Pada siang nan terik, jalanan ramai didominasi motor dan juga mobil. Galang yang kala itu hendak menuju ke lokasi proyek yang baru, memilih untuk singgah ke sebuah warung. Pikirnya, segelas teh manis akan sangat segar membasahi kerongkongannya yang kering itu. Galang lantas memarkir motornya seraya lekas melangkah masuk ke dalam warung dan kemudian memesan segelas es teh manis untuknya. Di hadapannya, terdapat sebuah keranjang berisi beraneka ragam gorengan. Sungguh menggugah selera, Galang pun tak kuasa untuk tidak mencicipinya.
"Ini mas, es tehnya," ucap si pemilik warung sembari menyajikan pesanan.
"Iya buk, terima kasih. Gorengannya berapaan buk?" tanya Galang.
"Seribuan mas."
"Wah, murah sekali," benak Galang.
Tanpa basa-basi lagi, lekas ia ambil potong demi potong gorengan di hadapannya, benar-benar lezat. Es teh manisnya pun terasa pas.
"Mau ke mana mas? sepertinya bukan orang sini sampean (kamu)?" tanya seorang lelaki tua yang duduk di depan Galang.
"Iya pak, saya dari kota.. ke sini karena ada kerjaan."
"Kerja di mana?"
"Di proyek pembangunan perumahan baru."
"Di desa pun mau dibangun perumahan ya? sudah seperti di kota saja."
Galang nyengir.
"Iya pak. Lama-lama, desa akan jadi ramai seperti di kota."
"Di desa juga ramai mas. Mas saja yang tidak bisa melihatnya."
"Hemm..."
"Banyak keramaian yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang."
Mendengar pernyataan itu, Galang segera paham.
"Ngapunten pak (maaf pak)! maksud bapak, keramaian dari alam lain ya?"
Lelaki tua itu pun tersenyum. Galang ikut tersenyum juga.
"Dari ekspresi yang mas tunjukan, sepertinya mas gak percaya kalau ada alam lain selain alam manusia?"
"Bukannya tidak percaya tapi... saya memang belum pernah sekali pun melihat penampakan. Bahkan, selama saya menjadi mandor proyek, tidak pernah juga melihat hal-hal demikian. Ada banyak sih pak yang cerita tentang pengalaman mistis ke saya tapi saya, rada susah untuk percaya."
"Karena tidak pernah mengalaminya sendiri ya makanya sulit untuk percaya?"
Galang kembali nyengir lalu menganggukkan kepala. Perbincangan itu pun berhenti sesaat ketika Galang memesan mie instan. Tampaknya, lelaki tua tersebut tidak ingin mengganggu Galang yang sedang melahap makanan. Setelah dirasa kenyang, Galang membayar pesanannya lalu beranjak dari sana. Namun, lelaki tua tadi tiba-tiba menahan lengannya dan seketika itu juga, pandangan Galang menjadi gelap. Hanya sepersekian detik saja dan semuanya kembali terang seperti semula.
"Kenapa ini?" benak Galang sembari mengerjapkan mata.
"Hati-hati ya mas!" ucap lelaki tua itu lalu melepaskan lengan Galang.
"Oh, iya pak iya. Terima kasih ya! saya pamit dulu, saya mau melanjutkan perjalanan!"
"Iya," jawab lelaki tua itu sembari mengangguk.
Galang tidak memiliki firasat apa pun dan tidak terlalu memikirkan pandangannya yang tiba-tiba gelap ketika lengannya di pegang lelaki tua tadi. Ia hanya terfokus pada jalur jalan menuju lokasi proyek yang hendak ia garap selama kurang lebih lima bulan ke depan.
...🌟🌟🌟...
Sekitar pukul dua siang, Galang telah sampai di lokasi perumahan. Di sana, telah dibangun satu rumah sebagai rumah contohnya. Rumah itu jugalah yang nantinya akan Galang tempati bersama lima orang pekerja. Ada pun kepala proyeknya adalah kakak kandungnya sendiri, mas Fahmi. Mas Fahmi disibukkan dengan proyek pembangunan gedung di kota. Karena itulah, Galang yang diminta untuk menjadi penanggungjawab sekaligus pengawas untuk proyek di sini. Dua orang tukang sudah datang mendahului Galang. Tinggal tiga orang lagi dan semuanya akan lengkap.
"Sudah pada makan semua atau belum kalian?" tanya Galang kepada dua pekerjanya.
"Sudah mas."
"Ya sudah, saya mau mandi dulu lalu istirahat!"
"Iya mas."
Satu jam kemudian, tiga pekerja lainnya, tiba. Lengkaplah sudah dan pembangunan akan dimulai pada keesokan harinya.
...🌟🌟🌟...
Malam menjelang seiring dengan terdengarnya suara katak, jangkrik dan juga tonggeret. Suara khas di pedesaan ketika malam datang. Di langit, bintang bertaburan, sejauh mata memandang. Angin berembus pelan, menggoyang dahan-dahan pohon di halaman.
"Kamu, sudah sempat keliling ke sekitaran sini Tra?" tanya Galang kepada Putra, salah seorang pekerjanya.
"Sudah mas, ada warung di sana dan di sana. Saya sama Harun, beli makan di sana tadi," jawab Putra sembari mengayunkan tangan, menunjukkan arah.
"Oh, iya-iya. Besok pagi ikut saya ke pasar ya! belanja mie, gula, kopi dan lain-lain untuk persediaan kita. Sekalian cari ATM juga. Kayaknya gak ada di dekat-dekat sini."
"Iya mas. Monggo rokok an dulu mas!" ucap Putra sembari menawarkan rokok miliknya kepada Galang.
"Tidak usah Tra, saya sudah lama tidak merokok."
"Oh, semenjak tunangan sama mbak Nadia ya mas?"
Galang nyengir.
"Iya Tra, Nadia pengennya saya berhenti merokok. Ya sudahlah, saya turuti saja. Bisa menghemat pengeluaran juga. Itung-itung nabung buat biaya kawinan."
"Iya mas, kalau saya sih sudah kecanduan sama rokok. Sulit kalau harus berhenti. Apalagi kalau ada kopi, wah mana bisa ditolak?"
Jawaban Putra mengundang gelak tawa keduanya.
...🌟🌟🌟...
Di sela-sela obrolan santai antara Galang dan Putra, ponsel Galang bergetar. Itu adalah notifikasi dari pesan singkat yang Nadia kirimkan. Pesan yang berisi pertanyaan template yang berulang ditanyakan. Namun, jika pesan itu berasal dari orang tersayang, tentu tidak akan bosan untuk menjawab.
[ "Sedang apa?" ]
[ "Sudah makan?" ]
[ "Kapan mulai kerja?" ]
[ "Capek gak?" ]
Hingga diluncurkannya pertanyaan pamungkas yang membuat rindu kian mengular.
[ "Kapan pulang? gak kangen ya?" ]
Galang tersenyum membaca pesan manja dari kekasihnya. Keduanya memanglah telah bertunangan dan akan segera melangsungkan pernikahan. Rencananya, setelah proyek pembangunan perumahan ini kelar, bulan depannya, mereka akan menikah. Segala persiapan telah dilakukan. Mulai dari memilih MUA hingga memesan undangan. Tak lupa, membeli souvenir pernikahan.
Sebenarnya, Nadia merasa keberatan karena ditinggal selama lima bulan menjelang pernikahan. Namun, Galang meyakinkan kalau itu adalah terakhir kali, ia ditinggal. Setelah proyek selesai, mereka akan menikah dan Galang akan selalu mengajak Nadia, ke mana pun ia ditugaskan. Lagi pula, gaji dari proyek ini nanti, bisa Galang kumpulkan untuk tambahan biaya pernikahan atau pun untuk keperluan lainnya setelah keduanya menikah.
[ Sudah malam sayang, buruan tidur ya! besok kan kamu harus bekerja. ] - Tulis Galang dalam pesan singkatnya.
Nadia bekerja di sebuah swalayan sebagai kasirnya. Ada beberapa kasir dan ia, salah satunya. Kurang lebih, sudah dua tahun, Nadia bekerja di sana. Baik Galang maupun Nadia, saling menyisikan sebagian dari gaji mereka untuk merealisasikan rencana indah keduanya yakni pernikahan.
[ Iya sayang, aku tidur dulu! kamu jangan malam-malam tidurnya! jangan begadang terus sama para pekerja! ] - Balas Nadia.
[ Iya sayang, mimpi indah ya! ] - ketik Galang mengakhiri percakapan mereka.
...🌟 BERSAMBUNG 🌟...
Keesokan harinya, pekerjaan pembangunan rumah, mulai dilakukan. Semua berjalan dengan lancar sebab, para tukang yang Galang ajak merupakan tukang andalan yang sudah mengerjakan ratusan rumah. Sudah sangat profesional di bidangnya. Sementara tugas Galang adalah mengawasi serta memastikan agar semua pekerjaan sesuai dengan desain yang telah dibuat dan dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Selain itu, dia juga memberi arahan serta membuat keputusan untuk hal-hal yang memang perlu ia putuskan sebagai penanggung jawab. Sekitar pukul empat sore, seluruh pekerjaan dihentikan. Ya, mereka memang bekerja selama delapan jam sehari, ditambah satu jam untuk beristirahat, sholat dan makan siang.
...🌟🌟🌟...
Setelah mengerjakan pekerjaan haru itu, Galang dan para pekerjanya hanya bersantai di rumah. Hal ini berlangsung hingga tiga hari lamanya. Pada malam keempat, beberapa pekerja memilih untuk nongkrong di warung yang ada di luar area perumahan. Dari sana, para pekerja mengenal beberapa warga yang juga nongkrong di warung yang sama. Membicarakan bahasan ringan sembari menikmati kopi dan juga gorengan. Hari-hari berikutnya, satu atau dua warga mulai mampir ke area perumahan. Mengobrol di rumah yang Galang sebut sebagai mess sementara. Suasana menjadi lebih ramai sekarang. Meski tidak setiap hari tapi, dalam seminggu, pasti ada satu atau dua hari di mana warga mampir ke mess mereka. Mengobrol ke sana ke mari hingga larut malam. Cukup ampuh untuk membunuh waktu dan juga rasa bosan.
Lain dari biasanya, malam ini ada seorang warga yang menceritakan sesuatu kepada Galang dan juga para pekerjanya. Galang menyebutnya sebagai mitos semata. Namun, para warga meyakini itu sebagai fakta sebab, telah banyak yang mengalaminya. Warga tersebut berpesan kalau Galang dan para pekerjanya harus berhati-hati andai suatu saat mendengar suara penjual bakso di malam hari.
"Kenapa harus berhati-hati dengan penjual bakso di malam hari pak? bukannya wajar saja kalau bakso dijual di malam hari juga?" tanya Galang.
"Iya mas wajar tapi yang tidak wajar kalau bakso itu dijual di atas jam dua belas malam," jawab warga tadi.
"Mungkin saja baksonya masih banyak pak. Belum laku terjual jadi tetap lanjut jualan hingga lepas jam dua belas."
"Mas, jika itu di tempat lain, mungkin masih bisa dimaklumi tapi kalau di sini, tidak bisa mas. Mas Galang dan yang lain ini kalau bisa harus berhati-hati! saran saya sih, jangan beli bakso di atas jam dua belas malam sekali pun sedang sangat kelaparan!"
"Memangnya pernah ada kejadian apa sih pak?" sahut Putra, salah satu pekerja yang Galang bawa.
"Dari banyaknya kejadian sebelumnya, kemungkinan besar, itu setan. Bukan penjual bakso yang beneran. Warga kampung sini sudah banyak yang jadi korban. Duh mas, bau baksonya itu loh, wangi sekali. Sangat menggugah selera pokoknya. Ya ngiler toh pasti, apalagi kalau memang lagi lapar. Nah, dibelilah itu bakso. Semua normal sampai saat bakso dimakan, pentolnya berubah jadi biji mata mas, mata manusia," jelas warga dengan antusias.
"Yakin pak gak salah liat? mungkin ngantuk atau berhalusinasi gitu?"
"Enggak mas Galang, dia tuh sadar betul. Gak lagi ngantuk atau pun berhalusinasu. Dia muntah-muntah setelah pentolnya berubah jadi biji mata. Eh, pas sadar, si penjual bakso udah ngilang beserta sama gerobaknya juga dan itu gangguan yang paling ringan loh mas karena ada warga lain yang lebih parah dari itu."
"Gimana tuh pak?" tanya Harun yang juga merupakan pekerja di perumahan.
"Kalau yang sebelumnya kan penjual baksonya ngilang. Kalau yang satu ini, penjual baksonya itu tetep berdiri di sana, nglihatin warga yang muntah-muntah. Saat si warga ini sadar, si penjual hanya mengulas senyum tipis tapi efek yang ditimbulkan seram sekali."
Para pekerja seketika bergidik ngeri kecuali Galang. Dia berada pada titik persimpangan antara percaya dan juga tidak meski pada akhirnya, Galang memilih untuk mengabaikan dan sekedar menganggapnya sebagai mitos warga semata.
...🌟🌟🌟...
Setelah dua warga pulang, para pekerja masih membahas perihal setan penjual bakso yang tadi diceritakan. Namun, kali ini mereka mencandainya. Mungkin karena termakan argumen Galang dan mungkin juga karena mereka, belum mengalaminya sendiri sehingga muncul keraguan di dalam hari. Galang melirik jam pada layar ponselnya yang tengah menunjukkan pukul sebelas malam lalu meminta para pekerjanya untuk beranjak tidur.
...🌟🌟🌟...
Galang yang tidak percaya pada cerita warga malah memimpikan setan penjual bakso dalam tidurnya. Setiap adegan yang terjadi, sama persis seperti yang diceritakan warga tadi. Dalam tidurnya, Galang ketakutan bukan main. Ia berlari masuk lalu bersembunyi di dalam kamar. Saat itulah, ia terbangun dari mimpi. Napasnya tersengal seraya menatap ke sekeliling ruangan.
"Cuma mimpi, gila sih ini, kok sampai kebawa ke dalam mimpi sih?" desah Galang.
Galang melirik ke arah Putra dan Harun yang sudah terlelap lalu memiringkan tubuhnya untuk kembali tidur lagi. Sialnya, setelah mendapatkan mimpi yang tidak mengenakkan itu, Galang kesulitan untuk tidur. Gelibukan terus hingga jam menunjukkan pukul satu malam. Galang menghela napas dalam-dalam sembari berseloroh pada diri.
"Tuh kan, sampai jam satu malam pun tidak ada yang terjadi. Memanglah semua itu hanya mitos semata. Untuk apa aku takut? apalagi sampai masuk ke dalam mimpiku. Galang.. Galang.. sudah-sudah, aku mau tidur."
Galang lantas memejamkan matanya, memaksa diri untuk mengirim sinyal ngantuk pada otak agar bisa tidur dengan cepat. Ketika nyaris terlelap, samar-samar Galang mendengar suara ketukan khas seperti yang biasa penjual bakso lakukan. Dalam keraguan, Galang memilih untuk mengelak.
"Bukan-bukan, aku pasti salah dengar. Tadi saja masuk ke dalam mimpi. Pasti kali ini pun sekedar salah dengar."
Sialnya, suara itu kembali terdengar. Bahkan, Galang sempat menenangkan dirinya seraya menajamkan pendengaran.
"Wah benar ini, ada penjual bakso beneran."
..."Thekk.. Thekk.. Thheek.."...
...(Suara penjual bakso yang mungkin saja berbeda di masing-masing wilayah)....
"Serius nih ada bakso?" tanya Galang sembari membuka lebar kedua matanya.
..."Thhekk.. Thekk.. Theekk.."...
..."Deg.."...
Tiba-tiba bulu kuduk Galang meremang. Alih-alih membuktikan, Galang memilih untuk menenggelamkan diri ke dalam sarung yang ia kenakan. Suara penjual bakso masih beberapa kali terdengar. Namun, Galang berusaha untuk mengabaikan hingga akhirnya, ia pun berhasil terlelap. Malam itu pun, lewat.
...🌟 BERSAMBUNG 🌟...
Keesokan harinya, Galang bekerja seperti biasanya. Pada awalnya, ia memilih untuk diam, enggan menceritakan perihal mimpinya. Namun, ketika mengobrol bersama para pekerjanya di malam hari, akhirnya ia membuka cerita. Bukan untuk menyebarkan rasa takut tapi lebih pada mensugesti para pekerjanya agar tidak takut dan turut serta menganggap hal itu sebagai mitos semata. Ditambah, mereka sejauh ini pun belum pernah melihat dengan mata kepala perihal penampakan yang diceritakan. Tanpa ada yang mendebat, obrolan pun bergeser ke topi yang lainnya.
...🌟🌟🌟...
Hari-hari pun berlanjut dengan rutinitas yang sama. Galang dan para pekerja pun semakin akrab. Beberapa anak-anak juga bermain di lokasi pembangunan perumahan. Sesuatu yang wajar, anak-anak memang suka kelayapan. Namun, ada satu gadis kecil yang sering sekali datang. Entah sekedar lewat atau pun sengaja berhenti untuk melihat para pekerja.
Pada awalnya, Galang membiarkannya. Lama-lama, ia tertarik untuk menyapanya. Coba bertanya perihal di mana teman-temannya? kenapa bermain sendirian? gadis kecil yang usianya sekitar enam tahun itu mengatakan, kalau teman-temannya ada di sana tapi sedang bermain di sisi perumahan yang lain. Galang memanyunkan bibir lalu berpesan agar gadis kecil tadi berhati-hati saat bermain. Gadis itu pun mengangguk.
Hari-hari berikutnya, gadis itu kembali datang. Kadang sendirian, kadang bersama teman-teman. Alhasil, Galang kembali menanyainya. Katanya, namanya adalah Tira. Pipinya yang bulat ditambah potongan rambut pendek membuatnya kian terlihat menggemaskan. Para pekerja telah terbiasa dengan kehadiran Tira. Bahkan, Galang cukup akrab dengannya. Dengan polosnya, Tira meminta agar dibuatkan area permainan di perumahan.
"Tira pengen dibuatin apa di area permainannya nanti?" tanya Galang.
"Ayunan om, prosotan sama jungkat jungkitnya juga," jawab Tira dengan cepat.
Galang tersenyum.
"Tira sudah sekolah kan?"
"Sudah."
"Bukannya di sekolah TK juga ada mainannya?"
"Ada tapi kan cuma bisa mainan kalau pas sekolah saja. Kalau pas libur gak bisa mainan."
Galang terkekeh.
"Om gak janji ya. Om juga cuma kerja. Ngikutin instruksi bos saja. Coba om tanyain dulu ke bos, apa boleh ditambahkan ayunan di perumahan."
"Pasti boleh."
Galang kembali tertawa mendengar jawaban penuh harap dari Tira.
...🌟🌟🌟...
Galang benar-benar menyampaikan permintaan Tira kepada kakaknya, mas Fahmi. Melalui sambungan telepon, Galang menanyakannya.
"Walah, ada-ada saja kamu Lang," ucap mas Fahmi di ujung panggilan.
"Kasihan mas, aku gak tega buat nolak. Coba ditanyain dulu lah mas, barang kali boleh sama bos besar!"
"Kalau gak dibolehin gimana?"
"Kalau gak dibolehin ya terpaksa, aku bikinin ayunan sederhana saja di sini, pakai uangku sendiri."
"Kita ini kerja Lang, bukan bakti sosial."
"Sambil menyelam minum air mas (peribahasa)"
"Ngawur, sambil menyelam minum air ya lama-lama tewas."
Jawaban mas Fahmi mengundang gelak tawa Galang.
"Ya sudah, besok saya tanyakan. Sekarang sudah malam, besok saja saya ngomong ke bos besar!"
"Iya mas makasih!"
"Iya, ya sudah saya tutup dulu ya teleponnya?"
"Iya mas, assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam."
...🌟🌟🌟...
Pada jam istirahat siang di hari berikutnya. Galang mendapatkan pesan singkat dari mas Fahmi. Mas Fahmi mengabarkan kalau bos mereka mengizinkan galang untuk membuat ayunan, prosotan dan juga jungkat jungkit sebanyak satu buah tiap masing-masing jenis permainan. Galang lekas tersenyum, permintaannya diizinkan dan lekas mengirimkan ucapan terima kasih kepada kakaknya dan juga bos besarnya.
Di sela-sela penggarapan perumahan. Galang menyempatkan diri melihat denah yang pas untuk meletakkan permainan anak-anak. Setelah mendapatkan area yang pas. Ia pun berangkat untuk membelinya. Permainan didatangkan dan segera dipasang pada area yang telah Galang tentukan. Melihat hal itu, Tira tentu sangat senang. Ia bersorak sembari melompat bahagia. Ekspresi lugu dari gadis kecil yang belum memiliki dosa.
...🌟🌟🌟...
Dua hari kemudian, keberadaan area bermain ini disadari oleh warga yang datang berkunjung ke mess. Mereka memuji sekaligus mengucapkan terima kasih sebab, dengan adanya area bermain tersebut, anak-anak di kampung memiliki tempat bermain yang baru. Galang mengangguk lalu menceritakan alasan dibalik dibangunnya area bermain tersebut. Sayangnya, dua orang warga yang sedang berkunjung malah terlihat bingung.
"Tira? itu, anak siapa ya mas?" tanya salah seorang warga.
"Loh, bapak yang asli orang sini kok malah tanya saya. Mana saya tahu pak, si Tira anaknya siapa."
"Sebentar! anaknya siapa sih Tira ini?" tanya warga tadi kepada temannya yang juga warga asli sana.
"Gak tahu, apa anaknya bu Lia?"
"Bu Lia? enggak ah, anaknya bu Lia sih namanya Rizki dan Riska."
"Emm.. anak siapa ya?"
Melihat kedua warga yang kebingungan, Galang lantas menyebutkan ciri-ciri Tira.
"Anaknya kisaran umur enam tahunan. Rambutnya pendek segini nih, di bawah telinga. Pipinya tembem, bulat, lucu. Sudah sekolah TK kalau gak salah."
Kedua warga itu pun kembali coba mengingat.
"Anak TK sih ada beberapa mas tapi kalau yang seperti yang mas Galang sebutkan.. sepertinya kok gak ada ya mas?"
"Ah masak? bapak lupa kali. Ada kok pak, mungkin nama panggilannya di rumah berbeda."
"Em.. bisa jadi mas."
Setelah itu, perbincangan beralih pada topik yang lain. Galang juga mengeluarkan papan catur yang sengaja ia beli bersamaan dengan membeli prosotan. Pikirnya, catur akan sangat pas dimainkan sembari begadang dan menikmati segelas ngopi. Ia juga membeli satu pak kartu remi lengkap dengan sebotol bedak bayi untuk dioleskan pada pemain yang kalah. Lengkap sudah amunisi malam untuk membunuh kesunyian.
...🌟🌟🌟...
Sekitar pukul sembilan malam. Galang tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke area permainan. Ia tajamkan penglihatan yang sontak membuat para pekerja dan juga para warga penasaran. Turut melihat ke arah Galang memandang.
"Ada apa mas Galang?" tanya beberapa orang di sana.
"Itu loh, kok Tira main ayunan malam-malam?"
...Deg.....
Semua mata tertuju pada ayunan yang Galang maksudkan.
...Wwussshhhh.....
Bagai tertiup angin, tengkuk semua orang merinding. Tentu saja hal ini tak dirasakan oleh Galang. Hanya dia seorang yang menganggap kalau itu, benar sosok Tira. Sementara yang lain, memikirkan sosok yang lain.
"Tira yang tadi mas Galang ceritakan?"
"Iya pak, tuh dia di sana. Gimana sih orang tuanya, kok dibolehin main malam-malam? bentar deh, mau saya samperin sebentar!"
"Jangan mas, di sini saja!" tahan salah seorang warga.
"Kenapa pak?"
Semua orang saling berpandangan ketika semuanya melihat kalau ayunan benar-benar bergerak. Seperti ada yang sedang memainkan.
"Mas, saya yakin kalau Tira, bukan manusia."
Galang mengerutkan dahinya, terkesan meragukan ucapan warga.
"Sebaiknya, kita masuk saja mas ke dalam!" ajak warga itu kemudian.
Tanpa komando lagi, semua orang pun masuk ke dalam.
...🌟 BERSAMBUNG 🌟...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!