Kembali menginjakkan kaki di ibu kota membuat perasaan Rihana berdebar ngga nyaman.
Dulu sekali waktu dia berumur lima tahun, dia pernah ke sini bersama mamanya. Dan mama menunjukkan dua buah rumah mewah nan megah.
Kata mamanya yang satu rumah kakek neneknya, yang satu lagi rumah papanya.
Tapi karena hanya sekali saja mereka mengunjunginya, Rihana kecil sudah lupa. Apalagi ibu kota berkembang dengan sangat pesat.
Setelah pulang dari Jakarta, setahun kemudian mamanya sering sakit sakitan. Dan akhirnya mamanya pun berpulang tanpa dia mengerti kenapa dia dan mamanya berakhir di sebuah panti dengan ibu pengasuh yang sangat baik pada mereka
Tidak punya kakek, nenek, om, tante bahkan laki laki yang dipanggil papa dalam hidupnya.
Rumah mewah dan megah yang mereka datangi sudah lama kosong. Penghuninya hanya sesekali pulang, itu kata satpam yang menjaga rumah itu.
Sedangkan rumah yang satu lagi dia datangi, malah membuat mamanya menangis. Kemudian mengajaknya pergi
Saat itu Rihana mencondongkan wajahnya ikut melihat apa yang mamanya lihat di balik kaca jendela taksi.
Sepasang laki laki dan perempuan yang sedang menggendong seorang anak perempuan kecil yang sangat cantik, sedang keluar dari mobilnya dan akan menghampiri penjual arum manis yang sangat besar. Bahkan baru kali ini Rihana melihat arum manis sebesar itu.
Rihana juga ingin membelinya, tapi ngga jadi karena melihat air mata yang bergulir di pipi mamanya.
"Mama kenapa?" tanya Rihana heran dan ikut sedih juga. Entah mengapa, dia juga dapat merasakan kesedihan mamanya saat itu.
"Jalan pak," kata mamanya pada supir taksi sambil memeluknya dengan dada berguncang.
Rihana sempat melihat laki laki itu melihat ke arah taksi mereka yang pergi meninggalkannya.
Mamanya pergi tanpa penjelasan apa apa. Hanya saja mamanya berpesan agar hidup dengan baik setelah dirinya pergi.
Rihana pun diasuh dengan penuh kasih sayang oleh ibu panti. Kesedihannya berkurang karenaa tempat tinggalnya yang rame oleh anak anak panti yang seusianya waktu itu. Tapi satu persatu mereka pergi dijadikan anak asuh.
Bukan ngga ada yang mau mengangkat Rihana menjadi anak asuh, tapi ibu panti selalu menolak jika ada yang tertarik padanya. Karena amanat mamanya agar ibu panti yang selalu menjaganya.
Kini kondisi keuangan panti sedang sulit. Untungnya setelah lulus, Rihana keterima bekerja di sebuah perusahaan konstruksi besar yang ada di ibu kota. Ibu panti terpaksa melepasnya. Kepergian Rihana pun untuk membantu meringankan keuangan ibu panti.
Ibu pantinya sekarang sudah hampir lima puluh lima tahun. Biasanya beliau sanggup menghidupi panti tanpa bantuan donatur. Beliau memiliki usaha konveksi yang lumayan besar. Hanya saja musibah menimpa usaha konveksi mereka yang mengalami kebakaran hebat akibat konsleting listrik dari tempat usaha di sebelahnya.
Ganti rugi yang ngga seberapa membuat keadaan keuangan panti cukup terganggu. Ibu panti pun terpaksa menjual rumah dan memboyong Rihana dan lima anak panti yang masih SD ke tempat yang baru. Mereka meninggalkan kota yang sudah meninggalkan banyak jejak kenangan untuk Rihana. Kenangan mamanya dan juga Alexander, laki laki yang disukainya saat SMA.
Rihana tau mereka ngga bisa hanya mengandalkan hidup dari penjualan rumah dan bantuan ala kadarnya dari pemerintah setempat sebagai ganti rugi kebakaran usaha konveksi itu.
Karena itulah, Rihana memaksa agar ibu panti mengijinkannya pergi setelah ada panggilan kerja dari perusahaan yang sudah multi nasional. Gaji yang ditawarkan untuk freshgraduate sepertinya pun sudah menyentuh angka dua digit. Dia bisa mengirimkan buat ibu panti untuk membantunya dalam hal keuangan. Terutama untuk pendidikan adik adiknya.
Akhirnya dengan terpaksa ibu panti pun melepasnya pergi. Tentu saja dengan penuh air mata. Begitu juga adik adik kecilnya.
Rihana menatap kembali kamar kos yang sudah dibereskannya Berada dalam sebuah gang, jadi harganya ngga terlalu mahal. Dia pun bisa mengandalkan ojol untuk pergi dan pulang dari kantor. Nantinya setelah beberapa bulan bekerja, Rihana akan membeli motor.
Kamar berukuran tiga kali tiga dengan empat kamar mandi berada di luar. Hanya ada sepuluh kamar. Rihana beruntung jadi pemilik yang terakhir dan berada di lantai dua. Kamar kostnya hanya menerima anak kos perempuan saja.
Rihana ngga mau memilih kos campur walau ada yang harganya lebih murah dan tidak masuk gang . Dia takut. Baginya keselamatannya lebih utama. Dan Rihana lebih bahagia jika berada dalam satu kumpulan dengan satu gendernya. Apalagi kata ibu kostnya, yang mendiami kostnya selain pekerja seperti dirinya juga mahasiswi. Tentu dia ngga akan sulit menyesuaikan diri.
Tadi pun Rihana sempat berbasi basi dengan salah satu anak kost. Kelihatannya mahasiswi. Karena jam kedatangannya adalah jam bagi pekerja kantoran, jadi keadaan kos cukup sepi. Mahasiswi tadi juga berpapasan dengannya ketika dia akan pergi kuliah, mungkin.
Tentang Alexander. Laki laki tampan yang ngga banyak bicara tapi selalu menatapnya dalam diam.
Hanya sesekali mereka mengobrol, itu pun sangat singkat karena jantung Rihana selalu berdebar debar jika berada di dekatnya. Tubuh tinggi tegapnya, harum parfumnya dan wajah tampannya. Sangat menghipnotisnya.
Selama tiga tahun sekelas ngga membuat hubungan mereka spesial. Tetap seperti itu saja. Rihana pun cukup insecure dengan perempuan yang naksir maupun disandingkan dengan laki laki pujaannya.
Rihana sebenarnya juga bukan ngga punya kelebihan apa apa. Kata teman temannya dia cukup cantik dan manis. Juga pintar. Rihana tau ada beberapa teman cowo dan kakak kelasnya yang menaruh perhatian padanya. Tapi Rihana selalu menghindar jika ada yang mulai menjurus ke arah sana.
Rihana masih tau diri. Rihana masih malu mengatakan pada mereka kalo dia ngga punya papa, walaupun nama papanya tercantum di dalam raport dan akte kelahirannya. Dewan Iskandardinata.
Tapi sosok itu ngga pernah menemuinya hingga kini. Dia pun ngga mengenalnya. Teman temannya juga tau kalo dia tinggal di panti asuhan dan mamanya menjadi salah satu pengurus di sana. Saat mereka menanyakan kemana papanya, Rihana ngga pernah bisa menjawab. Juga jika mereka bertanya tentang kakek neneknya. Rihana selalu bungkam. Sampai akhirnya mereka ngga pernah bertanya lagi.
Pernah Rihana bertanya oada mamanya, tapi mamanya hanya menangis. Dan Rihana ngga pernah menanyakannya lagi. Dia pun sudah cukup bahagia hidup bersama mama, ibu panti dan anak anak panti yang selalu datang dan pergi.
Jika papa dan kakek, nenek bahkan om dan tantenya tidak mempedulikan keadaannya dan mamanya, buat apa dia memikirkanya lebih jauh. Rihana sudah cukup pusing dengan pelajaran pelajaran di sekolahnya.
Hingga malam perpisahan saat kelulusan mereka di kelas tiga SMA tiba. Mereka merayakanya di hotel bintang lima yang ternyata milik keluarga Alexander Monoarfa.
Pesta perpisahan itu juga sekaligus pesta perpisahan Alexander dengannya dan teman temannya. Karena keluarga mereka akan pindah ke Inggris. Alexander pun akan kuliah di salah satu kampus paling bergengsi dengan biaya jutaan dolar di sana.
Saat itulah Rihana bagai dihenpaskan. Dia baru sadar jurang yang menganga diantara mereka. Rasanya sakit ngga berdarah.
Alexander pun pergi begitu saja. Tapi kata katanya waktu merek kelas satu masih segar dalam ingatan Rihana.
Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu?
Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih
Perusahaan ini sangat megah dan tampak berkelas sangat tinggi. Begitu pula dengan penampilan pekerjanya.
Rihana agak minder ketika melangkah memasuki loby. Beberapa menatapmya prihatin, walau banyak juga yang cuek.
Peraturan yang meminta mereka untuk mengenakan kemeja putih dan celana panjang atau rok hitam selama tiga bulan masa percobaan kerja membuat mereka ditandai sebagai pegawai baru.
Mbak mbak cantik di resepsionis memintanya pergi ke ruangan yang menjadi tempat kerjanya nanti.
Kembali Rihana merasa insecure melihat kebeningan kulit mereka, seperti artis sinetron di tivi. Kulit mereka sangat bersih. Dan wajah mereka pun sangat cantik cantik dan tampan tampan selain penampilan mereka yang sudah pastinya sangat keren keren.
Jika saja Rihana tidak harus mengirimkan uang gajinya untuk kebutuhan panti nanti, pasti dia akan bisa berpenampilan sekeren mereka nantinya.
Rihana tersenyum dengan pikiran isengnya yang muncul tiba tiba. Ngga mungkinlah Rihana akan melakukannya. Ibu panti sudah melakukan banyak hal yang baik dalam hidupnya. Saatnya dia membalas kebaikan dan kasih sayang beliau.
Selain itu Ibu panti juga sudah tua untuk mencari uang dan mengurus keadaan panti. Untungnya mbak Emi dan mbak Rohani masih mau ikut mereka. Mereka berdua akan membantu ibu panti dalam memgurus anak anak dan panti itu sendiri.
Rihana bersyukur ngga datang terlambat. Seperti kebiasaannya selama di panti, dia selau mandi sebelum azan shalat subuh. Hanya beberapa saja yang antri sesudahnya.
Rihana tersenyum saat melihat beberapa orang yang sudah datang dan menempati kubikel nya masing masing. Ada dua orang yang mengenakan seragam yang sama sepertinya. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala.
Rihana pun membalasnya sebelum berjalan ke arah kubikelnya.
Rasanya sangat menyenangkan melihat laptop yang masih baru dan berkas berkas di atas meja yang ada papan namanya. Dia pun meletakkan figura yang memuat foto berukuran 3R ketika dirinya berada dalam pelukan mamanya. Saat mereka akan berangkat ke ibu kota dulu. Foto itulah yang selalu dibawanya. Mengingatkan dirinya yang masih memiliki seorang ibu. Walau hanya sebentar.
Rihana pun membuka laptopnya. Layarnya menampilkan ikon perusahaannya.
PT Mega Kencana Teknik Grup.
Rihana tersenyum, kemudian membuka map map yang ada di atas dan mulai mempelajarinya satu persatu.
Keenceran otaknya menjadikannya mudah dalam mengerjakan tugas tugas yang ada di mejanya.
Dia berada dalam divisi perancangan teknik. Seorang manejer menaunginya yang Rihana baru saja melihatnya datang dengan langkah cepat.
Tugas tugasnya pun selesai dia kerjakan bertepatan dengan waktu yang menunjukkan jam makan siang.
Dia pun segera menshutdown laptopnya.
"Hai, namaku Winta."
Suara sapaan itu spontan membuat Rihana menoleh dan membalas uluran tangannya.
"Rihana."
"Aku Puspa," sapa yang satu lagi ikut memperkenalkan diri.
"Rihana." Rasanya saat senang disapa oleh pegawai yang sama sama baru di saat dia sama sekali ngga mengenal siapa pun.
"Kamu sudah selesai?" tanya Winta.
"Sudah, baru aja."
"Kalo begitu, ayo kita ke kantin," ujar Puspa ngga sabar. Perutnya rasanya sangat keroncongan setelah berpikir cukup keras tadi.
"Ayo," ajak Rihana sambil mengambil tasnya.
"Waktu kecil kamu imut sekali," puji Winta ketika melihat pigura yang ada di mejanya.
"Itu kenanganku bersama mama," jawab Rihana ringan.
Alis keduanya berkerut.
"Kenangan? Maksud kamu...?" tebak Puspa sungkan. Sementara Winta menatapnya ngga enak.
"Mamaku sudah meninggal."
"Oh, maaf," ucap keduanya merasa bersalah karena sudah membuka luka lama teman baru mereka.
"Ngga apa. Ayo, kita ke kantin sekarang."
Winta dan Puspa mengembangkan senyum mereka sambil mengangguk. Bertiga mereka mulai berjalan keluar dari ruangan. Rasanya mereka sudah pernah akrab sebelumnya sehingga sekaramg mereka terlihat begitu luwes satu sama yang lainnya.
Ketika sampai di lobi pandangan mereka tertuju pada seorang gadis yang sangat cantik dan berkulit putuh bening yang baru saja melewati mereka dengan paper bag di tangan.
Gadis itu melangkah ke arah lift khusus untuk petinggi perusahaan.
"Cantiknya.... Siapa ya?" kagum Puspa ngga berkedip menatapnya. Dan dia cepat cepat tersenym dengan sangat manis ketika gadis itu tersenyum tipis padanya.
"Anaknya pak Bos pemilik perusahaan ini," jelas Winta yang juga melihat sampai pintu lift gadis itu tertutup.
"Pantasan, cantik dan berkelas banget. Segalanya branded," kata Puspa penuh puja puji.
Rihana tersenyum. Wajarkah. Teman teman SMA dan kuliahnya dulu juga begitu, karena memiliki keluarga yang sangat kaya raya.
"Kita kalo udah terima gaji tiga bulan, baru bisa beli tas branded dan hidup mewah," kekeh Winta.
"Betul. Sekarang sabar dulu. Pake aja yang ka-we," ledek Puspa juga ikut tertawa.
Rihana lagi lagi hanya mengulas senyum tipis. Dia ngga mungkin bisa seperti itu. Lagi pula apa manfaatnya tas branded dibanding biaya makan, sandang dan sekolah adik adiknya di panti.
Mereka pun bertemu beberapa orang yang juga berpakaian seperti mereka. Ada laki laki dan perempuan. Mereka melambaikan tangan mengajak ketiganya ikut bergabung.
"Boleh juga," respon Puspa setuju. Semakin banyak teman semakin baik menurutnya.
Rihana dan Winta mengikuti saja langkah Puspa.
"Hai... Di sini kursinya banyak," sambut salah seorang laki laki diantara mereka.
"Agus," sambungnya memperkenalkan diri. Begitu juga yang lain. Ada Ratna, Seli, Rukma, Milfa, Dino, Bagas, Yadi, dan Ardi.
"Me Puspa, ini Winta dan Rihana."
Ketiganya kemudian bergabung pada tiga kursi yang kebetulan masih kosong.
Rihana ngga banyak bicara. Tapi dia menperhatikan obrolan mereka. Ada yang di bagian keuangan, pajak, HSE, dan staf lapangan.
"Keren keren yang kerja di sini, ya," kagum Seli sambil memperhatikan para pekerja yang sedang menikmati makannannya.
"Nanti setelah kita diangkat jadi pegawai tetap, gaji kita naek dua kali lipat. Baru bisa gaya gaya kayak gitu," kekeh Rukma yang dibalas tawa berderai yang lain.
"Tiga bulan lagi. Ngga lama," tambah Puspa.
"Sekarang kerja yang bener dulu. Jangan malah dipecat sebelum selesai masa kontrak," kekeh Yadi yang kembali dibalas gelak tawa.
"Malah apes jadi pengangguran," tambah Agus dalam tawanya
Ya, benar. Dia harus bekerja sungguh sungguh. Ngga boleh ada kesalahan, apalagi sampai dipecat, batin Rihana. Besar harapannya agar diangkat jadi pegawai tetap. Bisa memberikan kehidupan yang lebih layak buat ibu panti dan adik adiknya seperti dulu, sebelum usaha konveksi mereka mendapat musibah kebakaran.
"Pak Dewan katanya baru pulang dari Paris. Orang kaya enaknya bisa jalan jalan luar negeri terus," cetus Ratna setelah tawa mereka usai.
"Jalan jalan sambil memperluas ekspansi," sahut Bagas membenarkan.
"Iya. Senang, ya. Jalan jalan tapi malah dapat cuan," timpal Winta.
"Ngga kayak kita. Jalan jalan malah buang cuan," senyum Milfa.
"Trus ngutang," gelak Seli disambut tawa yang lain.
"Tadi kayaknya putrinya. Cantik banget," timbrung Puspa setelah tawa mereka mereda.
"Yang bawa paper bag, ya. Tadi kita juga ketemu di lobi waktu mau ke sini," sambung Rukma antusias.
"Anak yang baik. Kayaknya ngantar makan buat papanya," lanjut Seli juga antusias.
"Istrinya pak Dewan juga cantik banget loh," kata Ratna melanjutkan.
"Keluarga yang sangat bahagia," sambung Winta ngga mau kalah.
Para laki laki hanya tersenyum saja kali ini ngga berkomentar apa apa mendengar gibahan para perempuan.
Mendengar nama Dewan yang disebutkan berkali kali memunculkan perasaan yang lain di hati Rihana. Tapi dia bingung, kenapa. Dia merasa pernah mendengar nama itu. Tapi ngga ingat, kapan dan dimana.
"Katanya itu putri satu satunya, kan. Pasti jadi princes banget. Cantik, kaya raya, juga terkenal baik," kata Winta penuh kagum
"Iya. Ayo yang jomblo, naksir nggak?" pancing Selli pada teman teman laki lakinya.
Mereka tersenyum agak meringis. Ya, ngga mungkinlah, pegawai kontrak bersaing untuk mendapatkan princes.
"Udah jiper ya, mas," goda Ratna ngikik diikuti Puspa dan Ratna. Yang lainnya tersenyum lebar
"Jodoh ngga ada yang tau," sahut Agus santai.
"Betul, bro," lanjut Dino juga santai
"Iya ya," balas Seli kemudian tertawa lagi. Kali ini para lelaki itu pun mulai tersenyum lebar.
'Aurora Gauri Iskandardinata. Namanya aja udah keren abis," komentar Winta ngga henti hentinya terkagum kagum.
DEG DEG
Otak encer Rihana mulai bereaksi.
"Nama pemilik perusahaan ini siapa, sih?" tanyanya ragu dan mendadak berbagai rasa luar biasa berkecamuk dalam hatinya. Jantungnya seperti ngga lelah berpacu sangat kencang, ngga tenang menunggu jawaban.
'Kamu ngga baca profil perusahaan kita?" Winta balik bertanya heran apalagi melihat Rihana menggelengkan kepala.
'Aku udah telanjur senang aja keterima di sini. Ngga lihat apa pun lagi," katanya jujur dengan gemuruh dada yang semakin sukar diredam.
"Ooohhh.....," kekeh yang lainnya maklum. Siapa yang ngga merasa euforia saat diterima bekerja di perusahaan yang sudah melang lang buana sampai ke luar negeri.
Cepatlah, aku butuh informasi ini, batinnya ngga sabar.
"Dewan Iskandardinata," akhirnya Bagas yang menjawab.
DEG DEG DEG DEG
Hampir saja Rihana menjatuhkan sendoknya. Tanpa teman temannya sadari tangannya bergetar, punggungnya mulai dibasahi keringat dingin.
Jadi nama itu benar nyata? batinnya mendadak pedih. Baru dia sadar kenapa saat itu mamanya menangis kala melihat laki laki yang menggendong anak perempuan yang lebih kecil darinya dulu. Sampai jatuh sakit. Dan akhirnya meninggal dunia.
"Maaf, aku mau ke toilet dulu," pamitnya sambil berdiri. Dia sudah ngga bisa lagi menahannya. Perasaan terbuang yang nyata sampai membuat tubuhnya gemetar. Untungnya teman temannya sedang sibuk dengan topik masing masing. Mereka pun terlihat bahagia dengan teman teman baru mereka
"Oke, perlu ditemani?" tanya Winta ramah.
"Ngga usah, Win. Nanti kalo aku lama, kamu langsung balik ke kubikel aja," tolak Rihana dengan suara yang dibuatnya sebiasa mungkin.
"Oke, oke."
"Hati hati," timbrung Puspa.
"Ya."
Setelah menganggukkan kepalanya, Rihana mempercepat langkah kakinya yang terasa sulit dan berat.
Tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin benar benar sudah membasahi punggungnya.
Dia harus cepat sampai ke toilet sebelum semuanya meledak di sini.
Akhirnya sampai juga di toilet. Untung masih ada satu ruang yang kosong. Segera Rihana masuk dan membiarkan air matanya mendesak turun. Dia menahan isaknya karena masih mendengar suara suara orang berbicara di luar.
Kenapa?
Kenapa orang itu membuangmya dan mama?
Jahat sekali.
Jahat!
Hatinya terus mengutuk laki laki ngga bertanggung jawab yang ternyata pemilik dari perusahaan tempatnya bekerja.
Papanya ternyata masih ada.
Awalnya Rihana mengira tulisan nama itu hanyalah karangan mamanya semata. Ternyata ada wujud nyatanya.
Papanya bukan orang kaya biasa. Bahkan seorang konglomerat yang ngga mengharuskan anaknyq untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi nyatanya dia sedari kecil harus hidup susah payah bersama mamanya. Untunglah takdir baik membawa mereka bertemu dengan ibu panti yang meringankqn beban mamanya dan menyayanginya setelah mamanya pergi. Sekarang takdir membawanya menjadi pekerja di salah satu perusahaan papanya.
Semua orang bisa melihat betapa kehudupan papanya sangat bahagia bersama keluarga tercintanya. Tapi tak ada satu pun yang tau kalo orang yang sangat dihormati dan dipuja puja ini membiarkan kehildupan lainnya telantar dan tak tersentuh olehnya.
Rihana ngga mungkin langsung keluar dari pekerjaan ini. Dia sudah dikontrak dan harus membayar pinalty yang cukup besar jika nekat mengundurkan diri. Juga terbayang kesulitan ibu panti dan adik adik angkatnya di pelupuk matanya. Dia ngga mungkin juga bisa mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi ini dalam waktu dekat Rihana tau, ngga ada jalan keluar buatnya. Dia terpaksa bertahan di sini. Walaupun dia sangat membencinya. Dia benar benar sangat benci dengan takdir yang bercanda padanya.
Ngga disangkanya, kembali ke ibu kota malah sangat memudahkannya bertemu dengan masalalu mamanya.
Air mata Rihana semakin deras mengalir. Rihana menutup keras mulitnya agar suara mengisaknya ngga keluar. Hatinya terluka Perih dan pedih. Kenyataan ini sangat menyakitkan.
Kini Rihana sudah keluar dari toilet setelah hampir setengah jam meratapi nasib. Dia pun sedang berdiri di depan kaca. Dia pura pura ngga melihat ada satu atau dua pegawai yang memperhatikannya.
Rihana mengusap wajahnya dengan air kran.
"Ini, pake aja."
Sebungkus kecil plastik tisu terulur di depannya ketika dia akan merogoh saku rokmya untuk mengambil tisu tersebut.
"Terimakasih," ucapnya aedikit malu karena pegawai itu tau keadaannya. Tapi wajahnya nampak maklum.
"Di marahi bos, ya? Kalo jadi anak baru di sini memang agak ditekan. Tapi ngga usah terlalu diambil hati," nasihat pegawai cantik itu dengan senyum manisnya.
Pegawai itu salah paham, tapi Rihana ngga akan mengoreksinya.
Rihana hanya tersenyum sambil menghapus titik titik air di wajahnya.
"Nih, pake ini, biar matanya ngga nampak sembab," katanya lagi sambil mengeluarkan obat atau vitamin(?) tetes mata dan memgulurkan padanya.
"Terima kasih, kak," jawabnya terharu. Dia bersyukur banyak bertemu orang orang yang baik hari ini.
"Namaku Daiva," katanya setelah menerima kembali obat tetes yang sudah digunakan.
"Aku Rihana, kak."
"Nih, bedakin lagi wajahnya," katanya sambil mengulurlan bedak yang lagi lagi dikeluarkan dari tas kosmetik kecil yang ditentengnya.
"Ngga usah, kak," tolak Rihana tambah sungkan.
"Pake aja. Itu juga refil sama sponnya baru aku beli tadi malam," senyumnya sambil menjejalkan kotak kecil berisi refil bedak merk yang cukup terkenal dan pasti mahal serta spon yang masih tersegel di plastik itu ke tangannya.
"Biar wajah kamu ngga kelihatan abis nangis," ucapnya sarat makna.
Rihana terdiam. Tapi benar juga yang dikatakan pegawai cantik di depannya. Winta dan Puspa pasti akan banyak bertanya jika nanti melihatnya.
"Sudah, ya, aku keluar dulu," pamitnya sambil melangkah pergi sebelum Rihana sempat merespon.
"Kak Daiva," panggil Rihana membuat pegawai cantik itu menoleh masih dengan wajah penuh senyum.
"Makasih banyak."
"Sama sama," ucapnya sambil melambaikan tangannya sebelum melangkah keluar.
Rihana sungguh terharu sampai ngga bisa berkata kata apa pun lagi untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Apalagi dia sedang terpuruk sendiri di sini. Mendapat kebaikan seperti ini membuatnya lukanya sedikit terobati.
Banyak orang orang yang ngga ada hubungan darah dengannya tapi selalu baik.padanya.
Dewan Iskandardinata. Aku ngga butuh dirimu. Aku ngga minta uangmu dengan ngemis. Tapi aku bekerja, batinnya berteriak seolah menghibur dan menambah kekuatan hatinya.
Tapi deritanya masih berlanjut. Ketika Rihana sedang menunggu lift khusus karyawan bersama beberapa pegawai yang lain, pintu lift khusus petinggi perusahaan terbuka. Menghadirkan gadis yang tadi dilihatnya di lobi. Gadis itu merangkul lengan laki laki paruh baya yang masih tegap dan tampan berkharisma dengan manja.
Rihana menatap wajah laki laki itu dengan sorotan yang sangat tajam dan menusuk.
Sementara pegawai yang lainnya mengangguk sopan. Tapi ketika mata laki.laki itu bersirobok dengan mata Rihana, gadis itu cepat cepat menundukkan kepalanya. Tanpa menampilkan ekspresinya.
Sopan ngga sopan, bodoh amat, batinnya ngga peduli.
Rihana seolah merasakan kalo laki laki itu masih menatapnya sampai dia memasuki ke dalam liftnya yang terbuka bersama pegawai yang lainnya. Tapi Rihana tetap.menundukkan kepalanya, bahkan semakin dalam walau ada sedikit rindu dan sakit menyelusup dalam rongga dadanya.
Ngga lama kemudian Rihana pun sampai di lantai dimana kubikelnya berada dengan nafas masih terasa sesak dan hati yang sakit.
"Lama banget di toiletnya," sambut Winta dengan senyumnya.
"Tadi kebanyakan sambal, ya? ledek Puspa tertawa kecil.
Rihana tersenyum tipis.
"Tadi antri," bohongnya meyakinkan. Kedua teman barunya pun terlihat percaya.
"Pantasan kamu ngga ngumpul lagi," tukas Winta sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
"Maaf, ya, kita ninggalin kamu tadi," tukas Puspa sambil menepuk bahunya. Masih ada waktu sepuluh menit untuk bersantai.
"Ngga apa apa."
Winta dan Puspa tersenyum lega.
"Minta nomer ponsel kamu, dong," ucap Winta sambil memberikan ponselnya pada Rihana. Rihana pun mengetikkan angka angka itu dengan cukup cepat.
"Ini."
"Oke."
Ngga lama kemudian terdengar bunyi getaran ponselnya.
'Itu nomerku, ya," kata Winta dengan wajah penuh senyum.
"Dikirim ke aku, Win," pinta Puspa.
"Oke.'
Ngga lama kemudian ponsel Rihana kembali bergetar.
"Itu nomerku,' tukas Puspa cepat.
"Disave, ya, Ri," sambungnya lagi.
"Oke."
Ada yang dingin mengalir dalan rongga dadanya yang awalnya panas dan sesak. Sekarang mulai terasa nyaman.
Rihana tersenyum lagi.
Dia pasti kuat menjalaninya, batinnya mulai tenamg.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!