NovelToon NovelToon

30 Hari Di Pesantren

Bab 1. Prolog

Hari ini, Rifan bersama kedua orangtuanya nekat mendatangi kediaman seorang gadis muda nan cantik yang merupakan kekasih Rifan. Mereka sudah menjalin hubungan sekitar tiga tahun, tepatnya ketika mereka masih duduk di bangku kuliah. Kini Rifan merasa sudah cukup umur untuk melangsungkan pernikahan, terlebih ia juga sudah mendapat pekerjaan dan ia yakin dapat menafkahi istrinya nanti setelah menikah.

Setelah mendapat persetujuan dari Mecca, nama kekasih Rifan. Akhirnya Rifan mengajak ibu dan ayahnya untuk berangkat menuju rumah gadis itu, dengan bermodalkan tekad serta barang-barang seserahan, ia berharap keluarga Mecca mau menerima lamaran ini dan memberi restu baginya untuk menikahi Mecca. Meski Rifan tahu bahwa orang tua Mecca sedikit tak menyukainya, sebab Rifan sadar dirinya bukan lah seorang ahli agama.

TOK TOK TOK...

"Assalamualaikum, permisi!" ucap Haidar, sang ayah dari Rifan yang turut menemani putranya itu melamar sang kekasih.

Entah kenapa Rifan tiba-tiba merasa gugup, ia menjadi tidak percaya diri saat mereka telah sampai di depan rumah keluarga Mecca itu. Tampak nafasnya memburu dan detak jantungnya semakin terasa kencang tak karuan, sungguh Rifan sangat cemas jika lamarannya kali ini ditolak.

"Fan, kamu kenapa? Keringat kamu sampai deras banget begini loh," ujar Amira, ibu kandung Rifan yang terkejut ketika menyadari putranya tampak begitu gugup.

"Eee a-aku gapapa kok bun, bunda gausah khawatir begitu," jawab Rifan berbohong.

"Yasudah, kamu harus tenang Rifan! Ini kan atas kemauan kamu sendiri, jadi ya kamu harus bisa kendalikan diri kamu!" sahut Haidar.

"Iya yah, ayah sama bunda tenang aja karena aku udah persiapin diri kok!" ucap Rifan.

Amira tersenyum seraya mengusap wajah putranya itu, ia awalnya memang tak setuju saat Rifan mengatakan ingin segera menikah, tapi mau bagaimana lagi ia tidak mungkin bisa melarang keinginan Rifan, putra kesayangannya itu.

Ceklek

Tak lama pintu pun terbuka, tampak sosok Baron sang ustadz di kampung tempat tinggalnya itu muncul dari balik pintu dengan pakaian kebesarannya. Baron tersenyum datar melihat kedatangan keluarga Rifan disana, ia melebarkan pintu dan mempersilahkan Rifan serta orangtuanya masuk ke dalam.

"Waalaikumsalam, eh kalian sudah datang ternyata. Mari mari masuk semuanya, kebetulan kita juga sudah menunggu daritadi!" ucap Baron.

"Iya abi, maaf banget ya kita agak terlambat? Tadi soalnya tiba-tiba ada kendala di jalan, ban mobil kita mendadak kempes. Padahal sebelumnya baik-baik aja kok," ucap Rifan sambil tersenyum.

"Ya gapapa, sudah ayo masuk semuanya!" ucap Baron dengan ramah tamah.

Tanpa menunggu lama lagi, rombongan keluarga Rifan itu pun mulai memasuki rumah Mecca dengan tuntunan Baron. Mereka dituntun sampai menuju sofa dan dipersilahkan duduk, tampak disana sudah tersedia cukup banyak makanan serta minuman yang mungkin memang sengaja disiapkan untuk menyambut kedatangan mereka.

Rifan cukup senang melihat itu, tandanya keluarga Mecca mau menerima kehadiran dirinya yang ingin mempersunting anak gadis mereka dan membawanya ke dalam ikatan hubungan yang lebih erat dan tentunya sah. Namun, di ruang tamu itu yang terlihat hanyalah Baron beserta istrinya yang biasa dipanggil ustadzah Maryani.

"Assalamualaikum, umi.." Rifan mengucap salam dan menyapa Maryani sambil tersenyum, diikuti oleh kedua orangtuanya yang melakukan hal serupa.

"Waalaikumsallam, selamat datang nak Rifan dan keluarga! Silahkan duduk semua, maaf ya jamuan kami hanya seadanya!" ucap Maryani.

"Ah gapapa umi, segini juga sudah banyak kok. Kami sekeluarga justru yang seharusnya minta maaf karena merepotkan," ucap Amira.

"Gak sama sekali kok Bu, kami justru senang dengan kehadiran nak Rifan beserta ibu dan bapak," ucap Maryani.

Rifan bersorak dalam hati, ia benar-benar bahagia saat ini karena mengira lamarannya akan berjalan lancar setelah sambutan hangat yang diberikan Maryani serta Baron barusan padanya. Ia dan kedua orangtuanya sudah duduk bersama di sofa, begitu juga dengan Baron dan Maryani yang turut terduduk berhadapan.

"Jadi, pak Haidar dan Bu Amira ini ada keperluan apa datang kesini?" tanya Baron langsung memulai obrolan.

"Iya pak itu dia, saya selaku ayah dari Rifan hanya ingin mewakilkan dia untuk mengatakan tujuan kami sesungguhnya datang ke rumah ini. Tentu saja tidak lain tidak bukan adalah untuk melamar putri bapak, Mecca Meidiana," jawab Haidar.

Rifan tersenyum sembari menundukkan kepala, dalam hatinya ia bertanya-tanya dimana Mecca dan mengapa gadis itu belum muncul sampai saat ini. Padahal ia sudah sangat rindu dan ingin segera bertemu dengan kekasihnya itu, apalagi sudah lumayan lama mereka tak bersua.

"Silahkan Rifan, kamu sampaikan langsung dong keinginan kamu!" ucap Haidar.

"Eee i-i-iya yah," ucap Rifan dengan gugup. Perlahan ia pun mulai memberanikan diri menatap wajah Baron yang terlihat sangat di depannya.

"Abi, sa-saya..." belum sempat Rifan selesai bicara, tiba-tiba Baron mengangkat telapak tangannya dan membuat Rifan keheranan.

"Ada apa Abi?" tanya Maryani pada suaminya.

"Gapapa, Abi cuma minta Rifan buat bicara langsung sama Mecca nanti. Percuma dong kalau dia bicara sekarang, kan yang mau dilamar itu Mecca bukan Abi," jawab Baron disertai kekehan.

"Hahaha, Abi ini bisa aja. Ya tapi bener sih yang dibilang Abi, kamu tunggu sebentar ya Rifan sampai Mecca datang?" sahut Maryani.

"I-i-iya umi, saya juga daritadi cari-cari Mecca. Emangnya dia kemana ya umi?" ucap Rifan.

"Mecca ada kok di dalam, dia lagi siap-siap aja dibantu sama adiknya. Paling juga sebentar lagi dia keluar kok, soalnya udah lumayan lama dia dandan tadi," ucap Maryani.

"Oalah, iya gapapa umi saya sabar kok tunggu Mecca sampai keluar," ucap Rifan tersenyum.

Mereka akhirnya terpaksa menunda pembicaraan, lalu sambil menunggu kedatangan Mecca, mereka mulai berbincang-bincang kecil dan menikmati cemilan yang sudah disediakan. Namun, Rifan tampak gemetar dan gugup sebab ia baru pertama kali ada dalam kondisi seperti ini.

Tak lama kemudian, yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Mecca dengan penampilan cantiknya keluar dari kamar dan berjalan ke arah kerumunan orang itu bersama sang adik yang setia menemani, ya Mecca pun tak kalah gugupnya dengan Rifan karena ia akan segera dilamar oleh pria itu.

"Nah, itu dia Mecca nya keluar. Ayo ayo sini duduk sayang! Tuh Rifan sama keluarganya udah nungguin kamu tau," ucap Maryani.

"Iya umi," lirih Mecca sembari duduk di sebelah ibu serta ayahnya itu, begitu juga dengan sang adik yang turut terduduk disana.

Rifan hanya bisa melongok menatap wajah Mecca yang tampak lebih cantik dari biasanya, ia tak percaya jika sebentar lagi kekasihnya itu akan resmi ia lamar dan hubungan mereka bisa terus berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Inilah yang sudah lama Rifan nanti-nantikan.

"Ehem ehem.." suara deheman Baron membuat lamunan Rifan buyar dan seketika mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah.

...~Bersambung~...

...JANGAN LUPA LIKE+KOMEN YA GES YA!!!...

Bab 2. Syarat abi

"Abi, sa-saya..." belum sempat Rifan selesai bicara, tiba-tiba Baron mengangkat telapak tangannya dan membuat Rifan keheranan.

"Ada apa Abi?" tanya Maryani pada suaminya.

"Gapapa, Abi cuma minta Rifan buat bicara langsung sama Mecca nanti. Percuma dong kalau dia bicara sekarang, kan yang mau dilamar itu Mecca bukan Abi," jawab Baron disertai kekehan.

"Hahaha, Abi ini bisa aja. Ya tapi bener sih yang dibilang Abi, kamu tunggu sebentar ya Rifan sampai Mecca datang?" sahut Maryani.

"I-i-iya umi, saya juga daritadi cari-cari Mecca. Emangnya dia kemana ya umi?" ucap Rifan.

"Mecca ada kok di dalam, dia lagi siap-siap aja dibantu sama adiknya. Paling juga sebentar lagi dia keluar kok, soalnya udah lumayan lama dia dandan tadi," ucap Maryani.

"Oalah, iya gapapa umi saya sabar kok tunggu Mecca sampai keluar," ucap Rifan tersenyum.

Mereka akhirnya terpaksa menunda pembicaraan, lalu sambil menunggu kedatangan Mecca, mereka mulai berbincang-bincang kecil dan menikmati cemilan yang sudah disediakan. Namun, Rifan tampak gemetar dan gugup sebab ia baru pertama kali ada dalam kondisi seperti ini.

Tak lama kemudian, yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Mecca dengan penampilan cantiknya keluar dari kamar dan berjalan ke arah kerumunan orang itu bersama sang adik yang setia menemani, ya Mecca pun tak kalah gugupnya dengan Rifan karena ia akan segera dilamar oleh pria itu.

"Nah, itu dia Mecca nya keluar. Ayo ayo sini duduk sayang! Tuh Rifan sama keluarganya udah nungguin kamu tau," ucap Maryani.

"Iya umi," lirih Mecca sembari duduk di sebelah ibu serta ayahnya itu, begitu juga dengan sang adik yang turut terduduk disana.

Rifan hanya bisa melongok menatap wajah Mecca yang tampak lebih cantik dari biasanya, ia tak percaya jika sebentar lagi kekasihnya itu akan resmi ia lamar dan hubungan mereka bisa terus berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Inilah yang sudah lama Rifan nanti-nantikan.

"Ehem ehem.." suara deheman Baron membuat lamunan Rifan buyar dan seketika mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah.

"Kalian ini belum sah, gak boleh pandang-pandangan lama kayak gitu! Mau kena dosa kalian?" tegur Baron.

"Tau nih, kamu gimana sih Rifan? Jaga sikap dong di depan calon mertua kamu!" sahut Haidar.

"Maaf ayah, Abi. Aku tadi cuma kaget aja lihat penampilan Mecca yang Masya Allah cantik banget," ucap Rifan agak menunduk.

Maryani sampai tersenyum dan menggelengkan kepala mendengarnya, "Aamiin, kamu bisa aja deh mujinya nih sampe anak umi malu-malu," ujarnya.

"Ah umi, aku gak malu-malu kok, aku biasa aja." Mecca langsung membantah ucapan ibunya.

"Ahaha.." mereka semua tertawa dan membuat suasana makin hangat.

Meski begitu, Rifan tetap saja sulit untuk menghilangkan rasa gugup di dalam dirinya. Ia masih belum yakin jika lamaran kali ini akan berjalan sukses, pasalnya ia dapat mengetahui tatapan Baron yang seperti menyembunyikan sesuatu. Ia pun ragu Baron mau menerima pinangannya pada sang putri.

"Yasudah, karena sekarang kita semua sudah berkumpul disini, bagaimana kalau kita lanjutkan saja acaranya?" usul Haidar.

"Iya betul pak Haidar, Mecca juga kayaknya siap nih buat dengerin ucapan Rifan," ujar Maryani.

"Kalau begitu, silahkan dilanjutkan nak Rifan!" ucap Baron memberi perintah.

Rifan mengangguk pelan dan mengambil nafas dalam-dalam, ia menatap lurus ke arah Mecca serta kedua orangtuanya masih dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Rifan terpejam sejenak lalu mengeluarkan kotak cincin dari saku bajunya dan menunjukkan itu pada Mecca.

"Abi, umi, dan kamu Mecca, tujuan saya datang kesini tidak lain tidak bukan yaitu untuk melamar kamu. Saya mau melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius, apa kamu bersedia menerima lamaran saya?" ucap Rifan pelan.

Mecca tertunduk disertai senyuman tipis, ia menatap ibu dan ayahnya dengan tatapan bingung karena ia pun membutuhkan saran mereka.

"Gimana Mecca, apa jawaban kamu sekarang?" tanya Baron pada putrinya.

"Eee aku sih tergantung abi sama umi, kalau abi umi setuju ya aku setuju juga," jawab Mecca.

"Kamu gimana sih sayang? Yang dilamar kan kamu, kenapa kamu malah balik tanya ke kami? Semua itu kan tergantung perasaan kamu sayang, kamu suka enggak sama nak Rifan?" ucap Maryani.

"Yaaa aku.." Mecca tampak gugup dan terus menyatukan kedua tangannya.

"Sudah sudah, gini aja deh kalau menurut Abi. Nak Rifan, apa kamu sudah bisa mengaji dan belajar ilmu agama seperti yang pernah Abi suruh?" sela Baron.

Deg!

Perasaan Rifan langsung terkejut bukan main, ia selama ini memang mencoba mendalami ilmu agama agar bisa menjadi menantu yang baik bagi Baron. Namun, ia mengalami kesulitan sehingga memutuskan untuk berhenti dan tidak lagi melanjutkan pelajarannya itu.

"Maaf Abi, saya belum terlalu paham agama. Tapi, saya sudah rajin shalat kok bi. Saya juga bisa membaca Alqur'an walau masih terbata-bata," jawab Rifan dengan gugup.

"Nah kan, berarti kamu masih belum memenuhi kriteria untuk menjadi menantu abi. Kalau begitu abi punya satu syarat buat kamu kalau kamu mau menikah dengan Mecca," ucap Baron.

"Eee apa itu bi? Insyaallah saya akan lakukan sebaik mungkin," ujar Rifan.

"Seperti yang tadi abi sudah bilang, abi mau siapapun yang menikah dengan Mecca itu adalah orang yang ahli agama supaya dia bisa membimbing Mecca nantinya," ucap Baron.

"Iya abi, saya akan usahakan untuk belajar menjadi lebih baik lagi. Saya mau menjadi seorang ahli agama seperti yang abi inginkan," ucap Rifan.

"Bagus itu, abi juga minta kamu untuk belajar di pesantren dan kamu harus bisa lulus dalam waktu tiga puluh hari. Kalau kamu berhasil, kamu boleh langsung menikahi Mecca," ucap Baron.

"Hah??" mata Rifan terbelalak seketika mendengar persyaratan yang diajukan Baron, ia tak percaya jika Baron akan meminta itu darinya.

Tidak hanya Rifan, bahkan Mecca serta yang lainnya pun tak menyangka dengan apa yang dikatakan Baron barusan. Namun, mereka juga tak bisa berbuat apa-apa karena itu sudah keputusan mutlak dari Baron selaku kepala rumah tangga disana. Rifan pun harus menuruti semua itu untuk bisa menikah dengan Mecca tanpa halangan.

"Kenapa Rifan? Apa kamu keberatan dengan syarat yang abi berikan?" tanya Baron pada Rifan setelah melihat ekspresi laki-laki itu.

"Eee enggak kok bi, saya gak keberatan. Insyaallah saya bisa memenuhi semua persyaratan yang abi berikan itu, semuanya saya lakukan demi bisa menikah dengan Mecca," ucap Rifan.

"Bagus, tapi jangan kamu jadikan menikah sebagai alasan kamu belajar agama Rifan! Semua itu harus kamu lakukan karena Allah!" ucap Baron.

"I-i-iya bi, itu maksud saya. Saya akan belajar di pesantren selama bulan Ramadhan ini, saya janji sama abi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk lulus setelah lebaran nanti," ucap Rifan.

Baron tersenyum senang mendengarnya, ia percaya jika Rifan bisa melewati semua itu karena ia tahu kesungguhan pria itu dalam belajar.

...~Bersambung~...

...JANGAN LUPA LIKE+KOMEN YA GES YA!!!...

Bab 3. Sudah dilamar?

Setelah kepergian Rifan dan keluarganya, Mecca pun membantu sang ibu membersihkan rumah bersama adiknya. Meski Mecca sedikit merasa kesal pada keputusan ayahnya tadi yang memberi syarat di luar nalar kepada Rifan, tapi sebagai seorang anak ia tidak bisa membantah atau meminta ayahnya untuk mengganti persyaratan yang dia berikan sebab Mecca bisa dianggap sebagai anak durhaka.

Melihat kesedihan di wajah putrinya, Maryani langsung menghentikan sejenak aktivitasnya dan menghampiri Mecca yang tengah menyapu di depan sana. Maryani tahu betul ada sesuatu yang disembunyikan oleh putrinya itu, ia pun mengambil gagang sapu yang dipegang Mecca dan membuat gadis itu sedikit kaget dan reflek menoleh.

"Eh umi, ngapain umi ambil sapu aku? Sini biar aku aja yang sapu sampai selesai umi," ucap Mecca.

"Sebentar dulu, umi mau bicara sama kamu sayang. Soalnya umi lihat daritadi kamu melamun terus, sampai gak bener tuh nyapunya. Kotoran dimana kamu nyapu yang mana," ucap Maryani.

"Hehe, iya maaf ya umi? Aku masih kepikiran aja sama syarat abi ke Rifan tadi," ucap Mecca.

"Oalah, kenapa sayang? Kamu gak setuju ya sama syarat yang abi kasih?" tanya Maryani.

Mecca menggeleng cepat, "Bukan begitu umi, aku cuma takut aja kalau syarat abi tuh ngeberatin Rifan. Umi kan tahu sendiri, belajar di pesantren itu sulit. Gimana caranya coba Rifan bisa lulus dalam tiga puluh hari?" jawabnya.

"Iya sih, sebenarnya umi juga kurang setuju. Ya cuma mau gimana lagi sayang? Kita kan gak bisa bantah abi kamu itu," ucap Maryani.

Lalu, Vadella sang adik turut menghampiri mereka karena penasaran. Gadis yang masih duduk di kelas satu SMA itu memang selalu ingin ikut campur ke dalam urusan kakaknya, ia tak bisa jika tidak tahu apa permasalahan yang tengah dialami sang kakak sebab itu adalah hobinya.

"Mungkin aja abi emang sengaja kasih syarat begitu ke kak Rifan, supaya dia gak bisa nikahin kakak," ucap Vadella tiba-tiba.

Maryani dan Mecca sontak menoleh ke arahnya, tatapan mereka seolah menjurus tajam dan membuat Vadella merasa syok melihatnya. Gadis itu terlihat kebingungan dengan reaksi kedua wanita tersebut, padahal yang ia ucapkan tadi hanyalah sebuah dugaan.

"Ih ini pada kenapa sih? Kok ngeliatin aku kayak begitu banget? Emangnya ada yang salah ya sama kata-kata aku barusan? Perasaan itu cuma persepsi aku aja deh," ujar Vadella.

"Vadel, kamu kalau bicara itu jangan sembarangan ya! Apalagi tentang abi kamu sendiri," ucap Maryani.

"Ya maaf umi, aku kan cuma bicara sesuai yang aku pikirkan," ucap Vadella.

"Tetap aja itu salah, kamu gak seharusnya bicara seperti itu. Kamu mau emang kalau sampai abi dengar dan gak terima?" ucap Maryani.

"Iya umi, aku gak akan begitu lagi kok. Maaf deh kalau aku salah," ucap Vadella menunduk.

"Yaudah gapapa, sekarang kamu lanjut aja beberes disana! Jangan suka ikut campur urusan orang dewasa, kamu itu masih kecil!" suruh Maryani.

"Umi apaan sih? Aku tuh udah gede tau, aku kan udah SMA. Kecuali dulu pas aku masih SD, baru deh aku gak boleh ikut campur," ucap Vadella.

"Sama aja intinya kamu belum boleh ikut campur sayang," ucap Maryani tegas.

"Iya deh umi, tapi emangnya umi sama kak Mecca gak curiga gitu sama syarat yang dikasih abi ke mas Rifan tadi?" ujar Vadella.

Maryani tersenyum dan menggeleng pelan, "Enggak sayang, udah ya kita lanjut aja beberes nya gausah ngobrol yang gak jelas!" ucapnya.

"Iya iya umi.." Vadella pun menurut dan kembali melakukan bersih-bersih rumah disana.

Sementara Maryani masih ada di samping Mecca, ia ingin putrinya itu lebih tenang dan tidak memikirkan hal negatif mengenai ayahnya. Meski Maryani pun juga curiga kalau ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya setelah memberi syarat aneh kepada Rifan demi bisa melamar Mecca.

"Sayang, udah ya kamu gausah mikirin soal itu lagi? Kamu percaya aja sama abi kamu, gak mungkin abi tega punya niat buruk ke Rifan," ucap Maryani sembari mengelus punggung Mecca.

"Iya umi, abis ini aku mau coba telpon Rifan deh. Aku sekalian pengen minta maaf ke dia karena syarat abi yang di luar nalar itu," ucap Mecca.

"Okay, tapi setelah kamu beresin semua ini sampai bersih ya sayang? Umi gak kuat kalau cuma beresin berdua sama adik kamu, apalagi dia kerjanya lambat," kekeh Maryani.

"Hahaha, umi parah banget sih! Nanti dia dengar loh terus ngamuk-ngamuk gak terima," ujar Mecca.

"Biarin aja, dia kan emang begitu. Yaudah ya ayo kita lanjutin beres-beres rumahnya!" ajak Maryani.

Mecca hanya mengangguk sambil tersenyum, mereka pun sama-sama kembali melanjutkan aktivitas beberes rumah itu dengan ceria. Meski dalam pikiran Mecca, ia masih saja memikirkan tentang Rifan dan khawatir pria itu tidak akan mampu menjalankan syarat dari ayahnya.

Baron yang baru selesai mengajar mengaji di masjid, berniat pulang ke rumah karena waktu Maghrib masih lumayan lama dan ia bisa menyempatkan diri untuk mandi membersihkan tubuhnya lebih dulu. Baron pun melangkah keluar dari masjid tersebut, namun baru beberapa langkah ia sudah berpapasan dengan seorang pemuda di depannya.

"Assalamualaikum om," sapa si pemuda yang memakai baju koko serta celana panjang itu.

"Eh, waalaikumsalam nak Yudha. Mau ke masjid ya kamu?" tanya Baron sambil tersenyum.

Pemuda bernama Yudha itu menundukkan wajahnya untuk mencium tangan Baron yang memang cukup dihormati di kampung ini, meski begitu Baron selalu saja merendah dan meminta pada setiap orang disana untuk tidak memanggilnya dengan sebutan ustad atau guru.

"Iya benar om, kebetulan saya sama anak-anak remaja masjid mau ada rapat nih buat kegiatan di bulan Ramadhan nanti," jawab Yudha.

"Ohh, ya bagus itu Yudha. Supaya bulan Ramadhan nanti gak sepi-sepi amat lah disini," ucap Baron.

"Betul om, maka dari itu saya mau bahas semua itu sama yang lainnya di masjid. Sekarang saya pengen siap-siap dulu sebelum yang lain datang om," ucap Yudha.

"Ah iya iya, silahkan nak Yudha! Eh tapi, kenapa Mecca gak diajak? Dia kan juga bagian dari remaja masjid," tanya Baron.

"Eee kalau soal itu sebenarnya saya pribadi sudah berniat mengajak Mecca juga om, tapi barusan pas saya lewat depan rumah om kelihatannya abis ada acara ya disana om?" ucap Yudha.

"Iya sih memang tadi itu ada acara di rumah, ya acara kecil-kecilan lah. Itu loh Mecca mau dilamar sama anak kota," jelas Baron.

Yudha pun tampak terkejut mendengarnya, entah kenapa perasaannya cukup sakit saat mengetahui Mecca telah dilamar oleh laki-laki lain. Namun, Yudha berusaha kuat dan menyembunyikan perasaan tak sukanya itu dari Baron agar tak menimbulkan kecurigaan.

"Oh begitu toh, syukur deh om kalau memang Mecca sudah dilamar dan menemukan calon suaminya. Saya ikut senang dengarnya om, semoga semuanya berjalan lancar ya om!" ucap Yudha.

"Aamiin aamiin, tapi sebenarnya om kurang sreg sih sama calon menantu om ini," ucap Baron.

Yudha sontak mengernyit bingung, "Loh kenapa om? Ada yang salah?" tanyanya keheranan.

Baron menghela nafasnya, "Haaahhh sebenarnya om mau cerita ke kamu, tapi takut malah jadi ghibah dan berdosa kita. Lebih baik gausah dilanjut aja deh," ucapnya.

"Ahaha, iya juga sih om. Maaf ya om kalau tadi saya agak kepo gitu?" kekeh Yudha.

"Gapapa nak Yudha, yasudah om duluan ya? Om doakan semoga rencana kamu sama yang lainnya berjalan lancar ya!" pamit Baron.

"Aamiin om," ucap Yudha singkat.

Setelahnya, Baron pun pergi menuju rumah dengan langkah perlahan. Sedangkan Yudha mencoba menguatkan diri dan mengusap dadanya sendiri untuk menghilangkan rasa sedihnya.

...~Bersambung~...

...JANGAN LUPA LIKE+KOMEN YA GES YA!!!...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!