"Saya, Ezra Halley, mengambilmu Zefanya sebagai istriku tercinta, teman dalam hidupku, kekasihku dan ibu anak - anakku, untuk saling memiliki dan menjaga mulai hari ini dan seterusnya, dalam susah mau pun senang, saat berkelimpahan mau pun kekurangan, sakit atau pun sehat, mencintai dan menyayangi hingga maut memisahkan kita. Dan disinilah, saya berjanji akan selalu setia. Hingga maut memisahkan kita."
Zefanya menatap penuh haru Ezra Halley yang sedang mengucapkan janji pernikahan mereka dengan sepenuh hati. Tatapan penuh cinta dari Ezra membuat Zefanya kian melayang. Bahagia.
VROOOOM...
Suara mobil menderu masuk ke dalam gereja tempat dimana Ezra dan Zefanya melakukan pemberkatan nikah. Zevanya panik. Kepalanya menoleh kesana kemari, celingukan mencari Ezra tapi pria itu sudah tak ada disampingnya. Kemana dia? Mobil itu kian mendekat ke arah mereka. Tidak! Mobil itu bukan menuju ke arah mereka tapi datang ke arah Zefanya. Ya. Mobil itu mengejarnya.
Di mata Zefanya, gerakan mobil itu seperti film yang diputar slow motion. Zefanya ketakutan dan ingin menyelamatkan diri, tapi seluruh tubuhnya kaku, tak bisa bergerak. Sekuat apa pun Zefanya berusaha, seakan ada benda berat menindihnya. Dia tak bisa kemana - mana. Padahal mobil itu terus mendekat dan mengejarnya, panik, takut dan cemas melingkupi Zefanya.
"EZRA!" teriaknya panik, berharap suaminya datang dan menyelamatkan dirinya. Keringat mulai dingin menetes di dahi Zefanya saat menyadari yang keluar dari mulutnya lebih mirip dengan sebuah cicitan. Bagaimana mungkin Ezra bisa mendengarnya. Mata Zefanya semakin liar bergerak, mencoba menemukan sosok Ezra. Tidak biasanya Ezra meninggalkan dirinya seorang diri.
TIIIN!!! TIIIIIN!!
CKIIIIITTT!!!
Suara klakson mobil bergema panjang menyakitkan telinga bercampur dengan bunyi decitan ban mobil bergesekan dengan lantai. Benar - benar memekakkan telinga! Zefanya bernapas lega. Mobil itu berhenti tepat di depan hidung Zefanya, tubuhnya hampir tak berjarak dengan mobil kurang ajar itu. Zefanya heran, bagaimana mungkin tak seorang pun protes terhadap pengemudinya. Ini gereja! Dan bukan jalan raya.
Baru saja Zefanya hendak menegur pengemudi mobil tak beretika itu, sebuah suara sudah bergema terlebih dahulu. "Kamu tidak bisa bersama Ezra lagi, Zefanya."
Suara itu bergaung di ruangan gereja yang sepi. Zefanya gelagapan mencari - cari asal suara tadi, seketika dia menyadari kalau dirinya ternyata tidak ada di gereja. Tempat ini terasa asing bagi Zefanya. Dia tak mengenali ruangan ini, tak ada siapa pun di sekitarnya untuk sekedar bertanya. Tidak ada karangan bunga dan tamu undangan yang akan menyaksikan pernikahannya dengan Ezra. Dan dimana mereka semua? Aunty Emma dan Gabriella pun tak ada. Dan yang menyedihkan adalah Ezra juga tak ada.
Mendadak Zefanya lelah sekali. Mata dan tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga. Dia jatuh terduduk di sebuah ruangan luas dan asing mulai memejamkan mata dan memeluk dirinya sendiri.
"Ma moitie... "
Zefanya buru - buru berdiri dan berniat membuka mata, tapi tak berhasil. Seperti ada yang menindih tubuhnya dan ada yang aneh dengan matanya. Seberapa pun keras usahanya, tetap saja mata ini tak bisa terbuka.
"Ezra... " panggilnya sekali lagi.
Hanya ini yang bisa dilakukannya sekarang, terus memanggil nama Ezra. Laki - laki itu tak akan pernah tega meninggalkannya, Ezra pasti akan menemukannya di tempat asing ini.
"Aku disini, Ma Moitie." suara lembut Ezra terdengar begitu dekat di telinganya.
Zefanya menoleh ke sekelilingnya dengan mata terpejam, tangannya meraba - raba. "Ezra." bisik Zevanya dengan suara bergetar, hampir menangis. Dia benci keadaan ini, tak bisa melihat apa pun. Kenapa Ezra tak segera menghampiri dan memeluknya?
Gelap semakin melingkupi Zefanya, sepi dan sunyi. Tak ada lagi rasa hangat, dia merasakan dingin merayap dari ujung kaki dan terus naik hingga ke atas. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan, bercampur rasa takut.
"Maafkan aku. Aku tak ingin mengatakannya, tapi kamu harus tahu kenyataan ini." Suara berat dan menyeramkan terdengar mendekatinya. Nada intimidasi terasa begitu kental di telinga Zefanya.
"Kenyataan apa? Aku tak ingin mendengarnya." tolak Zevanya sambil menutup telinga dengan kedua tangan.
Dan mata Zefanya mendadak terbuka, dia mengerjapkan mata berkali - kali untuk membiasakan diri dengan kegelapan. Setelah terbiasa, Zefanya memandang berkeliling. Tetap saja dia tak mengenali tempat ini.
Ada sebuah bayangan gelap tinggi dan besar berjalan mendekat, dia mengatakan sesuatu yang menyeramkan. Zefanya ketakutan, refleks berjalan mundur. Tanpa pikir panjang Zefanya berbalik badan dan berlari sekuat tenaga.
Dan terjadi lagi, Zefanya tak bisa bergerak. Sekencang apa pun dirinya berlari, dia merasa lari di tempat. Sosok itu terus mengejarnya, kian mendekat.
"Ezra! Ezra!" Teriaknya, memanggil pria yang sangat dicintainya.
"Ma moitie.... "
Hah?! Zefanya berbalik cepat. Ya, tak salah lagi. Ezra memanggilnya tapi dimana dia? Kenapa dia tak menampakkan diri? Hanya satu keinginan Zefanya saat ini, yaitu bertemu Ezra, bersama pria itu dia akan aman. Kekasih yang baru saja menjadi suaminya pasti akan selalu menjaganya, sama seperti yang telah dilakukan olehnya selama ini.
Zefanya tak tahan lagi. Dia berteriak kencang - kencang. "EZRAAAA... "
Sebuah siluet muncul, dengan cahaya menyinari dari belakangnya. Sosok yang familiar dan sangat dekat di hati dan hidupnya muncul. Seorang laki - laki bertubuh tegap dengan setelan jas yang biasa dipakainya ke kantor.
Ezra berdiri disana, dengan segala yang dia miliki. Wajah tampan dengan sorot mata yang tajam dan dalam, tubuhnya begitu gagah dengan kedua lengan kokoh tempat dimana Zefanya biasa bergelanyut manja dan yang paling membuat hatinya bergetar adalah mulut dan bibirnya. Apalagi saat suara itu memanggilnya dengan penuh perasaan.
"Ma moitie." Kedua tangan Ezra terentang siap menyambut Zefanya. Denyut jantung Zefanya beraselerasi cepat, dia berlari dan bersiap menghambur ke pelukan Ezra.
SLAP!
Sosok mengerikan itu muncul lagi, berdiri di antara mereka berdua. "Kalian tak bisa bersatu." suara itu bergaung, membuat gentar hati Zefanya. Wanita muda itu terpaku di tempatnya, melihat bagaimana sosok mengerikan itu menutup tubuh laki - laki tercintanya dengan tubuhnya yang jauh lebih besar dari Ezra. Kemudian tiba - tiba saja sosok itu menghilang bersama Ezra-nya.
Zefanya kembali sendiri, tersungkur dan kehabisan tenaga. Berusaha menguatkan hati tapi tubuhnya lemas tak berdaya. Tak ada kuasa. Dia kalah. Menyadari Ezra tak bisa lagi menjadi miliknya, bahu Zefanya bergetar dan mulai menangisi nasibnya. Di lubuk hatinya yang terdalam, dia berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk. Dan akan segera berakhir.
"Ezra, ini hanya mimpi kan? Saat aku bangun nanti, aku masih boleh bersamamu kan?" lirih Zefanya pilu. Air mata meleleh di pipinya. Ezra, kekasih, suami, cinta dalam hidup Zefanya. Satu - satunya orang yang selalu ada dalam rencana masa depannya, kini mereka tak bisa lagi saling mencintai. Tidak boleh!
Bersambung ya...
Keterangan:
Ma Moitie \= dari bahasa Perancis.
Dalam bahasa Inggris artinya My other half, separuh jiwaku.
Saat kesadarannya pulih, Zefanya menyadari kalau ternyata dirinya sedang berada di sebuah ruangan dengan dinding dengan wallpaper warna soft. Ada sofa dan meja untuk menerima tamu di dekat pintu masuk. Lalu sebuah pantry dengan design minimalis di sudut ruangan. Tempat ini hangat dan terasa jauh lebih nyaman dari ruangan gelap yang ada di dalam mimpinya.
Perlahan - lahan napas Zefanya mulai teratur, degup jantungnya pun jauh lebih tenang. Dia menghembuskan napas lega. Ternyata dirinya sekarang berada di sebuah ruang rawat salah satu rumah sakit.
"Selamat pagi, Nyonya Halley. Bagaimana kabar pasienku yang paling cantik ini?"
"Selamat pagi, Dokter Sandra. Aku baik - baik saja." Zefanya tak menoleh, dia menatap jendela kamar yang menampakkan taman diluar sana. Bunga warna warni dan hijaunya daun - daunan membuat hatinya terasa sejuk dan tenang.
"Aku senang kamu sekarang memanggil dengan nama depanku. Apa ada yang ingin kamu ceritakan padaku?" tanya Sandra, tangannya menyentuh tangan Zefanya yang terasa dingin.
"Aku ingin berjalan - jalan diluar sana." gumamnya pelan.
"Sabar, semua ada waktunya." gumam Dokter Sandra sambil membaca catatan terakhir di jurnal Zefanya.
"Tapi aku merasa baik - baik saja untuk pergi ke taman." Matanya masih lekat pada pemandangan diluar kamar.
"Syukurlah. Aku merasa senang dengan kemajuanmu. Orang yang selalu kamu sebut dalam igauan-mu, datang menemuimu." ujar Dokter berteka teki.
"Siapa?" Zefanya mengalihkan perhatiannya dari jendela kearah Dokter Sandra.
"Ma moitie.... "
Tubuh Zefanya menegang saat melihat siapa yang melihat siapa yang berdiri di belakang Dokter Sandra. Tangannya refleks menggenggam erat selimut yang menutupi kakinya.
"Ma moitie, I miss you." Ezra menyapa lagi dengan penuh perasaan.
Suara dan wajah itu yang sangat dikenalnya itu, membuat Zefanya terguncang.Dia ingin memeluk suaminya tapi tak bisa. Tidak boleh. Sekali saja, dia memeluk Ezra maka dia tak akan sanggup melepaskannya. Sebesar apa pun cintanya pada pria itu, mereka tak boleh lagi bersama.
Ralat, bukan tidak boleh tapi tidak bisa. Mereka tak bisa lagi bersama. Saat ini, nanti dan seterusnya. Dengan bertemu seperti ini saja sudah membuat masing - masing sulit untuk mengendalikan perasaan.
"Ma Moitie?"
Tangan Zefanya mulai berkeringat. Lidahnya kelu, ingin bicara tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Otaknya blank. Tak bisa memproses informasi apa pun selain hubungannya dengan Ezra adalah hubungan terlarang dan tak bermoral.
Degup jantung Zefanya bergema di gendang telinganya sendiri, dia mer-em-as tangannya cemas. Menundukkan kepala sedalam mungkin supaya matanya tak bertemu pandang dengan Ezra. Telinganya mendengar suara langkah kaki mendekat.
'Please, menjauhlah dariku. Kita tak bisa lagi saling mencintai.'
Tapi suara langkah itu sudah berhenti di samping tempat tidurnya. "Apa kabar Ma Moitie?"
Ugh! Jantung Zefanya terasa seperti direm.as - rem.as saat mendengar suara yang dari orang yang begitu dirindukannya.
"Jangan sentuh aku."
"Jangan sentuh aku."
"Menjauhlah dariku, Ez."
Zefanya menutup mulutnya dengan dua tangan, kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. Susah payah menahan emosi yang memaksa keluar dalam bentuk tetesan air mata yang kini sudah berkumpul di pelupuk matanya. Seandainya saja dia bisa berubah menjadi kasat mata saat ini.
'Jangan menangis. Jangan menangis. Ini demi kebaikan semuanya, terutama Ezra. Jangan biarkan Ezra dan dirimu terus berkubang dalam dosa.' batin Zefanya terus berbicara.
Sementara itu, Ezra menatapnya dengan emosi yang membuncah. Sorot matanya penuh harap. Berbulan - bulan istrinya tak sadarkan diri, sementara dia hanya bisa menunggu dan berdoa menanti keajaiban. Menunggu saat dimana belahan jiwanya bangun dan kembali menyebut namanya. Penantian lama itu semakin membuat hatinya hancur saat Zefanya tak mengenal dirinya di hari pertama dia terbangun dari koma.
Dan hari ini, Dokter Sandra memberitahunya kalau Zefanya sudah bisa menyebut nama - nama orang yang ada di foto, termasuk dirinya.
Sayangnya, reaksi yang didapat tak sesuai harapannya. Ezra memandang dalam - dalam wanita yang selalu berhasil membuat hatinya jatuh cinta setiap kali mereka bertemu. Kedatangannya pagi ini ingin melihat sendiri bahwa istrinya, dalam kondisi yang jauh lebih baik. Terlebih lagi, dia ingin memastikan bahwa Zefanya benar - benar sudah mengingat dirinya, Ezra Halley.
Menyadari wanitanya gemetaran, Ezra semakin mendekat. "Kamu tidak apa - apa?" tangannya mengelus lembut kepala Zefanya.
Nada khawatir dan sentuhan lembut Ezra membuat Zefanya serba salah. Dia mengepalkan tangannya. "Bo-bolehkah sa-ya minta obat?" tanyanya panik.
"Obat?" Ezra mengerutkan kening, matanya melihat botol kecil di atas meja kayu sebelah tempat tidur Zefanya. "Ini?" Ezra mengangkat botol dan menunjukkannya pada Zefanya.
Zefanya menyambarnya dengan cepat, membuka tutupnya dengan terburu - buru. Bersiap untuk menuang butiran obat yang di dalamnya. Namun tangan Dokter Sandra menahan Zefanya meminum obat itu.
"Obat tidak selalu bisa mengatasi masalahmu. Cobalah meredam emosimu. Kamu harus berani melawan rasa takutmu." nasehat Dokter Sandra lembut.
Kemudian dokter paruh baya itu langsung memberi instruksi pada Zefanya untuk mengatur napasnya saat serangan panik menyerang. Zefanya berusaha mengikuti instruksi dan berhasil, perlahan tremornya hilang. Merasa lebih relax, wanita cantik itu menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur dan memejamkan mata. Berpura - pura kelelahan. Berharap Ezra kasihan dan meninggalkannya untuk beristirahat.
"Apa yang terjadi pada istri saya, Dok?" Tanya Ezra bingung.
"Tidak apa. Itu reaksi normal. Dia sedang beradaptasi. Ingatan lama dan baru saling tumpang tindih. Jangan khawatir, Tuan. Kami akan membantunya untuk memulihkan kembali kondisi fisik dan mentalnya." ujar Dokter Sandra, berusaha menenangkan Ezra.
Dokter itu terharu setiap mengingat betapa besar cinta Ezra pada Zefanya. Tidak hanya dirinya tapi seisi rumah sakit tahu bagaimana seorang CEO tampan dan super sibuk itu lebih banyak menghabiskan harinya di rumah sakit. Demi wanita yang dicintainya, pria tampan itu rela tidak tidur berhari - hari menemani istri tercintanya yang sedang koma.
Dokter Sandra bertanya beberapa hal pada Zefanya dan menambahkan catatan di jurnal kesehatan milik pasien istimewanya itu. Zefanya menjawab pertanyaan - pertanyaan itu dengan lebih tenang dan jelas. Dokter mengangguk puas. "Kalau kondisimu terus begini, kamu bisa segera berjalan - jalan di taman dan pulang ke rumah, Nyonya."
Sesaat Zefanya tertegun, lalu dia menggeleng. "Aku tidak mau pulang." lirihnya.
Kata - kata Zefanya membuat Ezra sesak napas. Moment Zefanya kembali ke rumah adalah moment yang sangat ditunggu - tunggu olehnya. Tapi kenyataannya, sang istri justru tidak ingin kembali ke rumah mereka. Menepis segala sakit di hatinya, Ezra memaksakan diri untuk berbicara tanpa emosi.
"Kenapa, Ma moitie? Apa masih ada yang sakit dan tidak nyaman?" Kali ini laki - laki itu duduk di atas tempat tidur di sebelah Zefanya. Dokter Sandra meninggalkan suami istri itu untuk memberikan privacy.
Tanpa sadar, Zefanya berjingkat dan menggeser posisinya. Wangi parfum Ezra menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Zefanya, membuatnya harus menahan diri untuk tidak memeluk suami tercintanya.
"Ma moitie, aku menunggumu.... " Ezra mengamati wajah Zefanya dengan seksama, matanya mulai berkaca - kaca saat Zefanya kembali memejamkan mata. Sama sekali tidak ingin melihat ke arahnya.
"Ma moitie, katakan yang sebenarnya. Apa yang membebani pikiranmu?" Sebelah tanga Ezra terulur, mengusap pipi Zefanya yang tampak sedikit cekung. Setelah koma berat badannya turun banyak.
"Ezra, maafkan aku. Kita tak bisa bersama lagi."
"Kita tak bisa bersama lagi."
Saat kalimat itu keluar dari mulut Zefanya, saat itu juga setiap sel di dalam tubuhnya memberontak. Rasa sakit terasa begitu nyata di sekujur tubuhnya. Tak tertahankan. Kepalanya berdenyut semakin hebat, dan seperti ada blender mengaduk - aduk isi perutnya. Pusing dan mual.
"Ma Moitie" panggil Ezra. Lehernya tercekat hingga suaranya lebih seperti tercekik demi melihat wanita yang dicintainya kesakitan. Andaikata bisa, Ezra bersedia menanggung seluruh sakit yang dirasakan oleh istrinya itu.
'Ugh, jangan panggil aku dengan sebutan itu... " Zefanya kembali memejamkan mata, kali ini lebih erat. Yang sakit tidak hanya tubuhnya tapi juga hatinya. Berpisah dengan Ezra sama saja dengan mengambil separuh nyawanya. Tapi Zefanya harus menegarkan hati untuk mengucapkan kalimat perpisahan itu.
Bibir Zefanya mulai bergetar, alisnya berkerut menahan emosinya saat tangan Ezra merayap di lengannya, menautkan jemari mereka. Lelaki itu menggenggam tangannya erat. Ajaib! Rasa sakit itu sedikit mereda.
"Ma Moitie, aku menunggumu bangun dan mengingatku kembali." ucap Ezra tak menggubris kata - kata Zefanya.
Ezra mengamati setiap wajah Zefanya, matanya mulai berkaca - kaca saat istrinya lagi - lagi tak mau membuka mata, tidak ingin menatapnya.
"Siang malam aku berdoa tiada henti supaya kamu segera sadar. Aku tinggalkan pekerjaanku karena ingin menjadi orang pertama yang kamu lihat saat membuka mata. Aku yang merindukan istriku setiap detik dalam hidupku." Sebelah tangan yang lain terulur, mengusap lembut pipi Zefanya. "Kamu sedang bercanda kan?" tanya Ezra sedih.
"Aku serius, Ez. Biarkan aku pergi." Akhirnya Zefanya menemukan keberaniannya. Dia membuka kelopak matanya dan menatap Ezra dengan sorot mata dingin. "Kita tidak bisa lagi bersama. Semua sudah selesai." ulang Zefanya.
"A-apa?"
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Ez." Zefanya berusaha mendorong Ezra menjauh. Kehadirannl Ezra terlalu dekat dengannya, sentuhan suaminya yang lembut membuat Zefanya jadi serba salah. Dia tak ingin merasakan apa pun lagi terhadap Ezra.
Ezra masih menatap lekat - lekat wajah Zefanya, mencoba mencari kebohongan di dalam sana.
"Ma moitie, jelaskan kenapa. Kenapa kita tidak bisa lagi bersama?" Zefanya memalingkan wajah, tak sanggup melihat wajah Ezra yang memelas.
'Oh, come on, Ez. You're a great leader of some companies. Please, be the boss. Jangan tunjukkan wajah putus asamu itu padaku.'
"Apa kamu pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja tanpa penjelasan yang masuk akal?" tanya Ezra lagi, masih tak terima.
"Lebih baik kamu tidak tahu, Ez. It's better this way."
"Ma moitie, please... " tangan Ezra meraih dagu Zefanya, memaksanya untuk menoleh padanya. Saat mata dengan mata bertemu, maka Ezra bisa menilai apakah yang dikatakan oleh Zefanya sungguh - sungguh atau tidak.
Zefanya menelan ludah. Melihat Ezra dalam jarak dekat seperti ini, membuatnya semakin sulit untuk menghapus perasaannya.
Ezra membuat semua laki - laki yang ditemui dan dikenal Zefanya tampak kerdil. Tak ada seorang pun yang bisa menandingi, dalam hal apa pun. Mulai dari penampilannya yang sempurna, hingga sikapnya yang lembut dan bertanggung jawab. Bahkan seluruh wanita di kota ini mengakuinya sebagai salah satu most wanted husband dan CEO.
Cara Ezra memperlakukan Zefanya begitu istimewa, membuat siapa pun yang melihat mereka merasa iri. Tatapanny pada Zefanya begitu memujan seolah tak ada wanita lain yang lebih baik dari istrinya itu.
Zefanya mencintai Ezra melebihi hidupnya sendiri. Namun cinta mereka adalah cinta terlarang. Menyedihkan sekali.
"Kamu milikku, Ma Moitie. Kemarin, sekarang dan selamanya." Aura dominan terpancar dari diri Ezra, tegas dan tak bisa dibantah.
Mata Zefanya berkaca - kaca saat tatapan mereka beradu. Lalu, tiba - tiba rasa nyeri itu kembali muncul. Dia meringis, otaknya terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Disusul denyutan hebat, seolah ada palu besar menghantam kepalanya.
"Ughhh... "
Sekujur tubuh Zefanya bergetar menahan sakit, keringat dingin mulai bercucuran. Kedua tangannya memegang kepalanya yang seperti mau pecah.
"Ma moitie?" panggil Ezra cemas dan langsung memeluk Zefanya. "Kenapa? Apa yang kamu rasakan? Katakan padaku!" cecar Ezra dengan panik.
Zefanya tidak mampu menjawab, kepalanya terlalu sakit untuk berpikir. Dia hanya bisa menjerit kesakitan saat merasakan sebuah benda berat menyambar dirinya.
"Arghh! Sakit... "
'Oh, ya Tuhan.... " erang Zefanya. Ada sesuatu yang menggelegak dari dalam perutnya, meminta untuk dikeluarkan.
Ezra terkesiap, dia buru - buru meraup tubuh Zefanya dari lantai dan menendang pintu kamar mandi. Lalu meletakkan tubuh istrinya di depan wastafel.
"Zie... " kata Ezra dengan khawatir, melihat Zefanya membungkuk di depan wastafel dan langsung muntah - muntah.
'Jangan sentuh aku!' pekik Zefanya dalam hati ketika Ezra mulai mengelus - elus punggungnya. Mencoba membuat Zefanya merasa lebih nyaman.
Sentuhan Ezra membuat hati Zefanya bergetar. Dia ingat bagaimana Ezra sering melakukan itu saat bulan madu mereka. Waktu itu tubuh mereka bahkan tak bisa lepas satu sama lain. Saling mendamba dan tak sanggup untuk berpisah. Ya. Mereka saling mencintai.
Memikirkan semua itu, kaki Zefanya seperti kehilangan kekuatan. Tubuhnya mulai merosot, dan gelap melingkupinya.
"Zie! Zie!"
Zefanya merasa kembali terlempar dalam ruangan gelap dan asing yang tak disukainya. Dan suara Ezra kembali bergema, memanggil - manggil namanya.
Bersambung ya...
Keterangan
Great leader \= pemimpin besar
Companies \= perusahaan
Please, be the boss \= jadilah boss.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!