Naina berjalan dengan cepat, menuju ruangan di mana suaminya sedang mendapatkan perawatan, akibat kecelakaan yang terjadi sekitar satu jam yang lalu. Saat ia sudah sampai di tempat itu, tangannya yang sedang mendorong pintu dengan perlahan, tiba-tiba saja gemetar. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan suaminya di dalam, untuk sejanak ia menghela napas sebelum akhirnya melangkah masuk.
Ia melihat degan jelas sang suami sedang terbaring lemah di atas ranjang pasien, Naina berdiri di ambang pintu dengan perasaan hancur melihat tubuh Romi yang dipenuhi perban. Ada darah yang masih merembas keluar hingga perban putih itu terlihat memerah.
“Apa sebenarnya yang terjadi di sana, Mas? Sampai kau terluka seperti ini?” batinnya sedih, “Andai saja bisa kugantikan posisimu, biar aku saja yang mengalaminya!”
Tanpa suara, dan hanya detakan jantungnya yang berpacu lebih kuat, saat wanita itu melangkah kan kakinya untuk mendekati sang suami. Rasa khawatir akan keadaan dan keselamatan Romi merajai hatinya.
Tiba-tiba langkah nya terhenti di saat sang ibu mertuanya menariknya Naina dengan cengkeraman yang kuat sampai wanita itu merasakan sakit di pergelangan tangannya. Ia dibawa kembali ke luar, oleh Rasti--ibu mertuanya itu.
“Kenapa aku nggak boleh masuk, Bu?” tanya Naina dalam hati.
Namun, Rasti hanya menampakkan wajah yang penuh kebencian tanpa alasan pada Naina. Ia tidak suka akan kehadiran menantunya di Rumah sakit itu.
“Beraninya kamu datang ke sini! Setelah membuat anak saya tidak bisa melihat? Puas kamu, hah!“ teriak sang ibu mertua ketika sudah berada di luar ruangan.
Naina hanya tertunduk, sebab dia tidak tahu penyebab suaminya kecelakaan. Kenapa semua orang menyalakan dirinya. Ia menggelengkan kepala sambil berderai air mata.
Mana ada seseorang yang menginginkan terjadi keburukan pada diri dan keluarganya, begitu juga tidak pernah mengharapkan suaminya mendapatkan kecelakaan. Hanya orang bodoh yang berharap hal seburuk itu. Apalagi ia sangat mencintai Romi, bahkan kalau ia bisa pasti akan siap untuk bertukar nyawa demi suaminya.
Naina ditampar oleh ibu mertuanya berulang kali, sampai dia bersimpuh di hadapannya, dan menangis sejadi-jadinya. Lalu, ia memeluk kaki ibu Rasti sebagai bentuk permohonan. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengekspresikan diri dan perasaannya pada mertuanya itu.
“Memangnya apa yang bisa aku lakukan selain memohon dengan cara seperti ini? Seandainya Tuhan memberiku kemampuan untuk bicara, aku sudah berteriak sekencangnya, Bu! Ini sakit! Aku manusia, aku menantumu, haruskah aku diperlakukan seperti ini? Salah apa aku sebenarnya, Bu?” suara Naina dalam tangisan tanpa ada orang yang mampu mendengar.
Sebenarnya, menjadi seorang tuna wicara bukanlah keinginannya.Naina mengalami ini sejak lahir.
Selama menjadi istri Naina, dia selalu di perlakuan tidak baik oleh ibu mertua nya itu. Apalagi dengan kecelakaan Romi pupus sudah hadapan Naina untuk bahagia, selama ini dia mersaa di lindungi saat Romi saat pria itu sedang berada di rumah. Ia merasa tidak akan ada lagi orang yang bisa membelanya.
“Ma ... ampuni aku. Aku tidak tahu kesalahanku. Tolong ma ... aku mencintai mas Romi ... aku tidak mungkin berbuat jahat ke mas Romi ... “ ucap Naina dalam batin sambil memeluk kaki ibu mertuanya, rasa sesak di dadanya sudah tidak bisa di tahan lagi.
Merasa tidak nyaman, ibu mertuanya menendang Naina, hingga terjatuh dan wajahnya tersungkur di lantai, dengan cukup keras hingga keningnya menjadi memar.
“Menjauh dariku! Aku tidak sudi disentuh olehmu! Dasar kau! Pembawa sial, kalau bukan karena kamu, anakku tidak akan mengalami kecelakaan, kenapa tidak kamu saja, hah!” bentak Rasti.
Ibu mertua yang culas itu pun lanjut melakukan tindakan kejam lainnya. Ia menginjak-injak Naina dan wanita itu hanya bisa meringkuk, sambil menangis. Kemarahan ibu mertuanya sudah tidak dapat terbendung lagi.
Namun, kekejaman dari sikap Rasti tiba-tiba terhenti saat terlihat akhirnya ada tanda-tanda Romi mulai sadar.
“Uuh ... di mana aku ...?” gumam Romi lirih sambil membuka matanya dengan perlahan, dan mengumpulkan kesadaran.
Naina pun bangkit, sambil mengabaikan rasa sakit disekijur tibuhnya dan mendekat ke arah sang suami yang masih terbaring lemah.
Namun, tiba-tiba Rasti kembali menyeretnya keluar.
“Dengar, ya ...! Jangan mendekati anakku lagi, awas kalau kamu menunjukkan kalau kamu ada di dekatnya! Dan satu lagi, jangan sentuh tubuh anakku, karena tubuhmu itu najis untuknya! Camkan itu, perempuan sial!” katanya dengan suara lirih tapi penuh penekanan, dan ancaman.
Naina pun ketakutan, tapi sekali lagi ia tak berdaya.
Itu adalah isyarat Rasti agar Naina tidak menimbulkan suara apapun, hingga Romi tidak mencurigai bahwa Naina ada di kamar ini.
Bagi Naina tidak masalah di perlakuan seperti ini asal bisa dekat dengan sang suami dan bisa merawat nya.
“Romi ... Kau sudah sadar Sayang? ibu sangat khawatir padamu, Nak!” ucap Rasti, terharu melihat anaknya mulai sadar.
“Bu... Naina mana? Aku ingin mengucapkan sesuatu untuk nya, dan memberikan ini! “ kata Romi dengan suara lemahnya. Tangannya yang masih penuh luka meraba saku celana nya secara perlahan. Ia ingat, sebelum kecelakaan telah membelikan perhiasan untuk sang istri, dan ia menyimpannya di saku celananya itu.
“Selama kamu di sini, dia belum pernah sekalipun datang mengunjungi kamu,” kata Rasti berbohong.
“Bu, tolong nyalakan lampunya, kenapa ini gelap sekali, terus kalung yang ku beli untuk Naina mana? “
“Ini sudah nyala, bahkan terang sekali. Kalung apa? Ibu nggak melihat nya, lupa kali kamu?” Rasti berbohong lagi, padahal setelah kecelakaan itu barang-barang milik Romi sudah di kasih kepada Rasti. Dia sangat tidak rela jika menantu yang tidak di harapkan memakai kalung berlian dari anaknya, alangkah bagusnya kalung itu hingga ia pikir lebih baik dipakainya sendiri.
“Aku nggak bisa melihat apapun, Bu! “ suara Romi mulai panik dan ia merasa tidak enak, ia tiba-tiba sedih dengan pikiran buruk yang muncul di otaknya tentang kemungkinan ia tak dapat melihat.
“Sabar, sayang dokter sedang berusaha. Kita tunggu pendonor yang pas untuk mu, ini hanya kebutaan sementara, kalau ada donor mata, kau bisa melihat lagi, jadi tenanglah!” sang ibu berusaha untuk menenangkan anaknya.
“ Sampai kapan aku harus seperti ini, Bu...., tolong panggilkan Naina. Pasti dia sangat khawatir, aku juga mau bilang sesuatu, Bu!” kata Romi menahan sesak di dadanya.
“ Jika dia mengkhawatirkan suaminya, sudah pasti berada di sini dan menemani kamu, tapi Ini buktinya tidak ada, kan? Istrimu itu kurang perhatian!” ucap Rasti berdusta sambil menatap tajam Naina, yang berdiri tidak jauh dari nya.
“Nggak, Ma, itu nggak mungkin, aku tahu Naina bukan perempuan seperti itu!“
“Andai saja aku bisa bicara dan kamu bisa melihat, Mas... sudah pasti aku berteriak dan memanggil kamu. Bahwa sekarang aku berada di dekat mu” Naina berbicara dalam batin, seketika air mata nya meleleh lalu di usap dengan tangan nya sendiri.
Rasti terus berusaha untuk menenangkan anak nya yang terus mencari keberadaan istrinya. Bagi Rasti ini kesempatan yang sangat bagus untuk memisahkan Romi dari Naina, dengan tidak bisa melihat sudah pasti kali ini rencananya akan berjalan dengan lancar.
Dia akan melakukan berbagai cara agar Romi berpisah dengan Naina, Rasti tidak sudi mempunyai menantu yang bisu. Baginya ini sangat memalukan, meskipun Naina cantik tetap saja bagi Rasti ini sangat memalukan.
“Ma...ayo cepat jemput Naina, biar dia yang merawat ku di sini. Aku nggak mau merepotkan Mama, sekarang ada Naina yang mengurus ku!” rengek Romi terhadap sang Mama.
“Kamu itu bicara apa sih? Sudah jelas perempuan itu nggak pernah menyayangi kamu, buktinya saat keadaan kamu seperti ini saja nggak ada niatnya untuk menjenguk kamu. Bahkan kemaren di ajak, dia nggak mau. Sudah lah, jangan mencari dia lagi! Ada Mama dan juga Diana yang akan menjaga mu,” dusta sang Mama.
“Dia itu istriku berhak tahu keadaan suaminya pada saat ini, Ma!”
“Jika di menganggap kamu itu suaminya, nggak perlu di minta untuk datang menemui kamu. Sudah pasti dia berada di sini, nemenin kamu. Sudah istirahat saja,baru juga kamu sadar. “ Rasti meminta Romi untuk berbaring kembali.
Saat ini Romi hanya bisa pasrah, mau mencari istrinya sendiri pun sudah sangat tidak mungkin. Dengan keterbatasan nya pada saat ini, akhirnya Romi pun mengikuti perintah sang Mama untuk beristirahat. Sebab tak ada gunanya juga dia tetap bangun toh sama saja gelap,jadi lebih baik dia memejamkan matanya.
Meskipun Naina tidak bisa mendengar, akan tetapi ia mampu membaca bahasa tubuh ibu mertuanya. Tak lama air matanya semakin mengalir deras. Tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menahan rasa sakit dari apa yang telah Naina lihat dari ibu mertuanya.
“Salah ku apa? Ma... sehingga begitu besar amarah mu untuk ku, Jika pukulan yang di berikan itu bentuk cinta Mama untuk Mas Romi, maka aku ikhlas menerima semua ini” Naina membatin.
Naina berniat pergi dari ruangan tersebut, sebab rasanya sudah sesak untuk bernafas. Dengan langkah yang tertatih, sakit di bagian punggung dan tangan akibat di injak ibu mertua nya belum seberapa. Di bandingkan dengan rasa sakit yang ada di hatinya.
“Mas... Bukan aku nggak mau menemani mu di sini, tetapi Mama tidak membiarkannya, maafkan aku, ya? Aku harus pergi sekarang,” ucap Naina dalam batin, lalu melangkah kan kakinya dengan perlahan untuk segera keluar dari ruangan tersebut.
Naina berjalan dengan langkah terseok-seok, masih terasa sakit akibat dari injakan yang di hadiahkan dari sang Mertua. Ia bagaikan orang yang hilang arah dan tujuan, harus pergi ke mana. Ia ingin mencurahkan kesedihan yang ada di hatinya, sebab dia tidak memiliki teman dekat yang bisa ia jadikan tempat untuk berkeluh kesah. Tidak banyak orang juga yang mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang di gunakan oleh Naina, makanya perempuan itu tidak memiliki teman.
Sementara itu, Rasti yang melihat kepergian menantunya, hanya tersenyum lebar. Ia merasa tidak perlu mengusir Naina lagi. Lebih baik kalau wanita bisu itu pergi, pikirnya.
Naina sedang duduk termenung di sebuah halte, setelah ia keluar dari rumah sakit. Ia menunggu angkutan umum yang akan mengantarkan nya ke tempat tujuan. Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan nya. Lalu, perhatian Naina tertuju pada orang yang keluar dari kendaraan tersebut.
“Hai! Naina, kan?” tanya orang itu dengan ramah, Adam langsung mengulurkan tangan nya. Lalu di sambut hangat oleh Naina.
Naina sedang duduk termenung di sebuah halte, setelah ia keluar dari rumah sakit. Ia menunggu angkutan umum yang akan mengantarkan nya ke tempat tujuan. Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan nya. Lalu, perhatian Naina tertuju pada orang yang keluar dari kendaraan tersebut.
“Hai! Naina, kan?” tanya orang itu dengan ramah, Adam langsung mengulurkan tangan nya. Lalu di sambut hangat oleh Naina
Adam sudah mampu berbicara bersama Naina dengan menggunakan bahasa isyarat, sebab Adam dan juga Naina sudah kenal sejak lama.
Adam mengajak Naina untuk ikut bersama nya, dan akan mengantarkan nya. Naina menolak permintaan Adam, akan tetapi pria itu memaksa nya untuk tetap ikut. Sebab yang ia pikir soal keselamatan sahabat nya itu, hari sudah gelap pertanda tangisan sementara akan segera turun. Mana tega ia membiarkan perempuan seperti Naina yang mempunyai kelebihan seperti itu di biarkan nya di jalan sendiri.
"Ka Adam, jika kamu mengantar ku pulang sudah pasti kakak ipar ku sama Mama mertua akan menyiksaku tanpa ampun" ucap Naina dalam batin.
"Ayolah, mana bisa aku membiarkan mu di sini sendirian" ucap Adam juga dalam hati, sambil menarik tangan perempuan itu. Meskipun Adam berbicara sangat keras sudah pasti Naina juga nggak akan mendengar nya. Makanya Adam menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan gadis hebat seperti Naina.
Akhirnya Naina ikut bersama Adam, kebetulan Adam juga tahu di mana Naina tinggal pada saat ini.
Sepanjang perjalanan Adam selalu melirik ke arah Naina, mengapa perempuan itu seperti tertekan dan banyak masalah.
Andai kan Naina bisa berbicara ingin sekali bercerita soal apa yang terjadi dengan hidupnya, bukan maksud untuk membuka aib keluarga. Ia hanya ingin meringankan sedikit beban yang menghimpit tubuhnya, hanya saja tidak ada yang mampu mengeti Naina pada saat ini.
Tetapi pikiran Naina salah, justru Adam sudah mampu membaca apa yang terjadi dengan Naina, tanpa harus mendengar perkataan dari sahabat nya itu. Dari penampilan, wajah kusut sudah bisa di pastikan oleh Adam bahwa perempuan itu tidak sedang baik-baik saja.
"Sungguh malang sekali nasib mu, Na... Kamu perempuan hebat semoga selalu sehat dan tetap sabar menerima ini semu" ucap Adam dalam batin menatap perempuan itu sambil tersenyum, pertanda Adam memberikan semangat untuk Naina dan selalu tersenyum dalam keadaan apapun.
Naina pun membalas senyuman Adam, Ia tahu bahwa sahabat nya itu mengajak untuk selalu tersenyum dalam keadaan apapun.
Perjalanan yang mereka lalui sudah cukup lama, hingga pada akhirnya kendaraan yang mereka tumpangi sudah masuk area perumahan.
Naina meminta Adam untuk menurunkan nya sebelum sampai di rumah, sebab jika orang rumah melihat Naina di antar oleh seorang laki-laki. Sudah bisa di pastikan kekerasan akan di terima Naina.
Adam pun mengerti dari maksud Naina, dan menghentikan kendaraan nya jauh dari rumah Mertua Naina.
"Terimakasih banyak, Ka Adam" ucap Naina dalam batin sambil menundukkan kepala nya, itu lah cara Naina berkomunikasi.
"Sama-sama" jawab Adam sambil tersenyum dan, memberikan isyarat agar perempuan itu tersenyum dan semangat.
Naina turun dari kendaraan milik Adam, dan melanjutkan perjalanan nya sambil menyeret kakinya yang yang terasa sakit, semua itu akibat dari perbuatan ibu mertua nya.
Adam menatap kepergian Naina dengan rasa yang sulit di artikan, adai saja dia bisa bertukar jiwa pasti sudah Adam lakukan. Adam hidup di raga Naina sedangkan Naina hirup di raga milik Adam. Agar tidak ada lagi kesakitan yang di terima oleh Naina, si gadis kecil yang luar biasa.
Setelah beberapa saat akhirnya ia sampai di rumah yang di tuju.
Dengan ragu Naina membuka pintu rumah,lalu melangkah kan kaki dengan penuh hati-hati agar tak menimbulkan suara, jika saja kehadiran nya di rumah di ketahui oleh sang Kaka ipar sudah pasti langsung mendapatkan kekerasan. Baru beberapa langkah sudah terdengar suara yang sudah tidak asing lagi.
"Darimana saja kamu? suami lagi sakit malah kelayapan, emang perempuan nggak tahu di untung. Sudah bagus kamu masih di Terima di rumah ini" kata Rini sambil berkacak pinggang.
"Aku dari rumah sakit, tapi Mama mengusir ku" jawab Naina dalam batin,sambil menggelengkan kepala, sebab dia sudah datang ke Rumah sakit. Akan tetapi di usir oleh sang ibu mertua. Begitu mudahnya air mata Naina untuk keluar hanya dengan satu kali bentakan.
Rini langsung menarik tangan Naina dengan kasar dan mencengkram nya dengan kuat. Sehingga Naina meringis kesakitan, lalu di seret ke rumah bagian belakang di mana terdapat tempat mencuci. Rini memperlakukan Naina bagaikan raga tanpa jiwa, rasa sakit yang di ciptakan ibu mertua belum sembuh. Sudah di tambah lagi oleh kakak iparnya, memang mereka semua sudah tidak memiliki perikemanusiaan.
"Tugas kamu di sini! Jangan pernah mencoba lari dari tanggung jawab" kata Rini sambil menghempaskan tubuh Naina ke tempat pakaian kotor yang berantakan.
Tubuh Naina terjerembab ke dalam keranjang, yang berisi pakaian kotor.
Di saat Rini sedang memaki Naina, terdengar suara ibu mertua yang datang ke rumah.Sambil memanggil nama Naina.
"Naina di mana kamu? " teriak Rasti sang ibu Mertua.
Rini menjawab teriakan sang Mama, yang memberi tahu bahwa mereka ada di belakang. Selang beberapa detik Rasti sudah berdiri tegak di depan Naina yang masih berjongkok.
"Dia kenapa lagi? " tanya Rasti terhadap anaknya, sebab terlihat dengan jelas Rini sangat marah terhadap Naina.
"Dia baru datang, habis keluyuran sampai lupa tugas nya di rumah ini!, baju , piring kotor semua. Malah asik-asik di luar sana" kata Rini sambil menginjak bokong Naina sehingga kepala nya menelusup ke dalam keranjang.
"Aku nggak keluyuran" jawab Naina dalam batin, sambil mengusap air matanya yang sudah mengalir.
"Jangan nangis! Cengeng lu, makanya jangan berani membantah" kata Rini sambil menarik rambut Naina agar bangkit dan berdiri.
Sakit itulah yang di rasakan Naina pada saat ini, tapi dia hanya mampu menangis.
"Cepat kamu persiapkan kebutuhan Romi, sebentar lagi saya akan berangkat lagi ke rumah sakit! " kata Rasti memberi perintah terhadap Naina.
"Aku juga ingin merawat suamiku, Ma" ucap Naina dalam batin, di sertai air mata yang keluar tampa minta ijin terlebih dahulu.
Naina berjalan dengan langkah yang terseok-seok, untuk segera pergi ke kamar suaminya. Sebab setelah Romi kecelakaan dia sudah di usir dari kamar itu dan menempati kamar belakang yang biasa di huni asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini. Dan setelah hari itu juga semua Art yang bekerja di rumah ini di pulangkan oleh Rasti dengan alasan nggak butuh mereka semua, sebab sudah ada Naina.
Setelah cukup lama dan Naina mempersiapkan kebutuhan sang suami, ia berniat untuk pergi ke kamar belakang dan membaringkan tubuhnya sebentar sebab rasa sakit di bagian perut semakin terasa.
Naina kaget dengan darah yang mengalir di kakinya, lalu memegang perut yang semakin sakit. Setelah itu tidak ingat apapun lagi.
Rasti marah ketika Nania tak kunjung keluar dari kamar sang anak.
"Naina.... " suara Rasti menggema di ruangan itu, setelah capek berteriak memangil menantunya tak ada jawaban. Ia memutuskan untuk menyusul nya ke kamar Romi, saat membuka pintu Naina sudah tergeletak dengan darah di bagian kaki mengalir.
Lalu Rasti menendang kaki Naina untuk memastikan perempuan itu pura-pura pingsan atau beneran, dan ternyata tidak ada respon dari sang pemilik raga. Rasti langsung memangil Rini, untuk mengecek keadaan Naina.
Selang beberapa menit Rini sudah sampai di kamar Romi.
"Ada apa sih, Ma... teriak-teriak terus"
"Coba kamu cek perempuan sialan ini, masih ada nafasnya nggak? " perintah Rasti terhadap sang anak.
Rini mengikuti perintah sang mama langsung mengecek bagian pernafasan.
"Masih hidup, Ma... tapi ini darah apa? " tanya Rini.
"Mana, Mama tahu. Coba kamu hubungi dokter keluarga untuk mengetahui darah apa ini, tapi kita angkat dulu ke atas tempat tidur agar mereka tidak curiga"
"Iya"
Rini langsung menghubungi dokter keluarga meminta untuk segera datang ke rumah nya.
Setelah selesai menghubungi dokter Ibu dan anak itu mengangkat Naina ke atas tempat tidur.
Setelah berada di atas tempat tidur Rini mengganti baju yang di kenakan Naina, agar dokter yang memeriksanya nanti tidak curiga dengan beberapa luka lebam di bagian tubuh Naina. Makanya di ganti dengan pakaian legan panjang, sebab pergelangan Naina juga bengkak. Sudah pasti banyak pertanyaan dari dokter yang memeriksa nya nanti.
Cukup lama mereka duduk di sofa yang ada di kamar, sambil menunggu kedatangan dokter. Setelah sekian lama menunggu akhirnya datang juga.
Rasti mempersilakan, dokter untuk memeriksa keadaan Naina. Dan memberi tahu bahwa ada darah yang keluar dari bagian ini, Ia bertanya kepada dokter apakah itu darah haid atau bukan
"Apa yang terjadi dengan menantu saya" ucap Rasti pura-pura sedih dengan keadaan Naina.
"Tunggu sebentar yah, saya akan periksa terlebih dahulu! "
"Lakukan yang terbaik, dok... Saya takut terjadi sesuatu dengan nya" ucap Rasti dengan menunjukkan wajah sedih untuk melancarkan rencana selanjutnya, agar tidak ada yang curiga.
"Apa dia terjatuh? atau sering mengerjakan sesuatu yang berat? " tanya dokter.
"Dia nggak jatuh atau melakukan pekerjaan, mana berani saya memberikan nya pekerjaan untuknya, Naina menantu di rumah ini bukan pembantu" ucap Rasti dengan raut wajah sedih, tetapi itu semua hanya palsu.
"Seperti nya dia keguguran, harus segera di bawa ke Rumah sakit untuk memastikan apakah sudah bersih atau harus di bersihkan lagi."
"Apa nggak bisa minum obat nya saja, saya nggak bisa menjaga nya nanti jika dia harus di rawat. dokter tahu kan Romi juga masih di rumah sakit"
"Harus di pastikan terlebih dahulu"
"Ini kenapa belum sadar juga? " tanya Rasti.
"Dia seperti nya terlalu lelah, wanita hamil seharusnya bahagia dan nggak boleh stres"
"Untung saja keguguran, nggak sudi saya punya cucu dari perempuan pembawa sial seperti dia" ucap Rasti sambil menatap lekat wajah Naina, bagi nya Naina itu hanya orang yang sudah membawa kesialan untuk hidup anaknya.
Setelah cukup lama dokter memeriksa keadaan Naina, dan perempuan itu tersadar dan mengelus perutnya yang masih rata. Sebab Naina sudah tahu bahwa ia sudah telat dua bulan, tetapi Romi belum mengetahui kehamilan dirinya. dokter yang melihat raut kesedihan di wajah Naina, langsung menggenggam tangan perempuan itu sambil tersenyum dan menatap lekat wajah pucat nya.
Hingga pada akhirnya dokter menerima panggilan darurat dan harus segera kembali ke rumah sakit. Lalu dokter berpamitan dan menyarankan agar di bawa ke rumah sakit,dan memberikan resep obat untuk Naina.
Rini mengantar hingga ke teras, setelah dokter itu pergi. Rini segera kembali ke dalam rumah dengan langkah cepatnya.
Beberapa detik kemudian.
"Apakah kita harus membawa nya ke rumah sakit? " tanya Rini terhadap sang Mama.
"Enak saja,buang-buang duit " kata Rasti dengan nada bicara yang judes. Setelah Berbicara seperti itu Rasti mendekat ke arah Naina dan menarik tangan nya agar terbangun.
Naina sudah berada di posisi duduk.
"Cepat pergi dari sini, jangan pura-pura sakit di hadapan ku"ucap Rasti sambil memberi isyarat agar Naina keluar dari kamar ini.
"Nggak bisa kah kalian membiarkan aku tenang sedikit saja, perut ku masih sakit dan lemas juga. Aku baru saja kehilangan calon anak ku, mengapa Mama nggak mengerti itu semua" kata Naina dalam batin.
Dengan semua kesakitan yang di rasakan, Naina memaksakan diri untuk berjalan keluar kamar. Meski rasanya tidak sanggup untuk berjalan.
*********
Satu minggu telah berlalu, Romi sudah di rumah
Naina sudah mendapatkan ancaman dari sang Mertua bahwa dia jangan memberi tahu Romi bahwa dia masih ada di rumah ini. Jika tidak menuruti semua keinginan dari Ibu Mertua, dengan berat hati dia harus pergi dari rumah ini. Meskipun merasa sakit bahwa dirinya di perlakuan seperti pembantu,ang harus siap mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus suami yang masih dalam keadaan belum bisa melihat.
Naina hanya bisa menatap lekat suaminya dari kejauhan sebab tidak di beri celah untuk mendekat ke arah suaminya. Bahkan Naina sekarang tinggal di kamar belakang layak nya seorang babu di rumah itu.
Pagi di mana Romi harus meminum obat, dengan penuh semangat Naina membawa nampan yang berisi sarapan dan jus Alpukat untuk sang suami. Dengan melakukan seperti ini dia sangat bahagia, beberapa hari lalu selama di rumah sakit tidak mendapatkan ijin dari sang mertua. Semoga setelah di rumah dia bisa mengurus suaminya.
Naina sudah berdiri di depan kamar Romi, dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Ia akan melangkah kan kaki, Akan tetapi langkah nya di hentikan oleh sang mertua. Dan memberi isyarat agar menjauh dari kamar Romi, dan mengambil alih nampan yang di pegang Naina.
Rasti pergi berlalu membawa nampan yang berisi sarapan untuk segera masuk ke dalam kamar sang anak, tetapi membiarkan pintu nya terbuka.
"Sayang ini sarapan dulu, udah mama masak kesukaan kamu dan ada jus alpukat juga. Pasti kamu suka" kata sang Mama dengan sura lembutnya.
Naina yang mendengar itu semua langsung membatin"andai kamu tahu, Mas... bahwa itu semua aku yang menyiapkan "kata Naina dalam batin sambil mengelus dada nya.
" Ma... Istriku ke mana? sudah satu minggu dia tidak ada. Apakah dia baik-baik saja"
"Dia baik-baik saja, hanya saja tidak perduli dengan kamu. Mungkin Naina nggak mau punya suami yang Cacat" kata sang Mama.
"Naina bukan perempuan seperti itu, aku sangat mengenalnya"
"Dia baik di saat kamu belum kecelakaan" jawab Rasti dengan nada kesal nya, dia berusaha untuk membuat Naina jelek di hadapan Romi ternyata susah.
"Aku tidak akan percaya, Bu... Jika belum melihat dengan mata kepala ku sendiri. Jadi ibu jangan coba untuk menjelekkan Naina di hadapan ku, dia itu istri yang baik"
"Di kasih tahu orang tua malah ngeyel" Rasti kesal dengan perkataan sang anak yang selalu membela Naina, padahal sudah membuat nya jelek di hadapan Romi tetap saja belum percaya.
"Sudah lah, Bu aku lelah mau istirahat... Keluarlah"
"Tapi nak... "
"Ma, tolong mengertilah...aku butuh sendiri" kata Romi sambil merebahkan tubuhnya dengan perlahan, dan menarik selimut yang masih menutupi kakinya. Sungguh ia tidak menyangka jika kecelakaan ini membuat nya kehilangan indra penglihatan.
Setelah mendengar perkataan sangat anak Rasti merasa putus asa, ia harus menyusun rencana lagi agar Romi bisa percaya apa yang di ucapkan nya.
"Tunggu pembalasan ku, menantu sialan... " ucap Rasti dalam batin sambil bangkit dari duduk nya, lalu pergi berlalu dari kamar Romi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!