Seorang gadis membuka matanya perlahan ketika terbangun karena mendengar suara berisik yang membuat tidurnya terusik. Namun, dia dibuat sangat terkejut ketika mendapati ruangan tempat dirinya tidur sangat asing dan keluarganya sibuk berdebat di dalam sana. Gadis itu tahu ini bukan di rumah dan kamar tempat dirinya berada saat ini adalah kamar hotel. Namun, yang membuat dia terkejut dan bingung karena dia sama sekali tidak ingat kenapa bisa berada di tempat itu. Raina adalah nama gadis itu, dia yakin kalau seseorang pasti telah dengan sengaja membanya ke sana.
"Dasar lelaki brengsek, kenapa kau tega sekali menodai putriku!" teriak Sebastian–papanya, setelah menampar pipi seorang lelaki yang sangat tampan dan dewasa di depannya yang saat ini hanya memakai celana pendek saja dan Raina sangat mengenali lelaki itu.
"Biadab, apa yang kau lakukan pada adikku, Bodoh!" Satu pukulan diberikan Renan–kakaknya, ke wajah lelaki itu. Rahang Renan mengeras, urat-urat tubuhnya menonjol menandakan kalau dia benar-benar sangat marah sekarang.
"Raiden, saya tidak menyangka kalau kamu berani melakukan hal menjijikkan ini kepada putriku. Padahal kamu tahu kalau besok Raina akan menikah dengan kekasihnya," ucap Sinta dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca karena sangat kecewa dengan sahabatnya itu.
"Dia anak dari sahabatmu, dia sahabat dekat keponakanmu, tetapi kenapa kau malah dengan tega menidurinya?" bentak Renan seraya melayangkan pukulan lagi, tetapi kali ini tidak berhasil menyentuh wajah Raiden sama sekali karena lelaki itu lebih dulu menahan pergelangan tangannya.
"Kak Renan, apa maksud kamu dengan dia yang meniduri aku, apa maksudnya?" tanya Raina yang seketika itu juga langsung duduk dan saat itu dia baru sadar kalau tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. "Kenapa aku tidak memakai pakaian, di mana pakaianku?" tanyanya kebingungan, tetapi tidak mendapat jawaban apa-apa dari mereka.
Raina menatap keluarganya secara bergantian dan menuntut penjelasan dari mereka, tetapi semua orang di kamar itu tetap diam seolah-olah tidak mau menjawab pertanyaannya, tetapi malah menatapnya dengan kasihan.
"Kenapa kalian tidak ada yang menjawab?" teriak Raina dengan mata berkaca-kaca, otaknya mulai mencerna apa yang terjadi, tetapi dirinya mengelak dan tidak mau percaya dengan apa yang sudah terjadi padanya.
"Sayang, maafkan mama yang tidak bisa menjaga kamu dengan baik sampai-sampai mama tidak tahu kalau sahabat mama tega meniduri kamu." Sinta langsung memeluk putrinya yang duduk di ranjang dengan wajah linglung setelah mendengar ucapannya. "Maafkan mama, Sayang. Maafkan mama!" katanya lagi sambil memeluk putrinya semakin erat.
Air mata Raina berjatuhan di pipi, dia menjambak rambut panjangnya yang tergerai berantakan kemudian berteriak. "Aaaa, itu tidak mungkin, Ma. Aku tidak mungkin diperko*a, aku tidak mungkin tidur dengan paman dari sahabatku sendiri." Dia terus menjambak rambutnya, meluapkan segala rasa sakit yang dirinya terima.
Kenapa? Kenapa dia harus dinodai sebelum menikah dengan kekasihnya? Kesuciannya yang selama ini dia jaga dengan baik harus terenggut secara tidak hormat oleh paman dari sahabatnya sendiri yang juga sahabat dekat mamanya.
Di tengah keributan itu, tiba-tiba kekasih Raina datang dan masuk ke kamar itu segera paksa. "Raina, maaf! Aku akan membatalkan pernikahan kita karena baik aku ataupun keluargaku tidak mau menanggung malu karena menikah dengan wanita yang sudah tidak suci lagi," kata kekasih Raina dengan penuh rasa kecewa.
"Ken, jangan batalkan pernikahan kita! Aku bersumpah tidak melakukan apa-apa dengannya, kau harus percaya!" teriak Raina dengan tangisan yang semakin kencang.
"Tapi darah di selimut yang kamu pakai sudah menunjukkan kalau kamu benar-benar tidak lagi gadis, Raina. Mulai hari ini hubungan kita selesai dan jangan pernah menganggap aku sebagai kekasihmu lagi. Anggap saja kalau kita tidak saling kenal, aku kecewa padamu." Kenan lalu berbalik dengan rahang mengeras dan tangan mengepal penuh amarah.
Dia tidak menyangka kalau gadis yang selama ini dia cintai dan jaga dengan baik malah tidur dengan lelaki lain sehari sebelum pernikahan mereka. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Raina akan membuatnya terluka seperti ini.
"Kenan, aaaaa ...." Raina menangis semakin meraung-raung. Dia benar-benar terlihat sangat kacau sekarang.
"Raiden, saya tidak mau tahu, kamu harus menikahi Raina besok!" putus Sebastian karena dia tidak mau kalau keluarganya menanggung malu akibat ulah lelaki itu.
"Baik, saya akan menikahi putri Anda besok." Raiden dengan mudahnya menyetujui itu.
"Aku tidak mau menikah dengannya, aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai!" tolak Raina dalam dekapan mamanya.
"Mau tidak mau kamu harus mau untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kamu sendiri!" hardik Sebagian menatap putrinya dengan penuh rasa kecewa.
"Aku tidak mau, Pa! Aku tidak mau!"
"Pakai pakaianmu dan kita pulang sekarang!" perintah Sebastian tegas.
"Papa!" teriak Raina menolak.
"Menurut saja atau jangan pernah pulang ke rumah lagi!" Setelah mengatakannya, Sebastian langsung keluar dari kamar itu dengan penuh emosi. Dia menahan diri untuk tidak menghajar putrinya sendiri.
...***...
"Bagaimana, saksi, sah?" tanya Penghulu kepada orang yang menjadi saksi pernikahan Raina dan Raiden.
"Sah!" teriak para saksi yang berada di ruangan itu.
Raiden bernapas lega karena dia berhasil menyelesaikan ijabnya dengan lancar walau tatapan orang-orang di sana sangat tidak bersahabat, bahkan terkesan jijik dan benci kepadanya. Dia tidak terlalu peduli dengan tatapan itu karena tahu kalau semua itu memang berawal darinya.
Setelah akad selesai, Raiden langsung menjemput Raina di kamar wanita itu untuk dia ajak turun dan menandatangani dokumen-dokumen penting sebagai pengesahan pernikahan mereka secara hukum agama dan negara. Namun, ketika dia masuk ke kamar Raina, dia mendapati wanita itu sedang duduk di lantai dengan kepala bersandar pada ranjang sambil menangis sesenggukan.
"Rain," panggilnya pelan seraya berlutut di depan Raina.
"Pergi dari sini!" teriak Raina dengan galaknya.
"Ayo turun dan tanda tangan dulu lalu lanjutkan tangisanmu kalau semuanya sudah selesai!" perintah Raiden tegas.
"Aku tidak mau, Paman Rai! Pergi dari kamarku sekarang!" teriak Raina lagi seraya menuding wajah Raiden dengan penuh kebencian.
"Turun!" hardik Raiden dengan suara lantang.
"Tidak mau!"
"Turun!"
"Tidak mau, jangan paksa aku!"
"Turun, Rain!"
"Aku sudah bilang tidak mau yang tidak mau, Paman! Jangan paksa aku!" Raina mendorong tubuh Raiden, tetapi usahanya itu sama sekali tidak membuat Raiden bergerak dari tempatnya. "Aaaa, turunkan aku, Paman!" teriak Raina ketiak Raiden tiba-tiba mengangkat tubuhnya, menggendong dengan paksa membawanya turun untuk tanda tangan berkas pernikahan mereka.
Raina terus memberontak, dan terus memukuli punggung suaminya dengan brutal, bahkan ketika sudah berada di tengah orang-orang yang hadir di acara pernikahan, dia masih menangis dan menolak tanda tangan serta tidak peduli dengan penilaian orang-orang terhadapnya.
"Rain, jangan keras kepala! Tanda tangan sekarang, Sayang!" bujuk Sinta lembut.
"Aku tidak mau, Ma. Aku tidak mau!" Raina menggeleng.
"Rain!" teriak Sebastian, "tanda tangan atau Papa tidak akan segan memukul kamu sekarang!" ancam Sebastian yang pada akhirnya membuat Raina tidak berkutik sama sekali dan mau menandatangani dokumen-dokumen itu walau dengan sangat terpaksa.
"Sudah selesai, kita sudah sah secara hukum agama dan negara. Jadi, sekarang ceraikan aku, Paman!" pintanya dengan suara serak dan hampir habis karena terlalu lama menangis.
"Rain!" teriak semua keluarganya terkejut. Mereka tidak menyangka kalau Raina akan meminta cerai bahkan sebelum satu jam sah menikah.
Raiden adalah paman kandung dari sahabat Raina yang bernama Yolanda. Raiden juga merupakan sahabat baik Sinta–mamanya Raina. Raina terbiasa memanggil Raiden dengan sebutan paman karena dia ikut cara Yolanda memanggil pria itu.
...~tbc~...
...Vote, komen, like, hadiah, share jangan lupa ya. Itu adalah bentuk dukungan paling aku suka dari kalian....
Dikarenakan pernikahan digelar secara sederhana dan tanpa resepsi, acara itu berakhir dengan sangat cepat.
Jika seharusnya kamar pengantin di isi dua insan manusia yang sedang kasmaran dan malu-malu karena bisa berduaan, berbeda sekali dengan suasana kamar pengantin Raina dan Raiden saat ini yang terkesan sepi dan dingin.
Raina seperti enggan bicara dengan suaminya, sementara Raiden pun seperti tidak ingin berbicara dengannya. Keduanya kini duduk di tepi ranjang dengan jarak berjauhan, jika Raina dengan dekat kepala ranjang, maka Raiden berada di ujungnya. Lama mereka terdiam, bahkan sampai tiga puluh berlalu semuanya masih sama saja.
"Rain, Hapus riasan wajahmu dan mandilah sekarang!" perintah Raiden setelah membisu lama. Rain adalah panggilan khusus dari Raiden untuk Raina setelah mereka kenal karena Raina bersahabat dekat dengan keponakan perempuan Raiden.
"Aku tidak pernah mandi dua kali sehari, Paman Rai," ketus Raina berbohong, dia sengaja melakukan itu agar Raiden marah kepadanya. Niatnya yang ingin membuat Raiden marah tidak lain adalah untuk mengumpulkan alasan seandainya dia meminta cerai lagi nanti.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau mandi, biar aku saja yang mandi." Raiden melepas pakaiannya tanpa masuk ke kamar mandi terlebih dahulu, dia seperti sengaja menggoda Raina yang terlihat sangat membenci dirinya.
Senyum devil langsung tercipta kala dia melihat Raina menutup mata dan wajah dengan kedua tangan kemudian memalingkan wajah ke arah lain.
"Kenapa kamu menutup mata? Padahal melihatku tanpa busana pun tidak akan berdosa," goda Raiden sambil terkekeh pelan, dia memang sangat suka menggoda orang, terutama orang yang mudah terpancing emosinya karena hal itu merupakan kepuasan tersendiri untuknya.
"Cerewet sekali jadi suami," gumam Raina masih dengan memalingkan wajah dan menutup mata.
"Beraninya kamu bilang aku cerewet, ingatlah kalau lelaki cerewet ini yang akan menemani hari-harimu mulai sekarang! Kamu boleh saja membenci dan tidak mencintaiku, tetapi jangan sampai kamu tidak menghormati aku yang berstatus sebagai suamimu kalau kamu tidak mau dilaknat Allah dan malaikatnya!" hardik Raiden seraya menatap lekat Raina.
Raina terdiam, tetapi dalam hati dia terus mengumpat dengan mengucap sumpah serapah yang ditujukan kepada Raiden.
Paman Raiden sok-sokan bilang laknat Allah dan malaikatnya sementara ketika dia meniduri aku mungkin dia tidak ingat dengan laknat Allah atas dosa besar itu. Bahkan sholat lima waktu pun aku tidak yakin dia melakukannya.
Raina tersentak kaget ketika kepalanya tiba-tiba diusap dengan sangat lembut oleh suaminya.
"Aku mandi dulu, setelah itu baru kamu." Setelah mengusap kepala Raina, Raiden langsung berlalu pergi masuk ke kamar mandi.
Jujur saja jantung Raina berdetak kencang mendapat perlakuan begitu dari pamannya, walau ini bukan yang pertama dia diusap seperti itu, tetapi entah kenapa sekarang rasanya sangat berbeda, mungkin karena status mereka yang tiba-tiba berubah menjadi suami istri, padahal sebelumnya mereka hanya dekat karena selain Raiden salah paman dari sahabatnya, Raiden juga sahabat baik kedua orangtunya.
Raina baru berani membuka mata setelah memastikan kalau suaminya itu benar-benar sudah masuk ke kamar mandi. Dia lalu menatap pintu itu cukup lama kemudian membuang napas secara kasar. Raina tidak menyangka kalau dirinya benar-benar sudah menjadi seorang istri sekarang, tetapi sayangnya bukan istri dari laki-laki yang dia cintai.
Kenan, entah sedang apa kekasihnya itu sekarang–ralat mantan kekasih. Raina tahu kalau Kenan marah karena merasa dikhianati, walau Raina sendiri tidak ada niat sedikit pun mengkhianati Kenan.
Untuk Raina, Kenan adalah cinta pertamanya, mereka berpacaran cukup lama sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Namun, semua itu ternyata tidak berakhir dengan indah karena satu hari sebelum pernikahan Raina malah ketahuan tidur dengan paman dari sahabatnya sendiri.
"Kenapa malah jadi begini? Benarkah malam itu aku dan Paman Raiden melakukannya?" Raina sampai sekarang masih ragu kalau hal itu benar-benar terjadi.
Kata orang-orang, saat pertama kali melakukan hubungan suami itu itu pasti akan terasa sangat sakit, tetapi Raina baru sadar kalau dia tidak merasakan hal itu saat ketahuan satu kamar dengan Raiden. Namun, kalau benar mereka tidak melakukannya, lantas darah yang ada di sprei itu darah apa.
"Apa jangan-jangan sebenarnya Paman Raiden tidak meniduri aku dan kejadian kemarin itu hanya salah paham saja?" gumam Raina menebak-nebak.
"T-tapi kalau bukan, lalu kenapa aku tidak memakai pakaian sama sekali dan Paman hanya memakai celana pendek?" Dia mengusap wajahnya dengan kasar, memijit pelipis pelan karena sekarang dia benar-benar dibuat pusing setelah memikirkan hal itu.
Raina membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan membiarkan kakinya tetap menapak lantai, dia menatap langit-langit kamar dengan sorot mata menyimpan banyak beban.
"Aku sangat mengantuk sekarang," katanya lirih. Sejak semalam dia memang tidak bisa tidur dengan nyenyak sehingga rasa kantuknya saat ini membuatnya langsung tertidur dengan sangat pulas, padahal Raina belum mengganti pakaiannya.
Raina terbangun ketika merasakan wajahnya terkena tetesan air, saat membuka mata dia dibuat terkejut karena mendapati wajah Raiden tepat di depan wajahnya dan berjarak kurang dari sepuluh cm.
Glek!
Raina menelan ludahnya karena dia benar-benar terpesona dengan wajah tampan Raiden, apalagi rambut lelaki itu masih basah dan meneteskan air yang membuatnya menjadi sangat seksi.
"Rain, kenapa belum membersihkan riasan wajahmu, hm?" tanya Raiden dengan begitu lembut, tetapi suaranya terdengar seksi dan menggelitik telinga Raina.
"Menjauhlah dariku, Paman!" cicit Raina yang seketika itu juga langsung menahan dada Raiden dengan kedua tangannya agar tidak benar-benar menempel dengan tubuhnya karena saat ini kaki Raiden sudah sedikit menindihnya.
"Tidak mau," balas Raiden santai. Dia tersenyum miring lalu merapikan anak rambut Raina yang berantakan. "Ternyata kalau diperhatikan dari dekat, kamu cukup cantik, Rain," bisiknya tepat di telinga kiri Raina.
"Aku memang cantik sejak dulu, Paman."
"Oh, ya? Tapi dalam ingatanku, kamu hanyalah anak kecil yang masih bau minyak telon." Raiden terkekeh ketika mengatakannya, dia lalu bangkit dan berdiri tegak seraya melipat kedua tangan di depan dada. "Bangun, bersihkan wajahmu, kemudian mandi!" perintahnya lagi dengan nada tegas dan tidak mau dibantah.
Raina kali ini tidak membantah, dia melakukan apa yang Raiden perintahkan.
Tiga puluh menit berlalu dan dia sudah selesai dengan urusannya. Raina menatap Raiden yang dengan santainya duduk di tepat tidur sambil selonjoran dan bermain ponsel. Raina ragu apakah dia harus mendekat atau tidak, tetapi setelah berpikir cukup lama, dia akhirnya memilih mengambil selimut dan bed cover dari almari lalu menggelarnya di lantai samping tempat tidurnya.
Apa yang dilakukan Raina tidak luput dan perhatian Raiden, pria itu hanya menarik sebelah sudut bibirnya membentuk senyuman sinis dan terkesan mengejek.
"Aku akan tidur di sini," kata Raina dengan suara agak keras, sengaja agar Raiden mendengar dengan baik.
"Terserah," jawab Raiden cuek dan hal itu membuat Raina kesal sampai mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
...~tbc~...
Ya Tuhan, dia tadi bilang terserah, 'kan? Apa aku tidak salah mendengar kalimat keramat yang biasanya diucapkan seorang wanita itu dari mulut Paman Raiden? batin Raina dengan perasaan dongkol.
"Paman, apa Paman benar-benar akan membiarkan aku tidur di sini?" Raina menatap Raiden yang masih sibuk dengan ponselnya. Padahal awalnya dia iseng berbicara kalau akan tidur di lantai hanya karena ingin membuat Raiden yang tidur di sana, tetapi ternyata jawaban suaminya itu tidak sesuai dengan ekspektasinya karena malah menjawab dengan kata terserah. Terserah menurut Raina itu memiliki banyak arti sehingga dia bingung dan pusing sendiri dan menjadi marah kepada pamannya itu.
"Aku bilang terserah, Rain. Bukannya kamu dulu yang mengatakan akan tidur di sana?" Raiden hanya menatap Raina dengan sudut matanya seolah tidak tertarik bertatap muka.
"Tapi ini 'kan kamarku, seharusnya yang tidur di bawah itu Paman, bukan aku!" protes Raina sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai dengan sangat kesal.
"Sekarang kamarmu adalah kamar kita, sebagai suami istri sudah sepatutnya kita tidur di kamar dan ranjang yang sama, Rain." Raiden mengangkat kedua alisnya tinggi.
"Tapi kita menikah bukan karena saling mencintai, Paman. Aku bahkan mau menikah denganmu karena terpaksa dan tekanan dari papa. Andai saja papa tidak meminta kita untuk menikah, mungkin aku masih lajang sampai sekarang." Rain langsung cemberut, masih belum terima dengan semua yang terjadi padanya.
"Meskipun begitu, kita tetaplah suami istri yang sah di mata hukum agama dan negara. Lagipula mungkin tidak akan ada lagi pria yang mau menikahi kamu karena kamu sudah tidak gadis lagi sekarang." Raiden meletakkan ponselnya di atas nakas samping tempat tidur kemudian dia turun dari tempat tidur dan berdiri tepat di depan Raina. Tangannya terulur menyentuh dagu Raina kemudian dia angkat sampai istrinya itu mendongak dan tatapan mereka bertemu.
"Tapi itu salahnya, Paman. Kenapa Paman malah tidur denganku yang merupakan anak dari sahabat Paman sendiri? Di mana akal sehat Paman ketika melakukan hal itu?" Raina menatap sengit Raiden, tetapi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Kamu sendiri yang memintanya kalau lupa!"
"Tidak mungkin aku memintanya, aku gadis waras, Paman!"
"Tapi itulah fakta yang sebenarnya, kamu meminta aku menyentuhmu dengan paksaan!" sentak Raiden masih dengan memegang dagu istrinya.
"Paman bisa saja menolak, Paman Raiden 'kan laki-laki dan tenaganya lebih besar daripada seorang wanita!" Raina masih saja mencari pembelaan dan memojokkan Raiden terus menerus.
"Lupakan sama semuanya, toh semua sudah terjadi dan tidak bisa diperbaiki lagi. Lebih baik kamu bersikaplah baik sebagai seorang istri sekarang!" Raiden menepuk pundak kepala Raina beberapa kali kemudian dia langsung merebahkan diri di kasur milik Raina yang tidak terlalu besar, tetapi sangat muat ditiduri dua orang.
"Paman Rai, tolong tidurlah di bawah"
"Kenapa aku harus susah payah tidur di lantai sementara ada ranjang luas seperti ini?" Raiden enggan bangun.
"Itu kasurku."
"Kasur kita berdua, Rain. Cepat tidurlah di sampingku atau tidur saja di lantai seperti kemauan kamu tadi!" perintah Raiden yang membuat bibir Raina mengerucut dan tidak lama setelah itu Raina langsung berbaring di lantai dengan alas bad cover yang digelar tadi.
Raiden membiarkan saja karena dia tidak mau memaksa Raina tidur dengannya.
Malam semakin larut, dua manusia itu sudah terlelap. Namun, sekitar pukul setengah satu dini hari, Raina terbangun dan merasakan tubuhnya sakit semua, dia juga merasa sangat kedinginan sampai akhirnya dia pindah berbaring di sebelah suaminya dan meringkuk di sana tanpa peduli dengan hal lain lagi.
Raina berusaha memejamkan mata lagi, tetapi sangat sulit sampai akhirnya diam-diam dia menyusup masuk ke dalam pelukan Raiden, menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu dan lama-kelamaan dia terlelap juga.
Saat pagi hari dan terbangun, Raina mendapati dirinya dan Raiden saling berpelukan dan ketika dia menatap wajah suaminya itu, ternyata suaminya juga sudah bangun dan menatapnya dengan hangat.
"Tidur di pelukanku ternyata membuat kamu sangat nyenyak ya?" ledek Raiden sambil mencium dahi Raina sebentar.
"Tubuhmu hangat, makannya aku bisa nyenyak," jawab Raina lirih, dia tidak munafik kalau nyaman sekali tidur dengan dipeluk suaminya sendiri.
"Kamu suka?"
"Biasa saja." Padahal tangan Raina sebagian masih melingkar di pinggang suaminya.
"Raina."
"Hm?" Raina menatap kedua mata pamannya lekat, indah sekali mata itu dan Raina merasa dirinya seolah tenggelam di sana.
"Jadi istriku yang baik mulai sekarang, bisa?" Raiden merapikan rambut Raina yang sedikit menutup wajah cantiknya.
"Kenapa memangnya Paman ingin aku jadi istri yang baik?" Raina benar-benar ingin tahu alasannya.
"Karena aku sayang sama kamu."
"Sayang sebagai apa?" tanyanya dengan menatap lekat mata pria itu.
"Sebagai istri."
"Paman, apa benar kalau malam itu kita melakukan hubungan suami istri?" Raina sampai sekarang masih ragu dan sulit percaya dengan kenyataan itu.
"Kenapa kamu bertanya hal itu? Apa kamu tidak percaya dengan apa yang telah terjadi?"
"Bukan begitu, Paman. Kata teman-temanku yang pernah melakukannya, katanya pertama kali itu akan terasa sakit, tetapi kenapa aku tidak merasakan apa pun ketika bangun tidur waktu itu?" Raina menarik napas panjang kemudian membuangnya perlahan.
"Darah di sprei sudah menjadi bukti, Rain."
"Mungkin saja itu bukan darahku."
"Lantas darah siapa?"
"Mana aku tahu."
"Rain, kamu membenciku?" tanya Raiden sungguh-sungguh.
"Iya, aku sangat membencimu karena telah merusak aku dan membuat pernikahanku dengan Kanan batal. Paman Raiden tahu 'kan kalau Kenan adalah cinta pertamaku, tetapi aku malah gagal menikah dengannya dan menikah denganmu." Raut wajah Raina langsung berubah sendu, tetapi dia bicara dengan sopan kepada Raiden, tidak seperti kemarin ataupun semalam yang tidak pernah ramah serikat pun.
"Mungkin ini takdir karena jodoh kamu yang sebenarnya adalah aku." Raiden begitu percaya diri ketika mengatakannya.
"Alasanmu!." Raina kemudian duduk dan meregangkan otot-otot tubuhnya. "Aku memang membenci dan marah padamu, tetapi aku akan mencoba hidup denganmu sebagai suami dan istri, jangan salahkan aku kalau sewaktu-waktu aku membuat Paman Raiden marah atau tidak patuh karena semua ini terlalu tiba-tiba dan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya." Raina menepuk pipi Raiden dua kali kemudian dia melompat turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi.
Raiden hanya tersenyum tipis ketika mendengar kata-kata istrinya itu. Dia lalu melipat kedua tangan di belakang kepala dan dijadikan bantal. "Rain, akan kepastian kamu jatuh cinta padaku dan hanya menatap aku seorang sebagai pria yang kamu cintai," gumamnya dengan seringai tipis penuh arti.
...~tbc~...
...Likenya jangan lupa!...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!