NovelToon NovelToon

Sesak

Episode 1

“Hoi.. Tyaga!” Dari ujung lorong, terdengar suara yang seperti aku kenal. Semakin lama kuperhatikan, semakin dekat dia. Lamat-lamat kuperhatikan, di tangannya membawa hm... Seperti bongkahan es ya? Tapi kenapa dia berlari sambil menyebut namaku?

   “Tyaga!!! Beraninya kamu!!”

   Astaga! Tidak salah lagi! Kukira aku salah lihat. Iliyya!!? Aku bergegas lari dari lorong. Tapi Iliyya semakin dekat. Bongkahan es di tangan Ilyya semakin terkikis membentuk pisau tajam. Aku segera menutup jalan, “Dinding Tanah!” Tapi sia-sia. Dia menghancurkannya dalam sekali tebas. Larinya semakin cepat, hanya tersisa lima meter.

   Larinya semakin cepat. Tubuhnya diselimuti hawa dingin. Hanya tersisa dua meter. Iliyya gesit melompat, siap menikamku dari belakang. Aku mendongak sekejap lantas berusaha melindungi diri, “Dinding Tanah – Bentuk Telur!” walaupun aku tahu pasti mustahil mengalahkan kekuatan anak yang jenius sedari kecil itu.

   Kekuatan dinding tanah bentuk telur melindungi badanku seolah aku berada di dalam telur. Iliyya mendarat, mundur satu langkah, dan segera berlari kearahku menebas dinding tanah yang aku buat sekokoh mungkin. Lima belas detik berlalu, tebasannya semakin lama, semakin kuat membuat dinding tanah yang aku buat pecah.

   Dia segera mencekik leherku dan langsung membanting tubuhku ke tanah.

   Iliyya mendengus kesal, “Kau mau apa hah!?” Aku tidak tahu dia bermaksud apa. Aku hanya mengangkat bahu ku sembari membuang muka.

   Cekikannya semakin kuat, “Tunggu Iliyya. A-aku, ti-tidak b-bisa ber-napas.” Iliyya melepas cekikannya, diganti dengan pisau tajam dari es yang dia buat mengarahkannya ke leherku.

   “Hah... Terimakasih. Sekarang aku bisa bernapas. Tapi, tidak bisa apa, jangan menghunuskan pisau mu kearah teman baikmu ini?”.

   “Teman baik apanya! Kamu kan yang mengambil makanan Erina? Jawab! Tyaga!”.

   “Kenapa jadi salahku? Aku kan lapar.”

   Murid lain mulai berdatangan menonton kami. Sedikit demi sedikit sekitar kami di kelilingi murid-murid kelas lain.

   “Hanya itu? Itu juga perbuatan yang salah!” Tegas Iliyya.

   “Hei! Kenapa kalian!” Terdengar suara guru BK masih jauh di lorong. Murid-murid yang berdatangan menonton kami langsung lari menuju kelasnya masing-masing.

   “Sudah berapa kali kalian bertengkar sampai menghancurkan fasilitas sekolah? Enam kali? Tujuh kali? Bapak bahkan lupa berapa kali kalian masuk ke ruang BK. Sekarang Bapak tunggu kalian di ruang BK lima menit lagi.”

   Guru BK kami, Bapak George. Mungkin bisa dibilang dia guru yang paling sabar dari guru-guru lain. Bagaimana tidak? Hanya dia yang mau meladeni kami. Bahkan guru BK lain tidak mau ikut campur dengan urusan kami. Katanya, mereka tidak tahan dengan kami yang hanya mengangguk sok paham, tapi mengulanginya lagi beberapa hari kemudian. Sejauh ini hanya Bapak George, lebih tepatnya Georgetown.

   “Tyaga. Mau sampai kapan kau terbaring begitu?” Dia langsung pergi? Bantu berdiri kek minimal. Ya sudah, aku berdiri sendiri saja.

   Iliyya berjalan cepat di depan ku. Enak saja, aku yang lebih dulu ke ruang BK daripada Si Kulkas ini. Aku berjalan cepat membalap langkah Iliyya. Tapi mungkin dia tidak mau kalah. Malah ikut melangkah cepat.

   Aku berlari hampir sampai ke ruang BK. “Hei kau curang!” Iliyya berlari hampir menyajari ku. Aku berlari secepat mungkin, tapi Iliyya cepat sekali sudah menyajari langkahku. Entah berapa kali, akhirnya aku sampai lebih duluan daripada Si Kulkas itu.

   “Pak! Aku sampai!” Aku membuka pintu terengah-engah, segera masuk mengambil tempat duduk.

   Pak George menggeleng-gelengkan kepala nya. “Hah.. Kalian sedang ke ruang BK lho.”

   Iliyya baru sampai sembari menunjukku, “Pak! Tyaga yang buat ulah! Tyaga mengambil makanan Erina Pak George!”.

   “Apa itu benar Tyaga?” Pak George menoleh. Aku hanya mengangguk pelan.

   Iliyya duduk di sebelahku, menatapku kesal, “Kenapa Tyaga? Karena belum makan?” Entah dia menatap ku dengan prihatin atau menatap sayu, aku tidak tahu apa isi pikiran Pak George.

   “A-aku makan kok Pak. Tapi lapar saja.” Aku menurunkan pandangan sambil memonyongkan bibir.

   Iliyya menunjuk-nunjukku, “Bohong dia Pak! Dia bukan cuman mengambil makanan Erina. Tapi Perlson, Tarck, dan..” Dia menunjuk jari menghitung, “Dan.. Kalau tidak salah Yohan dan murid baru, ee.. Kalau tidak salah namanya Ferch Pak.”.

   Pak George menatapku tajam “Tyaga....” Aku memelototi Iliyya. Bisa bisanya dia menuduhku sembarangan. Tapi Pak George tidak mempercayai apa yang aku bilang.

   “Baik. Tyaga, lima belas point. Iliyya lima point.” Pak George berdiri dari kursi, ingin keluar.

   Iliyya protes kenapa dia dapat lima point. Pak George menoleh ke belakang sembari memutar gagang pintu, “Iliyya. Kamu memang tidak bersalah. Tapi salah lho kamu memakai benda tajam. Apalagi di arahkan ke teman mu sendiri.” Belum sempat dia protes, guru BK kami sudah sempurna berjalan, hilang di kelokan.

   Dia menggeram. Aku beranjak dari kursi mau menepuk bahunya, tapi dia menepis tanganku lalu pergi ke lorong, berlari ke kelas. Aku menghela napas sejenak, lalu berjalan menuju kelas.

   Aku kira hari ini adalah hari yang paling buruk. Ternyata bukan. Masih ada yang lebih buruk daripada ini.

 

***

   Mata pelajaran terakhir, Pengetahuan Dasar Kekuatan. Semua murid dikelas disuruh pergi ke lapangan.

   “Anak-anak. Walaupun mata pelajaran Bapak adalah mata pelajaran terakhir dikelas kalian, itu bukan menjadi alasan untuk tidak mengikuti pelajaran Bapak.” Semua teman kelasku hanya mengangguk atau ber-oh pelan.

   Mata pelajaran terakhir adalah mata pelajaran yang tidak mudah. Semangat belajar murid sedang dalam fase lagi menurunnya. Tapi semangat pulang dalam fase lagi naik-naiknya.

   “Baik anak-anak. Pelajaran kalian yang terakhir adalah hanya mengeluarkan kekuatan kalian, menggunakannya sebaik mungkin. Atau bahkan kalian bisa lebih daripada itu? Akan Bapak nilai.” Pak Roshnan mengangkat papan kayu kecil berbentuk persegi yang berada di tangannya setinggi dada.

   “Baik yang pertama, Azlika. Keluarkan kekuatanmu, apapun itu.” Pak Roshnan sudah siap dengan pulpennya, menilai.

   “Baik Pak.” Azlika mengangkat tangannya, membuat batang bunga kecil di depannya meninggi seperti tali. Dia membuat beberapa simpul yang rumit, menjadikannya bunga itu seolah seperti ular, dan sebagainya. Aku tidak terlalu memperhatikan, tidak seru.

   “Baik sekarang giliran.” Aku tidur saja. Lama sekali melihat mereka memamerkan kekuatan yang tidak akan menjadi lebih kuat. Yang benar saja, kekuatan kecil seperti itu tidak akan menang melawan kekuatan tanahku.

   “Sekarang giliran Tyaga.” Pak Roshnan dan temanku yang lain mengelilingi melihatku tidur. Bapak Roshnan menepuk-nepuk lenganku dengan papan absennya.

   “Tyaga. Bangun. Tyaga!” Mataku mengerjap-ngerjap samar kulihat muka Pak Roshnan. “Ayo Tyaga, sekarang giliran kamu.”.

   “Elemen Air – Jentikkan Muka Tyaga!” Sempurna. Aku basah kuyup. Bukannya membantuku, mereka malah menertawakanku. Bapak Roshnan kembali ke posisinya.

   “Tyaga, keluarkan kekuatanmu.” Aku hanya mengangguk, melakukan pemanasan. Dan “Elemen Tanah – Bola Keranat!” Aku mengangkat tanganku, lantas tanah berbentuk bola keluar dari tanah di tengah lapangan. Kuambil bolaku, kulempar, aku beranjak melompat dari tanah lalu memukulnya. Seketika cacing dan serangga lainnya keluar dari bola itu. Murid lain sontak berteriak dan kabur terbirit-birit.

Episode 2

Pak Roshnan menghela napas pelan, menjentikkan jarinya. Lantas semua serangga dan tanah lapangan kembali seperti semula.

   Pak Roshnan berjalan menatapku sejenak, tidak mau berurusan karena sudah waktunya pulang. “Tyaga, lain kali jangan terlalu sering menjahili teman sekelasmu itu ya.”. Menyebalkan, padahal aku hanya membalas perbuatan Rohan. Apa salahnya? Ya sudahlah.

   Bel berbunyi, semua murid membawa tasnya dan berterima kasih kepada guru. Lalu pulang.

   “Hei Iliyya.” Seperti sebelumnya, dia tidak merespon sedikitpun. Bahkan menoleh pun tidak.

   “Iliyya, maaf.. Aku keterlaluan.” Dia berjalan tetap menghiraukanku. Aku berkali-kali membujuk Iliyya, tapi nihil. Tidak ada hasilnya. Dia tetap tidak merespon apapun. Bahkan hanya untuk sekedar menoleh pun tidak.

   Aku menyerah. Aku pulang ke rumahku makan malam dengan ibu. Pasti dia memasak makanan enak malam ini. Tidak kalah enak dengan masakan sarapan tadi. Delapan belas menit berjalan kaki dari sekolah pulang ke rumah. Hanya lampu kecil yang menerangi luar rumah. Tidak ada aroma makanan lezat ibu. Dan.. Tidak ada suara.

   “Ibu. Aku pulang.” Aku membuka pintu segera masuk, meletakkan sepatu ke sembarang tempat, langsung pergi ke dapur.

   “Ibu? Bu? Apa ibu masih memasak?” Aku berjalan perlahan dari tangga dapur, melihat seorang wanita yang terkapar. Itu seperti ibu. Tunggu, bukannya...

   IBU? IYA ITU BENAR IBU!

   “Ibu. Bangun bu! Ibu kenapa?” Beberapa kali aku gerakkan badannya, tapi tidak ada respons. Tubuhnya lemas, jantungnya lemah. Kugendong ibu pergi  ke Rumah Sakit, bahkan aku lupa masih memakai seragam Sekolah.

 

***

 

   Aku bolak-balik, menggigit jari jempolku. Sepuluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda suara dari kamar mamaku. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Empat puluh menit. Empat puluh lima menit. Aku terus-menerus bolak-balik melihat jam dinding. Sudah lama sekali dokter dan suster memeriksanya, tapi masih belum ada tanda mereka keluar.

   Bunyi pintu terdengar. Aku balik badan mendongak melihat dokter dan suster keluar.

   “Bagaimana hasilnya dok?” Wajahku pucat pasi. Suster terlihat menyeka air matanya. Dokter menepuk bahuku

   “Nak, kami sudah berkali-kali melihat dan memastikan kondisi ibu mu. Tapi sayangnya, dalam pemeriksaan yang kami lakukan tadi, terdapat beberapa sel yang tidak diketahui. Suster sudah mencoba mencari tentang sel tersebut, tapi tidak ada kemajuan.” Aku menghela napas, kecewa.

   “Bagaimana kondisi ibuku?” Mereka saling tatap, lantas mengangguk.

   “Kondisi ibu kamu lemah. Sangat lemah. Bisa dibilang, ibu mu hampir tidak bisa di selamatkan. Tapi anehnya, kondisi ibu kamu tidak bisa lebih parah dari ini.” Aku berusaha menahan keluarnya air mata, terlihat berkaca-kaca.

   “Maaf, kami tidak bisa membantu banyak.”

   Aku mengangguk, lalu masuk segera membawa ibu keluar. Suster mencegahku, “Mau ke mana?” Tanya suster itu.

   “Mau membawa ibu ke rumah sakit lain. Siapa tahu ibu bisa disembuhkan.” Sempurna sudah, air mataku tidak bisa aku bendung lagi.

   “Siapa tahu di Rumah Sakit lain ada alat yang lebih canggih. Siapa tahu di..”

   Aku menyeka air mataku dengan baju. Berjalan sempoyongan menggendong ibu, keluar Rumah Sakit. Orang-orang melihatku, entah mereka melihatku dengan tatapan kasihan, risih, atau apapun, aku tidak memperhatikan mereka. Aku hanya fokus menggendong ibu pergi menuju rumah sakit yang lain.

   Pukul sebelas malam. Sudah banyak Rumah Sakit yang aku datangi, tapi tidak ada satupun yang bisa menolong. Beberapa kali juga aku diusir karena tidak bisa membayar biaya cek Rumah Sakit.

   Aku duduk di pinggir jalan, meletakkan ibu di sampingku. Aku lihat sekilas, wajah ibu mulai memutih. Kuletakkan tanganku di dadanya, detak jantungnya hampir tidak ada.

   Bukan saatnya untuk istirahat. Ibu ku sedang sakit. Aku segera bangkit berdiri menggendong ibu ku di punggung. Lumayan berat, tapi lebih berat sakit yang dideritanya.

   Aku sudah tidak tahu pergi ke Rumah Sakit mana lagi untuk menolong ibu. Mungkin... Di Istana masih ada dokter yang lebih baik. Perjalanan selanjutnya sudah kuputuskan, pergi ke Istana Benrath. Tidak jauh dari sini. Hanya sekitar beberapa kilometer.

   Aku sudah tidak tahu ini jam berapa. Tapi untunglah terlihat beberapa penjaga dari kejauhan. Aku mempercepat langkah kakiku. Salah satu penjaga menyipitkan matanya menengok kearahku. Aku melambaikan tangan dengan harapan ibu akan di bantu.

   Tapi mataku tiba-tiba kabur, kepalaku pusing. Samar-samar kulihat, para penjaga berlari kearah kami. Aku sudah tidak kuat.

 

***

   Pagi datang, matahari menyiram wajahku. Aku bangun. Mataku mengerjap-ngerjap. Aku menatap sekitar kebingungan. Ini bukan rumahku. Kasur, lemari, baju tidur, jendela? Seingatku hanya ada satu jendela di rumah. Itu pun hanya di dapur.

   Tunggu. Ruangan ini luas juga. Dinding berwarna kuning dibalut perak. Bukan hanya itu, kasurku di atasnya seperti kelambu. Seingatku, kasurku hanya dua meter memanjang. Tapi ini... Tunggu. Ibu.

   OH IYA! IBU!

   Aku loncat dari kasurku. Bukan kasurku sih, tapi anggap saja kasurku. Seseorang membuka pintu kamar.

   “Selamat pagi tuan.” Orang itu tersenyum ramah, membawakan sarapan pagi ke kamarku.

   “Jangan lupa sarapan ya. Ibu kamu ada di luar. Sarapan saja dulu, baru temui ibu kamu.” Orang itu keluar, kembali menutup pintu sambil tersenyum.

   Aneh. Aku urutkan lagi. Pertama aku pergi sekolah, bertemu Iliyya dan berusaha meminta maaf. Tapi dia sok tidak mau menerima permintaan minta maafku. Bahkan menengok pun tidak. Terus di mata pelajaran terakhir aku disiram oleh murid pengganggu itu. Pulang, bertemu ibu di dapur.

   Lalu aku membawanya, tapi tidak ada satu pun Rumah Sakit yang mampu mengobatinya. Aku putus asa. Tapi tetap berjalan. Akhirnya sampai ke dekat parit Istana. Pandanganku kabur, dua penjaga berlari kearah ku. Dan aku pun tidak sadarkan diri. Mungkin bisa disebut pingsan.

   Dan sekarang... Aku.. Apa mungkin ini Istana? Istana Benrath? Ah, tidak mungkin.. Mana mau mereka menerima warga miskin seperti ini. Paling hanya menyembuhkan ibu, lalu pergi.

   Tunggu... Sepertinya kurang tepat. Kalau benar ini Istana Benrath. Penjelasan tentang kamar, baju tidur, pelayan tadi bisa masuk akal. Sarapan Dua butir telur setengah matang, dengan sosis... Daging? Mungkin iya, sosis daging. Di samping sosis ada beberapa sayuran lain. Di piring lain ada roti. Dan di mangkuk sebelahnya ada sereal.

   Nampannya besar. Cukup untuk dua piring satu mangkuk dan ada minuman. Hanya air putih. Tapi.. Pisau? Kalau garpu di sampingnya aku sudah tidak heran. Tapi pisau? Untuk apa? Entahlah.

   Daripada banyak menanyakan hal yang tidak bisa aku jawab sendiri, lebih baik aku langsung makan saja semuanya. Dua puluh menit tandas. Aku keluar kamar, pergi menemui ibu.

   “Permisi, tahu ibu ada di mana?” Aku bertanya sesopan mungkin.

   Pelayan itu menoleh, lalu tersenyum, “Oh.. Dia ada di taman. Mau saya antarkan?”

   Aku mengangguk cepat. Pelayan itu berjalan lebih dulu, menuju lokasi taman. Lima menit berlalu, kami sampai di taman. Lebih tepatnya taman bunga. Aku tersenyum, mengangguk takzim kepada pelayan. Lalu pelayan itu pergi.

   Aku berjalan mencari ibu. Tamannya lumayan luas, banyak bunga-bunga yang aku sendiri tidak tahu namanya apa. Mungkin karena kebanyakan tidur pas pelajaran biologi.

   “Ibu!” Aku melihat ibu sedang berjongkok melihat bunga lebih dekat.

   Ibu menoleh. “Ah... Tyaga.” Ibu berjalan, lantas memelukku. Beberapa detik kemudian ibu melepaskan pelukannya.

   “Ibu tidak apa-apa?” Ibu menggeleng.

   “Ibu sekarang sudah sehat Nak.” Syukurlah.

Episode 3

Lima menit berlalu. Aku asyik sibuk mengobrol dengan ibu.

   “Hai. Kalian baik-baik saja?” Suara itu terdengar dari kejauhan di belakang. Aku balik badan, seseorang yang sudah matang umurnya (maksudku tua) dengan pakaian rapi dan bagus. Tidak lupa, mahkotanya. Biasanya kebanyakan Raja di cerita novel Kerajaan, mereka memakai mahkota.

   Aku dan ibu refleks berdiri berbarengan.

   “Kami baik-baik saja.” Jawab ibu.

   Sang Raja menghela napas lega, kemudian menatapku. “Anak muda. Kamu masih sekolah?”

   Aku menjawabnya dengan mengangguk.

   “Sekolah di mana?” Tanya Raja itu.

   Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal, lantas menjawab di mana sekolahku. Raja juga bertanya tentang bagaimana aku bisa sampai di depan parit gerbang Istana, dan banyak lagi.

   Raja mengangguk paham, “Begini saja, kamu masih sekolah kan?”

   Aku mengangguk, menjawab iya.

   “Berangkatlah ke sekolah. Para pelayan aku akan segera menyiapkannya.” Raja menoleh ke pelayannya yang di samping, mengangguk. Pelayan itu mengangguk pelan, mundur satu langkah dan balik kanan keluar dari taman bunga.

   “Memangnya boleh?” Tanyaku yang masih setengah sadar.

   Raja tersenyum “Tentu saja boleh. Tidak ada yang melarangmu pergi ke sekolah.” Aku menyeringai, mengangguk kegirangan.

   “Ayo nak, nanti terlambat.” Sahut ibu, ikut tersenyum menatapku.

   Aku segera berjalan keluar dari taman menuju kamar. Mandi, berganti baju, merapikan buku, dan siap berangkat. Seorang pelayan mengetuk, lalu masuk kamarku.

   “Kendaraannya sudah siap tuan.” Aku mengangguk.

   “Iya, aku segera ke sana.”.

   Hmm.. Sepertinya aku akan telat ke sekolah sih. Sekarang sudah jam tujuh lewat. Masa bodohlah, yang penting sekolah. Itu lebih baik daripada bolos.  

   Aku menggendong tas di pundakku, keluar kamar, bergegas ke halaman. Mobil menunggu di sana. Aku duduk di belakang.

   “Semua sudah lengkap tuan?” Aku sekali lagi hanya mengangguk.

   “Baiklah kita berangkat.”

 

***

 

   Sepuluh menit dihabiskan untuk menempuh perjalanan ke Sekolah. Bisa dibilang, aku terlambat tiga puluh menit. Tapi untungnya paling aku hanya di hukum, tidak sampai di pulangkan.

   Pelayan menatap kaca depan “Kita sudah sampai tuan.”

   Aku mengangguk, membawa tas keluar mobil. “Terimakasih.”

   Dia hanya mengangguk, lalu kembali menghilang di keramaian pengendara lain di jalan raya.

   Aku memasuki gerbang, berlari di lorong sekuat tenaga. Terdengar suara-suara guru yang sedang mengajar di sepanjang lorong.

   “Dan itulah fotosintesis.” Aku melepas sepatu, meletakkan ke sembarang arah.

   “Pagi bu.” Sapa ku yang tengah tersengal, habis berlari dari lorong.

   Pagi ini pelajaran Biologi. Mimik masamnya tidak terbendung lagi. Tapi dia segera menghela napas panjang seolah tidak terjadi apa-apa.

   “Tyaga, silakan duduk.” Aku mengangguk pelan, segera masuk, duduk menempati tempatku.

   “Baik. Apa ada pertanyaan?” Seorang murid mengangkat tangannya.

   “Baik, silakan mau bertanya apa nak?” Bu Pita tersenyum.

   Waktu pelajaran pertama dihabiskan untuk membahas fotosintesis. Ahh.. Syukurlah aku tidak di hukum. Bel istirahat berbunyi. Aku membuka tas, meraih bekal makananku. Makan bekal seperti biasa, lengang, kelas kosong tidak ada murid lain di sini.

   Beberapa murid masuk. Aku sudah menghabiskan bekalku. Teman sebangkuku, Gostaf, duduk di sampingku membawa sosis bakar dari kantin. Menatapku menyelidik, “Tyaga. Bekal itu bukan bekal yang kamu ambil dari kelas lain kan?”

   Aku menggeleng sebal, tidak tertarik.

   Dia mendekatkan wajahnya, mengendus-endus badanku. Entahlah, aku tidak tahu juga alasan Gostaf mengendus badanku, bahkan teman lain juga sama, sama-sama diendusnya juga. Fetish apa ya? Atau dia pengintai bayangan? Atau lebih dikenal murid-murid Sekolah dengan tangan rahasia guru. Mereka diberi tugas mengamati murid kelas mereka.

   Menurut gosipnya, OSIS yang salah satu bervisi-misi menjaga (mengamati) teman sekelasnya, kalau ada yang melanggar peraturan Sekolah akan segera di beri hukuman itu hanyalah pengalihan semata. Sebenarnya yang mengamati siswa-siswi di Sekolah ini ialah mereka yang di beri julukan “Pengintai Bayangan”.

   Tapi mustahil juga sih Gostaf termasuk salah satunya. Tidak mungkin.. paling dia di suruh Iliyya mengawasi aku. Dasar, sok cuek.

 

***

 

   Bel berbunyi, menandakan kelas akan segera di mulai. Mereka mulai berdatangan masuk kelas, menunggu pelajaran selanjutnya. Aku duduk termangu membolak-balikan kertas. Guru Bahasa memasuki kelas, mengajar seperti biasa. Guru Bahasa kami memberikan tugas kelompok. Banyak murid yang tidak bisa pelajaran bahasa. Tapi ya sudahlah, bukan urusanku juga.

   Sekarang masalahnya bukan tentang tugas dari Guru Bahasa, tapi bagaimana cara aku meminta maaf ke Iliyya. Pelajaran bahasa tiga jam yang terasa seperti tiga abad sudah selesai. Banyak murid yang KO, mengeluh tidak paham, pusing, ribet kenapa harus ada pelajaran bahasa, ada yang mengaku otaknya panas, berasap, dan sebagainya.

   Waktunya istirahat kedua. Aku beranjak keluar kelas menemui Iliyya. Pasti dia sedang di kelasnya, belajar. Terlalu rajin sih, makanya jadi sensitif. Memangnya kita dapat apa kalau belajar? Kecuali belajar kekuatan. Itu beda lagi ceritanya. Kelas X-D. Sampai juga.

   Kubuka salah satu pintu kelasnya, mataku gesit menoleh, mencari Iliyya. “Iliyya.” Dia berhenti menulis, menengok ke arahku dan beranjak berdiri mendekatiku.

   “Ada apa? Mau belajar bareng?” Ketus si Kulkas itu. Aku menggeleng cepat. Siapa juga yang mau belajar? Disekolah saja sudah sepuluh jam belajar. Masih kurang? Bukan manusia. “Bukan. Aku mau minta maaf soal kemarin.” Jawabku berusaha sebiasa mungkin.

   Iliyya melihatku dari atas sampai bawah berkali-kali. “Oh. Tumben. Biasanya juga lupa kalau bikin onar.”

   Kalau bukan karena minta maaf, sudah kumasukkan bola tanah ke mulutnya. “Iya, aku minta maaf ya. Maafin kan?”

   Iliyya tertawa kecil. “Tapi traktir aku mie ayam ya? Setelah itu baru aku maafin.” Sudah kuduga. Tapi demi permintaan maafku di terima, tidak masalah.

   Kami duduk di bangku kantin. “Mang, mie ayam dua ya.” Aku melambaikan tangan.

   “Minumnya apa?” Kata Mamang sembari gesit menuang kuah bakso ke mangkuk pelanggan lain.

   “Es teh aja Mang.” Sahut Iliyya.

   “Oke.”

   Iliyya memajukan kepalanya. “Eh Ga. Tahu tidak? Dari berita yang aku dengar nih ya, warga kota kita sudah mulai banyak kena penyakit misterius lho.” Hah? Penyakit? Apa mungkin penyakit seperti yang di alami ibu?

   “Misterius? Memangnya ada penyakit begituan?”.

   “Ya ada lah. Penyakitnya tidak bisa disembuhkan dokter, Ga.”.

   Mamang menaruh mie ayam dan es teh nya ke meja kami. “Penyakitnya bisa menular tidak sih?” Tanyaku.

   Iliyya menyeruput minumannya, mengangkat bahu, “Ya nggak tahu. Tapi sih kata tetanggaku, penyakitnya tidak menular.”

   Aku mulai memakan mie ayam, “Tetangga yang suka gosip itu ya Ya?” Iliyya mengangguk. Melanjutkan mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.

   “Ngyhohong-ngyhohong, mhenurut,”.

   “Habiskan dulu makanan yang di mulutmu sana.”.

   Iliyya mempercepat kunyahannya, menelan langsung semua makanan yang penuh di mulutnya. Tenggorokannya tersedak. Cepat-cepat dia mengambil gelas es tehnya, minum sekali teguk.

   “Seram sekali Ya, sekali teguk habis setengah.” Aku menahan tawa.

   “Hah... Akhirnya..” Iliyya mengeluarkan sesuatu dari hidungnya. Panjang... Dan.. Itu mie?

   “Hahahaha.. Lagian sih Ya, ngapain makan buru-buru?” Bukannya cemberut atau marah, dia malah tertawa.

   “Mumpung di traktir, bisa makan banyak Ga.” Gawat! Aku lupa Iliyya rakus kalau masalah makanan. Makan banyak tapi tetap kurus. Badannya ideal.

   Aku menghabiskan setengah mie ayamku. “Ya, sebenarnya apa sih rahasia kamu tidak naik berat badan?” Aku mengambil sembarang topik. Iliyya berpikir sambil meminum es teh.

   “Hm.. Aku membuat tubuhku dingin.” Jawabnya, kemudian menyeruput minumannya.

   “Memangnya ada hubungannya Ya?”.

   “Ada dong.” Jawab Iliyya membanggakan dirinya.

   “Apa memangnya?” Tanyaku penasaran.

   Iliyya buru-buru mengambil posisi tegak, bahunya dilebarkan. Biasalah, posisi kalau dia lagi membanggakan dirinya sendiri.

   “Jadi singkatnya, kalau suhu tubuh kita dingin, tubuh kita dengan sendirinya berusaha membuat suhu tubuh kita kembali normal. Begitu juga sebaliknya, dan selama proses itu tentunya menggunakan energi dari makanan kita.” Makananku habis. Meraih minuman dan menghabiskannya.

   Kami beranjak berdiri membayar mie ayam. “Semuanya berapa Mang?”

   Mamang mie ayam menghitung. “Dua puluh empat perak Dek.”

   Aku meraih saku, mengambil duit dua puluh empat perak, “Nih Mang. Makasih ya.” Lantas kami balik kanan berjalan ke lorong, kembali ke kelas masing-masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!