...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
Namaku Wulan. Siti Wulandari Ibrahim. Gadis kelahiran Malaysia yang empat tahun lalu diboyong pulang oleh ibuku ke tanah kelahirannya, Indonesia. Ibuku adalah seorang wanita yang dua puluh tahun lalu merantau ke Malaysia, bermaksud mengadu nasib di negara tetangga, tetapi malah terjerat cinta ayahku: pria yang waktu itu sudah memiliki seorang istri dan dua orang putri yang kala itu sudah remaja. Untuk seumur hidupnya, ibuku hanyalah berstatus sebagai istri kedua, tepatnya seorang istri simpanan dari ayahku yang kaya raya. Yang hidup bahagia dengan bergelimang harta namun dunia luar tak akan pernah mengenalnya sebagai Nyonya Ibrahim. Dan aku adalah anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan mereka.
Yeah, maaf saja, aku terkesan sama sekali tidak bangga memiliki mereka sebagai orang tuaku karena memang begitulah adanya. Kenapa? Karena aku tidak akan pernah bisa mengenalkan sosok ayahku kepada dunia, apalagi di sosial media. Tentu saja, sebabnya mereka tidak ingin keluarga sah ayahku tahu akan keberadaanku dan ibuku. Tapi meskipun begitu, sebagai seorang anak, meskipun aku tidak bangga memiliki orang tua seperti mereka, aku tetap menyayangi dan mencintai mereka.
Satu hal lagi yang membuatku sangat menyayangkan hubungan perselingkuhan mereka -- di mana akulah yang kini merasakan imbasnya, yaitu ketika ayahku meninggal dunia akibat kecelakaan saat ia berkendara, ibuku yang hanya seorang istri simpanan itu tidak berani memunculkan batang hidungnya di depan keluarga sah ayahku saat jenazah ayahku hendak dimakamkan. Salah satu alasannya adalah karena ia tetap ingin menyembunyikan diri kami, sebab, jika keluarga sah ayahku mengetahui bahwa ayahku memiliki istri simpanan, pastilah pihak keluarga mereka akan mengusut aset yang diatasnamakan ayahku atas nama ibuku, dan mereka akan mengambil alih semuanya dari ibuku. Ibuku tidak ingin hal itu sampai terjadi. Maka dari itu, kami tidak menghadiri pemakaman ayah. Tragis memang. Kasihan sekali aku.
Dan, kasihannya lagi, saat itu usiaku baru empat belas tahun, dan ibuku dalam keadaan sakit kanker *ayudara stadium akhir, ia dalam masa pengobatan. Merasa pesimis akan kesembuhannya yang katanya jelas mustahil, dan tidak ingin meninggalkan aku hidup sebatang kara, ibuku pun memutuskan untuk menjual rumah dan dua mobilnya, juga semua perhiasannya lalu membawaku pulang ke Indonesia, ke rumah nenekku: seorang wanita janda lanjut usia, yang sudah lama ia tinggalkan dalam keadaan tua rentah. Tetapi itulah satu-satunya pilihan yang tersisa karena ia tidak mungkin menitipkan aku kepada keluarga mendiang ayahku, apalagi kepada istri pertama ayahku. Well, sebenarnya ibuku tidak punya jalan lain selain kembali ke pangkuan ibu kandungnya untuk meminta maaf, dan untuk menitipkan aku.
Beruntung, aku sudah dibawa pulang ke Indonesia sebelum akhirnya ibuku meninggal karena kanker yang ia derita.
Huh! Itu adalah bagian kisah hidupku empat tahun yang lalu. Sekarang aku sudah berusia delapan belas tahun. Tepatnya dua hari lagi akan berulang tahun yang ke-delapan belas. Dan aku sedang menunggu ucapan selamat ulang tahun dari tetanggaku yang biasanya akan pulang ke rumahnya sekali setahun -- rumah yang berada persis di sebelah rumahku. Maksudku rumah nenek yang sekarang kutempati dalam kesendirian. Nenekku sudah meninggal dunia dua bulan yang lalu.
Oke. Lupakan itu. Tidak baik mengenang kesedihan. Aku tidak menyukai hal itu. Anggap itu hanyalah bagian dari perkenalanku.
Omong-omong tentang tetanggaku, dia adalah seorang pria single yang sebentar lagi akan menginjak usia tiga puluh delapan tahun, di mana hari ulang tahunnya sama persis dengan tanggal-hari ulang tahunku. Seorang pria tampan, mapan, dan rupawan. Dia sekarang tinggal di kota, tetapi dia pasti pulang ke sini setiap tahunnya, ke Rancabali, Bandung - Jawa Barat, ke rumah peninggalan neneknya. Rumah yang ia percayakan kepada nenekku untuk dijaga kebersihannya. Dikarenakan nenekku sudah meninggal dua bulan yang lalu, jadi sekarang aku yang mengambil alih tugas nenek, dan kunci duplikat rumah itu sekarang berpindah ke tanganku. Dan aku berharap Tuan Tampan itu tidak akan mengalihkan dan memberikan tanggung jawab ini kepada orang lain. Semoga. Aku menunggu dalam gelisah....
Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berada di dekatnya. Begitu dekat dengannya....
Tentu saja. Bukan tanpa sebab, aku menunggu kepulangan pria tampan itu karena ada banyak alasan. Salah satunya seperti yang telah kusebutkan, aku ingin bisa dekat dengannya, dan alasan lainnya adalah kerinduan. Sebab... pria itu telah menawan hatiku sejak kepulangannya setahun yang lalu. Saat aku berusia tujuh belas tahun dan baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Pertama kali merasakan debaran aneh atas kehadirannya, pria yang sudah kukenal sejak kedatanganku di tanah kelahiran ibuku.
Aku masih ingat persis bagaimana manisnya momen pertama kali jantungku berdetak lebih cepat saat melihat pria itu. Di pagi hari, dalam kelembapan subuh, saat mentari pagi bahkan belum memancarkan sinarnya, nenek memintaku untuk mengantarkan sarapan untuk pria itu. Kata nenek, tetangga kami itu baru saja sampai di rumahnya semalam, agak larut, di saat aku sudah lelap dalam tidurku, jadi aku tidak tahu persisnya, jam berapa dia tiba di sini. Dan tentu saja, pada saat itu, itu bukanlah urusanku, dan juga bukan kepentinganku -- berbeda dengan beberapa menit setelahnya....
Di depan pintu, saat aku memanggil-manggil namanya, tidak ada jawaban yang merespons-ku, dan sewaktu aku menarik turun handle pintu rumah itu, pintunya tidak terkunci, itu berarti pria itu sedang tidak berada di dalam rumah. Dan seperti biasanya, aku ataupun nenek dipersilakan langsung masuk jika demikian keadaannya. Dan aku pun masuk.
Tanpa berlama-lama, segera kutaruh nampan makanan itu ke atas meja makan: nasi kuning, aneka lauk masakan nenek, plus seteko teh panas, lalu menutupnya dengan tudung saji. Dan aku pun bermaksud untuk langsung pulang. Tetapi...
Klik!
Listrik padam. Rumah itu jadi gelap gulita dan aku tidak bisa melihat apa pun.
Di dapur, aku mencoba meraba-raba meja, barangkali bisa menemukan pemantik api atau apa pun yang bisa menghasilkan cahaya. Tetapi, tidak kutemukan, dan beberapa saat setelahnya kuputuskan untuk keluar saja dari rumah itu. Aku pun berjalan ke depan, mengira-ngira langkah dan menembus kegelapan untuk keluar dari rumah itu. Tetapi, belum sempat aku keluar dan lolos dari kegelapan, aku menabrak seseorang.
"Auw!"
Dengan sigap sosok itu menyambar tubuhku. Menahanku hingga aku tidak terjatuh. Seperti pahlawan dalam adegan di dalam cerita sinetron. Dan...
Klik!
Seketika listrik kembali menyala. Cahaya lampu di langit-langit rumah tua itu sudah kembali memancar terang-benderang. Dan seorang pria tampan bertelanjang dada terlihat di depan mataku. Menahan tubuhku dengan kedua tangannya.
"Oom Jaka?" gumaman rendah lolos dari bibirku.
Ya ampun, Oom Jaka Pradana, si pemilik rumah yang baru saja masuk dan tertabrak olehku dengan sigap menyambarku. Aku terhentak ke dalam pelukannya. Membuatku terpaku dan membisu. Kusadari aku terpana, terpesona. Mataku nyaris melotot memandangi wajah tampannya, menelusuri dada bidangnya, dan otot-otot lengannya, yang menghias tubuh tinggi itu dengan sempurna. Di sana, di kulit yang putih bersih itu, keringat bercucuran dengan aroma kejantanan yang khas seorang pria.
Uuuh... memabukkan! Membuat jiwa kegadisanku meronta-ronta. Sungguh, aku terpana....
"Maaf, saya tidak tahu kalau kamu ada di sini," katanya. "Kamu tidak apa-apa, kan? Apa ada yang sakit?"
Aku masih terpaku. Pria itu baru pulang dari lari pagi dengan setelan olahraga, celana panjang dan sepatu sport yang keren dan mahal, dan jaket yang tersampir di bahu kirinya yang kemudian terjatuh ke lantai. Sementara... telapak tanganku merasakan hangat kulit telanjangnya, dan... detak jantungnya.
Deg!
Aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba jantungku berdetak kuat, dan hatiku berdebar liar melihat pria dewasa itu berdiri di hadapanku, memeluk pinggangku, hingga aku terpaku, membisu, dan tak melepaskan sentuhan telapak tanganku dari dadanya.
"Wulan?"
"Emm?"
"Maaf...?"
"Oh, ya. Ya, Oom. Maaf, aku... aku...."
Ah, malunya. Kulepaskan tanganku dari dadanya dan seketika aku menunduk ketika kesadaran berdengung di otakku. Wajahku terasa panas dan terbakar.
"It's ok. Saya ingin ke kamar mandi. Permisi."
Aku mengangguk. Mengamati punggung berotot itu ketika pria itu berjalan. Dan kurasakan sepertinya aku jatuh cinta.
Oh, Wulan, sadarlah, batinku seraya berbalik.
"Wulan?"
"Ya?" Aku kembali berbalik.
"Selamat ulang tahun."
Oom Jaka tersenyum, sangat menawan....
"Hah? Oom masih ingat?"
Ya ampun, pertanyaan macam apa itu? Sejak ulang tahunku yang ke-lima belas, Oom Jaka mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
Pria itu menyengir lebar. "Tentu saja. Hari ulang tahun kita kan sama. Bagaimana saya bisa lupa?"
"Oh, ya. Ya, terima kasih, Oom. Selamat ulang tahun juga untuk Oom Jaka."
Dia mengangguk dan tersenyum, lalu menutup pintu kamar mandi.
Aku yang memang sudah terpesona akan kegagahan pria itu, malah semakin terpesona karena ia terus ingat pada hari ulang tahunku, dan selalu mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Saat itu aku jadi teringat momen ulang tahunku yang ke-lima belas, saat nenek memberikan hadiah ulang tahun untukku dan Oom Jaka sedang ada di teras rumahnya, melihat kami, dan ia tersenyum. Lalu, tak terduga, ia menghampiriku dan berjabat tangan denganku untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, yang pertama kali. Di saat itulah, dia mengatakan hari itu adalah hari ulang tahunnya juga: dengan perbedaan usia dua puluh tahun denganku. Dan aku senang dia masih mengingatnya dan mengucapkannya kembali pada hari ulang tahunku yang ke-enam belas dan yang ke-tujuh belas.
Tetapi itu masa tiga tahun yang lalu, dua tahun yang lalu, dan setahun yang lalu, saat usiaku lima belas tahun, enam belas tahun, dan tujuh belas tahun, dan, ketika usia Oom Jaka tiga puluh lima tahun, tiga puluh enam tahun, dan tiga puluh tujuh tahun. Tiga tahun yang berkesan. Dan momen ulang tahunku yang ke-tujuh belas, itulah momen ulang tahunku yang paling membahagiakan. Dan sejak itu, selama setahun terakhir, perasaanku selalu berbunga-bunga. Perasaan yang membuatku selalu terbayang akan kehadirannya dan berharap ia akan memiliki perasaan yang sama denganku. Cinta dalam diam yang enggan pergi meski minim komunikasi. Dan perasaan itu masih bertahta di dalam hatiku. Terlebih, sampai hari ini, Oom Jaka masih seorang lajang, dan aku masih mengharapkannya.
Aku masih berharap.
Tidak salah, bukan? Di dunia ini tidak ada yang mustahil. Mungkin dia jodohku. Meski usia kami terpaut dua puluh tahun, dan meski aku bukanlah Nawang Wulan si bidadari dari kayangan, dan Oom Jaka bukanlah sang kesatria Jaka Tarub, semoga kami berdua kelak berjodoh....
Dan, sekarang aku menunggunya lagi untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku pada ulang tahunku yang ke-delapan belas. Dua hari lagi....
Terlalu suntuk tetap di dalam rumah, aku mengambil ponsel dan menikmati hari senja di beranda belakang. Duduk di kursi goyang, membuka ponsel dan memutar lagu-lagu cinta dan menyandarkan punggungku.
Sama sekali tidak menyadari waktu yang berlalu, aku berayun maju-mundur sementara pikiranku berkelana, mataku terpejam membayangkan sosok pria tampan itu ada di sini. Aku tersenyum ketika bayangan itu terbentuk dalam pikiranku.
"Hei, Cantik, kamu sedang bermimpi apa?"
Aku kaget. Kelopak mataku terbuka mendengar suara asing seorang pria, dan lebih kaget lagi ketika melihat wajah tampan Oom Jaka ada di hadapanku. Dia berjongkok di samping kursi goyangku, sweater putihnya disampirkan di sebelah bahunya, dan mata kami beradu pandang.
"Pasti mimpi yang bagus, melihat caramu tersenyum," komentarnya. "Apa aku ada di dalam mimpimu?"
Aku menggeleng, merona. "Tentu saja tidak!"
"Tidak?" Ia menegakkan tubuh sedikit, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dan menempelkan bibirnya di bibirku.
Oh, *rangan pelan karena nikmat keluar dari tenggorokanku.
"Apa kamu yakin, kamu tidak sedang memimpikan aku?" Bibirnya kembali menyapu bibirku. "Mungkin aku sedang menciummu di sini...." Ia mencium titik sensitif di belakang telingaku. "Atau di sini...." Bibirnya menelusuri leherku, menimbulkan getaran nikmat, lalu kembali ke bibirku. Tangannya menangkup bagian belakang kepalaku dan menarikku mendekat, memperdalam ciumannya, lalu ia meraihku dalam dekapannya, menarikku dan mengajakku ke kursi panjang yang terbuat dari bambu, aku duduk di pangkuannya, melingkarkan lenganku di sekeliling tubuhnya, menyerah pada pelukannya, bersuka ria dalam belaian tangannya yang menuruni punggungku. Entah bagaimana, kami berbaring di kursi bambu itu, di beranda, dan ia menindihku, menempel di atasku, dan bibirnya terus mencumbuku.
Pria itu menciumku lagi, tubuhnya menempel dengan intim di atas tubuhku, dengan gairah yang bisa kurasakan menyala liar di dalam dirinya. Lalu tangannya bergerak menyingkap bagian bawah rokku, persis di saat itulah aku terpekik pelan.
Aku tersentak. Pria itu menyangga tubuhnya dengan siku, alisnya berkerut ketika ia menatapku dengan mata yang gelap dan lapar.
Aku bergerak di bawahnya, napasku terengah dan sedikit malu. "Aku...."
"Ada apa?" tanyanya.
Ini membingungkan, pikirku. Bagaimana bisa semua terjadi semudah ini? Dan kenapa dia datang lebih cepat dari biasanya?
"Hei? Kenapa?"
Aku menggeleng. "Tidak," kataku. "Hanya saja... ada yang menusukku."
Sebelah alis pria itu terangkat.
"Bukan Oom," kataku, pipiku memanas.
Sambil bangkit, ia mengulurkan tangannya dan menarikku berdiri.
Aku mengulurkan tangan ke belakang dan menarik serpihan bambu yang cukup besar menusuk punggungku. Ada darah di ujungnya.
"Ya ampun." Pria tampan di hadapanku itu mengerutkan kening ketika ia mengambil serpihan bambu itu dari tanganku. "Ayo, sebaiknya kita oleskan antiseptik di lukamu."
Sambil menggandeng tanganku, ia membimbingku masuk.
"Ada P3K?"
Aku mengangguk. "Ada. Di kamar."
"Ayo."
Hah? Aku terkejut, tapi... anehnya aku tidak menolak ketika ia menggandengku dan membawaku ke kamar, kami duduk di sofa. Ia membersihkan lukaku, lalu mengoleskan salep antiseptik dan menempelkan perban, kemudian mendaratkan bibirnya di punggungku.
"Lebih baik?" tanyanya.
"Ya, terima kasih."
"Syukurlah."
Ya ampun, hatiku berdebar ketika tatapan pria itu menelusuriku, panas dan lapar.
"Kamu cantik sekali," bisiknya, lalu ia menyapukan bibirnya di bibirku. "Kurasa aku jatuh cinta kepadamu."
Aku mengerjap-ngerjap. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Oom... bilang apa tadi?"
"Aku jatuh cinta kepadamu."
Ya Tuhan, bahagia sekali rasanya. "Oom serius, Oom jatuh cinta kepadaku?"
"Ya, aku jatuh cinta. Bagaimana mungkin tidak jatuh cinta, kamu sangat cantik. Ada sesuatu yang berbeda yang kurasakan saat aku menatap matamu."
Deg!
Aku ingin menjerit rasanya. Itu berarti perasaanku terbalas. "Aku juga jatuh cinta kepada Oom. Sejak lama. Emm... maksudku, sejak setahun yang lalu."
"O ya? Aku sangat senang mendengarnya. Itu berarti...."
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Berarti?"
Tidak ada jawaban. Tidak ada kata-kata. Yang ada hanyalah ciuman. Aku tidak sanggup berbicara, tidak sanggup berpikir ketika ia mendekapku begitu erat, ketika ia menatapku seperti itu, begitu lekat, sangat intens, matanya dipenuhi api dan gairah.
"I love you," ucapnya serak, dan ia mendekatkan wajahnya kepadaku, mencium bibirku.
Aku bersandar padanya, tidak berdaya untuk melawan perasaan. Apakah dia sungguh menyukaiku? Apa dia benar-benar jatuh cinta kepadaku? Ataukah ia hanya sekadar bercanda? Tidak, pertanyanku lebih tepatnya apakah ini nyata, atau hanya sebuah mimpi yang indah? Sebuah ilusi? Atau hanya halusinasi?
Tapi aku menyadari aku berada dalam kenyataan, aku sedang tidak bermimpi, aku tidak tidur. Jantungku berdebar liar.
"Cinta."
Aku membalas tatapannya. Persis di saat itu pria tampan itu mendaratkan bibirnya kembali ke bibirku, lalu menyelinapkan lidahnya ke mulutku, menjelajahi, menggoda, membuatku gemetar. Tangan dan kakiku terasa lemas. Kemudian... tangannya menelusuri pinggangku, menarik keliman blouse-ku, menyelinapkan jemarinya ke dalam....
Aku terperangah, menatapnya, napasku tercekat. "Oom sedang apa?"
"Aku sedang mencari jalan," sahutnya sambil mendaratkan ciuman di ujung hidungku. "Aku tidak pernah pergi ke mana pun tanpa melihat rutenya." Tangannya bergerak perlahan di pahaku. "Aku harus tahu wilayahnya." Tangannya meluncur naik ke pinggulku. "Jalan mana yang harus diambil." Tangannya membelai dadaku dengan begitu lembut. "Di mana gunung yang indah, atau lembahnya yang dalam."
Gleg!
"Kita bisa melanjutkan apa yang kita lakukan tadi di sini, tempat yang lebih nyaman," bisiknya, lalu dia mengecup leherku.
Rasanya menggoda, amat sangat menggoda.
"Cantik?"
Tidak. Aku menggeleng. "Tidak. Maaf, aku... aku tidak bisa. Aku...."
Dia menyentuh pundakku, menepuk pelan. "Please, aku mohon?"
Dan aku bagaikan tidak sadar sepenuhnya, bagaimana pria itu menggendongku dan menurunkanku ke ranjang, membuatku terbaring di bawah tubuhnya yang besar. Ia menciumi wajahku, bibirku, lalu leherku, dan berhenti sejenak untuk melepaskan deretan kancing-kancing di bagian dadaku.
"Kamu sangat cantik," bisiknya, dengan perlahan ia melepaskan pakaianku, menciumi, lalu menelusurkan jemarinya di lekuk perutku. Aku nyaris telanjan* sepenuhnya ketika mendengar ketukan di luar pintu.
Itu suara temanku. Wenny.
Pada detik itu aku kebingungan menyadari situasi saat itu. Aku, di kamarku, nyaris telanjan* bersama pria tampan pujaanku.
"Abaikan saja," pintanya.
Aku menggeleng. "Tapi...."
Ia menoleh ke pintu kamar yang terbuka, lalu beringsut tegak dan segera menutup pintu kamarku. "Abaikan saja, oke?" Ia melepas kausnya secepat kilat. Kulit putihnya, dada bidangnya yang berotot, bahunya yang kekar, dan perut sixpack-nya yang seksi terpapar di hadapanku. Dia segera kembali ke ranjang dan membaringkanku kembali seraya merangkak ke atasku. "Aku tidak ingin kita kehilangan momen ini, kumohon?"
"Ouch!"
Ya Tuhan, pria tampan pujaan hatiku itu menyurukkan wajahnya ke tengkuk leherku dan membenamkan giginya dalam-dalam. Mengisapku.
Seluruh tubuhku menegang. Ini nikmat sekali.
Tetapi....
Wenny menggedor-gedor pintu kamarku. Suaranya melengking memanggil namaku.
"Hari yang sial," pria itu menggerutu, lalu ia menyuruhku membuka pintu, menemui Wenny dan mengajak gadis itu pergi ke ruang depan. "Segera kembali ke kamar setelah gadis itu pergi, oke?"
Aku mengangguk.
Tetapi hari itu Wenny tidak datang untuk sekadar bertamu. Ia datang untuk menginap sebab di rumahnya tidak ada siapa pun. Kedua orang tuanya sedang pergi, jadi ia takut sendirian di rumahnya dan ingin menginap di rumahku.
Mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin menolaknya. Malam itu Wenny menginap di rumahku.
Sial atau bukan?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!