Cahaya proyektor menyorot di tembok putih rumah Laura. Bersamaan dengan itu, terdengar suara speaker tanda bluetooth telah tersambung. Dan rampunglah sudah persiapan Laura untuk menonton malam ini. Tinggal buka website untuk menonton acara favoritnya secara legal dan memutar film itu.
Video pun mulai berputar, musik pembuka yang penuh semangat menggema di kamar kosan berukuran 4 x 5 meter persegi itu. Namun, bukannya ikut semangat, Laura justru mulai merasa pilu.
Perasaan pilu itu semakin terasa tat kala karakter favoritnya muncul di layar. Tokoh itu yang memakai seragam spandeks warna biru sambil bergaya dan menyerukan namanya.
"Thunder Blue!"
Pria itu menyebut posisinya di dalam tim.
Tak lama setelahnya, dia melompat mengikuti pria dengan spandeks merah dan melancarkan aksinya bersama rekan-rekannya yang lain.
Mereka adalah Super Rangers Thunder Saber. Empat kelompok pemuda yang terdiri dari tiga pria dan satu perempuan yang bertugas untuk melindungi Bumi dari marabahaya yang mengancam. Ciri khas mereka adalah helm seukuran kepala dan mengenakan pakaian spandeks ketat dengan desain yang unik dan berwarna warni. Mereka terdiri dari Thunder Red yang merupakan pemimpin pasukan, Thunder Blue yang merupakan pimpinan kedua, lalu Thunder Green sang jenius mekanik dan pembuat strategi, serta Thunder Yellow yang merupakan satu-satunya perempuan di dalam team tersebut.
Drama seri untuk anak-anak itu telah tamat 16 tahun yang lalu, saat Laura baru berusia 8 tahun. Di antara para ranger itu, Thunder Blue adalah yang paling Laura favoritkan. Bukan hanya karena wajahnya yang tampan, sifatnya yang cool dan rasional lah yang membuat Laura jatuh hati. Di saat fans yang lain lebih menyukai Thunder Red karena keberaniannya, Laura lebih menyukai Thunder Blue yang selalu mengatakan, “Tunggu, kita jangan gegabah dulu.”
Pemeran dari Thunder Blue sendiri, Andreas Zhou menjadi sangat populer setelah serial tersebut selesai. Sungguh sebuah nasib yang cukup langka bagi aktor yang berangkat dari serial televisi untuk anak-anak. Karena, biasanya aktor-aktor tersebut malah akan turun pamor dan sulit mendapatkan pekerjaan lain, dengan alasan image yang terlalu melekat.
Sayangnya, sejak 5 tahun yang lalu, Andreas Zhou tak lagi muncul di layar perak maupun emas. Tidak ada yang tahu ke mana aktor itu pergi. Hingga pagi ini, muncullah berita tentang kematiannya. Dalam berita itu, disebutkan bahwa alasan kematiannya adalah kecelakaan mobil dengan truk tronton yang cukup parah.
Sungguh sedih Laura mendengarnya. Dirinya seakan tak memiliki semangat lagi untuk melakukan apapun. Karena itu, hari ini dia meminta izin untuk libur dari pekerjaannya. Dia hanya ingin bermalas-malasan sambil menonton Super Rangers Thunder Saber untuk mengenang pria yang pernah menjadi pujaan hatinya dulu.
...
Waktu berjalan begitu cepat, sampai-sampai tak terasa Laura sudah mengulang 49 episode Super Rangers Thunder Saber sebanyak 10 kali. Hari juga sudah berganti tanggal. Sudah lebih dari 5 hari Laura terus mengurung diri di kamar kos-kosannya. Dan sekarang dia baru menyadari bahwa dirinya belum makan selama dua hari.
"Pantesan lemes banget..." gumamnya sambil memijat-mijat kepalanya.
Ponsel di tangannya menunjukkan puluhan notifikasi yang menyebutkan namanya. Sebagian dari perusahaan tempatnya bekerja, sebagian lagi dari temannya. Semua menanyakan kabarnya, karena tidak pernah muncul selama lima hari ini tanpa mengatakan apapun.
Banyak yang merasa khawatir. Tetapi, tidak dengan atasannya di kantor. Wanita yang diam-diam Laura panggil dengan kuntilanak itu marah-marah padanya dan mengancam akan memecatnya jika dalam tiga hari tidak datang ke kantor.
Sebagai orang yang sudah sebatang kara, Laura tentu sangat tidak menginginkan untuk dipecat. Dia begitu bergantung pada pekerjaan ini. Namun, sebelum mengkhawatirkan itu, dia masih harus mengurus perutnya terlebih dahulu.
Dia pun melangkah menuju kulkas kecilnya, berharap masih ada makanan di sana agar dia tak perlu keluar dari kamarnya. Tapi, dia kurang beruntung. Karena, isi kulkasnya kosong melompong. Hanya ada beberapa skin care di sana, bukan makanan.
Terpaksa Laura harus keluar dari kamarnya. Dengan menahan rasa lemasnya, dia melangkah menuju pintu keluar. Namun, belum juga sampai di depan pintu, tiba-tiba dia jatuh terkulai dan tak sadarkan diri.
...
"Apa aku mati?"
"Apa aku harus mati dengan alasan sekonyol ini?"
Siapa yang menyangka Laura yang tak pernah hidup kekurangan itu bisa mati karena kelaparan. Terlebih alasan kelaparannya adalah hanya karena terlena menonton serial televisi anak-anak.
Kalau ada lubang, ingin rasanya Laura menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam sana. Tetapi, dia sendiri sudah mati. Tentu tidak lama lagi dia juga bersatu dengan tanah. Jadi, sama saja.
"Aaaaaa!!! kok gini banget, sih!!" rengeknya dengan penuh penyesalan.
"Dih... nasib kok gini amat yak? Tapi, ini aku beneran mati gak, sih? Atau cuma pingsan? Sleep Paralysis? Ketindihan genderuwo? Tapi, ga ada tuh genderuwonya!"
Laura masih bertanya-tanya. Pasalnya saat dia melihat tubuhnya sendiri yang terpampang di depan mata, dia mendapati dadanya masih kembang kempis. Jadi, seharusnya dia masih bernapas. Tapi, kalau begitu, kenapa pula jiwanya terlepas dari raganya?
Di saat masih kebingungan, muncullah sebuah cahaya kecil. Lama-lama cahaya itu menjadi lebih besar hingga setinggi dua kali tubuh Laura. Lalu, terdengarlah sebuah suara yang seperti langsung terdengar dari kepala Laura sendiri.
"Masuklah ke dalam cahaya itu!" bisik suara itu.
Laura yang masih ragu-ragu tidak langsung mengikuti perintah dari suara itu.
"Kalo aku masuk, ntar aku mati beneran. Oh nooo… aku sering lihat di TV kalau ada adegan meninggal, terus arwahnya mau jalan ke surga. Aku belum siap. Bisa aja di sana bukan surga, tapi neraka." pikirnya.
Tetapi, seakan ada yang mengontrolnya, dengan sendirinya dia melangkah maju mendekat pada cahaya itu. Laura yang panik pun berusaha sekuat tenaga menahan badan astralnya untuk ke sana.
"Nggak! Jangan ke sana!" serunya.
Apa daya? Mungkin memang sudah keputusan tuhan untuk mengambil nyawanya hari ini. Tubuh astral Laura kini telah masuk ke dalam lingkaran cahaya yang begitu menyilaukan itu. Saking silaunya, Laura sampai memejamkan matanya hingga begitu rapat.
Entah apa yang akan di hadapinya di seberang cahaya itu. Akankah surga menyambut? Atau justru neraka? Laura hanya bisa pasrah pada nasib. Dia bukan orang sempurna dan alim yang rajin beribadah. Dia sadar diri bahwa selama hidup terkadang dia juga berbuat hal yang tidak baik. Bukan hanya terkadang, tapi juga sering. Namun, sebagai manusia pada umumnya, jelas dia menginginkan surga setelah mati.
Dan kenyataan yang ditunggu pun datang.
Cahaya yang menyilaukan itu sudah semakin redup. Laura sedikit demi sedikit memberanikan diri untuk membuka mata secara perlahan.
"Hm??"
Berkedip ratusan kali pun pemandangan di hadapan Laura tidak mau berubah. Dia yakin bahwa dirinya tidak pernah ke tempat itu sebelumnya. Tempat yang begitu gelap dan penuh dengan benda-benda aneh sebagai pajangannya. Ada pula sekumpulan tengkorak manusia yang disusun menyerupai kursi di sana, membuat bulu kuduknya lumayan bergidig.
Meski tidak terlalu yakin, Laura merasa agak familiar dengan tempat ini. Padahal sudah jelas bahwa ini adalah kali pertama dia berada di sana.
“Luca!”
Suara pria yang cukup serak terdengar dari belakang Laura. Merasa tidak dipanggil, Laura hanya diam tanpa bereaksi apapun. Namun, nampaknya perlakuannya itu membuat pemilik suara itu kesal.
“Luca Kasha! Aku memanggilmu! Apa kau tuli?”
Pria itu sudah berada di depannya. Dia memiliki badan yang begitu besar. Kulitnya biru dengan sedikit aksen merah di beberapa bagian wajahnya. Mata dan mulutnya besar, serta seluruh gigi yang nampak dari mulutnya yang menganga sangat runcing. Rambutnya yang gimbal seakan hidup dan berkibar-kibar dengan sendirinya, meskipun seharusnya tidak ada angin kencang di sana.
“Dabakiras?” gumam Laura yang ketakutan saat melihat penampakan pemilik suara serak itu.
Dia adalah Dabakiras, salah satu dari empat komandan musuh yang harus Super Rangers Thunder Saber hadapi. Kemunculannya semakin membuat Laura bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya.
Lalu, walaupun secara gamblang Dabakiras yang ada di hadapannya dan yang ada di televisi sama, terdapat sebuah perbedaan yang sangat signifikan. Jika Dabakiras yang ada di televisi nampak kaku dan seperti kostum, Dabakiras yang ada di hadapannya jelas nampak lebih hidup. Mulutnya tidak hanya bergerak terbuka dan menutup, tetapi juga bergerak selayaknya mulut pada umumnya. Lalu, sekilas Laura memperhatikan bagian belakang tubuh Dabakiras. Dia tidak menemukan ret sleting maupun pengerat pakaian apapun di sana.
“Aku memanggilmu sedari tadi! Apa yang kau pikirkan sampai tidak menghiraukanku begitu? Kau harus tetap fokus jika masih ingin melanjutkan misi kita.” hardiknya.
Dari cara bicara Dabakiras, Laura merasa bahwa dirinya lah yang tadi dipanggil dengan sebutan Luca Kasha. Itu bukanlah namanya sendiri, tentu dia tidak akan menengok bila dipanggil demikian.
“Tapi, kenapa dia memanggilku Luca Kasha?” batin Laura.
Dia menundukkan kepalanya. Secara otomatis, Laura juga melihat ke badannya sendiri.
“Hah!?” pekik Laura tanpa sengaja.
Tidak hanya Laura, pekikan suara Laura itu juga membuat Dabakiras tersentak.
“Kau gila!? kenapa tiba-tiba berteriak begitu?”
Laura segera mencari cermin yang cukup besar. Jika ingatannya benar, dia pasti menemukan cermin itu tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri. Lalu, saat sudah menemukannya, dia perhatikan lekat-lekat seluruh wajah dan tubuhnya yang kini telah berubah penampilan.
“Gak mungkin… ini…” gumamnya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri.
Dia balikkan badannya ke arah Dabakiras, lalu bertanya, “Hey! Kamu tadi manggil aku Luca Kaasha?”
Alis Dabakiras mengernyit dan dia balik bertanya, “Kalau bukan kau, lalu siapa lagi? Bicaramu sungguh aneh.”
Laura semakin kebingungan. Dabakiras yang memperhatikan tingkah rekan kerjanya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran.
“Sebaiknya aku pergi lebih dulu. Pekerjaanku terlalu banyak dan lebih penting daripada harus mengurusi kegilaanmu!” putus Dabakiras yang kemudian beranjak dari sana.
Sementara itu, Laura kembali menatap dirinya sendiri di cermin. Dia masih belum yakin dengan apa yang dia lihat. Tiba-tiba saja dia mengenakan pakaian serba biru super sexy yang berdesain aneh. Rambutnya berwarna biru kehijauan dan satu tanduk di kepalanya menunjukkan bahwa dia bukan manusia. Selain itu, make up di wajahnya juga cukup membuatnya menganga saking eksentriknya. Tapi, tidak salah lagi, itu adalah wajah Luca Kasha, keponakan dari Rador yang merupakan pimpinan dari Radolard, kelompok alien yang sedang berusaha menginvasi bumi.
Berbeda dengan Dabakiras, raga yang dirasukinya saat ini cukup manusiawi. Di dramanya sendiri, pemeran Luca Kasha adalah seorang model yang sangat cantik.
“Ini sebenarnya kenapa, sih?” batinnya.
…
Agar lebih pasti, Luca berjalan-jalan mengitari tempat yang dia kira sebagai markas Radolard itu. Dia tengok setiap sudut yang dia lewati dengan seksama. Dan dugaannya semakin kuat, bahwa dia memang sedang berada di markas Radolard.
“Salam, Nona.”
Setiap prajurit berkepala seperti bola bowling warna kuning yang Laura lewati selalu menyapanya dengan hormat. Tidak tahu harus berbuat bagaimana, Laura hanya menatap mereka tanpa membalas apapun, lalu pergi.
Dia cukup kaget, karena ini pertama kalinya dia mendengar suara mereka. Padahal di televisi mereka hanya mengucapkan kata-kata yang tidak orang mengerti, seperti “Piri-piririp piri piri” atau semacamnya. Sekarang Laura paham kenapa Luca Kasha dan para petinggi Radolard lainnya bisa berkomunikasi dengan makhluk piri-piri itu.
Setelah cukup lama berjalan, Laura kini menghentikan langkahnya di hadapan sebuah jendela besar. Dari sana dia bisa melihat bagaimana suasana di luar markas. Dia juga bisa melihat planet bumi yang berwarna dominan biru itu.
“Ini beneran di luar angkasa. Gila!” ujarnya dengan mata yang membelo.
Sungguh takjub Laura pada pemandangan di hadapannya. Semuanya nampak benar-benar di luar nalar. Dirinya benar-benar berada di dalam markas Radolard yang ada di luar angkasa.
“Aku mimpi, kan? Aww!!”
Perih terasa saat Laura mencubit pipinya sendiri. Artinya, saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini memang nyata. Dia benar-benar menjadi Luca Kasha, si wanita jahat yang bengis.
“Haduuuh… gawat. Kalau aku beneran jadi Luca, tamatlah sudah riwayatku. Udah mati, eh… mati lagi.” pikir Laura.
Mengingat cerita Luca yang berakhir dengan kematian, Laura tidak bisa begitu saja mengikuti alur cerita yang sebenarnya. Tapi, dia ragu dan takut jika terjadi sesuatu yang lebih parah kalau dia mengubah alur. Dia sudah sering melihat itu di komik-komik Jepang dan Korea yang sering dia baca.
“Kayaknya mesti survey lokasi dulu ini mah.” putus Laura sambil menepuk dua pahanya keras-keras supaya lebih sadar dan fokus.
Kemudian, dia menuju ke suatu tempat yang bisa membuatnya berteleportasi ke tempat lain. Dia akan turun ke bumi.
…
“Whoops!” seru Laura yang kehilangan keseimbangannya setelah sampai di Bumi. Beruntung dia tidak langsung jatuh.
“Kenapa kau ke sini?” tanya Dabakiras yang tengah mengawasi pertarungan anak buahnya dari kejauhan.
Laura berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Dabakiras, lalu berkata, “Aku ingin melihat pertarungan kalian. Memang tidak boleh?”
Bola mata biru Dabakiras berputar.
“Huh… tumben sekali. Biasanya juga kau cuma menonton dari layar yang ada di markas.” sindir Dabakiras.
Memang, Luca terkenal sebagai komandan yang cukup pemalas. Dia bahkan sangat jarang melihat langsung pertarungan anak buahnya sendiri. Pasalnya, Luca tidak suka panas-panasan. Bisa-bisa make up cetarnya nanti malah luntur. Untuk hal ini, Laura cukup sehati dengan Luca.
Tidak bisa membalas lagi, Laura pun terdiam. Dia memilih untuk mengalihkan perhatiannya pada pertarungan seru antara seorang alien kalajengking raksasa berserta kroco-kroconya dengan empat orang berspandeks warna warni.
“Kau tidak akan kubiarkan, Kajelaking!” seru salah satu ranger.
Seketika, Laura pun tersentak. Dia tahu betul pemilik suara tegas itu. Dan benar saja, sang pemilik suara adalah pria berseragam biru favoritnya.
Laura terlalu takjub untuk merespon. Dia begitu senang bisa mendengar suara itu lagi.
"Hey, kau kenapa melamun begitu? Kita sudah hampir kalah oleh mereka!" seru Dabakiras, mengingatkan Laura bahwa dia berada di pihak yang berseberangan dengan kelompok pahlawan itu.
Sementara itu, si alien kalajengking sudah terpojokkan oleh para Super Rangers. Lalu, jurus pamungkas pun mereka luncurkan.
Empat pahlawan itu menggabungkan masing-masing senjatanya menjadi satu hingga berbentuk seperti bazoka raksasa. Kemudian, dengan satu aba-aba, tertembaklah laser dari lubang bazoka tersebut.
"Thunder Canon, luncurkan! Ha!"
'Zyuuuung! BAM!!'
Dentuman dari monster yang meledak itu terdengar begitu keras, hingga Laura harus menutup telinganya sendiri.
"Super Rangers sialan! Aku tidak akan tinggal diam! Rasakan pembalasanku!" ancam Dabakiras.
Benar-benar kalimat yang cocok untuk seorang penjahat. Mereka selalu mengatakan hal yang kurang lebih sama. Tetapi, pada akhirnya mereka akan kalah juga. Begitu pikir Laura.
Saking fokusnya Laura melamun, ia tidak menyadari tatapan Dabakiras padanya yang seakan memberi kode untuk melakukan sesuatu. Hingga kemudian, Dabakiras memanggil nama Luca.
"Luca! Kerjakan bagianmu!"
Laura langsung paham apa maksud Dabakiras. Alien berwajah mengerikan itu tidak lain ingin agar Luca segera menggunakan tongkat ajaibnya untuk membuat monster kalajengking menjadi raksasa.
Perasaan bimbang muncul di hati Laura. Dia tidak ingin menjadi musuh dari idolanya, tetapi akan mencurigakan jika tiba-tiba dia tidak melakukan apa yang biasa Luca lakukan. Bagaimanapun memang itu peran Luca.
"Benar juga. Alat ini kan bekerja sesuai dengan keinginan Luca. Kalau gitu... dibikin jadi lebih lemah dari seharusnya bisa kali, ya?" pikir Laura yang akhirnya mendapatkan ide.
Dengan jentikkan jarinya, muncullah tongkat ajaib Luca. Biasanya dengan tongkat tersebut lah Luca mengubah para monster Radolard menjadi raksasa. Laura kemudian mengangkat tongkat tersebut dan membuat gerakan memutar. Sambil melakukan itu, dia memikirkan seberapa besar kekuatan yang harus dia keluarkan.
Dalam kepalanya dia berpikir akan membuat monster menjadi raksasa, tetapi dengan kekuatan yang sedikit lebih kecil dengan kekuatan aslinya saat berukuran normal. Dengan begitu, Super Rangers tidak akan kewalahan menghadapi monster kalajengking itu.
"Hiya!!" seru Laura sambil menudingkan tongkat sepanjang satu meter di tangannya pada tubuh alien kalajengking yang sudah terkapar meregang nyawa.
Teriakan tersebut cukup keras terdengar, sehingga para Super Rangers menengok ke arahnya. Dari balik helm warna warni itu Laura yakin mereka menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Namanya juga jendral musuh. Memangnya akan ditatap penuh kasih sayang?
Sedih memang. Tetapi, Laura terpaksa harus menerima nasib sialnya ini.
Tak lama setelah itu, alien bernama Kajelaking itu pun berubah menjadi raksasa.
"Aku akan memusnahkan kalian, Super Rangers!" ancam Kajelaking saat tubuhnya sudah setinggi lebih dari 100 meter.
Perhatian Super Rangers pun teralihkan pada tubuh raksasa Kajelaking.
Thunder Red lalu mengarahkan morpher atau alat untuk berubahnya yang ada di pergelangan tangan ke depan mulut. Dia berseru, "Thunder Beasts, datanglah!"
Langit yang awalnya cerah pun menggelap. Guntur juga bergemuruh saling bertautan diiringi dengan petir yang begitu menyilaukan. Dengan langit yang seperti itu, anehnya tidak ada hujan setetespun yang turun. Namun, dari langit itu muncul pula empat ekor binatang raksasa.
"Red Dragon!"
Panggil sang ranger merah pada binatang raksasa yang kemudian dia tunggangi. Seperti namanya, binatang raksasa itu berwujud naga merah tanpa sayap.
"Blue Griffin!"
Binatang raksasa yang ranger biru panggil adalah seekor chimera dengan kepala dan sayap elang, tubuh singa, dan ekor ular.
"Green Turtle!"
Bumi berguncang hebat saat sebuah cangkang besar turun ke tanah. Dialah kura-kura raksasa berwarna hijau yang menjadi partner sang ranger hijau.
"Yellow Giraffe!"
Meskipun giraffe berarti jerapah, binatang raksasa yang ranger kuning itu panggil sebenarnya adalah makhluk mirip barongsai dengan dua tanduk yang menjulang di kepalanya.
Daripada benar-benar menunggangi, mungkin akan lebih tepat jika disebut dengan bersatu. Karena, kenyataannya empat ranger tadi masuk ke dalam ruangan yang mirip kokpit yang ada di dalam tubuh empat binatang raksasa itu.
"Thunder Beasts, bergabung!" Thunder Red kembali berseru.
Dengan aba-aba itu, empat binatang raksasa itu pun mengubah wujud mereka menjadi lebih robotic. Kemudian, dengan langkah sedemikian rupa, empat binatang buas tadi pun bergabung menjadi satu dan terciptalah sebuah robot raksasa bersayap yang mereka sebut dengan Thunder Beast Robo.
"Thunder Beast Robo, selesai!" seru empat super hero itu bersamaan.
"Percuma saja. Kalian tidak akan bisa mengalahkanku!" Kajelaking berkata dengan sombong.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, Kajelaking." sahut ranger kuning.
"Benar. Kami telah menyatukan kekuatan dan akan segera mengalahkanmu!" tambah ranger hijau.
"Aku tidak akan membiarkan itu. Hahahahaha!" Kajelaking yang yakin betul akan menang tertawa terbahak.
"Ini adalah saat terakhirmu untuk tertawa!" ranger merah berseru penuh ancaman.
Mendengar obrolan mereka yang seolah tidak ada habisnya, Laura mulai jengah. Dia tidak sabar lagi ingin melihat mereka mulai bertarung.
"Hey, Kajelaking! Jangan buang-buang waktu!"
Agaknya Dabakiras juga berpikiran sama dengan Laura.
"Tenang saja, Tuan. Akan aku hancurkan mereka dalam sekali tebas." balas Kajelaking pada Dabakiras.
Alien kalajengking itu pun mulai berlari maju. Puluhan bangunan milik manusia menjadi rusak dibuatnya. Namun, apa pedulinya? Kajelaking hanya perlu menuntaskan tugasnya.
Saat sudah berada di dekat Thunder Beast Robo, Kajelaking mengibaskan ekornya untuk menyerang. Tapi, dengan mudahnya Thunder Beast Robo menangkap ekor Kajelaking itu. Lalu, saking ringannya, robot itu pun memutar-mutar Kajelaking dan melemparnya jauh-jauh.
"Tunggu! Aaaaaaa!!"
Kejelaking mulai merasa aneh. Dia pikir, karena sudah menjadi raksasa pasti dia telah menjadi lebih kuat. Tetapi, kenyataannya dia justru merasa semakin lemah.
Saat sudah terpojok, robot besar itu terbang menuju tempat Kajelaking terlempar. Kemudian, diayunkannya pedang di tangannya untuk melancarkan serangan pada Kajelaking. Dengan serangan itu, Kajelaking pun tidak berkutik. Alien itu hanya diam terpaku menunggu kehancurannya.
Dan benar saja, tanpa mengeluarkan jurus pamungkas mereka pun Kajelaking berhasil dikalahkan. Alien itu meledak seketika menjadi puing-puing yang tak berbentuk.
…
“Sialaaaan!!!” amuk Dabakiras begitu kembali ke markas utama.
Ini bukan kali pertama Dabakiras kalah dari Super Rangers, namun jelas kekalahan itu membuat Dabakiras begitu kesal. Sebagai salah satu komandan tertinggi dari pasukan Radolard, tentu harga dirinya sangat terluka.
“Kenapa kita begitu kesulitan menjajah planet ini? Apa tidak ada jalan lain agar kita bisa mengalahkan Super Rangers sialan itu? GHAARH!!” kesalnya.
Sebagai jiwa yang berasal dari dunia lain, tentu Laura mengetahui jawaban yang Dabakiras inginkan. Tidak hanya satu, Laura punya banyak jawaban untuk itu.
Misalnya saja, jangan satu per satu, tetapi seharusnya Radolard langsung meluncurkan alien-alien terkuatnya ke Bumi. Artinya serangan tidak hanya dilakukan di satu tempat, melainkan harus lebih menyeluruh. Dengan demikian, penaklukan juga pasti akan lebih cepat.
Atau jika ingin lebih cepat lagi, alien-alien itu seharusnya langsung diluncurkan dalam ukuran raksasa. Hal ini akan mempersingkat pertarungan dengan Super Rangers. Pahlawan pembela kebajikan itu juga pasti akan memiliki lebih sedikit waktu untuk bersiap.
Kalau Radolard melakukan itu dari awal, Super Rangers juga gak bakal makin kuat. Tapi, episodenya gak bakal banyak. batin Laura.
Saat masih kecil, Laura juga tidak menyadari hal itu dan juga tidak terlalu peduli. Yang penting dia bisa melihat pahlawan kesukaannya di televisi.
Beda lagi dengan Laura yang sekarang. Dia paham betul bahwa itu adalah jalan terbaik menuju kemenangan Radolard, hanya saja dia tidak ingin memberitahu maupun melakukannya. Sentimennya sebagai fans berat Super Rangers tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Tetapi, Laura juga sadar bahwa saat ini dirinya adalah Luca Kasha. Jadi, tidak mungkin pula dia terburu-buru beralih pihak untuk membantu Super Rangers mempertahankan Bumi.
“Kau gagal lagi, Dabakiras?”
Pertanyaan itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang pria tinggi berambut hitam. Kulitnya begitu putih pucat dengan sisik-sisik yang menyebar di seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah. Jubah merah yang ia kenakan begitu menunjukkan wibawanya sebagai seorang pemimpin besar Radolard.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!