NovelToon NovelToon

ZOYA, Bidadari Tanpa Mahkota

Episode 01 > Prolog dan Bidadari tak bermahkota

Prolog

Dinodai oleh pria asing tak dikenal saat mencoba menolongnya, Zoya Radya mengalami trauma jika berdekatan dengan seorang pria hingga ia tak ingin menjalin hubungan dekat dengan pria mana pun meski usianya sudah cukup matang untuk berkeluarga. Ia bertemu dengan pria yang tak lain adalah Ayah dari gadis yang menjadi muridnya mengaji, awalnya Zoya hanya bersikap biasa saja kala Nafisah putri dari pria itu memintanya menjadi Ibu sambungnya. Namun karena Zafran, Ayah sang murid memintanya dengan tulus dan meyakinkannya, hati Zoya bergetar.

“Maukah kau berta’aruf dengaku?” Zafran Sauqi.

“Aku bukanlah Bidadari dengan mahkota, tak pantas bagiku menerima pinangan dari pria baik seperti Anda." Zoya Radya.

"Aku tak mencari Bidadari sempurna, aku mencari Bidadari yang sudi menerima malaikat kecilku dalam hidupnya.” Zafran Sauqi.

Namun, di saat dirinya mulai membuka hatinya untuk Zafran, pria misterius itu muncul dan berniat untuk meminangnya. Di sisi lain, mantan istri Zafran pun kembali dan ingin membina rumah tangganya lagi.

Siapakah yang akan dipilih oleh Zoya? Apakah Zoya akan memilih Zafran atau pria yang telah menodainya itu? Dan apakah Zafran akan kembali pada istrinya atau tetap memilih Zoya sebagai istrinya?

“Maafkan kekhilafanku saat itu, aku datang ingin menebus dosaku. Biarkan aku meminangmu dan izinkan aku menebus dosaku.” Cakra Alister.

Episode 01> Bidadari tak bermahkota

Malam sunyi sepi, gadis cantik berhijab bernama Zoya Radya yang baru saja pulang dari pengajian tengah berjalan santai sambil menikmati udara malam yang begitu sejuk dan lembab karena habis hujan sebelum magrib. Saat sampai di persimpangan jalan yang minim penerangan, ia melihat seseorang tengah berjalan sempoyongan seperti hendak pingsan, Zoya berlari menghampirinya dan hendak menolongnya.

“Permisi, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Zoya sopan dari arah samping orang yang ternyata seorang pria tersebut.

Tanpa menjawab, pria itu langsung menarik tangan Zoya dan memeluknya erat, tentu saja hal itu membuat Zoya terkejut dan meronta mencoba melepaskan diri. Napas pria itu begitu berat dan memburu membuat Zoya semakin ketakutan.

“Tolong aku, rasanya sangat panas sekali, aku sudah tak tahan.” Pria itu menghirup aroma dari tubuh Zoya yang menenangkan membuatnya candu.

“Tolong lepaskan saya, jika Anda membutuhkan pertolongan saya akan menolong Anda, tapi saya mohon lepaskan saya,” pinta Zoya yang masih meronta agar pria itu melepaskannya.

Pria itu memanggul tubuh Zoya di pundaknya tanpa menghiraukan teriakan Zoya yang terus memukul punggungnya. Ia membawanya ke sebuah bangunan kosong dan melucuti pakaian gadis cantik itu dengan paksa. Malam itu, mahkotanya sebagai seorang wanita salihah terenggut secara paksa oleh pria yang tak dikenalnya, tangisnya yang begitu pilu tak dihiraukan oleh pria yang menodainya.

*****

Satu tahun berlalu sejak kejadian naas itu, Zoya kini mengajar mengaji di mushola dekat rumahnya. Dia menjadi guru mengaji favorit anak-anak di desanya, desa Lengkong. Zoya mengajar mengaji secara Cuma-Cuma atau geratis, setiap ada orang tua yang ingin memberinya uang ia selalu menolaknya kecuali mereka memberinya makanan, Zoya akan menerimanya dengan senang hati. Penduduk desa sangat prihatin pada kejadian yang menimpa dirinya satu tahun lalu yang menyebabkan dirinya takut terhadap pria asing yang belum dikenalnya.

“Mbak Zoya, ini ada roti brownis, Ibu dapat pesanan dan ini lebihnya, semoga Mbak Zoya suka yah.” Seorang wanita yang tak lain adalah Ibu dari anak yang diajarkan mengaji oleh Zoya mengantarkan roti brownis buatannya.

“Ya Allah, Bu Mirna repot-repot sekali. Alhamdulillah, terima kasih yah, Bu sudah mau repot-repot membagi rezekinya pada saya. Mari masuk dulu, Bu, biar saya buatkan minum,” ajaknya setelah menerima pemberian dari Ibu salah satu murid mengajinya.

“Gak usah, Mbak Zoya. Ibu mau langsung mengantarkan pesanan Ibu kampung sebelah, takut keburu sore,” tolak Bu Mirna sopan yang memang akan mengantarkan pesanan orang. Bu Mirna memang menerima pesanan roti apa pun dari orang yang memesannya, roti atau kue-kue buatan Bu Mirna sangat enak, tak jarang ia mendapatkan pesanan dalam jumlah banyak dan Zoya selalu mendapatkan kiriman kuenya.

“Terima kasih banget kalau begitu yah, Bu Mirna. Maaf harus pulang tangan kosong.” Zoya merasa tak enak hati karena ia selalu dikirim kue oleh Bu Mirna.

“Sama-sama, Mbak. Ibu pamit yah, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Bu Mirna pergi setelah mengucapkan salam.

“Siapa, Kak?” tanya Ibu yang baru datang dari arah dapur.

“Ini, Bu. Bu Mirna mengantarkan roti brownis untuk kita,” sahut Zoya berjalan menghampiri sang Ibu sambil membawa roti tersebut.

“Masyaallah, alhamdulillah. Rezeki kamu selalu datang dari orang-orang baik, Kak. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan rezeki yang lebih berlimpah lagi yah,” doa Ibu.

“Amiin, semoga, Bu.”

***

Malam menjelang, Zoya bersama ibu dan Ayah pergi ke mushola untuk menunaikan ibadah salat magrib dan isa secara bersamaan. Setelah salat magrib berjamaah selesai, anak-anak mulai mendekat pada Zoya untuk belajar mengaji. Zoya mengajari mereka mengaji, belajar salat, belajar surah pendek dan juga belajar doa-doa keseharian. Anak-anak tampak bersemangat dan tak pernah bosan dengan cara Zoya mengajarkan mereka dan orang tua pun ikut senang.

Ibu, Ayah dan para warga senang karena kini Zoya sudah mulai bangkit dari keterpurukannya dan depresinya akibat kejadian naas yang menimpa Zoya. Satu tahun lamanya Zoya depresi seperti orang yang terkena gangguan jiwa, bahkan melihat Ayahnya saja ia menjadi histeris. Anak-anaklah yang membuat Zoya bangkit kembali dan lama-lama berangsur pulih dan bisa berinteraksi lagi dengan orang sekitar meski masih sedikit waspada jika bertemu pria yang baru dikenalnya atau asing baginya.

“Alhamdulillah, Zoya sudah semakin bersemangat lagi yah, Bu,” ucap Bu Mirna pada Ibu.

“Iya, Bu. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali mereka menjadi obat mujarab bagi kesembuhan Zoya meski dia sampai sekarang masih waspada pada pria tak dikenalnya. Semoga saja suatu hari nanti Zoya bisa sembuh total dan mau membina rumah tangga dengan pria baik yang mau menerimanya yang tanpa mahkota itu,” doa ibu.

“Amiin. Allah sudah menyiapkan pria itu, Bu. Tinggal waktunya saja yang belum tahu kapan pria baik itu datang menjemput Zoya dengan keikhlasannya.” Bu Mirna mengaminkan doa Ibu, mereka berharap suatu hari nanti akan ada pria yang sudi meminangnya yang tanpa mahkota itu.

Azan isa berkumandang, mereka menunaikan ibadah salat isa bersama. Jika biasanya anak-anak akan salat dengan ribut dan saling bercanda, beda halnya dengan anak didik Zoya yang begitu tertib salatnya tanpa bersuara dan tanpa bercanda. Zoya memang malaikat bagi para orang tua yang memiliki anak yang sulit diatur untuk melaksanakan kewajibannya, tapi dalam hati gadis cantik itu ia menganggap dirinya malaikat yang tak bermahkota.

Episode 02 > Mimpi yang sama

“Tidak, jangan, aku mohon jangan, lepaskan aku,” teriakan Zoya di sepertiga malam membuat Ayah dan Ibu terbangun dan membangunkan dirinya yang bersimbah peluh.

“Kak, bangun Kak.” Ibu mengusap kepala Zoya lembut membangunkan putrinya.

Zoya terbangun dari pembaringannya dengan raut wajah ketakutan dan peluh yang membanjiri seluruh wajahnya dan bahkan membuat pakaian atasnya pun basah.

“Astagfirullahaladzim, subhanallah, Ibu.” Zoya memeluk Ibu yang duduk di samping tempat tidurnya dengan erat dengan tubuh gemetar.

“Tenang, Kak. Itu hanya mimpi, minum dulu.” Ibu menenangkan Zoya dengan memberinya air putih yang tersedia di atas nakas yang diberikan oleh Ayah.

“Zoya takut, Bu. Pria itu merenggutnya dengan paksa, Zoya takut,” tuturnya dengan nada takut dan bibir yang bergetar.

“Tenang, Sayang. Kejadian itu sudah lewat setahun lalu. Bukankah Zoya yang sekarang adalah Zoya yang kuat yang mampu meluluhkan hati anak-anak nakal yang tak menurut saat disuruh salat? Tunjukan pada Ibu, Zoya yang selalu bersemangat kala mengajarkan anak-anak mengaji dan salat. Kakak janji sama Ibu kan kalau Kakak akan sembuh dan melupakan kejadian itu? Bukankah Kakak sayang sama Ibu, Ayah dan Fahmi?” Ibu masih mencoba menenangkan putrinya itu.

Perlahan Zoya menjadi tenang, ia bisa mengontrol perasaan takutnya, napasnya yang tadi memburu kini sudah mulai teratur.

“Maafkan Zoya, Bu, yang terkadang masih memikirkan kejadian hari itu. Zoya belum bisa melupakannya, bau tubuhnya masih teringat dengan jelas dalam penciuman Zoya kala dia merenggutnya. Meski sepertinya di bawah pengaruh obat, tapi tetap saja hal itu membuat Zoya terpukul. Apalagi yang ia rengut adalah yang paling berharga dalam hidup Zoya,” tuturnya masih mengingat hari itu. Ibu memandang Ayah dengan raut wajah khawatir, Ayah hanya mengangguk pelan mengerti apa yang dikhawatirkan Ibu.

“Kita salat tahajud bersama yah, Sayang, agar kau sedikit lebih tenang. Mungkin setelah kau mengadukan rasa sakitmu pada Rabb-mu, Kakak akan lebih tenang lagi,” ajak Ibu dan Zoya mengangguk menyetujui.

“Zoya mandi dulu yah, Bu, Yah,” ucapnya.

“Iya, Sayang. Ibu dan Ayah menunggu di tempat salat yah.” Ibu dan Ayah pergi dari kamar Zoya meninggalkan wanita cantik itu sendiri.

Zoya langsung beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, setelah itu ia menyusul Ibu dan Ayah untuk menunaikan salat tahajud bersama.

‘Ya Rabb, bantu hambamu ini untuk melupakan hari mengerikan itu. Sesungguhnya hamba sangat tersiksa dengan kejadian hari itu, hanya kaulah tuhanku yang maha membolak-balikan hati manusia. Tolong buat hati dan pikiranku untuk melupakan hari itu, ampunilah pria yang telah menodaiku. Hamba tahu bahwa pria itu tak dalam kondisi yang baik-baik saja saat itu, ia di bawah kendali obat durjana. Namun, meski seperti itu, hal yang paling berharga terenggut dariku begitu saja tanpa belas kasihan. Tolong kasih jalan yang terbaik untuk hambamu ini, ya Rabb,’ doa Zoya yang sangat pilu bagi hatinya, ia mengalami hal yang menyakitkan dirinya, hatinya bahkan batinnya. Namun, ia masih bisa mendoakan pria yang telah merenggut kesuciannya, sungguh wanita yang sangat mulia.

Setelah melakukan salat tahajud, mata indah Zoya tak ingin terpejam lagi. Ia mengambil Al-Qurannya dan membacanya dengan alunan yang begitu merdu menenangkan hati siapa saja yang mendengarnya. Hingga menjelang azan subuh berkumandang, ia menghentikan bacaannya dan bersiap untuk pergi ke mushola bersama Ayah dan Ibu.

***

Matahari terbit dengan terik sinar yang menyilaukan dan menghangatkan tubuh, Zoya sudah siap untuk pergi ke pasar bersama sang Ibu. Sudah menjadi kegiatan rutin Zoya dan Ibu setiap pagi hari, kedua wanita beda generasi itu untuk pergi ke pasar untuk belanja bahan masakan untuk pagi, siang dan malam hari.

“Kamu sudah siap, Sayang?” tanya Ibu yang datang membawa keranjang belanjaan yang terbuat dari anyaman bungkus kopi.

Zoya dan Ibu-Ibu desa Lengkong setiap harinya jika sudah selesai dengan kegiatan paginya di rumah akan berkumpul di gubuk samping rumah orang tua Zoya untuk membuat berbagai kerajinan dari bahan yang bisa di daur ulang seperti bungkus kopi, botol plastik dan juga karung semen. Mereka menggunakan bahan tersebut untuk membuat berbagai macam bentuk kerajinan yang nantinya bisa dijual untuk menambah uang belanja atau sekedar uang untuk jajan anak-anak mereka. Zoya yang pandai dan serba bisa mengajarkan para Ibu-Ibu agar memanfaatkan waktu mereka tidak hanya untuk berghibah ria saja, melainkan untuk membuat kerajinan yang bisa menghasilkan uang dan tentunya juga sangat bermanfaat.

“Sudah, Bu. Ayu kita berangkat, nanti keburu siang aku tak kebagian udang segarnya,” sahut Zoya mengajak sang Ibu untuk segera berangkat ke pasar.

Zoya dan Ibu berangkat ke pasar dengan menggunakan betor alias becak motor, sebuah becak yang sudah tak dikayuh lagi melainkan digas menggunakan motor bagian belakangnya. Jalanan yang masih alami bebatuan kecil membuat Desa Lengkong terlihat seperti desa pada jaman dahulu. Suasana dan pemandangan yang begitu asri dan juga udara yang begitu segara tanpa terpaparnya banyak polusi membuat orang yang hidup di desa tersebut jarang sekali ada yang sakit.

“Berapa, Pak?” tanya Ibu setelah mereka turun dari betor.

“Sepuluh saja, Bu,” sahut sang tukang betor.

“Ini uangnya, Pak.” Ibu memberikan uang dengan pecahan sepuluh ribu satu lembar pada tukang betor.

“Terima kasih nggih, Bu.”

“Sama-sama, Pak.”

Zoya dan Ibu berjalan menyusuri pasar yang sudah agak ramai karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Segera saja Zoya dan Ibu memilih apa yang akan mereka beli.

“Kita ke tukang ikan dulu, Kak. Takut udangnya keburu habis dan kamu tak mendapatkannya,” ajak Ibu. Zoya pun mengangguk dan keduanya berjalan menuju tukang ikan yang menjual aneka bahan makanan yang hidup di dalam air.

Setelah mendapat apa yang dimau oleh Zoya, keduanya melanjutkan membeli beberapa sayuran segar dan juga bumbu.

***

Sampainya di rumah, Ibu membawa belanjaannya ke dapur.

“Udangnya biar Ibu yang bersihkan, kamu istirahat saja,” ucap Ibu.

“Aku mau melihat tanamanku di belakang, Bu, setelah ganti pakaian,” sahutnya sebelum masuk kamar. Zoya mengganti pakaiannya dengan pakaian simple yang membuatnya bisa dengan bebas bergerak, ia mengenakan celana kulot yang dipadukan dengan atasan tunik yang panjangnya seatas lutut dan juga bergo instan, terlihat cantik dan menawan meski tanpa make up. Jika keluar rumah Zoya akan mengenakan gamis yang menutupi hingga seluruh tubuhnya.

Zoya menuju taman kecil belakang rumahnya yang terdapat beberapa tanaman yang ia rawat seorang diri dengan begitu telatennya. Selama satu tahun belakangan setelah kejadian naas itu, Zoya menyibukkan dirinya dengan berkebun dan memelihara beberapa ekor kelinci juga bebek.

Episode 03 > Desa Tanggap Desa saksi bisu

Di tempat lain, di dalam ruangan yang cukup besar, seorang pria dengan rahang yang kuat dan garis wajah tegas sedang mendengarkan laporan dari asisten pribadinya. Cakra Alister, pria berkuasa yang sedang mencari seorang gadis yang pernah ia nodai dengan tanpa sengaja satu tahun lalu yang menghilang tanpa jejak setelah malam panas yang telah ia lakukan pada gadis tak berdosa yang berniat menolongnya. Ia dalam pengaruh obat yang entah diberikan oleh siapa sehingga merenggut kesucian seorang gadis tak berdosa, tapi saat ia sadar gadis itu telah tiada dan ia tak tahu bagaimana wajah dari gadis yang telah dinodainya itu.

“Apakah pencarianku selama satu tahun ini begitu sangat tak membuahkan hasil?” tanya Cakra, ia lelah terus mendapatkan laporan yang selalu membuatnya frustrasi.

“Anda tak sempat memahami bagaimana rupanya, dan dari tempat sang saya telusuri dan saya tanyai tak ada yang mengatakan jika ada gadis yang mengalami hal seperti itu. Mungkin saja gadis itu bukan salah satu dari penduduk Desa Tanggap,” sahutnya memberitahu.

“Carilah ke Desa tetangganya, mungkin saja gadis itu berasal dari Desa tetangga yang sedang lewat lalu menolongku,” titah Cakra. “Aku ingin menemukan dia secepatnya, Vin. Aku ingin menebus dosaku yang kulakukan padanya dengan cara paksa. Seorang gadis tanpa mahkota adalah aib baginya dan akan dipandang rendah oleh pria lain. Aku tak ingin karena perbuatan kejiku, gadis itu yang harus menanggungnya seorang diri,” sambungnya, Cakra merasakan tersiksa yang sungguh sangat luar biasa, perbuatannya tentang malam itu selalu menghantuinya setiap malam.

Cakra tak bisa tidur dengan tenang setiap malam selama satu tahun belakangan, ia harus mengonsumsi obat tidur dan juga obat penenang agar bisa tidur dengan tenang. Vin yang merupakan asisten pribadinya juga tangan kanannya selalu siap siaga berada di samping tuannya untuk berjaga-jaga saat Cakra membutuhkannya.

“saya tahu perasaan Anda, Tuan. Maafkan saya yang tak bisa bekerja dengan maksimal. Saya akan lebih berusaha lagi dalam pencariannya. Berikan saya beberapa waktu lagi dan saya akan berjanji akan menemukannya,” ucap Vin meyakinkan Cakra.

“Kau tak perlu meminta maaf, Vin. Kau sudah bekerja keras selama ini, hanya saja waktu belum mengizinkanku untuk menemuinya, Huh.” Cakra menghembuskan napasnya kasar. “Bagaimana jika dia hamil, pasti akan sangat sulit menjalani kehidupannya seorang diri dengan perut yang besar dan harus berjuang sendiri tanpa pendamping,” lanjutnya bergumam sendiri.

***

Jam makan siang tiba, setelah salat zuhur Zoya berkumpul seperti biasa dengan para Ibu-Ibu di desanya untuk mengerjakan kerajinan tangan.

“Mbak Zoya, topi dan tas anyam dari karung semen sudah selesai, tinggal pewarnaan saja,” ucap salah seorang Ibu muda yang bagian menganyam tas dan topi dari karung semen.

“Oh iya, kumpulkan saja, nanti aku kerjakan pewarnaannya yah, Mbak Meli,” sahut Zoya pada Ibu muda bernama Meli tersebut. “Totalnya dapat berapa buah, Mbak?” sambungnya bertanya.

“Ini ada dua puluh buah masing-masing sepuluh buah buatan tiga orang Ibu muda termasuk aku, Mbak,” sahut Meli memberitahu.

“Baiklah, nanti kalau sudah siap aku akan bantu memasarkannya yah. Apakah ada permintaan pesanan dari orang luar, Mbak?” sahutnya bertanya kembali.

“Punten, Mbak Zoya. Langganan roti Ibu katanya mau pesan tas dan topinya, katanya dia naksir waktu melihat Ibu memakainya.” Bu Mirna yang berprofesi sebagai pedagang kue pesanan menyela pembicaraan.

“Oh baik, Bu. Nanti Ibu berikan contohnya saja yah, aku sudah membuat gambarnya di binder. Sebentar saya ambil dulu beberapa contoh fotonya.” Zoya bangkit dan berjalan menuju rumah untuk mengambil foto dari barang kerajinan yang dibuat oleh para Ibu-Ibu yang dia buat album. Saat masuk rumah, ternyata Ibu dan Ayah sedang kedatangan tamu, seorang pria dengan seorang anak kecil perempuan sekitar umur tujuh hingga delapan tahun kurang lebihnya. Zoya tersenyum menganggukkan kepala setelah mengucapkan salam lalu melanjutkan berjalan menuju kamarnya, ia tak terlalu ingin mengetahui urusan kedua orang tuanya dengan tamu pria dan anak tersebut.

Setelah mengambil apa yang dibutuhkannya, Zoya kembali menghampiri Ibu-Ibu yang berada di gubuk.

“Ini album dari kerajinan kita dan sudah ada harganya yah, Bu. Alhamdulillah jadi kita tak bingung lagi kalau ada yang bertanya tentang contohnya.” Zoya memberikan album tersebut pada Bu Mirna.

“Wah, Mbak Zoya tak hanya kreatif, tapi idenya selalu mengalir terus yah. Ibu saja tak terpikirkan cara ini. Nanti bisa tolong buatkan Ibu album seperti ini yah, Mbak, agar kalau ada yang pesan kue dan roti bisa memberi contoh seperti apa yang dimintanya,” puji Bu Mirna, ia kagum dengan ide-ide yang selalu dituangkan oleh Zoya.

“Nanti jika Ibu selesai membuat kue atau roti tinggal panggil aku saja, Bu. Nanti aku fotokan dan buatkan albumnya,” sahut Zoya lembut.

“Wah, makasih banget yah, Mbak. Ini Ibu bawa yah, nanti kalau antara kue bisa sekalian nawarin sama Ibu-Ibu lainnya, kan lumayan kalau mereka suka dan jadi langganan. Semoga usaha kecil kita bisa menjadi besar suatu saat nanti,” harapan Bu Mirna.

“Amiin, semoga yah, Bu. Hitung-hitung kita berkumpul seperti ini dari pada ghibah kan lebih baik melakukan sesuatu yang berguna dan menghasilkan uang, meski sedikit tapi lumayan.” Zoya mengaminkan doa Bu Mirna. “Ya sudah yah, Bu. Aku mau mewarnai yang sudah jadi dulu nanti yang lainnya kalau sudah selesai bisa dihitung dan laporkan padaku biar kucatat dalam buku yah. Semoga dalam minggu ini terjual habis semuanya.”

“Amiin.” Serentak para Ibu-Ibu mengaminkan doa Zoya membuat Zoya tersenyum bahagia.

Ibu melihat dari kejauhan senyum putrinya yang terbit kala berkumpul dengan anak-anak saat mengaji dan dengan Ibu-Ibu seperti saat ini.

***

Malam menjelang, sepulang dari moshola Ibu meminta Zoya menemuinya diruang keluarga, ada yang ingin dikatakan oleh Ibu.

“Ada apa, Bu?” tanya Zoya yang sudah tiba diruang keluarga.

“Duduklah, Sayang,” pinta Ibu, Zoya pun duduk di sofa kosong samping Ibu duduk.

“Kamu tahu pria yang tadi datang bertamu dengan anak kecil perempuan?” tanya Ibu dan Zoya mengangguk.

“Iya, memangnya kenapa, Bu?” tanya Zoya kembali.

“Dia adalah penduduk baru yang tinggal di Desa Tanggap,” mendengar Desa tersebut Zoya melebarkan matanya, sekelebat kejadian mengerikan yang pernah dialaminya terlintas di pikirannya, desa itu adalah desa saksi bisu tempat kejadian mengerikan yang dialami Zoya. Ibu mengerti akan hal itu, ia mengusap punggung tangan putrinya yang mengepal tegang. “Dengarkan Ibu dulu,” Sambungnya dengan lembut.

“Maaf, Bu. Aku hanya teringat saja,” ucap Zoya lirih.

“Ibu tahu, tapi Ibu bukan mau membahas hal yang membuatmu teringat dengan kejadian itu. Hanya saja kebetulan tamu yang tadi datang baru pindah ke desa tersebut. Apakah Ibu bisa melanjutkan apa yang ingin Ibu katakan?” sahut Ibu bertanya meminta persetujuan Zoya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!