20 september 2022
Rumah Sakit Motekar, Bandung.
Ruang kerja residen.
Indah 32 tahun, seorang dokter residen.
Dari ambang pintu terlihat perempuan itu tengah duduk di kursinya. Bagian punggungnya terlihat membengkok, sebuah kacamata terpasang di bawah matanya. Bola matanya bergerak dari ke kanan dan kiri. Membaca tiap kata yang berada di buku catatannya. Di saat yang bersamaan seluruh isi kepalanya bekerja mecoba menerjemahkan dan memahami apa yang di bacanya.
10.35 wib
Buk
Ia menutup sebuah laptop yang berada di hadapannya.
Tak lama setelahnya terlihat ia beranjak dari tempatnya.
Baju scrubs yang di kenakannya terlihat lusuh.
Indah berjalan keluar dengan langkah yang begitu cepat. Rambutnya yang terikat bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Detak jantung berdetak sangat cepat.
Ia mengepalkan lengannya, menyembunyikan rasa gugup yang ada di dalam seluruh tubuhnya.
Hari ini ia kembali bertugas di ruang bedah. Meskipun, bukan untuk pertama kalinya. Tetap saja rasa gugup selalu menghampiri Indah terlebih ini menyangkut nyawa pasien. Setiap detik yang ia gunakan di ruangan itu terasa sangat penting dan berharga.
Brushhh
Ia membasah seluruh bagaian wajahnya, berulang kali. Selanjutnya, ia menengadahkan kepalanya menatap ke arah cermin yang memantulkan wajahnya. Kedua lengan Indah menggenggam erat pinggiran wastafel.
Lima menit berlalu
Indah berjalan memasuki ruang operasi sepuluh menit lebih awal. Ia sudah mengenakan pakaian operasi lengkap dengan masker dan nurse cup yang menutupi seluruh rambutnya.
Udara dingin menyeruak, menusuk ke dalam tubuh Indah.
Ia berjalan menuju bagian center, tepat di atas kepalanya terlihat sebuah set lampu yang memiliki beberapa lubang pencahayaan.
Trek
Indah menyalakannya memastikan semua lampu dalam kondisi baik. Beberapa detik kemudian ia kembali mematikannya.
-monitor lengkap
-warm taouch
-mesin anestei
-set basic bedah
-ventilator
-pressure infusion bag
Indah memeriksanya satu persatu. Semua alat sudah di sterilkan dan aman.
Tring
Pintu operasi terbuka
Dua orang perawat membawa pasien ke dalam ruangan.
Tak lama setelahnya Indah mulai memasang Ventilator untuk membantu alat pernafasannya, warm touch untuk menghangatkan tubuh pasien di tengan rangan yang dingin.
Lalu tak lupa ia juga menempelkan sebuah alat untuk memeriksa denyut nadi dan tekanan darah, memasang beberapa alat elektrokardiogram untuk memeriksa aktifitas jantung. Alat-alat itu terhubung dengan sebuah monitor yang menunjukkan grafik diagram.
Kini, seisi ruangan di isi oleh suara dari monitor.
10.56 wib
Seorang dokter bedah berjalan masuk ke ruangan di ikuti oleh seorang dokter anestesi.
Indah mengatur nafasnya, mencoba menjernihkan pikirannya.
Lima orang berada di dalam ruangan itu. Fito seorang dokter bedh yang akan memimpin berlangsungnya operasi hari ini, Khanza seorang dokter Anestesi, Indah seorang dokter, juga dua orang perawat yang membantu.
Ke lima orang itu terlihat berdiri di tempatnya dan siap dengan job desk yang di milikinya masing masing.
“Silahkan berdoa sesuai kepercayaannya masing-masing. Berdoa di muli” ujar Fito memimpin.
Kelima orang itu menundukkan kepalanya serentak dengan memejamkan matanya. Meminta kepada sang pencipta agar operasi hari ini bisa berjalan dan menuai hasil yang baik untuk psien, dkter juga keluarganya.
Prang
Fito menyalakan lampu yang berada di atas kepalanya.
Indah menolehkan kepalanya. Melihat ke arah jam yang terletak di bagian paling ata pintu.
“Pukul 11 lebih 1 menit 23 detik
operasi untuk bu lina
Di mulai” ujar Indah memberi tahu waktu saat ini.
Hening, hanya ada suara dentingan logam juga alat mnitor yang saling bersahutan.
***
Tujuh jam berlalu
18.27 wib
Indah berjalan keluar ruang operasi dengan langkah gusar.
Ia melepaskan nurse cup, baju, juga sarung tangan ke dalam plastik limbah medis. Untuk beberapa saat tubuh Indah terlihat mematung diiringi dengan ******* nafaas ynag keluar dari mulutnya secara kesar.
Beberapa detik kemudian Ia membalikkan tubuhnya.
Tap
Seseorang menahannya, membuat langkah Indah terhenti.
Anton pria itu berdiri di hadapannya. Dengan menodongkan satu kap kopi ke arah Indah.
Bola mata Indah bergerak dari atas hingga bawah tubuh anton. Laki-laki itu masih menggunakan baju seragam rumah sakit berwarna biru. Di bagian paling kanan terlihat sebuah label bertuliskan dokter muda menunjukkan identitasnya.
Yap Anton 25 tahun. Usianya terpaut tujuh tahun lebih muda dari Indah. Ia seorang maasiswa co-as juga generasi ke 4 dari pemilik rumah sakit ini.
“Ambil” ujar Anton sembari menyerahkan kopi yang di bawany.
Indah menerimanya, kemudian menyeruput kopi itu untuk menambah kadar gula ke dalam tubuhnya.
“Langsung pulang kak?” tanya Anton.
Indah menggelengkn kepalanya.
“Masih ada yang harus di kerjain” balas Indah.
Keduanya berbincang sambil berjalan beriringan. Sesekali Indah kembali menyeruput kopinya.
Indah menghentikan langkahnya, kemudian ujung bola matanya engikuti seseorang yang berjalan melewinya.
Ia menggelengkan kepalanya, merasa tidak yakin.
“Kenapa?” tanya Anton.
Indah mengabaikannya.
Kakinya bergerak, memutar tubuhnya. Sorot matanya terpaku ke arah punggung seseorang yang terasa tak asing untuknya.
Anton, memperhatikannya. Tak tahu apa yang tengah di pikirkan Indah.
14 wib
Layar monitor laptop milik Indah perlahan meredup.
Indah beranjak dari tempatnya. Kemudian memasukkan laptop, buku, jurnal, sebuah kaleng bolpoin ke dalam tas miliknya.
Indah beranjak dari tempatnya, kemudian lengannya mengambil sebuah kemeja kurduroy berwarna pink yang ia pakai sebagai outer.
Indah berjalan keluar dari lobbi rumah sakit dengan menggendong tas di punggungnya. Rambut nya masih terikat menggantung di bagian tengah kepalanya, Indah menelusupkan kedua telapak lengannya di antara ketiaknya. Menahan rasa dingin dari udara malam yang terasa semakin menusuk.
Parkiran Motekar
Indah mnghentikan langkahnya, setelah melihat sebuah siluet orang berada di dekat mobilnya.
Ia melangkahkan kakinya, mencoba memberanikan diri.
“Akbar” Gumamnya dalam hati.
Pria itu terlihat berdiri di dekat mobilnya. Ia menyapa kedatangan Indah dengan sebuah ukiran senyuman.
Indah mengalihkan peratiannya. Ia melanjutkan langkahnya dan mencoba mengabaikan pria itu.
“Bisa bicara sebentar?” tanya Akbar setela melihat Idnah berjalan melewatinya.
Suara akbar terdengar lembut di telinga Indah. Suara itu mampu membuat hatinya bergetar hebat. Hingga, tanpa sadar lengan Indah terhenti di kenop pintu mobil.
“Bisa bicara sebentar?" Akbar mengulang ucapannya. Langkahnya maju, menghampiri Indah.
Indah menggelengkan kepalanya. Meminta akbar berhenti.
Sesuai dengan permintaan yang tersirat dari mata Indah Akbar meghentikannya.
“Berhenti” ujar Indah, kini kiltn tjam dari matanya terlihat.
“Urusan kita sudah selesai. Dan ngga perlu ada yang di bicarain lagi!” ucap Indah tegas.
Akbar menundukkan kepalanya.
Ia tahu, Indah pasti kebingungan atas kondisi ini. Tapi, meskipun begitu. Akbar masih tetap ingin berbicara dengan Indah. Menceritakan tentang tujuh tahun kehidupannya tanpa Indah, alasan kepergiannya juga hal yang membuatnya kembali ke tempat ini.
16 Juli 2015
Vila pecatu, Bali.
Trek
Tubuh bagian belakang Akbar mendorong pintu, menutupnya.
Langkahnya terhenti, senyumnya yang ia buat kini menurun. Pandangannya terhenti, menatap ke arah Indah yang tengah mematung.
“Bagaimana tanggapan pak Shakti atas kejadian in?” ujar salah satu wartawan.
Suara televisi terdengar menggema di seluruh ruangan.
Akbar berdecak kesal.
Pandangannya beralih melihat ke arah televisi.
Di dalam layar televisi terlihat Dharma, ayahnya tengah mengadakan konferensi pers.
Selanjutnya layar berganti. Menunjukan seseorang yang memiliki perawakan sama dengannya tengah berada di sebuah klub. Beberapa barang terlihat di buramkan. Selanjutnya, pria itu terlihat di giring oleh petugas kepolisian dan BNN.
Huh
Akbar mengeluarkan nafasnya dengan kasar.
“Beliau menyerahkan masalah ini kepada saya” Balas Dharma menjawab pertanyaan dari salah satu wartawan.
Rangga berjalan menaiki podium, dengan lengan yang membawa sebuah map. Ia berjalan menghampiri Dharma, kemudian menyerahkan map yang di bawanya.
“Kami pihak keluarga memohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi saat ini”
“Dengan ini pula, Kami pihak keluarga maupun perusahaan akan mengikuti prosedur yang di berikan polisi dan BNN” lanjutnya.
Akbar menghela nafasnya.
“Oleh sebab itu, posisi Akbar sebagai direktur perusahaan akan di tangguhkan. Apabila, terbukti dia bersalah” ia menghentikan ucapannya, kemudian sebuah senyuman terukir di wajahnya.
“Dengan berat hati, ia akan di pecat”
“Yang bertanda tangan di bawah ini Shakti” ucap Dharma mengakhiri narasi yang ia bacakan.
Lengannya bergerak menutup map, yang berada di hadapannya. Selanjutnya, langkahnya berjalan menuruni podium. Lalu, ia membungkukkan setengah badannya menghadap ke kamera, sembari meminta maaf.
Kepala Indah menoleh ke sebelah kiri. Dari sudutnya terlihat Akbar yang tengah berdiri dengan menundukkan kepalanya. Di kedua lengannya terlihat ia membawa beberapa kotak pizza dan hamburger.
Melihat laki-laki di hadapannya seperti ini, membuat hati Indah merasa sakit.
“Apa yang sedang di rencanakan keluarga Akbar? Apa harus bertindak sejauh ini? Menggiring sebuah berita palsu untuk sebuah hal yang tidak di ketahuinya” itu yang Indah pikirkan saat ini.
Indah melangkahkan kakinya, berjalan menghampiri Akbar.
Kedua lengannya merangkul tubuh Akbar ke dalam pelukannya.
Akbar menanamkan dagunya di bahu Indah. Sama seperti Indah, Ia juga tidak tahu tentang keadaan yang tengah menimpanya.
“Jadi ini maksud kakek” gumam Akbar di dalam hatinya.
Flashback 30 menit yang lalu.
Akbar tengah memasak di dapur menyiapkan makan malam untuk Indah yang tengah mempersiapkan laporan yang diminta PPDS.
Tring tong
Bel berbunyi.
Akbar bergegas turun, berjalan keluar dari pintu vila, melewati taman dan berakhir di sebuah gerbang berukuran cukup besar.
Srek
Ia membuka pintu gerbang.
Akbar mengernyitkan dahinya, menyadari tak ada seorang pun yang berada di luar gerbang.
Kaki kanannya berjalan keluar melewati gerbang. Lalu ia menoleh ke sisi kanan dan kirinya.
Akbar berjalan ke sebelah kiri, menghampiri satu mobil mewah yang terparkir.
Cling
Sorotan cahaya yang berasal dari lampu mobil, menyoroti tubuh Akbar.
Akbar memejamkan matanya, kemudian tangannya terlihat terangkat mencoba menghalau sinar cahaya.
Tap
Seseorang meraih lengannya.
Akbar membalikkan tubuhnya. Menoleh, ke arah seseorang yang berdiri tepat di belakangnya.
Trak
Kurang dari lima detik, sebuah borgol sudah melingkar di pergelangan tangannya.
Akbar mengernyitkan dahinya.
“Lo siapa?” tanya Akbar kesal, kepada seseorang yang berada di hadapannya.
Seorang pria dengan memakai setelan berwarna serba hitam, terlihat berdiri di hadapannya. Tubuhnya tinggi semampai, dengan badan yang kekar.
“Diam” balas pria itu.
“Huh” Akbar mendengus kesal.
Pria itu menatap tajam ke arah Akbar, dengan senyum yang menyeringai.
Akbar mengangkat kedua tangannya, lalu ia ayunkan tepat ke arah wajah pria itu.
Pria itu memejamkan matanya, langkahnya mundur sasatu langkah, menghindari pukulan Akbar.
Akbar tersenyum, melihat reaksi yang dikeluarkan pria itu. Ia menurunkan lengannya kembali, mengurungkan niatnya.
“Takut?” ujar Akbar bertanya.
Pria itu menggeleng, kemudian lengannya terlihat merapihkan bajunya.
Bug
Ia melayangkan sebuah tinju dengan kedua tangannya, membuat pria itu terhuyung. Selanjutnya lengan Akbar terlihat melingkar di lehernya. Tak lama kemudian, ia mulai menyangkal kaki pria itu.
Dalam tiga detik tubuh kekar itu terlentang di jalanan.
Akbar menaikkan sudut bibirnya, tersenyum puas.
Kakinya kembali melangkah, menghampiri pria yang masih terlentang itu. Ia menginjakkan kakinya tepat di bagian dada pria itu, menekannya.
“Siapa yang nyuruh?” tanya Akbar.
Pria itu menggeleng, dengan nafasnya yang terengah-engah.
Bug
Ia kembali melayangkan sebuah tinju, kali ini pukulannya berhasil membuat pria itu kehilangan kesadarannya.
Akbar menghela nafasnya, kepalanya menoleh memperhatikan ke dalam Vila.
Ia beranjak dari tempatnya, menghampiri seseorang yang berada di dalam mobil.
Brak
Akbar membukanya. Seorang pria tersenyum, menyapa Akbar dengan todongan sebuah pistol yang berada di genggamannya.
Akbar mengangkat kedua lengannya yang masih terikat borgol.
Ia memejamkan matanya, tak percaya dengan situasi yang tengah di hadapinya.
Bug
Akbar melayangkan sebuah tinju dengan kedua tangannya, rasa amarahnya hampir meledak.
Srakk
Serangan tak terduga dari Akbar, mengejutkan pria itu. Sehingga, pistol yang berada di genggamannya terlepas.
Dalam satu serangan Akbar berhasil merebut pistolnya,
“Keluar” perintah Akbar.
Pria itu terdiam, perintah Akbar dibalas dengan sebuah senyuman yang menyeringai.
Plak
Akbar melayangkan sebuah pukulan dengan pistol yang berada di genggamannya. Ia tak bisa menahannya lagi.
“Ahh” ujar pria itu mengerang.
“Keluar, br*ngsek” perintah Akbar sembari menyeret tubuh pria itu keluar.
Ia berjalan dengan lunglai. Di belakangnya, terlihat Akbar yang mengarahkan pistol ke belakang kepalanya.
“Cepat” ujar Akbar, memintanya mempercepat.
Pria itu mengangguk, kemudian berjalan menuju temannya yang sudah terbujur kaku.
“Cari, kunci borgol nya” Akbar lanjut memberi perintah.
Pria itu bergerak menurunkan tubuhnya, lengannya terlihat meraba-raba setiap saku yang berada di pakaian temannya.
Tring
Sebuah kunci terlihat bergelayunan di genggaman pria itu.
Akbar ikut menurunkan tubuhnya, sorot matanya terus menatap tajam tangannya masih mengacungkan pistol.
“Buka” ujar Akbar kembali memberi perintah.
Akbar melemaskan pergelangan lengannya. Dengan cepat ia mengambil alih borgol. Lalu, memasangkannya di masing-masing lengan kedua pria itu. Membuat keduanya saling berikatan.
Akbar beranjak dari tempatnya, kemudian lengannya melemparkan kunci ke arah semak-semak.
***
Suara deringan telpon berbunyi.
Kedua orang suruhan itu saling bertatapan, mereka duduk di bangku paling depan mobil dengan lengan yang masih berkaitan.
Akbar mengambil alih telpon.
“Halo, bagaimana hasilnya?” ujar suara dari balik telpon.
Akbar tersenyum, menyeringai menyadari suara telpon itu dari kakeknya, Shakti.
“Ini, Akbar” ucap Akbar memberitahu identitasnya.
“Ah, Akbar” ujar Shakti, menyapa.
“Sepertinya hari ini kamu memang beruntung” puji Shakti.
Sudut bibir Akbar terangkat.
“Diam, jangan bicara apapun” perintah Shakti, terdengar serius.
“Apapun yang terjadi malam ini. Diam, jangan lakukan apapun”
“Meskipun, itu sangat mengganggu”
“Tetaplah, diam disana”
“Sampai waktunya kamu pergi”
“Jangan membuat keributan” ucap Shakti mengakhiri ucapannya.
Akbar masih menanamkan dagunya di bahu Indah. Perasaannya terasa kosong.
Kini ia mengerti maksud dari perkataan Shakti beberapa menit yang lalu.
Telapak lengan Indah mengusap-usap bagian punggung Akbar, mencoba menenangkannya. Meskipun ia tak bisa membohongi perasaannya. Sama seperti yang Akbar rasakan Indah juga merasa marah atas keadaan yang di buat oleh keluarga Akbar.
Semua ini terasa tidak adil dan menimbulkan rasa sesak.
Akbar beranjak. Ia mundur satu langkah, menjauh dari Indah.
Indah menaikkan alisnya menyadari pergerakan yang tiba-tiba di buat Akbar.
“Aku gapapa” ujar Akbar suaranya terdengar parau.
Selanjutnya, ia melangkhkan kakinya berjalan melewati Indah.
Tak lama kemudian, ia terlihat duduk di lantai dengan menyilangkan kedua kakinya.
Lengannya bergerak meraih remote mengganti channel televisi ke glombang lain.
Kruk
Sepotong pizza masuk ke dalam mulut Akbar, ia mengunyahnya dengan cepat.
Sementara itu, Indah terlihat masih mematung di tempatnya sembari memperhatikan Akbar yang terlihat asik menyantap makanan.
Melihat hal yang di lakukan pria itu menambah rasa sakit di hatinya.
Indah berjalan menghampiri Akbar kemudian duduk di sisinya.
Indah menghela nafasnya. Bingung, harus bicara dari mana.
Klak
Penutup kaleng soda terbuka.
Akbar segera menegaknya habis dalam sekli tegukan.
Saat ini, tentu saja ia merasa marah atas apa hal yang terjadi. Dituduh melakukan hal yang sebenarnya tidak pernah ia buat sangat melukai harga dirinya.
Tapi, mau bagaimana pun. Perasaannya saat ini bukan hal yang penting untuk ayah dan kakeknya.
Fakta itu, menambah rasa sakit yang di alaminya.
Akbar menengadahkan kepalanya menatap ke arah langit-langit. Seperkian detik kemudian matanya terpejam bagian belakang kepalanya terasa sakit.
Tap
Indah meraih lengan kiri Akbar, menggenggam di antara kedua lengannya.
Akbar mencoba melepas genggaman lengan yang di berikan Indah. Namun, indah menahannya dengan kuat.
Saat ini Akbar berharap bisa menghilang. Ia tidak ingin indah kembali melihat sisi buruknya.
Akbar takut semua perasaan yang menumpuk di kepala dan hatinya meledak dan membuat kekacauan yang lain.
“Bar...” ucap Indah memanggil.
Akbar mengabaikan panggilan yang terdengar di telinganya.
“Bar lihat aku” ujar Indah memberi perintah.
Akbar menggeleng, menolak.
Indah melepaskan genggaman lengannya. Hal itu sontak membuat Akbar membuka kedua matanya dengan cepat.
Kini, lengan Indah berada di kedua bahu Akbar. Perlahan Indah membuat tubuh Akbar memutar menghadap ke arah nya.
“Aku gapapa” ujar Akbar meyakinkan Indah. Diiringi sebuah senyuman yang ia ukir di wajahnya.
Indah mengangguk, mengiyakan. Seolah-olah ia percaya dengan apa yang di katakan Akbar.
Untuk beberapa saat keduanya saling membuat kontak mata.
Kilatan amarah terpancar dari sorot mata Akbar. Begitupun dengan suara nya terdengar sangat bergetar. Senyum yang ia buat terlihat sangat palsu.
Perasaan yang di rasakan Akbar berbeda. Sorot mata bersinar yang terlihat dari kedua mata Indah mampu meredam kan rasa amarahnya.
“Cantik” ujar Akbar tiba-tiba memuji. Seolah-olah ia terhipnotis oleh kecantikan wanita yang ada di hadapannya.
Lengan akbar kembali bergerak, merapihkan rambut depan Indah yang sedikit berantakan.
Indah terdiam, melihat suasana hati Akbar yang berubah. Kali ini suaranya juga terdengar sangat lembut dan yakin.
“Sakit?” tanya Indah sembari memeriksa suhu tubuh Akbar dengan menempelkan lengannya di dahi Akbar.
Akbar menggeleng, yakin. Lengan kanannya meraih lengan Indah yang masih berada di dahinya dan meletakkan di pangkuannya.
Akbar kembali menatap wajah Indah untuk waktu yang lama. Kali ini, ia bersyukur memiliki Indah di sisinya. Keberadaan perempuan itu berhasil membuat rasa sesak yang ada di dalamnya perlahan menghilang juga membuat hatinya tersa sangat tenang dan lega.
Indah menundukkan kepalanya, Kali ini ia sangat bingung harus menyikapi semua keadaan ini seperti ini.
Menurut indah, situasi kali ini terasa janggal dan sangat konyol.
“Aku akan menjawabnya” ucap Akbar.
Indah menatap akbar, heran.
“Semua pertanyaan yang ada di kepala kamu sekarang. Aku akan menjawabnya” jawab Akbar, menjelaskan.
Indah terdiam, mendengar apa yang di ucapkan Akbar. Memang betul banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan pada pria itu.
“Boleh?” tanya Indah ragu.
Akbar mengangguk dengan yakin.
“Soal yang di berita tadi, kamu mengetahuinya?” tanya Indah.
Akbar menggeleng, ia tidak tahu tentang rencana penangkapannya.
“Kenapa?” tanya Indah, kaget.
Akbar kembali menggeleng, ia juga tidak tahu apa alasannya.
“Terus, apa yang bakal kamu lakuin sekarang?” Indah kembali mengajukan pertanyaan.
Akbar menaikkan alisnya, tak mengerti dengan arah ucapan yang di berikan Indah.
“Sama seperti yang udah kita rencanain sebeumnya. Malam ini kita makan sambil nonton kan?” balas Akbar.
Mendengar apa yang di ucapkan Akbar membuat hati Indah terasa kecewa.
“Serius?” ujar Indah, berharap Akbar memberikan jawaban lain.
Akbar menganggukkan kepalanya, sangat yakin. Meskipun sudah melihat itu, Akbar akan tetap melanjutkan rencananya.
“Wah” Indah berdecak kagum melihat reaksi yang di berikan Akbar.
“Kemana, rasa amarah yang di miliki Akbar tadi? Apakah sudah hilang, secepat itu?” Indah bergumam di dalam hatinya.
Akbar memperhatikan raut wajah Indah.
“Kamu mau aku ngelakuin apa?” tanya Akbar.
“Pergi kesana, samperin mereka!” ujar Indah langsung membalas.
Akbar menggelengkan kepalanya, ia tidak mungkin bisa melakukan hal seperti itu.
Indah membelalakkan matanya, rasa amarahnya kembali tersulut.
“Mereka masih di Bali kan?” tanya Indah, memastikan.
Akbar mengangguk, mengiyakan.
“Ya udah, ayo kita kesana” ajak Indah, mencoba beranjak dari tempatnya.
Akbar menahan Indah.
“Udah ya!”
“Berhenti buang-buang energi kamu, buat hal yang ngga penting” ucap Akbar.
“Ngga penting kamu bilang?”
Indah memotong ucapan Akbar.
“Bar hal ini tuh gak wajr!”
“Mereka masih keluarga kamu kan?”
“Seharusnya mereka lindungin kamu bukan nyrang kamu kaya gini” ucap Indah mengeluarkan semua yang terlintas di kepalanya.
Deruan nafas kasar terdengar keluar dari mulut Indah.
“Ndah, semua rengekan kamu atau aku. Ngga
akan pernah mereka denger”
“Mereka akan tetap ngelanjutin apa yang udah di rencanakannya. Ngga peduli udah nyakitin siapapun. Termasuk, aku” Akbar bergumam dalam hatinya dengan kepalanya yang menunduk.
Ia juga merasa malu karena Indah harus melihat hal ini. Dan hanya dia satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran malam ini. Selain itu, Akbar juga takut.
Jika ia melawan, mereka tidak hanya akan menyerangnya. Tapi, juga akn menyerang Indah.
Akbar menengadahkan kepalanya, menatap Indah.
“Lupain semua kejadian malam Ini"
“sama seperti mereka. Kita juga akan tetap melakukan apa yang sudah kita rencanakn” ucap Akbar memita.
Indah menggeleng.
“Bar..” ucap Indah dengan suaranya yang terdengar parau.
“Ndah aku ngga peduli tentang apapun yang terjadi di luar sana”
“Selama kamu masih ada di sisi aku. Aku, rasa itu udah cukup!” Akbar mengakhiri kalimatnya, untuk meyakinkan Indah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!