulillah selalu juara satu, jadi Bintang sudah biasa mengumandangkan adzan." ucap Bintang pelan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!