Stanley dan Camelia terkesiap saat melihat Meylani sang putri yang di temukan overdosis di kamarnya akibat terlalu banyak menenggak obat tidur. Sementara di ranjang bayi Jeniffer yang baru berusia satu tahun menangis histeris.
Camelia yang tersadar dengan tangisan sang cucu langsung menggendong bayi perempuan itu guna memberi ketenangan. Stanley segera memanggil ambulance untuk menuju rumah Verry Sukmajaya yang notabenenya adalah suami dari Meylani.
Stanley merasa resah karena sang putri tidak dapat di hubungi sejak kemarin sore dan ini sudah menjelang jam 3 petang yang artinya hampir 24 jam, sang putri tidak memberikan kabar dan itu membuat dirinya tidak tenang.
Karena itu pria berusia 52 tahun itu mengajak serta sang istri, namun bukannya di sambut oleh senyuman Meylani ataupun jerit tangis Jeniffer, keduanya malah mendapatkan kejutan yang mengguncangkan jiwa.
"Sebenarnya apa yang terjadi ma, sehingga Meu menelan satu botol pil tidurnya." ucap Stanley sembari meremas rambutnya, dia sungguh bingung apa yang terjadi dengan sang putri.
Camelia yang sedang menggendong Jeniffer yang mulai tertidur menajamkan penglihatannya akan sebuah benda berwarna biru langit, warna kesukaan dari Meylani. Segera saja wanita berusia 48 tahun itu memberitahu sang suami sembari menunggu ambulan datang ke rumah ini.
"Pa, lihat itu ada sebuah benda berwarna biru langit, warna kesukaan Mey. Teronggok di selipan kaki meja rias. Coba papa ambil apa itu." perintah yang langsung di laksanakan oleh Stanley.
Ternyata benda itu adalah sebuah diary, Stanley segera memasukkan diary itu ke dalam tas Camelia yang tergeletak di ranjang Meylani. Sepertinya dia akan menemukan penyebab mengapa sang putri bertindak nekat seperti ini.
Bunyi sirene ambulance terdengar tak lama kemudian, di susul beberapa petugas medis yang memasuki ruangan kamar ini. Stanley menatap nanar sang putri yang seolah tidak memiliki harapan untuk hidup, melihat dari banyaknya obat tidur yang di telannya.
"Ayo kita susul putri kita Mey, ma." ajak Stanley kepada Camelia yang langsung di tolak mentah-mentah oleh sang istri.
"Papa saja yang susul, mama mau bawa pulang Jeniffer. Kasihan cucu kita pasti cape dan butuh istirahat."
Stanley tersentak saat mendengar nama Jeniffer di sebut, benar saja sang cucu pasti lelah karena terlalu banyak menangis. Sementara di rumah ini tidak ada siapapun kecuali Meylani dan Jeniffer. Kemana sebenarnya Verry menghilang.
Bahkan pria itu tidak mengangkat teleponnya. Membuat dugaan buruk mengenai sang mantu bertambah besar. Stanley mengusap kasar wajahnya lalu menghembuskan nafas berat.
"Bawa semua pakaian dan barang-barang Jeniffer. Papa akan minta pak Kardi untuk ke sini dan mengantarkan mama dan Jeniffer pulang. Jangan lupa kabarin Jorgie mengenai keadaan sang kakak." Camelia meletakkan perlahan Jeniffer yang tertidur, sepasang pasutri itu mengepak semua barang dan pakaian milik sang cucu pertama.
Iya, cucu pertama sebab Meylani adalah anak sulung mereka dan Jorgie yang merupakan anak bungsu masih berusia 19 tahun, usia di mana seseorang lagi sibuk-sibuknya menghabiskan waktu untuk kuliah.
Satu jam kemudian, Pak Kardi yang merupakan supir kantor Stanley sudah tiba dan membantu membawakan barang-barang yang jumlahnya tidak sedikit ini. Setelah berpamitan dengan sang suami, Camelia langsung menuju rumahnya.
Di tengah perjalanan wanita itu teringat bahwa Jeniffer belum di belikan susu formula sebab sedari lahir sampai sekarang bayi itu menerima ASI dari Mey. Camelia berfikir dengan cepat, susu jenis apa yang harus di berikan kepada bayi setahun ini.
"Pak Kardi, bisa tolong saya pilihkan susu formula untuk Jeniffer. Saya bingung milihnya, karena ga pernah pakai susu formula waktu Mey dan Jorgie."
"Kalau begitu, ibu bisa minta bantuan sama anak saya. Kebetulan ASInya tidak keluar lagi saat umur anaknya 8 bulan. Mau saya panggilkan sekalian kita ke toko susu Amethyis di daerah GGG." pak Kardi juga bingung, untung saja dia teringat Rina, sang putri yang mengeluh ASInya berhenti berproduksi dan harus di gantikan dengan susu formula.
"Boleh, ayo kita di toko susu Amethyis. Sekalian beli cemilan bayi, biar Jeniffer ga kelaparan." pak Kardi segera mengarahkan mobil ke toko susu yang di maksud.
***
Sementara di rumah sakit, Stanley menunggu sang putri dengan rasa yang bercampur aduk. Sekarang dia menyesal mengapa mengabaikan rengekan Meylani dan mengatakan bahwa sang putri harus bersabar karena dalam rumah tangga pasti ada saja masalah.
Seandainya saja, dua kata itu terus menggaung dalam otak Stanley menimbulkan penyesalan yang amat dalam pada dirinya.
Harusnya dia mendengarkan Meylani dan tidak mengabaikan aduan yang di berikan oleh putrinya. Harusnya dia selalu ada untuk sang putri hingga Meylani tidak merasa kesepian dan depresi yang membuatnya bertindak nekat. Mengantarkan nyawa kepada malaikat pencabut nyawa.
Tes tes tes
Bulir air mata mengalir deras dari netra hitam segelap malam itu. Putri yang dia besarkan dan di rawat sepenuh jiwa raga menderita seperti itu semenjak menikah. Stanley menyesali mengapa memberikan restu setelah mendengar kabar miring mengenai keluarga Sukmajaya yang masih memegang adat istiadat serta tradisi yang mengatakan bahwa anak sulung itu haruslah seorang laki-laki, agar dapat menjadi permulaan kebanggaan laki-laki dalam keluarga Sukmajaya.
Namun ibarat kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terjadi dan tidak mungkinlah juga kita mengulang sang waktu yang terus berjalan maju. Perasaan Stanley semakin resah saat banyaknya tenaga medis yang memasuki ruang ICU ini. Semua terlihat panik dan tegang, Stanley yang semula masih berpikir optimis mau tak mau jadi pesimis.
Jalannya waktu juga seakan lambat dan menyiksa jiwanya, rasanya Stanley ingin berada di ruangan itu mengantikan sang putri. Mungkin saking lelahnya, dia terlelap sambil duduk di kursi khas rumah sakit yang berada di depan ruang ICU itu hingga dia terbangun saat bahunya di guncang dengan keras.
Ternyata Jorgie sang putra yang menyusulnya, raut kekhawatiran nampak jelas di tubuh pemuda itu.
"Bagaimana dengan keadaan kak Mey, pa?" tanya Jorgie dengan nada cemas.
"Seperti yang kamu lihat, dokter silih berganti masuk ke ruangan ICU menangani kak Mey. Namun raut muka para dokter itu papa dapat mengumpulkan bahwa keadaan kakakmu sangat kritis." ucap Stanley lirih.
Tak lama kedua ayah dan anak itu berbincang serius hingga panggilan dokter mengalihkan perhatian keduanya.
"Keluarga Meylani Atmadja?"
"Saya papanya." ucap Stanley cepat.
"Maaf sekali kami sudah berusaha untuk menyelamatkan nyawa nyonya Meylani, namun Tuhan kehendak lain. Putri bapak sudah meninggal di akibatkan overdosis pil tidur yang sangat banyak."
Dunia Stanley rasanya hancur seketika dan dia menangis tergugu di pundak Jorgie yang hanya terdiam, dalam hatinya Jorgie juga ingin menangis namun jika dia ikut menangis maka sang ayah akan semakin rapuh dan dia tidak ingin melihat itu terjadi.
Stanley dan Camelia terpekik saat melihat Meylani sang putri di temukan dalam kamarnya dalam keadaan mengenaskan. Dengan mulut berbusa akibat menenggak sebotol pil obat tidur. Sementara Jeniffer yang baru berusia satu tahun menangis histeris di ranjang bayinya.
Camelia langsung menggendong sang cucu dan menimangnya untuk meredakan tangisan cucu perempuannya. Sementara Stanley langsung menelepon ambulance agar Meylani dapat di bawa ke rumah sakit secepatnya.
Siapa sangka, tujuannya ke rumah Verry Sukmajaya yang merupakan suami dari Meylani malah membuat mereka terkejut alih-alih di sambut oleh suara Mey ataupun tangisan Jennifer.
Camelia yang sedang menimang Jeniffer menemukan sebuah benda berwarna biru langit di selipan meja rias sang putri dan langsung memberitahukan kepada Stanley.
"Pa, lihat itu di bawah meja rias Mey ada sebuah benda berwarna biru langit , warna kesukaan dari Mey." Stanley langsung mematuhi perintah sang istri dengan mengangkat sedikit kami meja rias itu dan menarik sebuah benda yang ternyata adalah sebuah buku diary Mey.
Dengan segera Stanley memasukkan diary itu ke dalam tas Camelia. Tak lama bunyi sirine ambulance terdengar dan beberapa petugas medis pun memasuki ruangan kamar ini.
Stanley langsung mengajak Camelia ikut serta ke rumah sakit yang langsung di tolak mentah-mentah oleh wanita itu.
"Kasihan Jeniffer kalau harus di bawa ke rumah sakit. Cucu kita harus segera mendapatkan tempat yang nyaman untuk berbaring "
Stanley tercenung memikirkan perkataan sang istri dan tak lama pria berusia 54 tahun itu membuka suaranya. " Papa hampir lupa sama Jeniffer. Cepat bawa ke rumah kita. Papa akan telepon pak Kardi untuk menjemput kalian di sini. Sementara itu kita bereskan pakaian dan barang-barang Jeniffer. Sepertinya dia akan tinggal lama dengan kita."
Camelia mengangguk dan membaringkan sang cucu di ranjang Mey, sementara dia dan Stanley dengan cepat membereskan barang-barang dari bayi itu. 30 menit kemudian pak Kardi tiba dan langsung membantu membawakan barang-barang sang nona kecil.
"Ma, beritahu Jorgie tentang keadaan Mey." Camelia hanya mengangguk saat mendengar perkataan sang suami.
Kedua mobil milik Stanley pun meninggalkan keduanya Verry Sukmajaya dengan tujuan berbeda. Camelia menepuk keningnya saat mengingat bahwa sang cucu mendapatkan ASI selama ini, bukannya susu formula. Terus terang Camelia pun bingung jika harus memilih susu formula karena kedua anaknya yakni Meylani dan Jorgie mendapatkan ASI selama 2 tahun.
"Pak Kardi, bisa kita ke toko susu Amethyis. Saya bingung mau milih susu formula buat Jeniffer." Pak Kardi pun bingung, untungnya dia teringat Astuti sang putri yang memberikan susu formula kepada anaknya sebab ASI nya terhenti saat sang anak berusia 8 bulan.
"Lebih baik tanya anak saya, Bu. Cucu saya susu formula sebab ASI ibunya stop saat usia anaknya 8 bulan."
"Kalau begitu segera telepon anak bapak." titah Camelia yang langsung di kerjakan oleh sang supir kantor.
"Nak, kamu bisa ke toko susu Amethyis. Bos papa minta bantuan milih susu formula untuk cucunya."
"Oke, papa tunggu di toko susu Amethyis."
"Ayo, Bu. Kita ke toko susu Amethyis. Anak saya bisa nemenin ibu milih susu formula."
20 menit kemudian mereka bertiga sudah memasuki toko susu yang memang sangat lengkap ini. Setelah berbagai pertimbangan akhirnya Camelia memutuskan untuk memilih susu impor dan membeli beberapa camilan bayi untuk sang cucu
***
Sementara itu di rumah sakit, Stanley menunggu dengan resah di depan ruangan IGD. Para petugas medis yang hilir mudik memasuki ruangan perawatan Meylani, membuat stainless semakin gelisah saja rasanya.
Seharusnya dia sebagai ayah lebih peka terhadap keluhan dan aduan sang putri kepadanya bukannya malah mengacuhkan yang mengakibatkan Mey nekat menenggak sebotol pil tidur.
Namun seperti kata pepatah nasi sudah menjadi bubur, Stanley tidak dapat melakukan apa-apa saat ini. Penyesalan pun meliputi diri Stanley. Seandainya saja, dua kata itu yang terus membayangi pikiran pria yang sudah di penuhi oleh uban itu.
Andaikan dia lebih memilih untuk mendengarkan curahan hati Mey dan tidak abai , sudah pasti Meylani tidak akan merasakan sendiri di rumah sebesar itu.
Harusnya dia tidak merestui hubungan Meylani dan Verry saat mendengar selentingan kabar yang mengatakan bahwa keluarga Sukmajaya lebih mengagungkan anak laki-laki di bandingkan anak perempuan. Dan ternyata benar kabar itu, setelah melahirkan Jeniffer, Mey seakan kehilangan gairah hidup. Sorot mata penuh dengan rasa percaya diri pun lenyap dari sang putri.
Sudah pasti dengan kejadian ini, Jeniffer akan di asuh olehnya dan Camelia. Namun Stanley akan mencoba untuk berbicara dulu dengan Verry. Namun sudah 3 jam berlalu dari penemuan Mey dan pria itu seakan hilang di telan bumi. Puluhan telepon dan chat pun tidak mendapatkan respon dari Verry.
Berbagai dugaan pun menyeruak di dalam benak Stanley hingga dia merasa bahunya di guncang dengan kuat. Pria itu menegadah ke arah atas untuk melihat siapa pelakunya. Ternyata Jorgie sang anak bungsu yang saat ini berusia 19 tahun.
Pemuda itu langsung menuju ke rumah sakit saat mendengar kabar tentang kakak perempuannya saat baru selesai kuliah. "Papa baik-baik saja?" tanya Jorgie yang pemuda itu sangat tahu jawabannya. Namun dia tetap memilih untuk mengatakan hal itu.
"Cicimu, Jorgie. Dia di temukan sekarat dengan busa di mulut. Sementara ponakanmu menangis kencang di ranjangnya. Papa merasa bersalah, harusnya papa lebih memperhatikan cicimu. Sekarang semua sudah terlambat." Stanley berujar dengan air mata yang berderai.
Sebenarnya Jorgie juga ingin menangis, namun dia sadar bahwa hal itu akan semakin membuat Stanley semakin terpuruk. Karena itu dia lebih memilih untuk diam.
Ketegangan makin terjadi saat para petugas medis keluar masuk ruangan inap Meylani dengan raut panik yang tercetak jelas.
Hingga beberapa saat kemudian salah satu dokter memanggil. "Dengan keluarga Meylani Atmadja. Mohon maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, namun Tuhan juga yang berkehendak. Nyonya Meylani Atmadja di nyatakan meninggal pada jam 16:21.
Stanley semakin tergugu saat mengetahui sang putri yang dia besarkan dengan limpahan kasih sayang harus meregang nyawa dengan cara bodoh. Yaitu menenggak sebotol pil obat tidur. Jika saja Jorgie tidak berada dekat dengan sang ayah, mungkin saja pemuda itu tidak akan mampu meraih tubuh sang ayah yang limbung saat mendengar berita kematian Meylani.
Jorgie meminta agar sang ayah di rawat untuk mengurangi rasa stress dan sedih yang di alaminya. Urusan pemulangan jenazah Meylani hingga ke rumah duka, biarlah menjadi tanggung jawabnya. Yang terpenting adalah Stanley harus pulih saat proses kremasi sang kakak di lakukan.
Jorgie meminta agar sang ayah di rawat untuk mengurangi rasa stress dan sedih yang di alaminya. Urusan lek jenazah Meylani biarlah menjadi tanggung jawabnya. Setidaknya Stanley harus sudah pulih saat prosesi kremasi jenazah Meylani di lakukan sekitar 4 hari lagi.
Meylani pernah berpesan, jika seandainya dia di panggil Tuhan, inginnya di kremasi saja dan abunya terserah mau di larung di laut ataukah di taruh di sebuah rumah abu yang terletak di daerah Dadap, Tangerang.
Jorgie menghubungi Camelia,sang baru saja menyuapkan Jeniffer makan bubur bayi instan. Mulai besok Camelia bertekad akan memasak sendiri makanan untuk sang cucu agar tidak banyak terpapar pengawet dan penyedap rasa di umurnya yang masih setahun ini.
"Ma, Ci Mey sudah meninggal dan papa terlalu syock dengan kejadian ini, sampai harus di rawat. Sekarang Jorgie lagi di kantin rumah sakit untuk makan. Baru ingat tadi siang belum sempat makan." tak lama Jorgie menjauhkan handphonenya dari telinga karena Camelia menjerit sangat keras.
"Tidak mungkin anakku Meylani sudah meninggal. 3 hari yang lalu mama masih mengobrol dengan cicimu. Please katakan kalau kamu bercanda."
"Ma, semua ini benar. Ci Mey sudah meninggal dan Jorgie harap mama jangan sampai sakit, kasihan papa dan Jeniffer. Mungkin selepas proses kremasi jenazah Ci Mey, Jeniffer akan tinggal bersama dengan kita." ucap Jorgie dengan menahan rasa sesak yang membuncah.
Jorgie menunggu kalimat balasan dari Camelia, hening sejenak sebelum akhirnya suara Isak tangis pecah dari bibir wanita yang telah melahirkannya 19 tahun yang lalu. Seharusnya dia lebih memperhatikan sang kakak, agar kejadian ini tidak terjadi. Sang ayah tidak perlu terbaring di ranjang rumah sakit, sang ibu tidak perlu menangisi kepergian Meylani dengan cara tragis seperti ini dan Jeniffer tidak perlu kehilangan sosok ibu untuk selamanya.
Dan pemuda itu sudah mendengar selentingan mengenai keluarga Sukmajaya yang mengabaikan kakaknya. Tiba-tiba dia menyesali rasa abai dan ketidak pekannya. Jorgie menganggap semua hanya isu belaka karena tingkah laku Meylani tidak ada yang mencurigakan baginya.
Ataukah selama ini Meylani sudah memberikan tanda, hanya saja dia dan kedua orang tuanya yang tidak menyadarinya. Jorgie bersumpah akan membalas semua perbuatan keluarga Sukmajaya andai kata, Meylani memang di perlakukan dengan buruk oleh Verry, kakak ipar dan keluarganya
"Kamu ini, jangan sampai lupa makan. Ntar sakit siapa yang susah. Mama juga kan. Apalagi sekarang anggota keluarga kita nambah seorang lagi." Jorgie tersentak saat mendengar wejangan penuh cinta dari sang ibu yang di selingi oleh Isak tangis. Rupanya dia sempat melamun barusan.
***
Jenazah Meylani sudah tiba di rumah duka Ja*Ar Agung yang terletak di bilangan Jakarta Barat pada pukul 20.00, peti mati akan di tutup pada acara malam kembang yang di adakan 3 hari kemudian. Dan proses kremasi akan di lakukan di krematorium Dadap, Tanggerang. Tanda salib besar pun terpasang di depan peti mati berserta foto Meylani yang paling cantik.
Stanley pun menyusul Jorgie pada jam 21:00, membuat Jorgie sempat memarahi sang ayah karena tidak peduli dengan kesehatannya.
"Papa sudah sehat, lagipula mana mungkin papa tidak hadir dalam malam-malam penghiburan dan tutup peti putri papa. Papa tidak ingin rumor mengenai kematian Cicimu merebak lebih parah. Biarlah kita menutup rapat-rapat tentang penyebab kematian Meylani, lagipula..."
"Lagipula tanpa kita membuka suara pun, desas-desus mengenai kematian Ci Mey pasti akan tersebar juga. Begitu kan maksud papa?" ucap Jorgie memotong perkataan Stanley, memang tidak sopan tapi pemuda itu masih merasa geram dengan apa yang terjadi dengan Meylani.
Stanley mengangguk untuk menguatkan perkataan sang putra, tak lama para pengerja gereja yang berjumlah 10 orang termasuk dengan bapak pendeta tempat Stanley dan Karina beribadah setiap minggunya datang.
Camelia, sang istri yang menghubungi salah seorang pengerja gereja untuk membantu dalam ibadah penghiburan selama dari rumah duka hingga proses kremasi selesai di lakukan.
"Syalom, pak Stanley. Kami turut berduka cita atas meninggalnya putri bapak Meylani. Putri bapak sudah bersama dengan Bapa di surga." ucap salah seorang pengerja.
"Terima kasih pak Steven. Kami juga berharap seperti itu, namun melihat dari penyebab utama kematian Meylani, saya merasa putri saya tidak akan di terima oleh Bapa di surga." perkataan Stanley menerbitkan kernyitan semua pada pengerja.
Namun menanyakan sekarang itu bukan hal yang pantas, biarlah Stanley dan keluarga yang akan bercerita jika membutuhkan bantuan konsultasi. Pikir semuanya.
"Jangan pak Stanley berpikir seperti itu. Bapak mesti ingat tidak ada yang terjadi di dalam hidup ini jika bukan atas kehendak Tuhan. Bahkan sehelai di rambut kita tidak akan terjatuh tanpa seizin-Nya." ucap pak Pendeta memberikan motivasi dan penghiburan agar Stanley dan keluarga merasa lebih kuat menghadapi kenyataan ini.
Selepas ibadah penghiburan para pengerja gereja bersiap untuk pulang, di saat itulah Verry berserta sang ibu memasuki ruangan yang sudah di hias dengan penuh bunga.
"Akhirnya mati juga anakmu yang tidak berguna itu." ucap Gilda dengan nada angkuh membuat semua yang ada di sana tersentak.
Jorgie mengepalkan tangannya kanannya bersiap untuk meninju wajah sombong yang tidak merasa bersalah dari kakak iparnya, ralat mantan kakak iparnya. Namun seseorang menahan kepalan tangan pemuda itu dan berkata.
"Sabar dek Jorgie, memang perkataan ibu itu sangat kasar. Tapi kita sebagai orang yang percaya akan Firman Tuhan dan kebenaran-Nya harus tetap berpikir dengan kepala dingin. Jangan membalas yang jahat dengan yang jahat." ucap salah seorang pengerja.
Jorgie mengurungkan niatnya untuk meninju Verry, dia lalu mengambil segelas air mineral untuk meredakan rasa emosi yang membuncah di dada.
"Atas sadar apa ibu Gilda mengatakan putri saya tidak berguna?" tanya Stanley dengan rasa sesak di dada. Ingin rasanya dia mencakar muka besannya yang telah menghina mendiang sang putri.
"Seorang perempuan yang tidak dapat memberikan keturunan laki-laki bagi keluarga Sukmajaya, bukannya itu sama saja artinya dengan tidak berguna." Semua tercengang mendengar perkataan wanita berusia 57 tahun itu.
Sungguh kolot sekali pemikiran orang tua yang satu ini, bukankah itu sama artinya dengan menghina Tuhan yang telah menciptakan nafas kehidupan bagi setiap manusia. Lagipula mau anak laki-laki maupun perempuan sekarang sama saja. Yang terpenting sebagai orang tua harus dapat memenuhi kebutuhannya, baik itu soal materi maupun pendidikan.
"Apakah pengaruhnya dengan anak laki-laki maupun perempuan, Bu Gila. Semua sama di mata Tuhan." ucap Stanley menyanggah kalimat Gilda.
"Berarti kalian belum tahu ya ada rumor turun temurun dalam keluarga Sukmajaya. Jika anak sulung itu perempuan maka akan membawa kehancuran buat keluarga Sukmajaya." ucap Gilda kembali membuat Stanley menggelengkan kepala, jelas tidak akan berhasil jika berbicara dengan orang yang keras kepala.
"Kalau memang itu sudah menjadi kepercayaan dari keluarga Sukmajaya maka kaki keluarga Atmadja tidak dapat berbuat apa-apa. Sekarang katakan dengan jelas apa tujuan kalian berdua datang ke rumah duka Meylani." ucap Stanley tegas, dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan kedua orang ini.
"Verry, cepat katakan. Lalu setelah ini kita pergi dari sini." titah Gilda pada sang putra.
"Baiklah, papa. Maksud saya om. Dengan kedatangan saya dan ibu saya ke sini ingin memberi tahu kepada keluarga Atmadja jika keluarga Sukmajaya tidak berniat untuk mengurus anak Meylani. Biarlah anak itu di rawat keluarga kalian, hanya nama Sukmajaya itulah yang akan melekat pada nama belakangnya dan tertera di akta kelahiran anak itu."
Bugghhh!
Sebuah pukulan melayang di wajah Verry di sertai dengan umpatan.
"Dasar baji*gan. Pergi saja kalian dari tempat ini. Jeniffer akan terjamin kehidupannya bersama kami."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!