NovelToon NovelToon

Pemilik Cinta

Awal Bermula

Andhira tidak menyangka akan berkenalan dengan seorang pria bernama Leo Atmaja yang ternyata bosnya sendiri di perusahaan tempatnya bekerja. Berawal dari sebuah kecelakaan, hingga pertemuan berikutnya terus berlanjut.

Mempunyai dua sahabat yaitu Vanya dan Ara. Mereka bertiga sama sama terpaut usia yang berbeda. Meski usia mereka terpaut setahun tidak membuat persahabatan mereka terhalang. Vanya yang paling tua, berusia dua puluh tiga tahun. Dhira sendiri baru saja diterima bekerja disebuah perusahaan garment besar sebagai staff administrasi, satu divisi dengan Vanya.

Ia sangat bersyukur dapat pekerjaan diperkantoran terkenal mengingat dirinya hanya lulusan diploma tiga. Sedangkan Ara sahabatnya masih kuliah masuk semester empat.

Cerita ini mengisahkan tentang perjuangan Andhira akan hidup dan cintanya. Perbedaan yang ada membuat hubungannya dengan Leo mengalami kesulitan. Makin rumit lagi tenyata keluarga Leo dan Ara berhubungan dengan masa lalu sang ibu yang bernama Amelia.

Ia berasal dari Lampung. Sangat jauh di pegunungan di kabupaten Lampung barat, Liwa. Ibunya hanya seorang petani kopi di daerah itu. Meski hanya memiliki sehektar tanah, dengan ketekunan mereka bisa hidup baik. Buktinya dirinya bisa kuliah hingga selesai dari hasil perkebunan itu.

Sekarang ini, ia sedang berusaha menabung untuk membeli rumah. Suatu hari ia akan mengajak ibunya hidup bersama di kota Jakarta. Sebab itulah, ia sangat tekun bekerja dan berhemat demi menyimpan selembar dua lembar uang pencahariannya.

Rintik rintik hujan membuat tidur Andhira disapa Dhira makin nyenyak. Rasa hangat dan nyaman membuainya hingga lupa waktu. Tidak biasanya ia terlambat bangun, tapi kali ini mimpinya tidak membiarkannya sadar walau hari sudah hampir jam tujuh tiga puluh.

Kring kring kring...

Ponsel miliknya beberapa kali berdering.

Sayup-sayup suara itu memasuki alam mimpinya. Makin lama makin jelas dan keras di gendang telinganya. Perlahan tubuhnya bergerak dari miring menjadi terlentang dengan guling tetap menempel padanya karena tangannya memeluk benda itu dengan erat.

"Isshhh...bersisik. Ada apa sih?" Dengan kesadaran yang masih pecah ia mengoceh namun enggan membuka mata. Serasa kelopak matanya ada lem yang begitu erat sehingga sulit untuk dibuka.

Dering ponselnya masih bernyanyi dengan keras.

"Astagaaaa...siapa sih yang menggangguku?" Tangannya meraba ke atas kepalanya mencari ponselnya yang sangat berisik.

"Halo..." Ucapnya begitu menekan ikon menjawab.

"Dhi, aku pergi ke kantor bersama Arga. Nggak usah jemput aku ya. Ingat ngisi bensin motor itu. Kemarin kayaknya tinggal dikit." Vanya berucap dengan cepat.

"Hm." Sahutnya dengan santai. Tapi tiba tiba ia terlonjak, langsung bangun dan duduk dengan mata terbelalak. "Apa? Kamu udah berangkat? Haduhhhh...mampus aku!" Jeritnya tanpa menghiraukan suara Vanya yang masih berbicara. Tanpa aba-aba, ia melempar ponselnya ke sembarang tempat dan berlari keluar dari kamar dengan handuk di tangannya.

Lima belas menit kemudian, Dhira sudah selesai dan bersiap berangkat. Untung ia bukan tipe gadis yang suka berdandan terlalu medok alias menor, sehingga waktunya bisa lebih singkat.

"Uhhh...untung ada motor Vanya. Aku bisa lebih cepat dari pada naik bus atau ojek." Ucapnya sembari menuntun motor bebek berwarna merah keluar dari teras kontrakannya. Ia menghidupkan motor dan mengisi bensin di depan rumahnya kemudian berangkat.

Ia menarik gas hingga habis, tidak sabar segera tiba di perusahaan. Ia takut terlambat. Apalagi dirinya baru diterima sebulan bekerja.

Di persimpangan, ia mengambil jalan lurus sesuai rambu lampu lalu lintas. Sudah lewat separuh jalan tiba tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kirinya. Hanya beberapa detik, mobil itu menghantam motornya.

Jantung Dhira berdegup keras menyadari mobil itu akan menabraknya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyerongkan stang motor ke arah kanan dengan laju cepat yang penting tidak terlalu telak di tabrak. Triknya berhasil, tapi sayangnya malah membentur mobil sebuah mobil.

Ia tergelincir terbawa motor, derit gesekan antara motor ke aspal terdengar mengerikan.

Beberapa pengendara memekik ketakutan melihat kejadian itu. Bahkan ada yang berhenti dan berbaik hati mendekati Dhira yang masih tergeletak di aspal dengan posisi motor mengapit diantara ke dua kakinya.

Begitu juga dengan yang punya mobil yang ditabrak oleh Dhira. Seorang pria berpenampilan rapi dan berpostur tubuh besar dan tinggi turun dari mobil dan mendekat ke kerumunan orang orang. Ia adalah Leo Atmaja yang sedang dalam perjalanan menuju kantor. Mengambil jalan kecil yang setiap hari di lalui Dhira karena ada urusan dengan seseorang di daerah itu.

"Ayo bantu! Sepertinya dia pingsan!" Teriak salah satu dari mereka.

Tapi diantara mereka tidak ada yang bergerak. Semua berdiam entah enggan atau takut.

"Begitu senangnya kalian menyaksikan orang mati!" Bentak Leo sembari menundukkan tubuhnya dan membuat motor berdiri. Hanya sekali angkat motor itu telah berpindah melepas Dhira yang masih tergeletak.

Dhira bergerak pelan. Ternyata gadis itu tidak pingsan. Ia hanya tidak bisa bergerak karena kakinya yang terjepit. Untung ia menggunakan helm sehingga bagian kepalanya tidak kenapa kenapa.

Leo membantu Dhira bangkit dan mendudukan gadis itu di batalan jalan.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Leo.

Dhira menggeleng pelan. Mungkin karena kepalanya masih dibebani helm sehingga berat.

"Tanganmu berdarah. Dan kakimu pincang. Anda perlu ke rumah sakit."

Lagi lagi Dhira menggeleng. "Hanya sakit sedikit."

Leo cukup terpengarah dengan suara merdu dari dalam helm. Ia kira wanita itu adalah ibu ibu yang sudah berumur. Ternyata dari suaranya ia bisa duga wajah dibalik helm itu masih muda bahkan sangat muda.

"Tanganmu berdarah."

"Hanya luka kecil. Aku harus bekerja." Dhira merapikan pakaiannya.

"Tidak bisa. Kalau kamu baik baik saja maka lihat bagaimana keadaan mobilku." Leo meminta pertanggung jawaban dari Dhira.

"Maaf?" Dhira mendongak. Terlihat wajahnya yang putih dari balik kaca helm.

"Kamu menabrak mobilku hingga rusak begitu. Mobil itu butuh perbaikan."

"Maaf...aku benar benar minta maaf. Aku tidak sengaja melakukannya. Itu karena aku hampir tertabrak sehingga terjadilah benturan itu."

"Tidak ada alasan apapun. Yang jelas menabrakku adalah kamu." Leo bertahan.

"Pak...aku hanya orang kecil yang tidak punya apa-apa. Jangankan untuk membayar kerugian mobil Bapak, untuk biaya berobatku saja aku tidak punya. Lihat kakiku bengkak" Dhira membuka sepatu pantopel dari kakinya dan menunjukkan kakinya yang memerah dan bengkak. "Ini juga tanganku luka. Aku mohon Pak, lepaskan aku, aku harus pergi bekerja, kalau tidak aku akan kena pecat." Suara memelas Dhira membuat Leo tidak bisa berkata-kata.

"Tidak bisa!" Leo ternyata tidak semudah itu dibujuk. "Setiap kesalahan harus dipertanggung jawabkan." Ucapnya dengan tegas.

"Pak...kasihanilah aku..." Dhira berdiri. Ia berjalan terpincang hendak melihat kerusakan mobil itu. Tapi baru tiga langkah ia tidak bisa berjalan lagi. Kakinya sangat sakit, serasa mau patah. "Auhhh..." Keluhnya sambil menahan rasa sakitnya.

"Jangan berpura pura! Barusan kamu bilang kamu baik baik saja."

"Hohhh...astaga. Jangan pancing aku marah! Ku bilang ini sangat sakit!" Teriak Dhira. Ia sama sekali tidak berbohong. Kakinya memang terkilir dan sulit untuk berjalan.

"Aku bingung mana yang benar. Dua alasan berbeda untuk menghindariku. Aku tidak bodoh. Jangan pikir kamu bisa lepas dariku. Dasar manusia pengecut, penipu!"

Dhira terpancing emosi. Dengan kasar ia membuka helm dari kepalanya. Nampaklah wajahnya yang cantik dan putih. Lengkap dengan mata sipit juga hidung mancung. Matanya menatap garang pada Leo dengan raut wajah marah.

'Em, ternyata dia masih belia.' dalam hati Leo memberi nilai dengan gadis yang baru dilihatnya itu.

"Aku bukan penipu atau pengecut! Katakan berapa aku harus membayarmu!" Dhira marah di anggap penipu. Ia paling tidak suka ada yang menganggapnya remeh.

Dering ponsel Dhira di dalam tas, mengalihkan perhatiannya. Dengan terburu-buru ia membuka tas dan mengambil ponsel tanpa sadar ID card miliknya terjatuh di aspal. Mata elang Leo langsung bisa mengenali kartu itu karena logo dan nama perusahaan yang tertera di kartu kecil itu. 'Andhira, nama yang unik. Simpel tapi bagus.' Leo mengomentari nama Dhira.

"Dhira kamu dimana?" Tanya Vanya begitu Dhira mengangkat telepon.

"Masih di jalan."

"Ini sudah jam masuk. Cepat! Bu Faris mencarimu!"

"Iya. Aku akan segera datang." Dhira menyimpan ponselnya kembali.

"Dengar Mas, Pak, Tuan, aku hanya seorang wanita miskin. Aku tidak punya uang. Kalau aku harus mengganti rugi maka akan ku bayar. Tapi untuk sekarang aku tidak punya apa apa. Aku akan mengumpulkan uang untuk membayarmu. Katakan dengan jaminan apa, agar aku bisa pergi sekarang." Ucap Dhira serius. Matanya menatap ke mata Leo menandakan ia tidak main main.

"Hm. Sudahlah. Lupakan saja. Aku bukan penindas atau manusia kejam."

"Benarkah? Oh terimakasih. Sekali lagi maafkan aku." Dhira mengatupkan kedua tangannya sebagai ucapan terimakasih, sehingga memperlihatkan punggung tangannya yang masih berdarah segar. Serta lengan kemejanya yang sobek sedikit dan kotor.

Ia mengambil helm dan memakainya kembali. Dengan kaki pincang ia menuju motor. Sambil berjalan ia memohon dalam hati. Agar motor itu dapat dipakai.

Setelah mencapai motor, ia menstater bagian menghidupkan motor namun tidak kunjung hidup. "Astaga...bagaimana ini? Apa aku naik ojek aja. Lalu motor ini ku apakan? Kalau kutinggal bisa hilang dan aku harus menggantinya untuk Vanya. Tidak...kau harus hidup. Hayolah!" Dhira berbicara pelan sambil terus memencet tombol start.

Tidak habis akal, ia menarik kaki kanan dan berniat mengengkol secara manual.

"Hassss...sakit!!!" Erangnya. Kakinya yang sakit makin sakit saat menginjak dengan kuat. Usahanya tidak menimbulkan efek apapun. Motor itu masih berdiam.

"Ini kartumu." Leo menyerahkan kartu bertali berupa kalung itu. "Tidak usah berangkat kerja. Itu lukamu makin banyak darah. Kakimu juga sepertinya memang keseleo!"

"Siapa kamu mengaturku? Sok tahu kerjaan orang. Dari pada dipecat lebih baik menahannya!"

"Diperusahaan manapun, ada izin untuk karyawan sakit. Kondisimu sudah termasuk sakit. Makanya pergi ke rumah sakit."

"Kalau tidak ada urusan lagi pergilah. Kamu hanya menggangguku saja." Usir Dhira. Ia kembali mengengkol motor tapi yang ada kaki kirinya malah terpeleset. Motor itu miring dan hampir terjatuh menimpa kakinya. Untung Leo segera menahan buntut motor sehingga tidak sampai terjatuh.

"Terimakasih."ucap Dhira ngos-ngosan dengan wajah memucat.

"Gadis keras kepala. Libur aja sehari atau dua hari agar lukamu sembuh dulu!"

"Hah! Nggak tahu aja kamu, gimana sintingnya atasanku. Aku bisa di cincangnya jika tidak masuk, kecuali aku sudah sekarat."

"Kondisimu sekarang sudah sekarat Nona. Lihat kakimu sudah ikut berdarah." Tunjuk Leo ke pergelangan kaki Dhira.

"Nggak usah mengaturku! Kalau mau bantu tolong antar aku atau hidupkan motor ini!" Bentak Dhira. Kesal campur khawatir membuatnya naik tensi.

"Ayo ku antar ke rumah sakit." Leo menarik tangan Dhira bermaksud membawa gadis itu ke mobilnya.

"Stop! Jangan pegang-pegang! Urusi urusanmu sendiri. Kenal nggak, sok akrab!"

"Hah terserah deh!" Leo berpindah ke sisi motor Dhira dan mengengkol motor. Sekali diinjak, motor itu hidup.

Dhira bernafas lega. "Coba dari tadi di bantuin, aku nggak akan semakin terlambat. Habislah aku di maki Bu Faris. Salah sedikit aja, wanita itu bisa mengamuk apalagi salah banyak. Bisa dimakan hidup-hidup aku." Dumel Dhira sambil menaiki motor bebek itu dan mulai menjalankannya. Suara berisik dari sayap dan body motor yang pecah berperang mengalahkan suara mesin motor.

Leo geleng kepala melihat Dhira yang tidak peduli dengan lukanya. Padahal, bisa dipastikannya perih dan sakit cukup lumayan dari luka itu. "Andhira... cewek aneh tapi lumayan tangguh." Ucapnya sembari masuk ke mobilnya dan berangkat kerja.

***

Sakit

Jam empat pun tiba. Sebagian besar para penghuni gedung tinggi nan luas itu, mulai pulang ke rumah masing masing.

"Vanya...kalau mau pulang, pulang aja. Nggak usah menungguku. aku masih agak lama ini."

"Nggak apa-apa. Pulang bareng aja. Arga lagi ada kerjaan jadi nggak bisa kencan."

"Terserah deh." Dhira terus saja mengetik. Sebenarnya ia sedang menahan diri agar tidak mengatakan soal rusaknya motor sahabatnya sebelum pekerjaannya selesai. Ia takut pembahasan soal motor menganggu pekerjaannya menjadi tidak selesai.

Jam lima tepat, Dhira selesai. Ia mengumpulkan berkas berkas menjadi satu tumpukan dengan urutan yang benar. Ia tahu betul atasannya Faris paling tidak suka dengan pekerjaan berantakan.

"Van...aku ke ruangan Bu Faris bentar."

"Oke. Aku tunggu di sini aja."

Setelah semua kertas berada diantara lengan dan dadanya, ia berdiri bersiap pergi.

Braaakkk bukkkk

Tiba tiba ia terjatuh dan menjatuhkan semua kertas hingga berserakan di lantai. Pergelangan kakinya begitu sakit dan tidak bisa untuk berpijak.

"Dhira, ada apa denganmu?" Vanya yang sedang bermain ponsel bangkit dan membantu Dhira bangun.

"Kakiku sakit Van, aduhhh...sakit banget. Ada apa dengan ini?" Suara Dhira tertahan karena menahan sakit yang luar biasa. Padahal dari tadi hanya cenat cenut sedikit dan masih bisa ia tahan. Apa yang terjadi, tiba tiba ia tidak bisa berjalan?

"Ayo Dhi, aku bantu bangun." Vanya menarik kedua pangkal tangan Dhira sekuat tenaga.

"Van, tolong kumpulin semua kertasnya. Buat berurutan. Dan wakilkan aku menyerahkannya pada Bu Faris."

"Kamu itu keterlaluan! Udah sakit begini masih aja mikirin pekerjaan. Biarin aja begitu. Besok ada kami temanmu yang mengerjakannya!" Vanya marah. Ia kesal dengan sahabatnya yang sangat keras kepala.

"Tanggung Van, aku mohon tolong aku. Atau aku akan kena marah lagi." Pinta Dhira dengan wajah memelas.

"Astaga! Jangan pasang wajahmu itu."

"Please...my cinta. Please...aku masih suka bekerja di sini." Dhira berusaha mengumpulkan kertas kertas sebisanya dari tempat duduknya.

"Hah...kamu ini paling nggak bisa dilawan. Yah udah, duduklah biar aku aja." Vanya berjongkok dan mengumpulkan kertas itu dengan cepat. Setelah semua terkumpul rapi, Vanya pergi meninggalkan Dhira.

Tidak lama kemudian, Vanya datang dengan wajah sumringah. "Beres. Bu Faris cukup puas. Beliau bertanya kenapa aku yang mengantar, ku bilang kalau kamu sakit. Beliau terlihat sedikit terkejut dan mungkin menyesal telah menghukum mu."

Sementara Dhira tidak seberapa mendengar perkataan Vanya karena rasa sakit di kakinya makin terasa dan rasanya panas seperti terbakar. Ia meringis sambil memegangi betisnya.

"Dhi, apa kamu bisa jalan? Kita ke rumah sakit aja. Ayo kita coba. Aku akan membantumu berjalan."

"Ah Van sakit banget. Akh...mana rasanya badanku panas."

Vanya memegang dahi Dhira. "Kamu demam! Hayo berpegangan ke bahuku kita turun."

Dhira mencoba berdiri dengan bantuan Vanya. Lagi lagi Dhira menjerit kesakitan. Wajahnya bahkan sampai memerah dan mengeluarkan keringat. Ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya.

"Coba kulihat!" Vanya menaikkan ujung celana Dhira. Kulit putih dibagian pergelangan kaki Dhira memerah campur kebiruan dan sudah membengkak. Perlahan dibukanya sepatu Dhira dan terlihatlah bengkak itu sudah sampai ke bagian punggung kakinya juga. "Parah ini Dhi. Bengkak parah dan terasa panas."

"Nggak usah pakaikan sepatu itu lagi. Takutnya nanti susah dilepas karena makin bengkak. Ayo bantu aku. Aku berjalan satu kaki aja." Dhira melompat dengan satu kaki.

Vanya menopang tubuh Dhira dan membawanya berjalan ke arah lift. Baru beberapa langkah Dhira tidak kuat lagi. Ia berhenti sambil membungkuk dan menekan kedua sisi kepalanya.

"Kepalaku sakit banget." Keluhnya dengan suara sarat dan berat. "Berhenti bentar."

"Iya. Tahan sedikit lagi ya. Kita akan turun." Vanya memegang bahu Dhira kuat kuat agar tidak jatuh.

"Ahhh...huhhh..." Keluh Dhira lagi.

"Atau ku panggilin orang aja ya, biar ada yang menggendong mu." Usul Vanya.

"Tidak usah. Ayo papah aku lagi."

Dengan tersendat-sendat kedua gadis itu menyeret langkah ke lift.

Lima menit kemudian, mereka sudah di loby perusahaan.

"Berhenti dulu Van, nggak tahan pusing. Semua terasa berputar."

"Iya. Itu ada tempat duduk. Kita kesana yuk!" Ajak Vanya. Ia menuntun sahabatnya.

Dari gerbang masuk, Leo baru saja tiba dengan mobilnya. Ia baru selesai makan malam dengan relasi papinya. Ia mampir ke kantor untuk mengambil berkas penting yang akan ia serahkan pada papinya di rumah.

Begitu turun dari mobil netranya menangkap dua sosok perempuan. Merasa aneh dengan cara berjalan mereka ia mendekat dan memeriksanya.

"Sedang apa kalian?" Tanyanya sambil menatap lekat pada dua gadis itu.

"Selamat petang Pak. Ini, dia sakit." Jawab Vanya.

"Sakit? Kenapa tidak di bawa ke rumah sakit?"

"Ini hendak saya bawa Pak." Suara Vanya tertahan karena sedang menahan beban tubuh Dhira. Entah kenapa ia merasa sahabatnya itu seutuhnya sudah menggelantung padanya. Berat dan tidak seimbang membuatnya oleng dan terjatuh ke lantai.

"Eee....ada apa?" Leo buru buru mundur beberapa langkah.

"Dhi! Dhira! Oh astaga dia pingsan. Dhi kita harus ke rumah sakit." Vanya menepuk-nepuk pipi Dhira yang sudah pucat pasi. Vanya membuka tasnya dan mengambil ponsel untuk memanggil taksi online.

"Biar ku antar ke rumah sakit."

Vanya terkejut dengan perkataan Leo. Ia tahu betul siapa Leo. Anak dari pemilik perusahaan yang sudah enam bulan menjabat sebagai CEO. Leo terkenal arogan dan tidak pernah berbicara dengan sembarang orang. Sudah enam bulan sebagai pemimpin mereka tapi pria ini belum pernah menunjukkan keramahannya.

"Apa? Maksudnya...?" Saking tidak percaya dengan pendengarannya, Vanya tidak mengerti maksud yang diucapkan Leo.

"Minggir. Biar aku yang gendong!" Leo tidak main main. Saat melihat wajah Dhira ia langsung teringat dengan gadis itu. Seharian bekerja dirinya seperti orang bodoh tidak bisa fokus bekerja karena bayangan wajah Dhira yang tidak bisa hilang dari pandangannya.

Sekali angkat tubuh Dhira sudah berpindah didepan dada Leo. Pemuda itu membawa Dhira masuk ke mobilnya. Vanya juga ikut.

Mobil melaju dengan kencang. Bahkan beberapa kali Leo membunyikan klakson memberi peringatan pada kendaraan lain memberi tahu dirinya akan menerobos.

"Pak, tolong pelan pelan aja. Takut terjadi kecelakaan."

"Pelan katamu? Itu temanmu hampir mati." Bentak Leo.

"Dia kuat Pak. Dia cukup tangguh meski dia wanita."

"Tangguh?! Dia itu keras kepala. Sok kuat tapi lihat sekarang, dia sekarat. Udah tahu kecelakaan ngotot aja masih mau kerja. Sekarang udah keok." Ejek Leo.

"Dia memang keras kepala Pak. Tapi dia sungguh hebat. Dia hanya sedang sakit aja." Vanya masih membela sahabatnya.

"Huh, terserahlah. Bawa turun temanmu itu. Sudah sampai." Ucap Leo tanpa menoleh sedikitpun.

"Terimakasih Pak." Vanya buru buru turun dan pergi ke pintu sebelah dimana Dhira duduk. Susah payah ia menurunkan Dhira tapi tak kunjung bergeser dari kursi mobil.

"Dhi ayo turun. Kamu berat sekali." Dicobanya lagi namun hasilnya tetap sama, Dhira tidak bergerak sedikitpun.

"Awas! Biar aku turunkan."

Vanya terlonjak kaget tiba tiba Leo ada di belakangnya. "I-iya Pak." Buru buru ia mundur memberi jalan.

Leo membungkuk dan memindahkan Dhira ke gendongannya. Dan membawanya masuk ke dalam UGD.

Vanya berlari kecil mengikuti langkah Leo sambil membawa tasnya dan milik Dhira.

Sementara Dhira di periksa, Vanya mondar mandir menunggu dokter keluar dari bilik pemeriksaan. Ia sangat khawatir, takut sahabatnya terkena penyakit serius. Pasalnya, Dhira paling kebal biasanya. Tangguh dan tidak mudah sakit.

Sedangkan Leo duduk dengan wajah tenang sambil berselancar dengan ponselnya. Terlihat santai namun aslinya ia juga menunggu kabar dari dokter. Ia penasaran apa yang membuat gadis itu sampai pingsan. Dan merasa ikut bertanggung jawab karena perihal kecelakaan pagi hari.

"Wali pasien Andhira!" Perawat memanggil.

"Saya temannya Sus." Vanya mendekat. "Bagiamana keadaanya?"

"Sudah sadar, tapi masih lemah dan sedang tidur. Pasien demam tinggi tapi merasakan dingin. Juga ada beberapa luka ditubuhnya. Apakah terlibat perkelahian atau diani..."

"Kecelakaan." Leo memotong kalimat suster itu.

"Oh, lukanya sudah dibersihkan. Tapi bagian pergelangan kakinya keseleo. Sendinya bergeser. Tapi tidak perlu khawatir, sebentar lagi akan ada dokter yang mengobatinya."

"Terimakasih Suster." sahut Vanya.

"Tapi, sekarang sedang pengambilan sampel darah pasien. Menurut gejala saat ini yang menyebabkan demam tinggi hingga pingsan ada dua faktor. Kemungkinan DBD atau tipes. Hasil lab sejam lagi baru keluar."

"Apa? DBD?" Vanya terkejut mendengar penjelasan akhir.

Suster itu mengangguk.

"Apa pasien bisa dilihat Sus?" Tanyanya lagi.

"Silahkan. Tidak lama lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan."

Vanya menyibak tirai dan masuk. Ia melihat Dhira yang terbaring lemah dengan wajah pucat seputih kertas.

"Dhi sakitnya jangan lama. Aku tahu, kamu paling benci sakit. Cepat sembuh ya."

"Nama kamu siapa?"

Vanya dikejutkan suara dibelakangnya. Ia berbalik dan ternyata Leo ada di sana.

"Pak Leo?"

"Namamu siapa?" Tanya Leo lagi. Suaranya begitu kaku dan sangat tidak enak didengar.

"Vanya Pak."

"Hm. Hubungi keluarganya. Dia sakit begini tentu harus ada yang menjaga dan mengurusnya selama dirawat."

"Dia perantau Pak. Orang tuanya jauh di kota Lampung sana. Saya tidak berani memberitahukannya. Saya takut ibunya kenapa-kenapa. Biasanya kalau Dhira sakit selalu merahasiakannya dari orang tuanya."

"Lalu bagaimana dengannya?"

"Biar saya aja Pak yang menjaganya. Sebelum dan sehabis kerja saya akan ke sini."

"Ya sudah kalau begitu." Selesai bicara Leo keluar di bilik itu.

Vanya duduk di sisi ranjang Dhira. Ia membenarkan selimut dan rambut sahabatnya yang berantakan.

"Sebaiknya kau pulang dulu membersihkan diri. Setelah itu baru ke sini lagi."

Vanya hampir terjatuh dari ranjang mendengar suara bariton di belakangnya. Ia sangat terkejut Leo lagi lagi muncul.

"Tapi Pak, dia belum dipindahkan. Bagaimana nanti kalau ada yang dibutuhkan."

"Biar aku yang menjaganya sementara kau pergi. Aku sedang menunggu seseorang juga di rumah sakit ini."

"Oh. Iya pak. Saya tidak akan lama. Saya akan pulang dulu sebentar." Walau agak janggal dihatinya, Vanya tidak berani protes. Ia pun pulang.

Leo masih berdiri di sisi raungan sempit itu. Ia menatap wajah Dhira yang tertidur pulas.

"Hahhh...hhhhh...hiks...ibu..."

Leo mendekat mendengar Dhira seperti mengatakan sesuatu.

"Hiks hiks ibu..."

"Hei, kenapa kamu menangis? Apakah sangat sakit?" Leo menyentuh dahi Dhira. Dan ternyata ia masih sangat panas.

"Ibu..." Dhira tidak membuka matanya tapi terus bicara.

"Huh dia mengigau. Hei! Bangun! Andhira!" Leo membangunkan gadis itu. Tapi Dhira masih terpejam dengan gelisah.

Leo menggoyang tangan Dhira agar bisa bangun. "Andhira, bangun! Kamu hanya sedang bermimpi."

Bukannya bangun, Dhira malah mengambil tangan Leo dan membawanya ke pipinya. Ditempelkannya telapak tangan lebar dan hangat itu ke pipinya dan mulai sedikit tenang.

"Andhira. Lepasin tanganku. Aku buka ibumu." Leo berusaha menyadarkan Dhira.

"Ibu jangan tinggalkan aku. Aku hanya memiliki ibu. Tolong tetaplah bersamaku." Dhira memindahkan tangan Leo ke atas dadanya dan memeluknya begitu dalam dan hangat.

Leo mendadak bagai tersengat listrik. Dadanya berdebar tak karuan. Saat telapak tangannya merasakan pipi Dhira yang mulus tapi panas sudah membuat jantungnya berdebar. Terlebih saat tangannya berpindah ke bagian dada Dhira. Darahnya seakan meledak merasakan getaran hebat yang membuatnya sangat gugup. Jantungnya benar benar serasa mau melompat dari dadanya.

"****! Gadis ini sangat konyol! Ngapain dia meluk meluk tangan orang! Hei! Bangun! Sadarlah apa yang kamu lakukan!"

Serangan Dari Orang Tak di Kenal

Tapi ucapannya sama sekali tidak mampu membangunkan Dhira. Ia malah tertidur lagi dalam lelap. Raut wajahnya terlihat sudah rileks, persis orang yang tidur tenang.

"Bisa mati aku! Ini jantung tiba tiba bermasalah." Rutuknya sembari menarik tangannya dari rangkulan Dhira secara perlahan.

"Hufffhh...berhasil. Hohh hohh...kenapa dengan dadaku. Ini tidak bagus. Entah kenapa pula aku paket sok baik tadi. Sekarang malah aku yang terkena masalah. Aku harus pergi. Ini tidak benar. Bisa gagal jantung aku kalau masih di sini terus." Ia keluar dari bilik itu. Tidak perduli lagi dengan keadaan Dhira, ia ambil langkah seribu meninggalkan rumah sakit.

"Permisi Pak! Bapak berpakaian jas hitam!" Suster jaga dibagian informasi menghentikan kaki Leo. Merasa yang disebut sang suster adalah dirinya.

"Iya. Ada apa Sus!" Leo berhenti dan memutar tubuhnya agar berhadapan dengan suster.

"Tolong tanda tangan walinya Pak. Pasien mau dipindahkan ke ruang perawatan. Agar proses pengobatannya segera dilakukan."

"Oh iya." Leo menandatangi berkas itu. Namun setelah selesai ia kembali merutuki dirinya. Menyesal dirinya yang menjadi walinya. Padahal masih ada Vanya yang bisa melakukan itu. Tanpa pikir panjang lagi ia pergi dari tempat itu.

Setengah jam kemudian, Vanya sudah datang bersama keluarganya. Dhira sudah dianggap anak oleh kedua orang tua Vanya.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dhira sudah bangun dan demamnya juga sudah berkurang.

"Udah mendingan Paman. Terimakasih udah datang menjengukku."

"Nggak usah sungkan. Kami adalah orang tuamu di kota ini. Bukankah kewajiban kami memperhatikanmu. Ini makan lah dulu. Tadi pamanmu membeli bubur ini." Ibu Vanya menyuapi Dhira.

"Terimakasih Bi." Mata Dhira berkaca kaca. Terharu dengan kebaikan keluarga Vanya. Betapa dirinya beruntung bisa mengenal mereka.

"Jangan sedih. Ada kami disini. Kami tahu ibumu tidak bisa datang. Makanya kami yang menggantikannya mengurusmu."

Dhira mengangguk. Bagaimana pun ia tidak akan tega memberitahukan ibunya keadaannya saat ini. Ibunya bisa kalang kabut dan yang lebih ditakutkannya adalah kesehatan ibunya terganggu. Lebih baik ia berusaha memulihkan diri agar bisa segera pulih.

Dua jam lamanya mereka berkumpul sambil mengobrol menemani Dhira. Setelah itu, orang tua Vanya pulang. Sementara Vanya menginap di rumah sakit menjaga Dhira.

"Pak Leo ternyata baik ya. Beliau mau turun tangan membantu karyawannya." Celutuk Vanya.

"Pak Leo? Siapa?" Tanya Dhira.

"Pak Leo. CEO di perusahaan kita."

"Oh. Kenapa emangnya."

"Kok kenapa emangnya? Dia yang telah membantumu bisa sampai ke rumah sakit ini. Padahal kalau dilihat setiap hari di kantor, dia itu sangat dingin. Jangankan bicara dengan para pekerja, membalas sapaan aja terlihat enggan. Tapi tadi, dia beda banget. Dia peduli dan mau repot repot menggendong mu."

"Biasa aja mujinya. Matamu menyala-nyala setiap memuji lelaki. Sadar, kamu sudah punya Arga!" Bentak Dhira.

"Siapa yang tidak memuja Leo Atmaja, Dhi? Dia itu pemuda paling tampan dan juga kaya. Ku dengar dia itu belum punya kekasih bagaimana kalau..." Vanya menaik-turunkan alisnya menggoda sahabatnya.

"Huh! Ku adukan kamu sama Arga. Lihat bagaimana Arga memarahi mu."

"Ihhh bukan untukku. Tapi untukmu! Aku akan membuat kalian menjadi pasangan. Bagaimana?"

"Hah! Ada ada aja. Bercandamu nggak lucu!"

"Serius. Setelah kupandang dan kulihat kalian sepertinya cocok." Vanya memeragakan tangan dan wajahnya seperti sedang menerawang.

"Stop bicara itu! Otakmu itu selalu mikirin yang aneh aneh. Diamlah! Aku mau tidur." Bentak Dhira. Sahabatnya ini paling tidak bisa diam, jahil dan cerewet.

"Hahaha...bercanda. Iyalah aku paham. Mana mungkin orang orang kaya sepertinya suka sama kita. Kita hanya diujung kuku mereka."

"Itu tahu. Lagian aku belum tertarik berpacaran. Masih banyak yang ingin kulakukan. Bekerja keras mengumpulkan uang itulah tugas utamaku."

"Iya. Tapi pacaran itu perlu Dhi. Banyak kok sisi positif punya pacar. Kita ada tempat refresing. Ada yang menemani, yang perhatiin, juga menyayangi."

"Yang kulihat semenjak kamu pacaran sama Arga, kamu malah sering marah marah, stres, ngambek belum lagi berantam. Menurutku itu hanya menambah beban hidup. Bukannya semangat kerja malah seperti orang putus asa kalau sedang galau."

"Itu biasa. Namanya bumbu cinta, Penguat cinta. Lihat aku sama Arga Setiap ribut pasti akan baikan lagi dan semakin mesra lagi."

"Halahhh...terserah! Aku mau tidur. Kalau mau pulang, pulang aja. Aku nggak apa-apa sendirian."

"Sahabat laknat. Dibelain ke sini buat nemenin, malah ngusir."

"Habis aku kesel, habis sudah uangku untuk berobat." Sungut Dhira.

"Astaga anak ini. Maksudmu, kamu mau bertahan dengan penyakitmu itu! Yang ada kamu tidak bisa mencari uang lagi. Aku tahu bagaimana pentingnya uang itu, tapi tetap nomor satukan kesehatan. Emangnya kalau sakit kamu bisa kerja?" Vanya marah.

"Nggak sih. Cuma sial banget baru gaji pertama udah dipake untuk berobat."

"Yang sabar. Siapa yang tahu nasib atau takdir seseorang. Tapi yakinlah, bulan depan juga masih ada gaji. Jadi jangan terlalu menyesal. Namanya penyakit harus di obati." Ia tahu Dhira memang belum punya tabungan seperti dirinya. Apalagi sahabatnya ini sekarang sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Bahkan gaji pertamanya sudah dikirimkan separuh ke kampung untuk biaya perobatan ibunya tiga hari yang lalu.

"Kalau uangku tidak cukup tolong pinjamin aku ya. Bulan depan ku bayar." Pinta Dhira dengan suara lirih.

"Tenang aja. Tanpa kamu omongin pun aku sudah tahu." Vanya memegang lengan Dhira. "percuma kita sahabat kalau tidak saling membantu."

"Makasih. Kamu memang sahabat terbaikku."

"Hem. Sudah istirahatlah. Biar cepat sembuh."

***

Selama seminggu Dhira dirawat akhirnya bisa pulang dan sudah sembuh. Dan yang paling membuat Dhira bahagia adalah uangnya yang tinggal sejuta tetap aman berada di dompetnya, karena yang membiayai seluruh pengobatan dan ganti rugi perbaikan motor Vanya adalah yang membuatnya celaka. Ternyata pria itu mengaku telah salah dan akan menanggung seluruh kerugian Dhira. Meski ia tidak sempat melihat si pelaku, tapi dalam hati ia bersyukur dan berterima kasih telah bertanggung jawab. Sesuai perkataan Vanya, yang mengurus semuanya adalah Leo sang CEO yang entah seperti apa orangnya. Ia belum mengenal lelaki itu.

"Van, karena aku sudah sehat tanpa keluar biaya, maka aku akan mentraktirmu. Mau nonton, atau makan, atau..." Saat pulang kerja Dhira mengajak Vanya.

"Nonton aja. Udah lama kita nggak nonton bareng."

"Oke. Tapi kamu nggak kencan apa? Malas kalau ada Arga. Aku terabaikan."

"Hahaha...sengsara juga kan? Makanya punya pacar, biar kita bisa jalan bareng."

"Nggak jadilah. Kapan kapan traktirannya." Dhira memilih mundur.

"Nggak. Arga lagi ke luar kota. Kita nonton berdua. Oke say..."

"Sungguh? Awas kalau bohong!"

"Suer. Malah udah empat hari dia perginya."

"Baru seru!! Yuk! Langsung atau mandi dulu." Tanya Dhira.

"Mandi dululah. Masa bau asem begini nonton. Nggak nyaman."

"Kita ketemuan di bioskop aja."

Mereka berpisah pulang ke rumah masing masing.

Dhira memanggil ojek yang sering mangkal di depan perusahaan untuk memberi jalan bagi karyawan yang tidak memiliki kendaraan sendiri.

Sebuah motor bebek mendekatinya dan memberinya helm.

Dhira memakai dan naik. "Ke perumahan melati pak. Depan pasar."

"Iya neng."

Melaju selama sepuluh menit, Dhira menyetop ojek karena merasa jalan yang mereka lalui salah.

"Pak, kenapa Simpang kiri? Pasar ada di Simpang kanan."

Pria yang membawa motor diam saja. Malah menambah kecepatan motor sehingga melaju bagai angin.

"Pak!!! Berhenti! Aku suruh berhenti!!!" Teriak Dhira. Ia merasa ada yang tidak beres.

"Diam!!!" Teriak pria di depannya.

Mendengar suara itu seperti sangat marah, Dhira memilih diam. Percuma ia berteriak karena bagaimanapun pria itu tidak akan berhenti.

Setelah tiba disebuah tempat yang lumayan sepi, motor itu berhenti. Dhira langsung melompat turun. Ia berdiri dengan tegak menunggu pria itu membuka helm.

Nampaklah seorang pria yang masih muda dari balik helm. Ia tidak mengenali pria itu.

"Apa-apaan ini? Kenapa membawaku ke sini?" Tanya Dhira dengan nada marah.

"Kau mau tahu? Baiklah. Karena kau akan ku bunuh!"

"Hah? Bunuh? Kamu pikir membunuh itu semudah mengucapkan. Siapa kau? Ada urusan apa dengan ku?" Sedikitpun Dhira tidak gentar. Ia malah menantang pria itu dengan wajah garang.

"Kurang ajar! Kau pantas dilenyapkan! Gara gara kau aku kehilangan banyak." Pria itu melayangkan tangannya menampar pipi Dhira.

Tapi Dhira menangkap tangan pria itu. Dicekalnya kuat lengan itu hingga membuat si empunya tangan menjerit kesakitan. "Jelaskan siapa kau dan apa tujuanmu!" Ia memelintir tangan pria itu. Matanya memancarkan kemarahan.

"Kurang ajar! Kau harus diberi pelajaran!" Tangan pria itu menarik rambut Dhira.

Bukkk

Merasa perlu bertindak, Dhira menendang perut pria itu. "Cobalah kalau berani! Lebih dulu ku patahkan tangan sama kakimu!" Dhira melayangkan tendangannya lagi ke dadanya.

Pria itu ambruk. Tapi tidak menunjukkan mengalah. Ia bangkit dan menarik sesuatu dari kantong jeans nya. Sebuah belati ditunjukkannya untuk mengalahkan Dhira.

"Begitu senangnya kau menikmati uangku! Kau harus membayar semua kerugian ku. Aku tidak rela!" Teriak pria itu sembari berlari menghunuskan belatinya ke arah Dhira.

"Masih terang begini kau sudah mabuk. Uang apa yang kau bicarakan?" Setelah bicara Dhira maju tiga langkah dan menyepak pipi pria itu.

"Bang*at! Gara gara kamu aku kehilangan segalanya. Aku tidak rela! Uangku habis untuk kalian berdua! Dasar lintah. Kalian menikmati uangku tanpa ragu ragu! Sekarang aku tidak akan mengampuni mu!"

"Heh! Sadar bung! Apa yang kau bicarakan? Uang apa?" Dhira bertanya. Ia bingung dengan maksud pria itu.

"Kamu hanya celaka sedikit! Itupun penyakitmu bukan akibat dari kecelakaan. Kalian memerasku! Lima ratus juta itu tidak sebanding!"

"Lima ratus juta? Aku tidak mengerti apa maksudmu!"

"Diam!!! Kembalikan uangku! Atau mati saja."

"Heh! Coba aja kalau berani!" Tantang Dhira. Sekarang ia sudah mulai mengerti apa yang dimaksud pria itu.

"Wanita berengsek!" Pria itu berlari dengan belati ditangannya dan menghujam ke dada Dhira.

Tapi lagi lagi si pria terpental mundur oleh kaki Dhira yang kuat. Tidak sedikitpun ia memberi jarak padanya untuk melukai dirinya. Tidak hanya di situ, ia juga mengkarate sekaligus menendangnya hingga membuatnya terkapar di tanah.

"Jangan sok belagu kuat! Pakai otakmu! Ganti rugi yang kau bayar bukan hanya untuk biaya perobatan rumah sakit. Tapi juga ganti rugi motor dan mobil seseorang." Dhira menginjak dada pria itu.

"Tidak mungkin habis sebanyak itu. Dasar kalian bersekongkol memerasku! Itupun tidak cukup aku dipecat dari tempatku bekerja! Siapa yang terima diperlakukan begitu? Soal kecelakaan aku sudah bertanggung jawab, tapi kenapa harus memutus mata pencaharian ku!!!" Teriak pria itu seperti orang kesetanan. Emosi juga rasa sakit dari tekanan kaki Dhira membuatnya hilang akal.

"Perihal itu aku sama sekali tidak tahu-menahu. Kau salah orang menyerangku." Dhira melepaskan kakinya dan pergi dari tempat itu. ia berjalan kaki hingga ketemu ojek lagi.

***

Dering ponsel Dhira entah sudah berapa kali berbunyi. Ia tidak menjawab panggilan dari Vanya karena ia tahu sahabatnya pasti akan berteriak teriak padanya karena belum juga tiba di mall tempat mereka menonton. Ia terus saja berganti pakaian hingga selesai dan segera naik ojek ke mall.

"Alangkah lamanya kamu ini! Aku sudah menunggu setengah jam di sini." Vanya langsung menyambut Dhira dengan ocehannya.

"Ada masalah tadi. Selesaikan dulu baru ke sini. Sabar dong, ini juga kan filmnya belum mulai."

"Iya sih. Cuma kesel kayak orang gak laku dari tadi."

"Oke. Sekarang kita beli tiket. Dan masuk bagaimana?"

"Iya. Aku akan beli minuman dan pop corn." Vanya langsung adem.

Setelah mendapat tiket, mereka masuk dan bersiap menonton. Mereka berdua sama sama suka genre action. Jadi, bisa menikmati bersama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!