NovelToon NovelToon

Hello, Mr. Vampire

Bab 1 -- HMV

Di suatu tempat yang selalu diliputi kegelapan dan di mana bulan tidak pernah berganti dengan matahari, terdapat sebuah hutan belantara yang hanya dihuni oleh serigala dan hewan malam lainnya. Hutan itu ditumbuhi pepohonan yang tinggi menjulang serta akar belukar yang menjalar panjang tanpa tepian.

Suara derap kaki kuda terdengar memecah dedaunan kering yang berguguran di hutan gelap itu. Kuda itu meringkik dan menolak untuk melanjutkan perjalanannya. Namun, titah tuannya tak mungkin ia tolak.

"Haiah!" begitulah suara pria itu saat mengekang tali kendali kuda tanpa peduli perasaan takut yang mendera binatang berkaki empat itu.

Lagi-lagi, kuda itu berdiri sambil meringkik. Kali ini, dia akan mengalahkan ego tuannya dan ia pun melemparkan tuannya ke tanah lalu kabur secepat mungkin.

"Hei! Optimus, kembali!" pekik tuannya. Dia bangkit berdiri dan membersihkan tubuhnya dari dedaunan kering yang menempel. "Sial, hutan ini gelap sekali. Ke mana aku harus berjalan?"

Pria itu menyalakan mengambil dua batang kayu kering dan berusaha membuat api dari kayu-kayu itu. Tangannya dengan cepat mengeluarkan darah kala kayu-kayu itu saling bergesekkan dengan kulit tangannya yang halus.

Pria itu tidak menyerah, dia terus berusaha membuat penerangan sampai akhirnya, api memercik dari ujung kayu tersebut. Pria itu meniup api, membuatnya lebih besar.

Benar kata pepatah, keberuntungan akan datang pada siapa saja yang tidak menyerah dan terus berusaha. Pria itu berhasil membuat api dan dia menyinari luka di tangannya yang ternyata semakin melebar. "Shiit!"

Dia pun merobek ujung pakaiannya dan membebat luka di telapak tangannya itu. Pria pemberani itu melanjutkan perjalanannya, sampai dia berhenti karena mendengar lolongan serigala.

Suara lolongan itu semakin mendekat. Pria itu berdiri mematung, tak berani bergerak. Napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya bercucuran.

Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang bergerak sekelebat di atas kepalanya. Secepat kilat, pria itu mengarahkan penerangannya ke arah sekelebatan itu.

Namun, dia tidak bisa menemukan apa pun. Sampai, suara sekelebat itu muncul lagi. "Siapa kau? Tunjukkan dirimu! Aku tidak jahat dan aku tidak berniat untuk berbuat jahat di sini. Aku hanya tersesat!"

Sekelebatan itu semakin mendekat dan tiba-tiba saja seorang pria tampan berwajah pucat muncul. Manik pria itu berwarna merah dan dua gigi taringnya terlihat menakutkan. Dia memainkan lidahnya ke kanan dan ke kiri, tatapan matanya lapar. Pria itu mengendus pria asing yang tersesat itu. "Kau manusia, tapi baumu kurang lezat, aku tidak tertarik. Aapakah hari ini hari keberuntunganmu?"

Pria itu tak bergerak, entah karena terlalu takut atau karena memang dia tersihir. "A-, apa ma-, maksudmu?"

Pria pucat mendekati si manusia dan mengendus lebih dekat. "Tapi, aku lapar,"

Kemudian, dia memijat-mijat lengan pria itu dengan kedua tangannya. Setelah puas dengan lengan si manusia, pria pucat itu memasukan wajahnya ke ceruk leher manusia yang kini bergetar hebat karena takut.

Pria pucat itu mengendus panjang. "Ah, aku tak tahan dengan bau darah. Apa kau terluka, Manusia?"

Dia mengendus si manusia sampai pada luka yang berada di telapak tangannya. Dia mengangkat telapak tangan manusia itu, membuka perbannya, dan kemudian dia menjilat darah yang tersisa di telapak tangan manusia itu.

"Kau membuatku semakin lapar. Padahal Aku tadi sudah makan malam, tapi begitu bertemu denganmu, entah kenapa aku lapar lagi," kata pria pucat itu dengan penuh haru.

"Ja-, jangan bunuh aku! Dalam dua hari terakhir ini, aku hanya makan buah arbei, pasti darahku pahit. Kumohon, bebaskan aku. Aku ingin pulang," rintih manusia pria itu dan tiba-tiba saja cairan hangat keluar dari sela-sela kaki pria itu.

Si pria pucat menjauh sedikit dan memasang wajah jijik. "Iyeeuuh, kau benar-benar penakut. Akan kuakhiri rasa takutmu,"

Taring itu kemudian menembus ceruk leher manusia yang sedang ketakutan itu. Darah pun menetes dan mengalir membasahi dedaunan kering.

Seorang wanita cantik berambut hitam dan sama pucatnya dengan pria yang sedang menghisap darah tadi, datang entah darimana. "Ortega, lagi-lagi kau menyalahi aturan. Ini bukan wilayah kita! Kau tidak boleh berburu di daerah yang bukan milik kita!"

Pria pucat itu melihat ke arah wanita yang sedang berkacak pinggang di hadapannya. "Kupikir manusia ini tidak enak, karena baunya kurang lezat. Tapi ternyata, dia enak sekali. Kau mau mencoba hatinya?"

Wanita cantik itu mengambil hati yang berwarna kemerahan dan memakannya. "Ya, cukup lezat. Tapi, kau akan menyebabkan masalah lagi. Kau tahu, ayahku tidak suka dengan pembangkang. Bagaimana hubungan kita bisa berhasil, kalau kau selalu menyalahi aturan dan selalu dihukum oleh ayahku?"

"Aku tahu, ayahmu adalah seorang raja yang berkuasa atas semua makhluk seperti kita. Tapi, hukum di hutan ini mengatakan siapa cepat dia dapat," kata pria pucat bernama Ortega itu sambil mengusap bekas darah di mulutnya. Dia bahkan menarik benang dari pakaian manusia yang kini sudah tak berbentuk dan membersihkan sisa makanan yang menyangkut di sela giginya.

"Tapi kau akan selalu bermusuhan dengan para manusia serigala itu. Kau akan menyebabkan perang! Kau paham itu, Ortega!" tukas si wanita cantik itu.

Ortega merangkul wanita yang raut wajahnya khawatir itu. "Artemis, tenanglah. Manusia serigala mana yang berani melawanku?"

Tiba-tiba saja, seekor serigala besar datang menghadang mereka dan serigala itu dengan cepat berubah wujud menjadi sosok manusia. "Nikmat sekali makan malammu, Vampir Gendut!"

"Selamat malam, Volkov. Aku pikir kau sudah tidur nyenyak. Oh, aku menyisakan sedikit daging manusia itu untukmu," balas Ortega sambil tersenyum.

Volkov mengitari kedua makhluk pucat itu. "Kalian selalu memasuki batas teritorialku. Terutama kau Ortega! Menjalin hubungan dengan seorang vampir yang berasala dari kerajaan, seharusnya menjadikanmu seorang vampir yang baik, bukan malah tidak tahu aturan seperti ini!"

Manik merah Ortega kini menatap tajam setiap gerakan Volkov. Dia menyeringai lebar sambil mendengus. "Huh! Aku lelah dan perutku kenyang. Aku akan mengampunimu malam ini, Volkov. Tidurlah!"

"Aku pastikan, ini yang terakhir kali kekasihku melanggar teritorial kalian, Volkov," sahut Artemis, menundukkan kepalanya.

"Oh yah? Ini semakin menarik. Apa jaminanmu?" tanya Volkov tersenyum lebar.

"Aku!" jawab Artemis.

"Tidak! Volkov, jangan dengarkan dia!" tukas Ortega.

Namun, benang merah sudah muncul dari kedua mata Volkov dan Artemis. Selagi perjanjian itu ditandai, suara sekelebat kembali muncul dan mematahkan benang merah itu.

"Tu, Tuan Vlad!" seru Ortega. Suaranya tercekat. Dia segera berlutut di hadapan makhluk besar dengan jubah panjang itu. "Ma-, maafkan saya, Tuan. Saya berusaha melindungi Artemis,"

Dengan sekali kibasan tangan, Ortega terlempar dan menghantam sebuah pohon. Ortega pun mengerang kesakitan.

"Volkov, terimalah maaf dariku! Mulai malam ini, makhluk pembangkak seperti dia, akan kusingkirkan! Aku berharap, kita bisa saling menjaga dan menghormati batas wilayah masing-masing," tukas Vlad tajam.

Volkov memandang Vlad dengan sengit. "Anakmu akan kujadikan sebagai jaminan, Vlad,"

"Kalau itu kau lakukan, aku akan menabuhkan genderang perang malam ini. Aku akan membuang makhluk pembangkak malam ini dan aku akan menjadikan diriku sebagai jaminannya! Dia tidak akan pernah bisa berburu di wilayahmu lagi, Volkov! Bahkan, dia tidak bisa melihat dunia ini lagi!" tukas Vlad sambil mengarahkan telapak tangannya. "Aku bersumpah untuk melenyapkanmu dari duniaku dan kau akan kukutuk dengan kutukan abadi yang akan membuatmu menderita selamanya!"

Kemudian, cahaya keperakan muncul dari telapak tangannya yang dia arahkan kepada Ortega. Hutan gelap itu berubah menjadi terang benderang. Sinar keperakan memenuhi segala penjuru hutan itu.

"Aarrgghh!" Ortega mengerang kesakitan dan dia merasa tubuhnya semakin melemah, seakan kekuatannya diambil dari tubuhnya.

Volkov ikut mengarahkan telapak tangannya. Tak lama, sinar merah bergabung dan menjadi satu dengan sinar perak itu, tanda perjanjian telah disepakati.

...----------------...

HMV -- Bab 2

"Hari ini cukup sampai di sini. Besok, kita akan datang lagi membawa semangat baru dan tentu saja, berkat yang baru juga. Hahaha! Kerja bagus semuanya!" tukas seorang pria bertubuh tambun dengan wajah yang ramah.

"Terima kasih, Tuan," ucap para pegawainya.

"Jenna, ikut saya, sebentar," kata pria tambun itu.

Seorang gadis kecil dengan wajah galak dan keras mengekor dari belakang. Dia mencebik saat pria tambun itu memintanya untuk masuk ke dalam ruangan.

"Duduklah! Hari ini kerjamu cukup bagus, hanya cukup. Kau melakukan beberapa kesalahan. Seperti, salah memotong garnish, kau lupa membumbui makanan, adonan cokelat terlalu encer, dan lainnya," kata pria itu.

Gadis bernama Jenna menunduk, diam tak berbicara. Kata maaf pun tidak keluar dari mulutnya.

"Ya, itu masalah sepele tapi crussial, Jenna. Kita ini tim dan kau tidak boleh mengacau walau hanya satu atau dua piring," sambung pria berambut setengah botak itu.

"Maafkan aku," ucap Jenna.

"Apa kau sakit? Kau sedang lelah? Atau kau butuh berlibur satu sampai dua hari?" tanya pria itu.

Jenna Lake adalah seorang gadis yang merantau ke kota besar dan dia harus hidup sendiri di kota itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya tentu saja dia harus bekerja.

Saat ini dia hanya sebatang kara, dia sudah tidak memiliki keluarga ataupun sanak saudara. Terkadang kita merasa kesepian dan lelah. Gadis itu selalu hidup sendiri sampai ia merasa lelah karena kesendiriannya.

Akhir-akhir ini setiap malam, Jenna selalu berdoa dan meminta kepada Tuhan supaya dia diberikan seseorang yang selalu bisa menemaninya setiap hari dan setiap waktu.

Dia memiliki seorang teman pria yang cukup baik dan terkadang dia selalu menemani Jenna untuk menghabiskan waktu. Dan sore hari itu, teman pria Jenna dengan setia menunggu gadis itu di luar ruangan.

"Kalau kau ingin berlibur, aku akan memberikan izin kepadamu 3 hari untuk berlibur. Tapi, kau harus berjanji setelah 3 hari, kau akan kembali ke sini, dan kau akan fokus kembali dengan pekerjaanmu. Berjanjilah kepadaku, Jenna," kata pria tambun itu lagi.

Jenna pun memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. "Benarkah? Bolehkah aku berlibur seperti itu, Mr. Klaus?"

Pria bernama lengkap Ian Klaus mengangguk. "Untuk apa aku memaksamu terus bekerja jika pikiran dan fokusmu tidak ada di sini? Itu akan merugikanku,"

"Betul, Mr. Klaus. Demi kesejahteraan bersama, tambahkan libur dan naikan gaji kami! Hehehee," ucap Jenna. "Sorry, Mr. Klaus, saya kelepasan," sambungnya lagi dengan wajah memerah.

"Sepertinya dari hati sekali kau mengucapkan itu. Tapi, baiklah. Akan kupertimbangkan permintaanmu, jika kinerjamu membaik," ucap Mr. Klaus sambil tersenyum.

Jenna bangkit berdiri dan membungkuk rendah pada Mr. Klaus. "Terima kasih sebanyak-banyaknya, Mr. Klaus. Semoga Anda semakin sejahtera,"

Setelah keluar dari ruangan Mr. Klaus, Jenna meregangkan tubuhnya. "Aahhh! Senang sekali punya kepala koki baik seperti Mr. Klaus,"

"Kau jadi mengajukan cuti? Sebenarnya apa yang terjadi padamu, sih, Jen?" tanya pria yang tadi telah kita bahas di atas.

"Dia memberiku libur tiga hari sebelum aku mengajukan permohonan cutiku," kata Jenna, tersenyum lebar. "Aku butuh tumpangan, Zac. Rasanya malas sekali aku melangkahkan kedua kakiku ini,"

Pria bernama Zac itu menepuk pucuk kepala Jenna. "Beruntunglah, kau memiliki teman pria yang tampan dan baik. Hei, kenapa kau tidak mau tinggal bersamaku saja? Kita bisa menghemat uang sewa dan berbagi makanan. Ya, 'kan?"

"Nanti akan kupikirkan. Aku pernah mendengar seorang wanita tua berkata kalau anak gadis sepertiku, dilarang tinggal bersama seorang pria. Nanti jadi tiga," jawab Jenna dengan gaya sok penting.

Zac mengulum senyumnya. "Aku tidak akan menyebrangmu! Lagipula, selera wanitaku tidak sepertimu," lalu, pria itu membuat lekukan dari kedua tangannya.

"Kau tau, aku bisa mengembangkan ini dan ini dengan baking soda! Huh!" ucap Jenna kesal, kemudian dia berjalan mendahului Zac yang tertawa.

Dengan mengendarai kendaraan beroda dua, Zac mengantar Jenna hingga depan rumahnya. "Masuk sana, nanti diculik!"

"Penculiknya nanti aku culik balik, hahaha! Thank's sudah mengantarku," ucap Jenna.

Setelah motor Zac menderu di jalanan sempit perumahan Jenna, gadis itu mendengar suara rintihan. Jenna melihat ke sekelilingnya.

Dia mengambil sapu dan memegang gagang sapu itu dengan waspada. "Siapa di sana?"

Tak ada jawaban. Sekali lagi, hanya suara erangan dan rintihan seseorang.

"Halo," Jenna menyalakan penerang dari ponselnya.

Jenna bersedekap saat dia menemukan seorang pria dengan jubah berwarna hitam menutupi kepalanya. Dia menyentuh pria itu dengan gagang sapunya. "Hei, kau masih hidup?"

Pria itu menangkap gagang sapu yang dibawa Jenna. "To-, tolong aku!"

Jenna buru-buru menarik gagang sapu tersebut dan mendekap sapunya erat. "Hah! Kau orang asing! Aku tidak bisa membantumu begitu saja!"

Tangan Jenna sibuk mencari-cari sesuatu di tasnya. Dia mengambil sebotol air dan satu buah roti manis. Gadis itu kemudian berjalan menghampiri pria yang maskh tergeletak di jalan itu dan meletakkan botol air dan roti di sisinya. "Aku hanya punya itu, ambillah. Tak perlu kau kembalikan,"

Tanpa menunggu reaksi pria aneh itu, Jenna pun berlari menjauh darinya. Setelah sampai di depan rumahnya, Jenna menjulurkan kepalanya untuk melihat, apakah pria malang itu sudah mengambil barang-barang pemberiannya.

Jenna berpikir keras. Dia ingin membawa pria itu untuk beristirahat di rumahnya, tetapi pria itu pria asing. Namun jika dibiarkan, dia bisa mati di jalan dan CCTV akan merekam siapa orang yang terakhir bersama dengannya. Dia akan dipanggil oleh polisi, dimintai keterangan, dan bahkan akan dijadikan saksi. Membayangkan hal itu, Jenna menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aarrgh! Rumit sekali hidupku!"

Setelah membuat keputusan yang mungkin saja akan dia sesali seumur hidupnya, dia berjalan kembali mendekati pria itu. "Hei! Kau tidak kuat untuk duduk?"

"Bersyukurlah, karena kau bertemu gadis baik sepertiku. Coba kalau tadi kau kutinggalkan begitu saja, aku yakin kau akan menjadi mayat besok pagi." kata Jenna terus mengoceh.

Dia membantu pria itu untuk duduk. "Kau berat sekali! Kau pasti orang kaya! Hanya orang kaya yang memiliki massa tubuh berat seperti kau ini karena makanan mereka daging,"

"Hhhhaaahh! Lihat wajahmu, pucat sekali! Minumlah!" Jenna membantu pria itu untuk membuka mulutnya.

Pria aneh itu tiba-tiba saja membuka kedua matanya dan mengendus. Dia memasukkan wajahnya ke dalam ceruk leher Jenna.

Kulit Jenna meremang dan dia bergidik. Gadis itu dapat merasakan napas dingin dari pria itu. Dia memegang leher si pria dan terasa dingin sekali. "Hei, kurasa kau sakit. Karena aku telah ditolong oleh mr. Klaus hari ini, jadi aku akan menolongmu. Bertumpulah padaku, aku akan membantumu berdiri,"

Dengan susah payah, Jenna membawa pria itu masuk ke dalam rumahnya dan kemudian dia membaringkan pria itu di ranjang satu-satunya di rumah itu. "Aku akan membuatkanmu sesuatu yang hangat. Tunggu di sini,"

Jenna pun segera ke dapur dan sudah asik mempersiapkan ini dan itu untuk dia masukan ke dalam panci yang sudah mendidih.

Tanpa dia sadari, pria itu berjalan mendekatinya dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Jenna.

"Hei, apa yang kau lakukan? Kalau kau tak mau melepaskan tanganmu, akan kusiram panci sup ini ke wajahmu! Lepaskan aku!" tukas Jenna sambil membawa sendok sayur dan memberontak.

Pria itu mengendus Jenna. "Kau harum sekali, aku lapar!" Dalam hitungan detik, dia menancapkan taringnya yang tajam ke ceruk leher Jenna dan menghissap darah gadis itu dengan rakus.

"Aaaahhhh! Ka-, kau, ...." darah menetes cepat dari leher sampai ujung jari gadis malang itu.

...----------------...

HMV -- Bab 3

Kesadaran Jenna semakin menipis, kekuatan tubuh gadis itu seakan menguap begitu saja. Dia pun terjatuh tak sadarkan diri. Di dalam kegelapan, dia melihat sesuatu yang melayang-layang dan dia berusaha menggapainya. Sesuatu yang menyerupai kupu-kupu kecil berwarna putih itu memuntunnya pada cahaya.

Perlahan, cahaya itu membawa Jenna kembali ke alam sadarnya. Dia menarik napas seperti seseorang yang baru saja mendapatkan resusitasi jantung paru. Matanya sontak terbuka lebar.

"Kau masih hidup? Bagaimana bisa?" tanya pria itu. Dia melihat darah yang tadi menetes-netes kini mengering dengan cepat. "Mustahil! Ini sesuatu yang mustahil!"

Jenna merasakan sesuatu di ceruk lehernya. Terasa perih. "Apa yang kau lakukan? Kau menggigitku? Kau berusaha memakanku? Pria kurang ajar!"

"Kenapa kau bisa masih hidup? Seharusnya, kau mati, seperti manusia lainnya. Tapi, tunggu dulu, ... Aku hidup! Aku pulih, tenagaku muncul kembali!" pria itu melihat tajam ke arah Jenna kemudian dia menjabat tangan gadis itu. "Darahmu menyelematkanku. Manusia macam apa kau ini?"

Si pria itu mengendus lagi. "Kau harum sekali."

Jenna memincingkan kedua matanya, dengan cepat dia menyambar wajan kecil khusus menggoreng telur dan menghantamkan wajan itu ke kepala pria misterius. "Kau Mesum! Kau Penjahat Sialan! Pergi dari rumahku! Tak tau diri!"

Berkat hantaman wajan kecil di kepalanya, pria itu pun pingsan dan tak sadarkan diri.

"Huh! Kau pikir aku wanita lemah!" tukas Jenna kesal dan dengan santai, dia melanjutkan kegiatan memasaknya.

Tak beberapa lama, pria itu terbangun sambul memegangi kepalanya. "Aw, aku tidak pernah merasakan rasa ini sebelumnya,"

"Kau bisa berdiri? Makanlah, aku sudah terlanjur membuatkannya untukmu. Setelah makan, kau harus pergi dari sini!" tukas Jenna ketus.

Gadis itu mengambilkan semangkuk sup serta nasi lembut untuk tamunya. "Makanlah,"

Pria itu duduk di atas meja sambil memegangi sendok kayu yang diberikan oleh Jenna. "Apa ini?"

"Sendok. Kau tak tau sendok?" tanya Jenna.

Pria itu menggelengkan kepalanya. Seketika itu juga Jenna panik. Dia mengacungkan garpu dan sebilah pisau steak pada pria itu. "Kalau ini? Kau tau apa ini?"

Jawaban pria itu meningkatkan kepanikan Jenna. Dia pun berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil terus memandangi tamu prianya yang misterius.

"Katakan padaku, siapa namamu? Apa kau punya tanda pengenal?" tanya Jenna. Dia memeriksa jubah serta pakaian pria itu. Akan tetapi, dia harus berakhir kecewa, karena dia tidak menemukan satu pun tanda pengenal, bahkan saku pun tidak ada.

"Namaku Ortega," jawab pria yang sedari tadi memperhatikan Jenna dengan penuh minat.

Jenna menatap pria yang mengaku bernama Ortega itu. "Seperti tidak asing. Ah, namamu seperti nama telur yang mahal itu." gadis itu diam sejenak dan kemudian berbicara lagi. "Ternyata itu omega, dan kau, Ortega. Apa benar itu namamu? Aneh sekali,"

"Kau manusia apa?" tanya Ortega.

"Manusia biasa," jawab Jenna. "Sudahlah, makan saja!" tukas Jenna dan dia memasukan sesendok besar sup ke dalam mulutnya.

Jenna begitu menikmati makanannya. Namun, tidak dengan Ortega. Pria itu tampak bingung dan tak tau apa yang harus dia lakukan. Melihat Jenna makan, dia pun mengikuti cara Jenna.

"Hmmm, apa ini?" tanya Ortega, matanya membulat saat dia merasakan suapan pertama sup itu di dalam mulutnya.

"Sup kepiting dan asparagus. Bagaimana? Enak?" tanya Jenna, kedua matanya menatap Ortega penuh harap.

Ortega tidak memahami bagaimana makanan enak itu. Selama ini, yang enak menurutnya hanyalah darah manusia yang ketakutan karena hidupnya akan segera berakhir. Dia tidak suka dengan darah manusia yang sedang depresi dan ingin mengakhiri hidupnya atau bahkan menyerahkan diri kepadanya supaya cepat mati. "Kau lebih enak," jawabnya.

"Haish! Sudahlah, habiskan makananmu!" tukas Jenna.

Tak beberapa lama, Jenna sudah kembali sibuk dengan piring dan peralatan dapurnya. "Ah, kopi memang paling nikmat. Kau mau kopi, cokelat, atau tomat?"

Karena Ortega tidak menjawab. Jenna membawa ketiga minuman itu dan meminta Ortega untuk mencobanya satu per satu. "Buka mulutmu. Ini kopi. Bagaimana? Kau suka?"

Dengan sabar, Jenna menyuapi sesendok kecil kopi kaleng miliknya sendiri. Ekspresi Ortega saat mencoba kopi sangat aneh dan Jenna menyimpulkan kalau pria itu tidak menyukai minuman pahit itu.

"Sekarang, ini. Buka lagi mulutmu!" titah Jenna. Ortega pun menurut. Lagi-lagi, dia membuat ekspresi aneh. "Semua orang suka cokelat. Baru kali ini aku menemukan orang yang tidak suka cokelat. Oke, terakhir. Ini jus tomat, cobalah,"

Ketika sesendok cairan merah itu masuk ke dalam kerongkongannya, Ortega terdiam tanpa ekspresi. "Hmmm,"

"Kau suka tomat?" tanya Jenna.

"Tomat? Aku baru mendengar nama itu." jawab Ortega. Dia mengambil kaleng jus tomat itu dan menenggaknya sampai habis.

Jenna tertawa. "Hahaha! Kau lucu sekali." ujar gadis itu. Dia melihat jam dinding dan berkata pada tamu prianya. "Ini sudah larut malam aku rasa Kok bisa pergi dan mencari tempat tinggalmu,"

"Aku tidak ingin pergi!" seru Ortega. "Aku ingin tinggal bersamamu!"

"Tidak bisa! Kau harus pergi!" Jenna menyeret lengan Ortega untuk segera keluar dari rumahnya. "Kau tidak bisa tinggal bersamaku!"

Karena Ortega sudah makan cukup banyak, tenaganya kembali pulih. Apalagi tadi dia sempat menghisap darah Jenna. Dengan secepat kilat, dia menyudutkan tubuh Jenna ke dinding. "Aku menyukaimu,"

Jantung Jenna seakan berhenti berdetak. Wajahnya ditutupi oleh rona merah. "Ja-, jangan sembarangan!"

"Kau makananku, Manusia! Aku tidak akan membiarkan mangsaku lepas dariku!" kata Ortega. Pria misterius itu mempertipis jarak di antara mereka.

Jenna dapat merasakan napas Ortega yang dingin di ceruk lehernya. "Kau tidak bisa menjadikanku makananmu! Dasar Kanibal!"

Bola mata Ortega yang tadi tidak terlihat, sekarang nampak sangat jelas. Merah. Jenna mulai ketakutan dan Ortega dapat merasakan ketakutan gadis itu.

Dia mengendus wajah Jenna dan menjillat lehernya, membuat Jenna merasakan sensasi aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Kau ketakutan. Harum tubuhmu semakin nikmat, Manusia."

Jenna menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia berusaha untuk membuang jauh rasa takutnya. "Aku tidak takut!"

"Benarkah?" Suara Ortega yang berbisik parau di ceruk lehernya, membuat kulit Jenna meremang. Dia memikirkan sesuatu yang tidaj seharusnya dia pikirkan saat ini.

Gadis itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat saat Ortega menyesap ceruk lehernya. Namun, ini berbeda dengan tadi. Bukan taring tajam! Melainkan sesapan lembur yang membuat kulit halus di sekujur tubuh Jenna meremang.

Tiba-tiba saja, Ortega melepaskan cengkramannya begitu saja pada Jenna. "Kenapa aku tidak bisa menggigitmu?"

Sekali lagi dia membuka mulutnya untuk menghissap darah Jenna, tetapi taringnya tidak mau keluar. "A-, apa yang terjadi?"

Rasa takut Jenna menguap begitu saja melihat kepanikan di wajah tamu misteriusnya yang tadi dengan sombong menganggap dia sebagai makanan dan mangsanya. "Ada apa? Kau tidak jadi memakanku?"

Ortega tampak panik. Dia menengadahkan kepalanya dan meraba-raba gigi taringnya. "Mereka masih ada, tapi kenapa mengecil? Apa yang terjadi? Aarrgghh! Apakah aku sudah bukan vampir lagi?"

Jenna mendorongnya supaya menjauh. "Ck! Ternyata kau vampir? Mana ada vampir tidak menakutkan sepertimu. Tidurlah, aku mengantuk. Besok pagi, aku akan menemanimu mencari rumahmu. Oke?"

Gadis itu menyiapkan sehelai selimut di sofa untuk tidur Ortega. Setelah selesai, dia merayap naik ke ranjangnya dan tertidur pulas.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!