NovelToon NovelToon

A Bride For The Legendary Bestial

Bab 1: Nasib Sial

Kirana berjalan cepat di lorong, kedua tangannya penuh membawa cup holder berisi aneka macam kopi. Ia mendorong pintu kaca dengan pundaknya, lalu mulai berkeliling membagikan kopi itu ke setiap meja yang ada di ruang redaksi.

“Americano buat Mas Fajar,” ucapnya sambil meletakkan minuman dengan cup berwarna hijau di meja. Pria berkacamata bernama Fajar itu tidak mengacuhkan Kirana, ia tetap asyik mengobrol dengan rekannya.

Kirana mendengkus. Setidaknya bilang terima kasih, kek! Batin gadis itu.

Ia menyerahkan kopi terakhir kepada Pak Nanang—Pemimpin Redaksi HCC News—tempat Kirana melakukan internship saat ini. “Silakan pak, caramel macchiato less sugar, less ice, size large dengan extra soymilk.”

Nanang melirik Kirana yang sedang mengelap peluh di dahinya. Sudah genap sebulan mahasiswa tahun ketiga itu berada di sana. Setiap hari, ia diminta membelikan kopi untuk para Asisten dan Redaktur, sampai-sampai ia hafal pesanan favorit dari mereka semua.

“Eh, jangan keluar dulu!” Kirana menghentikan langkah kakinya, ia berbalik dan menutup kembali pintu ruang Pemred.

“Ada apa Pak?” tanyanya.

“Kamu sadar gak sih?” tanya balik Pak Nanang.

Kirana mengerutkan dahi, “Sadar apa ya, Pak?”

Pria itu meringis, “Aduh, sudah kerja tidak becus, tidak peka pula!”

Kirana makin dibuat bingung. “Apa pesanan kopinya ada yang salah?”

Pak Nanang geleng-geleng kepala. “Baru kali ini saya menerima mahasiswa internship sepayah kamu, kerja lamban, banyak salah, sampai semua orang bingung harus ngasih kamu kerjaan apa!”

Seperti ada benda tajam yang mengiris hati Kirana. Ia sering mendengar atasan lain memarahinya, tetapi rasanya tidak ada yang semenyakitkan kalimat Pak Nanang. Pria itu melanjutkan, “Kamu gak protes kenapa mereka nyuruh kamu beli kopi setiap siang?”

Kirana menggeleng. “Sa-saya senang membantu kok, Pak,” suara yang keluar dari mulutnya bergetar, menahan tangis.

“Itu karena kami gak mau kamu hadir dan cuma diam saja di depan komputer! Tapi, kalau kita kasih pekerjaan editorial atau mengumpulkan berita, pasti hasilnya gak bener! Malah bikin orang kerja dua kali benerin hasil kerjaan kamu!” Pak Nanang tampaknya sudak tidak bisa menahan emosinya. Ia mulai meninggikan suaranya dan membentak-bentak Kirana.

Jantung gadis itu berdebar, sudah lama ia tidak mendengar suara teriakan laki-laki. Ia memegangi dadanya, sementara tangan satunya meremas ujung baju. Ia berusaha keras menahan air matanya jatuh, walau dadanya mulai sesak karena tidak nyaman berada di dalam ruang berukuran 3x3 meter itu.

Sesi evaluasi dadakan itu berlangsung kurang lebih lima belas menit. Kirana keluar dari Ruang Pemimpin Redaksi, beberapa pasang mata yang kedapatan meliriknya buru-buru memalingkan wajah. Beberapa dari mereka tampak tidak peduli dan terus melanjutkan kerja.

Napas Kirana masih tersengal-sengal, padahal ia tidak habis berolahraga. Tetapi, adrenalin mengalir deras di dalam dirinya, membuat ia menjadi lebih berani daripada biasanya.

“Sudah cukup! Aku keluar dari sini!” teriaknya, tiba-tiba. Mengagetkan semua orang, termasuk Jessie, teman sejurusannya yang juga intern di kantor tersebut.

Tanpa menunggu reaksi atau respon dari seorang pun disana, Kirana berlari ke mejanya, menyambar tas ranselnya dan berjalan keluar ruangan.

Kepalanya muncul lagi dari balik pintu, “Surat pengunduran diri aku kasih besok!”

Kirana berhenti di depan pelataran gedung kantor tersebut. Ia berbalik, hatinya mulai ragu. Ia sebenarnya menyayangkan keputusan gegabah yang dibuatnya beberapa menit lalu. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu tadi, sesalnya.

Ia memang kesal dengan perlakuan semua orang di kantor, ditambah Pak Nanang yang hanya bisa memaharaninya tetapi tidak mau memberi arahan sama sekali.

“Ah, aku kehilangan kredit buat ditransfer ke SKS,” gerutunya sambil berjongkok di sana. Ia mengacak rambut hitamnya yang panjang dan lurus, merasa frustasi.

Susah payah ia mengurus perizinan ikut internship dan malah berakhir seperti ini. Padahal seharusnya ia berpartisipasi minimal selama tiga bulan.

Tiba-tiba, Hp di jaketnya bergetar, Kirana buru-buru mengangkat panggilan telepon dari Aryan, teman sejurusan sekaligus pacarnya.

“Hei, aku dapat kabar dari Jessie katanya kamu ada masalah di kantor?”

Tangis Kirana langsung pecah ketika mendengar suara kalem dari kekasihnya. “Aku sebel sama mereka semua!”

“Iya, iya, tenang dulu, nanti malam kita ketemu oke? Kamu boleh cerita sepuasnya, sekalian ada hal penting yang mau kuceritain juga,” ujar Aryan, tenang.

Kirana mengelap ingus dan air matanya, “Ya udah, mau dimana?”

“The Night Stellar, aku ada teman magang disana, nanti aku minta dia yang buat reservasinya,” balas Aryan.

“Oke, makasih babe. See you.”

“See you, take care, ok?”

“I will.” Telepon dimatikan oleh Kirana. Suasana hatinya membaik karena ajakan makan malam dari Aryan. Untung aku masih punya pacar yang pengertian dan selalu ada buatku, batinnya penuh rasa syukur. Mungkin perjalanan karirnya memang apes, tetapi tidak dengan kisah romansanya.

...***...

The Night Stellar adalah restoran yang baru diresmikan sebulan lalu, popularitasnya meledak karena review dari para selebgram dan food vloger. Kirana termasuk salah satu orang yang fomo dengan restoran tersebut dan baru hari ini bisa merasakan makanan di tempat tersebut.

Dua piring diangkat oleh waiter sementara hidangan penutup segera diantarkan ke meja tersebut. Kirana menikmati dessert cake coklatnya sambil menceritakan semua penderitaan yang dialaminya selama internship. Aryan yang mengenakan setelan formal biru terang di depannya sesekali tertawa melihat ekspresi lucu yang dibuat oleh pacarnya itu.

Aryan akui, Kirana sangat cantik malam itu. Ia mengenakan dress biru tua selutut, rambut hitamnya diikat ke samping. Kesan elegan muncul dari gaya berpakaiannya yang simpel. Namun, Aryan menjadi merasa tidak enak, itu berkaitan dengan hal yang ingin ia sampaikan. Laki-laki itu sedang menunggu momen yang tepat.

“Ya ampun, ingin kucakar-cakar muka dia rasanya! Mana kalau order kopi selalu yang paling ribet minta ini itu,” Kirana menutup ceritanya sambil menyilangkan tangan ke dada. “Ih, jangan ketawa!”

“Haha, ya maaf,” Aryan berdehem. “Terus, rencanamu selanjutnya gimana?”

“Nah itu, aku juga bingung,” gadis itu mendesah. “Cepat atau lambat pihak kampus pasti memanggilku karena kejadian ini.”

Kirana memperhatikan wajah Aryan yang tampak melamun. “Lagi mikirin apa?”

“Ah, enggak, itu, anu..,” pemuda itu gelagapan. “Toilet, mau ke toilet sebentar. Haha.” Ia tertawa garing sembari meninggalkan meja.

Kirana hanya tersenyum simpul. Selepas Aryan pergi, ia melihat layar Hp pacarnya itu menyala. Ada chat masuk. “Sibuk amat malem-malem ada yang chat, hihi.” Penasaran, Kirana mengintip chat yang tampil di layar tersebut.

Jessie:

[Kamu udah bilang mau putus ama dia?]

[I miss you, nanti aku mampir ke tempatmu ya abis selesai dinner sama Kirana]

[Btw, bajuku yang ketinggalan jangan di laundry ya, nanti aku ambil sekalian]

Mata Kirana membulat saat membaca pesan tersebut. Seketika tubuhnya menjadi lemas, gelas bening ditangannya tergelincir dan jatuh ke lantai, mengejutkan orang-orang dan pelayan yang hilir mudik di sekitar mejanya.

Aryan selingkuh dengan Jessie? Sejak kapan? Kenapa aku tidak pernah sadar?

Seperti terbangun dari mimpi yang sangat panjang, Kirana bingung apakah ini hanyalah ilusi atau kenyataan. “Mereka bercanda kan? Atau ini setingan untuk memberiku kejutan? Hahaha,” Ia menggaruk kulit kepalanya, cemas.

Belum sembuh rasa sakit dari cacian atasannya, dadanya kini remuk saat mengetahui soal perselingkuhan tersebut. “Jadi ini hal penting yang mau dia diceritain, haha.” Kirana tertawa getir.

“Maaf ya, aku lama di toilet,” suara Aryan seperti menarik wajah Kirana dari dalam air. Napas gadis itu memburu, matanya menatap Aryan dengan penuh amarah.

“Kamu mau putusin aku, iya kan?”

Aryan melotot saking kagetnya. Seketika ia menyadari chat dari Jessie terpampang di layar gawainya. Ia gelagapan lagi, tuduhan Kirana tepat sasaran. Belum sempat Aryan menjelaskan, Kirana bangkit dan menggebrak meja.

“Laki-laki berengsek! Kamu selingkuh ternyata selama ini dengan sahabatku sendiri!” Terlanjur emosi, rasanya tidak puas kalau Kirana hanya memaki laki-laki yang kini memasang wajah mengiba itu.

Kirana mengambil gelas berisi air mineral di depan Aryan lalu menyiram wajah laki-laki itu. “Kamu gak boleh mutusin aku! Aku yang mutusin kamu! Kita putus!” Setelah berkata seperti itu, Kirana pun meninggalkan meja.

Aryan yang masih syok karena disiram, buru-buru bangkit dan mengejar Kirana. “Tunggu, Kirana! Bayarnya split bill! Ini aku yang bayar semua? Hei!”

Kirana tidak mau dengar dan tidak peduli. Mampus, bayar sana pakai uangmu sendiri! Dadanya terasa sangat sesak, pelupuk matanya sudah berat membendung air mata.

“Aryan jahat! Semua laki-laki jahat! Jahat! Jahat!” serunya.

Ia sesugukan di pelataran depan restoran sambil menunggu taxi online datang. Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, dibawah kaki Kirana muncul garis lingkaran yang bersinar. Simbol-simbol didalam lingkaran itu menyala, cahayanya menyelimuti tubuh gadis itu.

“Apa ini? Kyaaaa!”

Kirana menjerit saat seluruh pandangannya berubah menjadi terang benderang, ia menutup mata. Sayup-sayup suara kendaraan mulai menghilang.

Ia tidak tahu apa yang terjadi. Kakinya seperti berada di dalam air yang mengalir. Angin yang berhembus terasa menyejukkan. Terdengar suara gemericik air sungai dan sahutan burung-burung. Rasanya, seperti sedang tidak berada di Jakarta.

Begitu ia membuka mata, Kirana terkejut saat mendapati dirinya berada di tempat antah berantah. Ia berdiri di tengah sungai dangkal yang jernih. Di hadapannya terbentang hutan lebat. Kirana menengadah, di langit tampak cerah berwarna biru seperti lukisan. Padahal hari masih gelap saat ia keluar dari The Night Stellar.

“Kenapa aku ada disini?” Ia menoleh ke sekeliling, kebingungan.

Ia mencoba untuk berjalan ke tepi sungai, tetapi heels-nya terjepit diantara sela batu dan gadis itu langsung jatuh tercebur. Ia mengangkat wajahnya yang basah kuyub, “Hah! Bukan mimpi! Kalau ini mimpi harusnya aku bangun saat jatuh!”

Kirana tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi pada dirinya, tetapi ia harus ke tepi sungai dulu. Ia melepas heels-nya dan berjalan telanjang kaki sampai ke tepi sungai.

Saat ia duduk di atas sebuah batu besar untuk beristirahat sejenak, ia mendengar suara kepak sayap yang mendekat. Kirana menoleh ke atas, matanya membelalak melihat tiga pria dengan sayap terbang ke arahnya.

Salah satu diantara mereka berteriak, “Tangkap dia!”

Bab 2: Suku Falco

“Lepaskan aku!” Kirana berontak ketika dua dari pria bersayap itu memegangi kedua tangannya sementara pria satunya lagi melemparkan jaring besar padanya.

“Ah! Aromanya enak sekali, aku belum pernah melihat spesies seperti ini sebelumnya,” ucap salah satu dari mereka, air liur menetes dari pinggir bibirnya.

“Dia terlihat seperti salah satu penduduk Suku Pongo,” balas rekan satunya sambil mengikat mulut jaring agar Kirana tidak bisa keluar dari sana.

“Huh, bau para kera itu tidak ada yang sewangi ini!”

Kirana tidak mengerti apa yang mereka perdebatkan, tetapi energi untuk melawan sudah habis. Ia terjatuh kelelahan di dalam jaring besar tersebut. Dua dari pria bersayap itu mengangkat tali jaring dan membawanya terbang bersama mereka.

Saat ketiganya terbang makin jauh, sepasang mata berwarna emas mengintip dari balik semak-semak. Ia mendecih karena target yang diincarnya diambil. Pemilik mata emas itu pergi dari tempat persembunyiannya, mengikuti jejak aroma yang ditinggalkan gadis itu.

...***...

Kirana berpegangan pada tali-tali jaring, memandang ngeri hamparan hutan dari atas langit. Perutnya mual karena terguncang-guncang di udara. Ia harus mengalihkan pikirannya agar tidak muntah.

“Apa nama tempat ini?” tanya Kirana. Ia yakin tadi bisa mengerti ucapan mereka, seharusnya mereka juga bisa memahami bahasa Kirana.

“Berani sekali kamu masuk ke wilayah yang tidak kamu ketahui,” jawab pria dengan sayap putih, “Kamu berada di Rock Cliff Rainforest, wilayah kekuasan Suku Falco.”

“Dimana itu Rock Cliff Rainforest?” tanya Kirana lagi, kepalanya berusaha menggali informasi dari ingatan materi geografinya yang terakhir dipelajari saat SMA. Apakah ini suatu tempat di Amerika Selatan?

“Hahaha! Sepertinya kepala dia terbentur batu sungai sampai lupa ingatan!” Pria bersayap hitam yang memegang tali jaring tertawa keras. “Hei, kita hidup di Forest Region, apa perlu ku pecahkan dulu kepalamu agar ingat lagi?”

“Jangan ngawur, bagian kepala hanya untuk Kepala Suku, pelayan sepertimu mah dapat ujung jari kakinya juga sudah senang! Hahaha!” ejek kawannya.

“Ah, otaknya pasti enak sekali, beruntungnya Kepala Suku,” air liur menetes lagi dari sela-sela bibir pria bersayap putih.

Kirana merinding mendengar dialog mereka. Aku akan dijadikan makanan mereka? Bukankah itu kanibalisme? Tetapi, mereka juga sepertinya bukan manusia. Ia ketakutan membayangkan tubuhnya akan dipotong-potong, apalagi jika dalam keadaan hidup.

Ketinggian terbang mereka menurun seiring terlihatnya kumpulan tebing-tebing batu besar. Jika Kirana perhatikan, tebing-tebing itu memiliki lubang-lubang yang merupakan pintu untuk rumah-rumah di suku Falco. Jembatan kayu membentang antar satu tebing ke tebing lain, tampak beberapa wanita, pria dan anak kecil berlalu lalang di sana.

Sementara itu, di langit sekitar tebing, banyak orang-orang bersyarap yang terbang memutar dalam rute tertentu, seperti petugas patroli.

Ketiga orang yang menangkap Kirana turun di salah satu tebing, mereka menghampiri pria bersayap lain yang tampak seperti penjaga tempat tersebut. Tubuhnya berotot tanpa atasan, hanya kain kulit yang menutupi pinggang sampai ke pahanya.

Mereka mengingatkan Kirana dengan manusia primitif yang hidup di jaman dulu. Pakaian dari kulit binatang dengan warna dan corak sederhana. Beberapa orang dengan status sosial lebih tinggi biasanya memiliki hiasan lebih seperti mahkota atau jubah yang tampak lebih mewah.

Sebagian besar prianya hanya mengenakan bawahan, sementara yang wanita hanya mengenakan penutup di dada dan pinggul mereka. Anak-anak kecil bahkan berkeliaran tanpa sehelai benang pun.

“Perkampungan yang aneh,” gumam gadis itu sambil mengamati sekitarnya.

“Dia tidak terlihat dari Suku Pongo,” ucap penjaga itu, ragu dengan keterangan ketiga pria yang menangkap Kirana.

“Sudah kubilang tadi ke mereka, aromanya juga berbeda,” timpal pria bersayap putih yang langsung disikut oleh rekannya.

“Benar, dia kelihatan lezat,” penjaga itu setuju. Tanpa sadar ia menelan ludahnya, menahan hasrat dan rasa lapar yang menjalar di dalam dirinya saat memandangi Kirana dari atas kepala sampai kaki.

“Bawa dia ke dalam, aku akan panggil Oracle untuk mengeceknya,” perintah penjaga itu.

Mereka menjebloskan Kirana ke sebuah sel yang terbuat dari kayu. Disana, ia duduk di bagian yang menjorok ke sudut ruang. Mata Kirana dapat melihat keadaan di dalam dengan jelas walau sumber penerangannya hanya obor-obor api dan cahaya yang menembus lubang-lubang di gua batu itu.

Tidak lama kemudian, seorang wanita tua dengan sayap abu-abu panjang sampai menyapu lantai masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh pria dengan hiasan kepala meriah dan kulit hewan yang dikenakan seperti jubah. Kirana bisa menebak kalau kedua orang itu punya posisi penting di suku tersebut.

Wanita itu mengenakan pakaian kulit yang menutupi seluruh tubuhnya dari leher sampai mata kaki, ditambah aksesoris jubah bercorak dan topi dari tulang yang dihias aneka macam bulu warna-warni.

Kirana merinding saat mata tajam wanita itu menelisiknya. Wanita itu berjalan ke tengah ruang, berjinjit lalu mulai melakukan tarian ritual sambil memainkan aksesoris tengkorak di kedua tangannya.

Kedua tangannya gemetar saat tengkorak itu mengeluarkan sinar berwarna keunguan, matanya terbuka lebar menatap ke arah langit-langit. Seperti mendapatkan suatu jawaban, ekpresinya berubah, lalu ia bersujud di lantai. “Oh, Dewa! Kau telah mengirimkan kami jawaban!”

Oracle—mereka menyebutnya—wanita itu melangkah tertatih ke pinggir sel, menatap Kirana seperti melihat harta karun yang tak ternilai.

“Engkau telah dipilih Dewa untuk datang kesini,” ucapnya.

“Maksud anda?” Kirana menatapnya bingung.

“Kau adalah manusia.”

Kirana terdiam. Tarian ritual yang rumit dilakukan hanya untuk mengatakan kalau Kirana adalah manusia. Sungguh diluar ekspetasi gadis itu. Tetapi ia semakin heran saat melihat tatapan berbinar dari pria di sebelah dukun itu.

“Setelah sekian lama, akhirnya masalah di desa kita bisa teratasi,” ucap pria itu.

“Kepala Suku, kita harus mengadakan upacara malam ini, kabari seluruh penduduk desa,” perintah Oracle kepadanya.

Kirana tiba-tiba menyela, ia tidak bisa membendung rasa penasarannya. “Memang kenapa kalau aku manusia?”

“Manusia adalah mahluk yang istimewa,” Oracle menerangkan. “Menurut para leluhur, manusia terakhir terlihat 500 tahun lalu di dunia ini, ia datang di sebuah suku, membuat desa itu menjadi subur, melahirkan anak-anak Bestial yang kuat.”

“Lalu apa yang terjadi dengan manusia itu?” tanya Kirana.

“Manusia memang menakjubkan, tetapi umur mereka pendek, tidak seperti para Bestial yang bisa meraih keabadian dengan berevolusi,” kata dukun itu.

Begitu, jadi dia mati karena faktor usia, batin Kirana. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang ganjil dari cerita tersebut. “Kau bilang dia melahirkan?”

Oracle tersenyum lebar, sepertinya pertanyaan itu berkaitan dengan tujuannya. “Tentu saja, itu adalah tugas utama manusia di dunia ini, melahirkan banyak anak-anak Bestial yang kuat agar bisa menjaga keberlangsungan seluruh desa.”

Kirana tercekat, ia kini paham. Manusia tidak lebih dari sekedar pabrik anak di dunia ini. Ia tidak bisa membayangkan seumur hidupnya dihabiskan untuk dihamili lalu melahirkan, berulang-ulang sampai akhirnya ia mati di usia tua.

Gadis itu beringsut mundur, ketakutan jelas terpancar dari dua bola matanya. “Kumohon, jangan jadikan aku seperti itu,” pintanya pada Oracle. “Ingat, aku manusia, aku mamalia dan kalian tampaknya seperti bangsa sejenis burung, itu tidak mungkin kan? Manusia tidak bertelur!”

Oracle tertawa. “Leluhur kami sudah membuktikan kalau itu bisa,” balasnya. “Aku harap kau mau bekerjasama Kirana, desa ini sudah lama sulit menghasilkan keturunan, hasil perkawinan tidak banyak yang berhasil, kau adalah satu-satunya harapan untuk keberlangsungan di desa ini.”

“Tidak! Aku tidak mau!”

Bab 3: Melarikan Diri

Kepala Suku dan Oracle sudah pergi sejak berjam-jam lalu, meninggalkan Kirana seorang diri di dalam kurungan kayu tersebut. Gadis itu duduk bersandar pada tepi kurungan, lelah karena sejak tadi berusaha membebaskan dirinya tetapi gagal.

Ia menatap jijik daging mentah di atas piring dari tanah liat. Mereka meninggalkan makanan itu untuknya, tetapi Kirana tidak makan daging mentah. Darah segar masih menetes dari ujung daging tebal tersebut, bau anyirnya tercium oleh hidung Kirana, membuat gadis itu mual.

“Oh iya! Tasku!” Ia seketika teringat dengan tas kecilnya yang masih tersampir di pinggang. Saking takutnya dengan Oracle dan Kepala Suku, ia sampai lupa mengecek tasnya.

Ia membuka benda berwarna hitam tersebut, ada Hp, lipstik, bedak, parfum dan dompet berukuran kecil berisi KTP dan kartu ATM. “Di tempat seperti ini mana mungkin ada mesin tarik uang,” gumamnya, merasa konyol sendiri saat mengecek satu per satu barang bawaannya.

“Kalau handphone...,” Ia tidak berharap banyak. “Mana ada sinyal disini, haha,” Kirana tertawa miris saat melihat bar sinyal di Hp-nya kosong. Ia membanting tas itu ke ujung sel, merasa barang bawaannya tidak ada satu pun yang berguna.

Ia memeluk lutut sambil membenamkan kepala, untuk sesaat, ia merasa ingin menyerah dan pasrah saja. Ia membayangkan saat ini seharusnya sudah sampai di kosan, mandi dengan air hangat lalu berguling-guling di kasur yang empuk. Ia merindukan kasurnya. Lantai batu dibawahnya dingin dan kasar, ia tidak suka.

“Aku tidak mau kawin dengan mahluk-mahluk aneh ini,” Kirana bergumam. Ia membayangan dirinya masih terlalu dini untuk melahirkan. Yang lebih buruk, ia harus melakukan itu berulang-ulang seakan ia hanyalah alat untuk memproduksi anak.

Gadis itu tiba-tiba menepuk kedua pipinya. “Jangan menyerah, Kirana!”

Jika ini memang kenyataan, itu artinya ia harus mencari cara untuk keluar dan kembali ke dunianya. “Kalau aku diam saja, justru tidak akan ada kesempatan untuk selamat dari sini.”

Kirana bangkit, mengambil tas, alat kosmetik dan Hp-nya yang berserakan di sekitar tas kecil itu.

“Aku harap ada sesuatu yang berguna di ruangan ini,” gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan seksama, berandai-andai ada pisau atau benda tajam yang bisa digunakan untuk mengikir sel kayu tersebut, tetapi nihil.

Telinga Kirana mendengar kepakan sayap di depan pintu masuk. Ia melihat bayangan seseorang berjalan mendekat. Gadis itu buru-buru duduk kembali di sudut sel, menekuk lututnya dan menundukkan kepala, pura-pura tidur.

Seorang pemuda yang mengenakan pakaian dari kulit hewan masuk ke dalam. Di punggungnya tersampir sepasang sayap, bagian luarnya berwarna hitam dan bagian bawahnya berwarna putih. Rambutnya pendek, sedikit acak-acakan berwarna putih keperakan. Irisnya yang berwarna indigo memandangi Kirana.

“Seperti yang dirumorkan oleh penduduk desa, ada manusia di desa ini.”

Kirana tidak mau merespon pria itu. Ia mendengar suara tawa dan langkah kaki yang mendekat, “Sudahlah, aku tahu kau sebenarnya mendengar ucapanku.”

Gadis itu akhirnya mengangkat kepala, menatap sosok yang berdiri gagah di hadapannya. Pemuda itu memiliki wajah oval, alis tebal dan hidung mancung. Ketampannya jauh diatas ketiga pria yang tadi membawanya kemari. Bibirnya menyugingkan senyum lagi saat matanya tidak sengaja beradu dengan Kirana.

“Kenapa memperhatikan ku seperti itu? Apa ini pertama kalinya bagimu melihat Bestial setampan diriku?”

“Bestial?” Kirana mengulang. “Apa itu sebutan untuk kalian?”

“Benar, kami adalah Bestial,” jawabnya sambil melipat tangan dengan bangga. “Namaku Ezekiel, aku akan membantumu keluar dari sini.”

“Kenapa tiba-tiba membantu? Sejauh yang kuingat, semua orang yang kutemui disini awalnya ingin memakanku, bahkan yang terakhir kali ingin aku kawin dengan setiap pejantan yang ada di suku ini,” ucap Kirana, sinis.

“Aku berbeda dari mereka, lebih dari itu, kau juga ingin keluar dari sinikan?” Ezekiel menarik sebelah alisnya.

“Memang benar, aku harus keluar dari sini dulu,” gadis itu menggigit kuku, menimbang. Haruskah ia meletakkan kepercayaan pada Ezekiel.

“Ini untukmu,” Ezekiel melempar sebuah pisau ke dalam sel Kirana. “Sembunyikan dengan baik, gunakan itu untuk pertahanan jika diperlukan.”

Kirana mengambil benda tajam itu, memandang sosok Ezekiel, lalu mengangguk. “Aku tidak tahu apa tujuanmu, tapi, jika kau bisa membantuku keluar dari sini, aku ikut rencanamu.”

“Bagus, itulah yang kuharapkan,” pemuda itu menyugingkan senyum misterius. “Kalau begitu, aku permisi dulu. Hidungku mencium aroma nenek itu disekitar sini, mereka tidak boleh tahu aku ada di sini.” Ezekiel berbalik, namun beberapa langkah sebelum keluar ia menoleh lagi kepada Kirana.

“Aku akan kembali saat tengah malam.”

Ia membentangkan sayapnya lalu terbang pergi meninggalkan tebing batu tempat Kirana dikurung.

Kirana menyembunyikan pisau itu di tas kecilnya. Ia cukup beruntung mereka tidak menyadari benda kecil itu karena warnanya yang tersamarkan oleh dress biru gelapnya.

...***...

Malam pun tiba, Kirana mondar-mandir di dalam kurungan, resah. Ia tidak tenang karena tidak tahu sekarang sudah jam berapa atau apakah Ezekiel benar-benar akan membantu menyelamatkannya.

Harapan gadis itu pupus saat Oracle dan dua orang penjaga pria bertubuh besar masuk ke dalam ruangan itu. Atas perinta Oracle, kedua penjaga itu membuka pintu kurungan, salah satu dari mereka langsung membelenggu pergelangan tangan Kirana dengan benda sejenis borgol.

“Aduh, hati-hati,” Kirana mengernyit saat benda dingin itu tidak sengaja menggores kulitnya.

“Hei, jangan kasar dengannya!” Oracle menegur. Tentu baginya, Kirana saat ini adalah aset tak ternilai. “Kita harus menyertakannya dalam ritual malam ini, tidak boleh ada sekecil pun luka di kulitnya atau Dewa akan murka.”

Mereka pun menggiring gadis itu keluar dari ruangan lalu menyebrangi jembatan kayu yang menghubungkan ke tebing lainnya.

Kirana sadar dirinya akan dibawa turun ke bawah, ia menatap langit dengan resah. Angin berhembus kencang, terkadang ia berteriak ketakutan karena jembatan yang dilewatinya bergoyang tak beraturan.

“Jangan khawatir, kau tidak akan jatuh,” ucap Oracle sembari berbalik. Mereka melanjutkan jalan mereka lagi, tetapi dukun itu tiba-tiba menoleh ke arah utara, matanya menangkap sosok Ezekiel terbang dengan kecepatan tinggi.

“Ezekiel?” gumamnya, keheranan. Oracle tidak menyangka kalau Ezekiel akan melempar beberapa bulu sayapnya yang tajam ke arah mereka, Oracle mundur menghindar, sementara kedua penjaga di depan dan belakang Kirana refleks menghindar, membuat celah yang cukup bagi Ezekiel untuk menyambar tubuh gadis itu.

“Hahaha! Dia milikku nenek tua!” seru Ezekiel penuh nada kemenangan.

“Bocah kurang ajar!” maki Oracle. Ia ingat bagaimana penduduk desa menyampingkan dendam mereka terhadap orang tua Ezekiel dan memutuskan untuk membesarkan anak itu bersama-sama. “Inikah balasanmu terhadap penduduk desa ini?”

“Heh! Aku tidak pernah peduli pada kalian semua! Sampai jumpa!”

Ezekiel bermanuver di udara, memamerkan kelihaian dan kecepatannya. Ia membetulkan posisi menggendong Kirana, lalu meleseta meninggalkan desa.

“Kejar dia!”

Kedua penjaga itu langsung lompat dari jembatan sambil membentangkan sayap. Seorang manusia-burung yang sedang patroli dan melihat kejadian itu juga langsung ikut mengejar Ezekiel.

Sementara, Ezekiel dan Kirana sudah terbang jauh di depan. “Kau tidak berpikir aku akan berbohong bukan?” tanya pemuda itu.

“Kupikir kau hanya membual,” jawab Kirana sambil tertawa kecil. “Apa tidak apa-apa kau mengkhianati desamu?”

“Sejak awal, aku memang ingin meninggalkan desa sial satu ini,” kata Ezekiel, matanya berbinar menatap gadis itu. “Aku ingin pergi dari sini bersamamu.”

Kirana sedikit terenyuh mendengar kalimat Ezekiel, walau ia masih menyimpan banyak pertanyaan tentang tujuannya menyelamatkan Kirana.

“Mereka ada di belakang kita,” bisik pemuda itu sembari menghempaskan kaki ke udara. Sayapnya mengibas dengan cepat, membawa mereka berdua ke langit dan terbang menjauhi rumah Kepala Suku.

“Ezekiel”

Ia dan Kirana menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang. Tampak tiga penjaga masih terbang mengejar mereka.

“Kau memang sumber masalah di desa ini! Tapi tidak kusangka kau sampai berani mengganggu kiriman dari Dewa!” seru rekan penjaga itu.

“Seharusnya kami membunuhmu selagi sempat, dasar pengkhianat!” timpal yang lain.

Ezekiel hanya tertawa menyaksikan mereka marah-marah, sebaliknya, Kirana menatap pemuda itu dengan tatapan khawatir.

Anak panah dilontarkan oleh para penjaga, Ezekiel menghindarinya dengan mudah. “Kalian sangat lemah! Aku bukan tandingan Bestial tahap satu seperti kalian!” Setelah berseru seperti itu, kibasan sayap yang dihasilkan Ezekiel menghasilkan percikan listrik, secara bertahap kecepatan terbang mereka meningkat.

Semakin cepat dan akhirnya tidak terkejar oleh para penjaga itu. Tebing-tebing batu semakin jauh, hanya ada kegelapan malam yang dihiasi taburan bintang diatas langit. Sementara di bawah mereka adalah hutan lebat yang tampak gelap gulita.

Setelah terbang beberapa saat, Ezekiel pun menurunkan ketinggiannya. Mereka mendarat di dekat tepi sungai. Kirana dapat mendengar suara alirannya yang menenangkan, tetapi tidak dengan sekelilingnya yang gelap. Ia hampir tidak bisa melihat apa pun.

“Akan kubuatkan api, tunggu sebentar.”

Kirana memegangi badan pohon dan bersandar di sana, sementara Ezekiel menebas beberapa ranting. Ia mengumpulkan dedaunan kering dan menumpuk kayu diatasnya. Sedikit percikan listrik dari tangannya, ia berhasil menciptakan api yang membakar daun serta kayu tersebut.

“Ini sudah cukup kan?” tanya pada Kirana yang sedang duduk dekat dengan api unggun tersebut.

Kirana mengangguk, “Apa itu sejenis sihir?”

Ezekiel menangkap maksud pertanyaan Kirana, ia merentangkan tangannya dan percikan listrik muncul di antara sela-sela jarinya. “Bestial yang sudah berevolusi ke tahap dua minimal memiliki kemampuan mengendalikan salah satu elemen,” jelasnya.

“Itu luar biasa,” puji Kirana. Tetapi tidak lama ekspresi wajahnya berubah menjadi lesu dan ia tampak pucat.

Melihat kondisi Kirana, Ezekiel seketika teringat dengan potongan daging di dalam kurungan Kirana. “Ah! Aku lupa membawa makan malam milikmu!”

“Yang mana?”

“Daging di selmu? Atau sudah kau makan semua?” Ia bertanya sambil menarik sebelah alisnya. Kirana menggembungkan pipi sambil menggeleng.

“Aku tidak makan daging mentah,” ucapnya.

“Padahal enak, sayang sekali,” Ezekiel menggigit bawah bibirnya, membayangkan rasa daging tebal itu. Perutnya berbunyi, membicarakan makam malam jadi membuatnya lapar. Ia jadi teringat kalau belum makan sejak siang tadi.

“Kalau manusia tidak makan daging mentah, jadi kalian makan apa?” tanyanya, penasaran.

“Daging tapi dimasak,” jawab Kirana. “Tapi itu terlalu mewah, asalkan ada tumbuhan atau buah yang bisa dimakan aku tidak keberatan.”

Ezekiel nampak berpikir. “Kami Suku Falco tidak pernah makan tumbuhan, jadi aku juga kurang tahu apa yang bisa dimakan dari daun-daunan pahit itu.”

“Sudah kuduga,” Kirana menghela napas. Melihat dari bentuk transformasinya, Ezekiel pasti merupakan Bestial karnivora yang makanan utamanya adalah daging.

“Jangan sedih,” hibur pemuda itu. “Aku akan mencarikanmu buah.”

Ia bangkit seraya melebarkan sayapnya di punggung. Kirana menatapnya keheranan.

“Kenapa kamu mau membantuku? Kamu belum menceritakan alasanmu,” ucap gadis itu. Ezekiel menoleh ke arahnya, tersenyum.

“Akan kuceritakan nanti, kau tunggu dulu disini ya,” balasnya. “Bukankah lebih enak mendengarkan kisah sambil menikmati makan malam?”

Kirana tertawa kecil. “Terserah dirimu saja, aku tidak akan kemana-mana.”

Ezekiel mengangguk. “Aku tidak akan lama.” Setelah berkata demikian, ia terbang meninggalkan Kirana.

Gadis itu memegangi kepalanya, sejak tadi ia merasa pusing. Pasti efek dari kurang tidur. Ia juga haus. Mendengar suara air sungai, seharusnya jarak sumber air itu tidak terlalu jauh. Tenggorokannya sudah meronta ingin merasakan air dingin yang segar.

Kirana mengambil salah satu batang kayu yang ujungnya terbakar untuk dijadikan obor. Walau apinya kecil, itu cukup sebagai pencahayaan.

Sesuai dugaannya, sungai itu tidaklah jauh dari tempatnya berkemah. Ia berlutut, tangan kirinya memegangi obor sementara tangan satunya menyuapi air ke dalam mulutnya.

“Rasanya seperti hidup kembali,” gadis itu tersenyum lebar. Rasa hausnya sudah hilang. Sungai itu tidak berbau dan airnya dingin, sangat menyegarkan.

Dari balik bayang-bayang kegelapan sepasang mata emas kekuningan mengamatinya. Sorot mata itu terus mengikutinya sampai gadis itu kembali ke kemah. Kirana bersandar di batang pohon, menanti kapan Ezekiel kembali. Rasa kantuknya muncul kembali, mungkin karena saat ini ia sudah merasa lebih rileks.

Matanya perlahan terpejam, Kirana jatuh dalam tidur yang lelap. Ia tidak sadar saat pemilik mata emas itu keluar dari tempat persembunyiannya.

Seekor ular besar berwarna hitam melata mengelilingi gadis itu, Hawa dari udara dingin yang ditimbulkannya memadamkan api unggun itu seketika. Kirana merasakan gerakan disekitar tubuhnya. Kulitnya menyentuh sesuatu yang licin dan halus.

“Apa ini?”

Ia membuka matanya dan yang pertama dilihatnya adalah tubuhnya berada di dalam lilitan ular besar berwarna hitam. “Kyaaaa!” gadis itu berteriak, tetapi mulutnya keburu dibekap oleh tangan putih pucat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!