Di lorong ruangan tingkat 69 yang masih terasa sunyi, Mecca Dini Pradipta duduk pada sebuah meja kerja berwarna keperakan dengan desain minimalis namun terasa sangat nyaman digunakan.
Mata kecoklatannya menatap lurus ke seberang meja yang ia duduki saat ini. Pintu jati tinggi berwarna coklat mengkilap dengan ukiran gaya klasik menghiasi permukaannya.
Pada pintu tersebut terpasang papan nama dengan huruf kapital RUANG DIREKTUR UTAMA, entah mengapa saat membaca tiap katanya membuat jantung gadis itu berdebar tak karuan, rasa antusiasnya mengambil alih di hari pertama magangnya ini.
Sesekali ia memperhatikan cermin yang ia letakkan di bawah meja, perhatiannya beralih pada bulu mata lentik yang menghiasi mata kecoklatannya, lalu beralih ke bibir mungil kemerahan, dan berlanjut pada rambut panjang tanggung berwarna dark brown tersebut. “Perfect.” Senyum manisnya tersungging cerah.
Seketika ia mulai berdiri dan merapikan blouse putih polosnya, memasang kartu tanda mahasiswi di bagian kanan atas pada pakaiannya kemudian kembali menepuk-nepuk kecil kain celana panjang stretch berwarna hitam pekatnya tersebut.
Mecca meraih tote bag berwarna putih gading dengan gambar dream catcher yang digradasi warna pastel. Ia memasukkan tangan kanannya, berusaha merogoh sangat dalam untuk mencari sesuatu. Pouch berwarna hijau mint ia keluarkan dengan segera.
Di dalamnya terdapat lotion, lip balm, baby powder, dan minyak telon dengan aroma chamomile. Tak ada satupun make up ala gadis-gadis jaman sekarang yang dimilikinya. Wajah polos Mecca tanpa make up memang tergolong sangat cantik, ia hanya mengambil lotion dan mengenakannya di kulit telapak tangan untuk menghindari rasa kering akibat dinginnya AC.
Untuk mengisi waktu, ia mulai membuka ponselnya dan beralih ke situs pencarian. Dia mulai mencari banyak informasi tentang perusahaan tempat ia magang saat ini sebagai refrensi penulisan skripsinya.
Perusahaan Grup A ini merupakan salah satu perusahaan alat berat terkemuka di Indonesia. Pemilik perusahaan terkenal dengan tangan dinginnya dibidang bisnis. Mereka telah melebarkan sayapnya secara luas dalam berbagai macam bentuk usaha, dari bidang jasa, perdagangan, industri, dan lain-lain.
Di tengah keasyikannya dalam membaca berbagai artikel dalam smartphonenya, tak berselang lama terdengar jelas suara pintu lift yang terbuka, dengan otomatis tubuh Mecca berdiri tegak bersiap menyambut siapa saja yang akan menghampirinya.
Kemudian nampaklah seseorang dari kejauhan dalam balutan dress putih panjang mengenakan hijab merah marun dengan tubuh mungil, berkulit putih, dan perut besar khas orang hamil perlahan mendekatinya.
“Wah… Wah… Wah... Hari pertama magang semangat sekali ya, kantor masih sepi sudah nongkrong saja di situ.” Tegurnya sembari menunjuk dengan tatapan mata dan bibir yang di majukan.
“Mbak Nindy, akhirnya datang juga. Dari tadi perasaanku campur aduk antara gelisah dan antusias. aku takut kalau Pak Bos datang lebih pagi dari pada mbak.” Cerocosnya dengan cepat.
“Tenang saja, aku sudah hafal kebiasaan Pak Fadhil, jadi nggak mungkin aku telat.” Liriknya dengan senyum kecil.
“Terima kasih banyak ya kakak sepupuku yang tercantik, kalau bukan karena rekomendasi mbak untuk jadiin aku sekretaris pengganti selama mbak cuti, aku pasti masih kebingungan cari tempat magangan.” Menunjukkan ekspresi imut dengan kedipan-kedipan lucunya.
“Jangan terima kasih saja, hadiah untuk calon keponakanmu yang mau berojol ini jangan lupa, ingat aku minta apa waktu itu.” Memberikan nada sedikit menekan sambil membelai perut buncitnya.
“Tenang... Untuk calon keponakan tersuper pasti dibelikan kok.” Cengirnya menunjukkan deretan gigi putih rapinya.
“Good !” sembari mengangkat jempol kanannya.” Pokoknya selama seminggu sebelum aku cuti, kamu harus bisa handle semua pekerjaan ya. Jaga nama baikku.” Menunjukkan mata tajam mengancam.
“Siap BOS !” sembari mengangkat tangan kanannya dalam posisi hormat.
“Tapi Mec, jurusan kamu sama posisi kita ini kan berbeda, apa bisa membantu pembuatan skripsimu? Di sini lebih banyak hanya bekerja via telepon dan mengarsipkan berkas saja loh.” Tanyanya khawatir.
“Nggak apa-apa mbak, aku kan bisa cari-cari informasi ke devisi lain untuk bahan bahasanku nanti, jadi tolong kenalkan aku dengan beberapa narasumber yang bisa bantu pengumpulan data ya mbak.” Ujarnya menunjukkan senyum termanis.
“Kalau masalah itu sih kamu tenang saja yang penting pekerjaan utama kamu disini tidak sampai kamu lalaikan.”
“Siap laksanakan.” Sahutnya cepat.
“Eh Mec, mbak ke kamar mandi dulu ya, maklum kalau sudah dekat HPL (Hari Perkiraan Lahir) begini suka beser bawaannya. Nanti kasih tahu mbak ya, kalau Pak Fadhil sudah datang.” Ucapnya sambil berlalu.
Tak lama berselang, kembali suara pintu lift terdengar terbuka, dengan sigap Mecca berdiri hendak memberikan salam. Dari jarak yang tak terlalu jauh dari meja kerjanya,
Mecca memperhatikan dengan seksama dua pria tinggi, dengan setelan jas hitam dipadu dengan kemaja putih dan sebuah dasi yang disesuaikan. Pria yang berjalan paling depan memiliki ketampanan yang membuatnya terpana, seperti mesin otomatis penilai subjek, Mecca mengukur tiap inci yang ditangkap matanya.
Pria dengan tinggi sekitar 175 cm, bertubuh tegap dengan dada bidang, berkulit kuning langsat, alis hitam tebal, bibir berwarna merah muda, dan sorot mata penakluk berwarna kehitaman. Begitulah penilaiannya mengeluarkan hasil. Entah sihir apa yang dimiliki pria itu, sehingga Mecca tak dapat mengalihkan pandangannya untuk memperhatikan pria yang kedua.
Saat kedua pria tersebut melewatinya tanpa menoleh atau mungkin tidak menyadari bahwa ia adalah sosok baru di ruangan itu, menjadikan kesadarannya hilang setengah. Dengan gelagapan ia mengucapkan,
“Se-selamat pagi pak.” Tanpa diikuti salam kembali oleh yang disapanya, hingga kedua pria itu masuk ke ruangan tepat diseberangnya.
“Wow gila... Bikin deg-degan saja tuh mas ganteng, dia itu manusia atau bukan sih, parah pesonanya. Fokus Mec… Fokus!” hela nafas kuat diikuti tangan kiri yang meraba dada untuk menenangkan detak jantungnya yang masih berisik itu.
Lewat beberapa menit dari adegan salam-menyalam itu, pintu lift kembali terbuka. Ada sepasang paruh baya yang keluar berjalan menghampirinya.
Entah siapa kedua pasangan tersebut, mereka nampak marah dan tergesa-gesa. Tanpa ba-bi-bu, kedua pasangan tersebut melewati Mecca dan masuk ke ruangan Direktur Utama tanpa permisi. Mecca hanya dapat diam mematung tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Hingga akhirnya ia dikejutkan oleh tepukan kecil dibahu kanannya namun terasa sangat mengagetkan.
“Hei... Mangap melulu tuh mulut, kemasukan buaya darat baru tahu rasa tuh.” Tepuknya pada bahu kanan gadis dihadapnya diikuti cengiran kecil.
“Aduh... Jantungku mau copot rasanya mbak!” ucapnya dengan mata tertutup.
“Mbak sepertinya aku sudah lihat Pak Fadhil deh, beliau sudah masuk ke ruangannya tadi dan...” belum berakhir ucapnya, namun telah diinterupsi tanpa izin.
“Ya sudah, ayo aku perkenalkan dengan beliau.” Ajaknya sedikit menarik tangan disebelahnya.
“Tunggu mbak, ini bukan saat yang tepat. Sebentar lagi mbak, didalam masih...” lagi-lagi ucapnya terpotong.
“Halah... Enggak usah nanti-nanti, lebih cepat lebih baik, kamu jangan tegang, tenang saja ya.” Ucapnya sambil menarik tangan di belakangnya dan berkedip sekilas.
Author PoV (Fadhil)
Sosok tegap terpantul pada standing mirror di hadapannya, pria itu menyebut sebuah nama yang tak lain adalah dirinya sendiri. “Adzan Fadhillah Permana, hanya satu kata untukmu, perfect!” ujarnya sambil mengerlingkan sebelah mata sembari membentuk jarinya menyerupai huruf L di bawah dagu.
Ia merapikan setelan jas hitam yang dikenakannya dipadu dengan kemeja putih dan dasi berwarna hitam-putih bergaris. Ia mengagumi tiap inci yang terpantul pada cermin. Sama halnya seperti ritual rutin, pujian demi pujian selalu diucapnya dengan narsis, hingga suara ketukan pintu menyudahi kegiatannya tersebut.
Tok... Tok... Tok...
“Mas Fadhil, sarapannya sudah siap dan sudah ditunggu bapak juga ibu di bawah.” Ucapnya lembut sembari mengetuk pintu kamar tuannya.
“Iya Bi Mina, saya sudah mau turun. Terima kasih.” Sahutnya sedikit menaikkan volume suara.
Kemudian ia mengambil ponsel yang berada di bibir ranjang, mengotak-ngatik sejenak, dan beralih pada fitur kamera, ia menunjukkan berbagai macam ekspresi untuk mengabadikan ketampanan yang dimilikinya.
Setelah puas dengan hasil jepretan yang memakan sedikit waktu tersebut, Fadhil kemudian keluar dari pintu kamarnya dan mulai menuruni beberapa anak tangga yang terletak tepat di seberang kamarnya sambil menyenandungkan alunan musik indah melalui siulan lembutnya.
Di meja makan telah terhidang berbagai jenis makanan hangat khas sarapan pagi. Entah karena tidak terlalu lapar atau karena ingin segera berangkat bekerja, Fadhil hanya mengambil selembar roti tawar tanpa olesan selai apapun, dan hendak berbalik pergi, namun teguran seseorang menghentikan tindakannya tersebut.
“Hei... Hei... Mau kemana? Ayo duduk dulu, jangan hanya sarapan roti, mama sudah siapkan bubur ayam kesukaan kamu.” Tegurnya sembari meletakkan satu mangkuk bubur ayam hangat tepat di hadapan Fadhil.
“Fadhil buru-buru ma, ada yang harus dikerjakan segera di kantor.” Alasannya sekena mungkin.
“Kamu jangan banyak alasan, papa tahu kamu menghindari papakan?! Pokoknya papa tidak mau tahu, hari ini kamu harus pergi makan siang dengan Karina.” Tegasnya menekan disetiap ucapannya.
“Pa, stop please! dari semalam masih ini saja yang papa bahas. Pokoknya Fadhil tidak mau dijodoh-jodohkan.” Ujarnya memberikan tatapan tajam.
“Karina itu wanita yang cantik, pandai, dan dari keluarga hebat. Mereka sangat cocok bersanding dengan keluarga kita.” Jelasnya tak kalah tajam.
“Kalau begitu papa saja yang menikahinya.” Sungutnya spontan.
“Dasar anak kurang ajar! Di mana kesopananmu terhadap orang tua!” marahnya meledak.
“Dari kecil papa sudah mengatur hidup Fadhil semau papa, sampai Fadhil merasakan hidup bagai warna hitam dan putih saja pa. Jadi tolonglah pa, untuk urusan hati papa jangan ikut campur!” tegasnya dengan nada mengancam.
“Kamu ini...” belum tuntas ucapnya yang menunjukkan kemarahan, seseorang telah memotongnya.
“Pa, sudah!” hentinya dengan menggenggam tangan suaminya.
”Fadhil, kamu sudah 28 tahun saat ini, sudah waktunya kamu memikirkan untuk berumah tangga nak, coba saja dulu temui Karina, mungkin kalian cocok.” Sarannya dengan senyum hangat.
“Maaf ma, Fadhil tidak mau, sudah ada orang lain yang Fadhil cintai.” Tolaknya tegas sambil melemparkan tatapan tajam kepada Papanya.
“Rani itu? Tidak usah mimpi! Papa tidak akan pernah menerimanya sebagai menantu. Wanita macam apa yang kerjanya memamerkan tubuh seperti itu.” Ancamnya tegas tak mau kalah.
“Hal ini tidak ada hubungan dengannya pa, jadi please papa stop menyebut namanya atau menariknya dalam setiap amarah papa.” Jawabnya sedikit kesal.
“Ma, nasehati anak keras kepala ini supaya dia bisa diajak bicara orang tua secara baik-baik.” Pintanya kepada istrinya.
“Papa dan Fadhil itu sama-sama keras kepalanya. Tapi kalian berdua tidak ada yang sadar. Selalu bikin mama pusing tujuh keliling.” Ujarnya menghela nafas panjang.
“Kalau begitu Fadhil pergi dulu ma, assalamualaikum.” Pamitnya sambil melangkah pergi.
“Tuh lihat pa! Anak kita sampai tidak menyentuh satu suap pun bubur ayamnya. Mama kan sudah bilang, jangan bahas hal itu saat di meja makan, tapi papa tetap saja bahas. Kasihan anak kita, sampai tidak sarapan begitu.” Ucapnya penuh kecewa.
“Dasar anak itu. Lagipula Fadhil sudah besar ma, dia bisa mengurus dirinya sendiri.” Menahan amarah yang masih terkendali.
“Kalau Fadhil bisa mengurus dirinya sendiri, papa tidak usah repot-repot menjodoh-jodohkannya.” Sahutnya ketus.
Pak Permana terdiam sesaat berusaha mencari-cari alasan yang dapat membenarkan perbuatannya.
“Kita sebagai orang tua harus mengarahkan anak kita ma, termasuk mencarikan jodoh yang tepat.”
“Tepat untuk siapa? untuk Fadhil atau untuk papa?” tanyanya menegaskan.
Setelah beberapa saat perdebatan itu terjadi, akhirnya Bu Alisa memilih mengalah pada Pak Permana, merasa lelah menghadapi keras kepala suaminya, ia pun memilih diam. Sampai akhirnya suara Pak Permana membuyarkan keheningan di antara keduanya.
“Ma, ayo ikut papa ke kantor. Pokoknya hari ini kita harus bisa membujuk atau memaksa anak keras kepala itu.” Ajaknya dengan tatapan kesal tanpa ingin dibantah.
Dengan berat hati Bu Alisa hanya bisa menuruti kemauan suaminya tersebut, sebenarnya dia merasa malas untuk ikut dengan suaminya, karena dia tahu pasti bahwa perdebatan ini akan kembali berlanjut, namun jika dia tidak mengikuti suaminya, ia khawatir bila hubungan suami dan anaknya menjadi semakin merenggang.
Sepanjang perjalanan hingga sesampainya di gedung perusahaan yang megah dan terkesan modern itu, Fadhil menahan rasa kesalnya yang memuncak, ia hanya ingin segera sampai ke ruangan kerjanya dan sedikit mengistirahatkan kepalanya yang telah terasa panas sejak tadi.
Image Fadhil di mata orang lain merupakan sosok yang tegas, ramah, dan perhatian. Namun hari ini, keramahannya tak nampak satu kalipun. Sapaan demi sapaan yang dilontarkan para karyawan tak pernah dibalasnya, bahkan kehadiran sosok baru di meja kerja sekretarisnya pun tak terlihat olehnya.
Fadhil membuka pintu ruangannya dengan segera dan melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya itu, lalu menghempaskan diri pada sofa besar berwarna hitam tersebut.
“Faiz, tolong kau minta Nindy mundurkan satu jam lagi rapat hari ini, aku ingin istirahat sebentar.” Ia berkata dengan mata yang ditutup oleh siku kanannya.
“Baik bos.” Jawabnya singkat dan berlalu hendak keluar ruangan. Namun belum tangannya mencapai handle, pintu telah terbuka dengan kencang.
Keterkejutan Fadhil membuatnya melotot dan terperanjat. Ia memandang sosok yang telah berada di ambang pintu ruangannya tersebut.
“Oh my God, papa masih belum puas?” Ucapnya tak percaya.
Ruangan itu kini kembali memanas, perdebatan terus terjadi secara berulang, hingga ketukan pintu terdengar.
Tok… Tok… Tok…
“Masuk!” Perintah Fadhil spontan.
Ada sosok baru yang tak pernah dilihat sebelumnya. Disana ada seorang gadis muda dan sekretarisnya yang menampakkan ekspresi terkejut.
Sesaat Fadhil terdiam seakan otaknya berusaha berpikir cepat, entah hal gila apa yang dipikirkan oleh Fadhil saat itu, ia berjalan ke arah gadis yang mematung tersebut dan menarik tangannya mendekati kedua orang tuanya.
Ia berucap satu kalimat tanpa ragu yang membuat semua orang terpana. “Aku cinta dia dan hanya dia yang ingin aku nikahi.” Tegasnya dengan mantap.
Dengan suhu AC terendah seharusnya ruangan ini terasa dingin bagi penghuninya, namun entah bagaimana terasa sangat panas bagi seluruh orang di ruangan tersebut.
Untuk beberapa detik, ruangan yang awalnya penuh perdebatan menjadi sangat tenang, tak ada satupun yang berusaha untuk bersuara karena masih dalam keterkejutan.
Beberapa saat kemudian Pak Permana, papa dari Direktur muda itu mengalihkan padangan matanya kepada seorang gadis muda cantik yang berada tepat di samping putranya yang masih dalam keadaan saling berpegangan tangan.
“Siapa namamu?” tegurnya sembari menatap gadis tersebut dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan menyelidik.
Fadhil menyadari ketertegunan gadis yang digenggamnya tersebut, gadis yang baru ditemuinya hari ini dan yang ia jadikan korban untuk menyudahi perdebatan dengan papanya.
Ia pun segera memberikan kode pada gadis tersebut dengan sedikit menggerakkan pergelangan tangannya yang masih saling berpegangan.
“Eh … ma-maaf pak, nama saya Mecca Dini Pradipta.” Gelagapnya tanpa persiapan apapun.
“Siapa nama orang tuamu? Apa pekerjaan mereka? Tinggal di mana kamu?” selidiknya tanpa henti.
Belum sempat Mecca menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, pria di sebelahnya seolah mengerti kebingungannya dan mengambil alih untuk memberikan jawaban.
“Yang penting papa sekarang tahu gadis yang Fadhil cintai, pertanyaan-pertanyaan papa akan kami jawab nanti saat papa sudah memberikan restu. Sekarang Fadhil dan Mecca pergi dulu ya pa.” Pamitnya sambil melambaikan tangan kanannya dengan masih mempertahankan genggaman tangan kirinya pada gadis cantik itu.
“Oh ya Nin, tolong atur ulang pertemuan klien hari ini.”
“Dan kamu Faiz, tolong gantikan aku meeting dengan karyawan pagi ini.” Perintahnya pada sekretaris dan asisten pribadinya secara bergantian.
“Aku mau pergi kencan dulu dengan gadis cantik ini.” Senyumnya tersungging sembari berjalan semakin menjauh meninggalkan beberapa orang yang masih terpana.
Waktu telah menunjukkan pukul 08.51 pagi. Matahari mulai meninggi namun masih memancarkan kehangatannya. Di tengah perjalanan yang masih terbilang padat tapi tidak menunjukkan kemacetan, mobil Lexus Ux berwarna hitam-putih melaju dengan kecepatan sedang.
Dalam keheningan pengemudi dan penumpangnya melenggang menelusuri jalan yang mulai terasa sepi. Bagai terkena sihir, Mecca hanya mengikuti Fadhil dengan patuh.
Ia berusaha untuk tetap tenang dan mencoba untuk menahan meminta penjelasan sampai pria tersebut yang pertama membuka suara. Namun rasa penasaran mulai tidak dapat ia bendung lagi.
Sepanjang perjalanan, ia memperhatikan tiap jalan yang nampak asing untuknya. Semakin lama jalan yang ditelusurinya semakin jauh dan semakin sepi.
“Ma-maaf pak, ini bapak mau bawa saya kemana?” kekhawatiran mulai tampak di wajah cantiknya.
“Nanti kamu akan tahu.” Sahutnya singkat.
Sekitar 15 menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah jalan dengan gapura batu tinggi berwarna keabu-abuan. Di sana terbentang rumput kehijauan, pohon-pohon tinggi, lalu diikuti pasir berwarna putih, dan di depannya terbentang laut luas kebiruan. Sungguh memanjakan mata yang memandangnya.
“Wow …! cantik banget, keren …! ini seperti pantai milik pribadi.” Kagum Mecca dengan mata penuh binar kebahagiaan. Tanpa permisi dan menoleh pada pengemudinya ia melepas sneakers putihnya dan turun segera bagai terhipnotis.
Fadhil tersenyum kecil melihat kelakuan gadis yang dibawanya dengan paksa tersebut. Ia melihat kepolosan gadis itu berlari cepat menuju pinggir pantai dan menikmati deburan ombak yang menyapu kedua kakinya diikuti tawa lebar bahagia.
“Lucu juga dia. Dasar anak kecil.” Ujarnya menggelengkan kepala, sembari menuruni mobilnya.
Fadhil menyenderkan tubuhnya di kap mobil dengan mata yang masih terpatri pada gadis yang tengah bermain ombak tersebut. Ia tak berusaha memanggil ataupun mengejarnya, ia hanya ingin memberikan waktu bagi gadis tersebut untuk melepaskan segala kebingungan yang telah ia buat.
Tak berselang lama, Mecca yang merasa diperhatikanpun mulai membalas pandangan Fadhil terhadapnya. Mecca memutuskan untuk mendekat ke arah Fadhil saat mata mereka saling bertemu.
“Kok bapak bisa tahu tempat seperti ini? Saya jadi merasa ini seperti pantai pribadi. Lihat saja, cuma ada kita berdua di sini.” Ucapnya dengan tatapan menoleh ke kanan dan ke kiri menelusuri tiap jengkal tempatnya berpijak saat ini.
“Karena nggak sengaja dulu pernah nyasar ke sini, akhirnya jadi sering datang saat banyak pikiran”. Jelasnya singkat.
“Terima kasih ya, sudah mengajak saya ke sini.” Jawabnya dengan senyum tulus.
“Kamu kenapa enggak tanya soal yang aku lakukan tadi?”
“Hmmm… Ini mau tanya, tapi bingung harus mulai dari mana.”
“Tanya saja, akan aku jawab semua.”
“Kenapa bapak lakuin itu ke saya? ini hari pertama magang saya loh, tapi sudah membolos.” Gerutunya sembari memutar kedua bola mata.
“Hahaha… Jadi yang kamu khawatirin cuma karena bolos?” tawanya merekah.
Perhatian Mecca beralih pada wajah Fadhil, ia melihatnya dengan lekat.
“Hmmm… ternyata saya kurang satu hal dalam menilai bapak.”
“Hah, maksudnya?”
“Bapak kalau tertawa tingkat ketampanannya langsung meningkat drastis.” Godanya diikuti gerakan mengetuk-ngetuk kedua pipi. Tanpa ia sadari, hal itu membuat Fadhil merasa tersanjung sekaligus malu, hingga menampilkan rona kemerahan pada pipinya.
“Ki-kirain apaan. Kalau itu sih semua orang juga sudah tahu nilai ketampananku.” Sahutnya mengalihkan pandangan, berharap lawan bicaranya tak menyadari debaran jantungnya.
“Nih cewek apaan sih, muji orang lain dengan ekspresi imut begitu, bikin salting saja.” Ucapnya dalam hati.
“Sekarang bapak jelasin semua ke saya. Saya nggak mau pusing mikirin hal itu.” Sahutnya menggeleng-gelengkan kepala.
“Intinya aku mau minta tolong ke kamu untuk pura-pura jadi kekasihku agar aku terhindar dari perjodohan yang dibuat oleh orang tuaku.” Jelasnya singkat.
“Kenapa harus pura-pura? Kan tadi bapak juga sudah minta restu dengan orang tua bapak. Kenapa enggak sekalian minta restu juga ke keluarga saya?” godanya kembali.
“Nih cewek luar biasa, nggak ada sungkan-sungkannya sama sekali.” Ucapnya dalam hati masih menatap Mecca dengan tak percaya.
“Kamu jangan aji mumpung ya, itu enggak akan terjadi.” Tegasnya.
“Terus kalau ternyata orang tua bapak malah merestui hubungan kita bagaimana?” tanyanya polos.
“Hahaha… Aku rasa itu tidak mungkin, aku kenal baik dengan orang tuaku, terutama papa, beliau menginginkan menantu seperti apa aku sangat hafal.” Ledeknya melirik Mecca dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Tapi menolong bapak tidak akan bikin masalah untuk saya dan keluarga saya kan?” Selidiknya serius.
“Aku nggak jamin kalau tidak ada masalah. Aku yakin papa akan cari tahu secara detail tentang kamu. Tapi aku akan berusaha untuk melindungi kamu ataupun keluargamu.” Janjinya pasti.
“Oke, Deal ! Karena kita sepasang kekasih sekarang, lebih baik pakai panggilan aku-kamu atau sayang-cinta?” tanyanya menggoda dengan kerlingan sebelah mata.
“Aku-kamu saja!” Sahutnya tak percaya dengan pertanyaan Mecca.
“Sepertinya aku terjebak dengan gadis gila.” Gumamnya pelan.
.
.
.
Happy Reading and Enjoy 🤩
Jangan lupa klik favorit, like, komentar, vote, dan rate 5 ⭐ ya agar Author makin semangat dalam berkarya. Untuk mengetahui cara vote, silahkan para readers mampir pada halaman ATTENTION ya.
Jangan jadi penikmat dan silent readers, tunjukkan diri dengan like ya!
Terima Kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!