NovelToon NovelToon

Ramadhan Tanpa Sua

Penugasan Dadakan

April 2020

Manusia tidak pernah tahu akan hari esok. Siang dan malam berlalu, sinar matahari tetap menyapa, tapi ada keadaan yang tidak bisa ditaksir oleh manusia. Pengaturan di bawah kedaulatan Sang Semesta yang sepenuhnya terjadi.

Siang itu di Malang, Jawa Timur di salah satu Rumah Sakit, kepanikan terjadi kala bumi dilanda dengan virus corona atau yang dikenal dengan COVID-19. Tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan untuk usaha menyelamatkan masyarakat harus diperhadapkan dengan satu wabah yang tak pernah terjadi sebelumnya. Semua panik, penuh simpang siur sana-sini, dan juga dengan obat atau vaksin yang belum ditemukan.

Dalam situasi genting itu, seorang perawat muda Ardhita Maesti mendapatkan surat penugasan ke Natuna, Kepulauan Riau. Perawat berusia 25 tahun ini ditugaskan untuk membantu Rumah Sakit Darurat yang dibuka oleh pemerintah di Pulau Natuna.

"Dhita, akan ditugaskan untuk penugasan di Rumah Sakit Darurat di Pulau Natuna. Akan ada Warga Negara Indonesia yang pulang dari Wuhan, Tiongkok. Memastikan warga yang pulang tidak terjangkit virus ini," ucap Dokter Affandi kepada Dhita.

Bagi seorang perawat muda yang belum banyak mengerti mengenai kondisi darurat seperti ini, tentu Dhita juga bingung. Terlebih seumur hidupnya, hanya di Malang saja kota yang dia tempati. Tidak pernah tinggal di kota lainnya.

Ardhita menunduk dan menggerakkan jari-jari tangannya. Resah kala dia harus ditugaskan hingga ke Pulau Natuna, salah satu pulau terluar dan terdepan Indonesia. Gadis itu pun menghela nafas panjang dan berkata, "Tidak bisakah yang lain, Dokter?"

"Tidak bisa, semua tenaga kesehatan harus siap ditempatkan di mana saja. Terlebih kondisinya darurat seperti ini. Jadi, harus segera berangkat ke Natuna," balas Dokter Affandi.

Jika sudah mendapatkan surat mutasi dan penugasan seperti ini, para tenaga kesehatan juga tidak bisa menolak. Terlebih kondisi sekarang juga sedang kondisi genting, jadi memang tidak bisa lagi menolak.

"Dari Malang akan ada beberapa perawat yang berangkat. Bersiaplah, esok kalian akan berangkat. Jaga diri baik-baik. Semoga nanti bisa kembali ke Malang dengan selamat dan dalam keadaan yang jauh lebih baik," ucap Dokter Affandi.

Ardhita akhirnya pulang ke rumah lebih cepat dan berkemas. Dia pulang membawa surat penugasan dari Rumah Sakit itu, akan menunjukkannya kepada Bapak dan Ibunya. Sudah pasti orang tuanya juga akan terkejut dengan penugasan dadakan ini. Namun, Ardhita juga tidak bisa menolak. Sudah menjadi risiko pekerjaannya untuk siap ditempatkan di seluruh Indonesia. Terlebih dalam kondisi darurat, pasti tenaga kesehatan seperti dia lebih dibutuhkan.

Begitu sudah tiba di rumah, Ardhita mengambil hanpdhonenya terlebih dahulu, dia berusaha untuk menghubungi pacarnya, Dhito yang sekarang berada di Makassar. Setidaknya Ardhita juga harus memberikan kabar kepada Dhito.

Mas Dhito

Berdering ....

"Halo, assalamualaikum Mas Dhito," sapa Dhita kepada kekasihnya itu.

"Ya, halo, Dik ... waalaikumsalam. Ada apa?" tanyanya.

"Begini, Mas. Jadi, aku akan berangkat ke Ranai, Natuna, besok. Aku akan ditugaskan di Rumah Sakit Darurat di Natuna. Aku menelpon untuk mengabarkan kepada Mas Dhito," ucapnya.

Mendengarkan ucapan Ardhita, Dhito tampak menghela napas panjang. Ada rasa sedih yang seketika melingkupi dirinya. Di tengah dunia yang genting seperti ini justru kekasih hatinya itu hendak pergi dengan begitu jauh hingga ke Ranai, Natuna. Dhito juga tahu bahwa Natuna adalah pulau terluar di negeri ini. Cukup terpencil, bagaimana bisa Dhita justru ditugaskan sampai ke Rumah Sakit di sana.

"Apakah tidak bisa menolak?" tanya Dhito kepada Ardhita.

Gadis itu sekarang menggelengkan kepalanya seakan tengah berhadap-hadapan dengan Dhito. Dia mengatakan tidak bisa menolak. "Tidak bisa, Mas. Maafkan aku. Aku akan berangkat dan Ramadhan pun aku akan menjalaninya di Natuna," balas Dhita.

Di Makassar sana pemuda itu menghela napas panjang. Jaraknya dengan Ardhita justru semakin jauh. Malang ke Makassar saja sudah begitu jauh. Sekarang semakin jauh karena Natuna ke Makassar.

"Mas Dhito kan juga di Makassar, semoga ketika waktu semakin baik nanti, kita akan kembali bertemu ya, Mas," ucap Dhita.

"Baiklah, jika itu keputusanmu. Mas akan menunggu. Ramadhan kita tahun ini ... tanpa sua."

Mengatakan semua itu, Dhito merasa hatinya begitu pedih. Apabila di Ramadhan sebelumnya, keduanya bisa bersua, beribadah berpuasa bersama. Tahun ini sangat berbeda. Sebab, keduanya tidak akan bersua.

Memang sesaat lagi sudah tiba waktunya menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Namun, sangat disayangkan bahwa Ardhita harus menjalaninya jauh dari rumah untuk pertama kali. Selain itu, Ardhita hanya bisa pasrah dan tabah dalam menjalani. Dalam segala suasana, selalu ada hidayah yang Allah tunjukkan kepada hamba-Nya.

***

Sekarang ...

Ardhita sudah tiba di Pulau Natuna, di Ranai. Kedatangan para tenaga medis kala itu disambut oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Hal itu memang wajar karena pangkalan Angkatan Laut, berada di pulau Natuna. untuk menjaga negara dan batas teritorial dari negara tetangga, termasuk yang berada di sekitar Laut Cina Selatan.

"Selamat datang di Ranai, Natuna. Lusa, seluruh warga Indonesia dari Wuhan akan tiba. Mereka akan melakukan isolasi terlebih dahulu di Rumah Sakit ini. Semoga kita semua bisa bertugas dan menetapkan protokol kesehatan," sambutan dari seorang TNI AU di sana.

"Siap!"

Semua tenaga kesehatan pun membalas dan akan bersiap dengan setiap tugas yang dilakukan. Menetapkan protokol kesehatan dan melayani untuk masyarakat yang akan diisolasi kurang lebih selama 40 hari di Natuna. Termasuk Ardhita yang siap tidak siap harus siap untuk bertugas.

Kala memasuki rumah singgah di Ranai, Natuna. Gadis itu membuka sebuah album, dan menitikkan air matanya kala menatap foto yang dia simpan di album itu.

"Aku sudah menginjakkan kakiku di tanah Natuna, Mas ... sementara kamu sekarang berada di Makassar. Kemungkinan besar, di bulan Ramadhan ini kita tak akan bersua. Namun, kita akan terasa lebih dekat dalam setiap doa yang kita ucapkan. Insyaallah, Ramadhan berikutnya kita akan bersua dalam keadaan yang jauh lebih baik lagi."

Ardhita bergumam lirih. Seharusnya, Ramadhan kali ini dia akan bersua dengan kekasih hatinya Ditho Pratama. Sayangnya, dengan penugasannya secara mendadak ke Natuna dan juga keadaan bumi yang sedang dilanda wabah. Sudahlah pasti di Ramadhan kali ini, keduanya tidak akan bersua.

Yang Gelisah di Makassar

Sementara itu di kota Makassar, seorang pemuda berusaha untuk tetap bekerja sebagai marketing di salah satu hotel berbintang di kota Makassar. Di masa pandemi yang susah ini, begitu sukarnya mendapatkan pemasukan. Seolah-olah semua hotel berhenti beroperasi.

"Bagaimana dengan strategi marketing perhotelan di masa pandemi ini, Pak Ditho?"

Kala itu Pak Steve sebagai pimpinan Paradise Hotel di Makassar bertanya kepada Ditho yang kala itu menjabat sebagai marketing di perhotelan di sana. Namun, Dhito pun seakan tidak mendapatkan jawaban yang tepat. Situasi yang terjadi sekarang benar-benar menjerat.

"Maaf Pak Steve ..., tapi memang situasi sekarang tidak memungkinkan untuk para pengunjung menginap di hotel," jelas Dhito.

Kala itu saja, seluruh pegawai di Paradise Hotel sudah menerapkan protokol kesehatan dengan mengenakan masker. Yang membantu mereka untuk terkena dari paparan virus kala itu.

Tampak Pak Steve pun harus menghela napas panjang. Sepenuhnya dia juga memahami bahwa situasi sekarang ini sangat sukar untuk menarik pengunjung menginap di hotel. Terlebih ketika dijelaskan lebih baik berada di rumah atau Stay at home. Banyak warga masyarakat yang mengurangi pekerjaan di luar rumah. Yang bisa dikerjakan dari rumah pun, lebih baik dikerjakan dari rumah.

"Jadi, bagaimana? Apakah sebaiknya hotel kita tutup sementara?" tanya Pak Steve.

Jujur saja, operasional hotel didapatkan dari setiap pengunjung yang menginap di hotel tersebut. Jika, tidak ada pengunjung yang akan menginap di hotel. Kebanyakan hotel pun terpaksa harus gulung tikar. Mendengar semua yang diucapkan Pak Steve, semua karyawan di hotel itu pun menundukkan wajahnya. Bayang-bayang pemutusan kontrak kerja sudah di depan mata.

"Kalau pun hotel ini beroperasi, yang bisa kami bayar hanyalah Cleaning Service dan Sekuriti. Selebihnya, tidak akan bisa karena begitu sepinya pengunjung," ucap Pak Steve lagi.

"Apakah tidak ada cara lain, Pak? Sebab, kami pun juga membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan gaji di masa yang sangat genting ini?" tanya Dhito lagi.

Setidaknya, Dhito berusaha untuk menyampaikan bahwa seluruh staf pun memerlukan penghasilan. Jika, terjadi pemutusan kontrak kerja, praktis mereka akan menjadi pengangguran.

"Akan kami pikirkan lagi. Baiklah, meeting untuk hari ini. Selebihnya kalian boleh pulang," balas Pak Steve.

Dhito dan seluruh staf yang lain pun dengan lesu akhirnya keluar dari ruangan meeting siang itu. Jujur, benar-benar tidak ada yang bisa mereka lakukan. Hanya bisa menunggu, semoga saja pihak manajemen hotel bisa memutar otak dan menciptakan peluang kerja untuk seluruh karyawan.

Dari pusat kota Makassar, Dhito pun memilih untuk kembali ke kostnya. Begitu sudah tiba di kostnya, Dhito melepas jas yang merupakan seragam dari hotel tempatnya bekerja. Kemudian pria itu melepas masker yang dia kenakan, dan menggulung lengan kemejanya. Usai itu, Dhito memilih untuk merebahkan dirinya di tempat tidur.

"Ya Allah ... baru beberapa tahun bekerja dan harapan bisa membahagia Bapak dan Ibu di rumah. Namun, sekarang sudah ada pandemi seperti ini. Tolonglah, hamba, Ya Allah ...."

Dhito hanya bisa bergumam dalam hatinya, menyebut nama Allah dan memohon pertolongan dari Allah semata. Sebab, di masa yang sangat genting ini, tidak ada yang bisa menolongnya, selain Allah sendiri.

Usai itu, Dhito melihat fotonya dengan kekasih hatinya yang ada di nakas. Meraih pigura foto itu.

"Ardhita ... situasi tengah genting seperti ini. Agaknya aku pun tidak yakin bisa meminangmu tahun ini. Terlebih, PHK sudah di depan mata. Apakah lebih baik aku kembali pulang ke Malang dan bekerja serabutan di sana? Namun, kamu berada di Natuna sekarang ... mungkinkah bulan Ramadhan ini, kita tidak akan bersua? Tidak bersilaturahmi dan bermaaf-maafan? Aku rindu, tapi agaknya aku harus mengubah haluan, Dhita."

Sungguh, Dhito benar-benar gelisah sekarang. Nasibnya untuk bekerja juga susah. PHK sudah benar-benar di depan mata. Sementara jika memutuskan pulang ke Malang, yang ada justru kekasihnya, yaitu Ardhita sekarang berada di Pulau Natuna dan bertugas di Rumah Sakit Darurat yang ada di sana.

Malam Akhir Bulan Syaban

Setelah tiga pekan berada di Natuna, sekarang Ardhita bersiap untuk mulai menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah. Gadis itu selalu memanjatkan doa di dalam hatinya, semoga orang tuanya yang berada di Malang dalam keadaan sehat. Suatu hari nanti, ketika dia akan dipertemukan lagi, bisa bersua dalam keadaan yang sehat dan selamat.

"Tidak terasa, hari ini sudah akhir bulan Syaban, Ya Allah ... hamba tidak menyangka sudah melewati hampir satu bulan di Natuna."

Ya, sekarang adalah akhir bulan Syaban. Bulan Syaban sendiri memiliki beberapa keistimewaan. Beberapa keistimewaan bulan Syaban adalah momentum yang tepat untuk memanjatkan doa. Malam ini disebut juga dengan Lailat al-Du'a yang artinya malam berdoa. Selain itu di bulan ini Allah menurunkan ayat yang berisikan perintah untuk bershalawat. Demikian juga dengan Ardhita yang sekarang berdoa sendiri, memanjatkan doa secara pribadi kepada Allah.

Di tempat tinggalnya yang tidak jauh dari Rumah Sakit Darurat di Natuna, sekarang di waktu malam, Ardhita bersujud dan bermunajat hanya kepada Allah semata. Gadis itu bersimpuh di atas sajadah dan mengenakan mukena. Tangannya menengadah, dan air matanya berlinangan.

"Ya Allah, kepada-Mu sajalah hamba bersujud. Di malam Nishfu Sya'ban ini catatan amal manusiasetiap tahun akan digantikan dengan yang baru. Kiranya, pekerjaanku di sini akan Allah perhitungkan sebagai amal. Selain itu, memasuki bulan Ramadhan nanti walau dalam keterbatasan dan jauh dari rumah, kiranya hamba bisa menunaikan ibadah puasa. Menyelesaikannya sampai Fitri nanti, Ya Allah ...."

"Allahumma ahillaahu 'alaina bilamni wal iimaani, wasalaamati wal islaami wattaufiiqi limaa nuhibbu wa tardhii robbana wa robbukallahu."

Doa yang Arshita lantunkan sekarang memiliki arti, kiranya Allah akan menjadikan hilal itu bagi kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan Islam, dan membawa taufik yang akan membawanya menuju apa yang Allah cintai ridhai dan cintai. Berserah penuh kepada Allah dan kuasanya.

Jujur, perasaan Ardhita sekarang campur aduk. Pengalaman pertamanya akan menjalani puasa jauh dari rumah. Benar-benar tidak ada Bapak dan Ibunya. Namun, Ardhita berkeyakinan akan tetap menunaikan ibadah puasa. Jauh dari rumah tidak menjadi kendala untuk berpuasa.

Usai menyelesaikan doanya, Ardhita mengucapkan amin. Setelahnya, dia mulai melihat sajadahnya, dan melepaskan mukenanya. Setelah itu, dia menelpon kepada orang tuanya yang ada di rumah. Menelpon atau terkadang melakukan video call adalah cara untuk menjaga komunikasi dengan orang-orang terkasihnya sekarang.

"Halo, Assalamualaikum, Bapak dan Ibu," sapa Dhita kepada orang tuanya yang tinggal di Malang dengan melakukan panggilan telepon.

"Halo ... waalaikumsalam, Ta ... bagaimana kabarmu?" tanya Bu Tini.

Di sana Bu Tini pun sangat rindu kepada Ardhita. Ini adalah perpisahan terlama untuk Bu Tini dan Pak Harjo. Namun, bagaimana lagi, putrinya itu sedang menunaikan tugas kemanusiaan yang mulia.

"Alhamdulillah, Dhita baik, Bu ... cuma kadang kehilangan sinyal saja. Maklum di pulau, Bu ... kadang tidak ada sinyal," balas Dhita.

"Kerja di Rumah Sakit berbahaya tidak, Ta? Kamu harus jaga kesehatan yah ... jangan sampai tertular. Bahaya, Ta," ucap Bu Tini lagi.

Ardhita pun menganggukkan kepalanya, seolah-olah dia tengah berbicara langsung dengan orang tuanya sekarang. Dia kemudian memberikan jawaban kepada Ibunya. "Iya, sekarang harus memakai APD (alat pelindung diri) setiap kali bertugas, Bu. Baju dan pakaian dari Rumah Sakit juga langsung, Dhita cuci. Ya, semoga Allah akan berbaik hati untuk menolong dan melindungi Dhita ya, Bu."

"Dijaga baik-baik, Nduk ... kamu menjadi garda terdepan di masa pandemi ini. Semoga, Allah jagai dan lindungi kamu yah. Ini akhir bulan Syaban, Nduk. Lusa kita sudah akan menjalankan ibadah puasa. Bapak minta maaf jika selama ini ada salah yah. Anakku menjalankan puasa begitu jauh, kita terpisah segara (lautan) yang luas ya, Ta," ucap Pak Harjo.

Mendengarkan apa yang baru saja diucapkan oleh Bapaknya, membuat Ardhita nyaris menangis. Dia sendiri juga rindu dengan Bapak dan Ibunya. Namun, tidak bisa berbuat banyak.

"Dhita mohon maaf kepada Bapak dan Ibu. Kiranya, di bulan Ramadhan nanti, walau terpisah jauh kita bisa menunaikan puasa bersama. Meraih rizki dan hidayah dari Allah Swt ya, Bapak dan Ibu," balas Ardhita.

"Kamu masih berhubungan dengan Dhito? Jangan lupa untuk menjaga diri juga, Ta ... sekarang semua orang harus menjaga diri. Di perumahan kita sekarang begitu sepi. Di depan masuk perumahan sudah dijaga. Harus lebih hati-hati," ucap Bu Tini.

Ditanyai tentang Dhito, Ardhita pun menganggukkan kepalanya perlahan. "Habis ini, Dhita akan menelpon Mas Dhito. Sekalian meminta maaf di akhir Syaban ini," balasnya.

"Baiklah, Ta ... saling mendoakan yah. Kita tidak bisa berbuat banyak. Namun, doa adalah sauh, doa adalah cara kita memeluk dan menyayangi dari jauh. Sehat ya, Ndug. Jangan lupakan shalat," pesan dari Bu Tini.

Begitu panggilan telepon sudah diakhiri, Ardhita hendak menelpon kekasihnya yaitu Dhito. Mengucapkan minta maaf dan juga berharap semua akan dilindungi Allah. Kiranya akhir Syaban ini akan membawa kebaikan. Bahkan bumi pun akan Allah pulihkan dengan perlahan-lahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!