"Duh! Kenapa gak dari kemarin ya ngasih kabarnya? Kalau kayak gini kan, sayang di ongkos.." Rona, salah satu teman sekelas ku mengeluh.
"Yah.. kamu sih mana ada ngorbanin ongkos, Na. Yang ada tuh aku, yang ngorbanin ongkos!" Aku ikut mengeluh seperti Rona.
Bagaimana bisa tak mengeluh? Karena baru juga sampau di kelas mata kuliah Sejarah Pendidikan, eh, dosen nya malah baru memberi kabar kalau hari ini mata kuliah nya diliburkan.
Apalagi hari Sabtu ini, hanya ada satu mata pelajaran ini saja! Sia-sia kan jadinya perjalanan menaiki motor yang sudah ku lewati selama satu jam tadi?
Rona menyengir lebar ke arah ku. Dan aku hanya bisa mengerucutkan bibir saja ke arahnya.
"Lha? Aku juga kan ngorbanin ongkos, Mel!" Rona mengotot.
"Ongkos apa sih? Kosan kamu kan ada di sebelah kampus! Mana ada pakai ongkos, Na!" Aku menyanggah pernyataan Rona.
"Ya tetap ngeluarin lah! Lha itu tadi kan sebelum sampai kampus aku jajan es teh sebungkus, plus crepes dua biji. Itu juga kan namanya ongkos! Ongkos cacing-cacing di perut ku yang kelaparan maksudnya! Hihihi!" Rona terkekeh geli. Sementara aku hanya bisa mencebik kesal.
"Udah! Jangan manyun gitu ah! Daripada manyun, mending refreshing aja yuk! Besok kan week end. Jadi gimana kalau kita jalan-jalan? Healing, Mel! Healing!" Bujuk Rona merayu ku.
"Healing ke mana? Jangan bilang ke empang di belakang kosan kamu deh, Ron. Yang ada pikiran ku malah jadi makin butek nanti!" Aku sudah langsung menggas saja jadinya.
"Hahaha! Ya butek lah! Kamu takut diobok-obok ya sama si Gila?" Kekeh Rona mencandai ku.
Aku tak menjawab pertanyaan nya. Mengingat si Gila, yang memang beneran adalah orang gila, hanya membuat mood ku kian memburuk saja.
"Jadi healing ke mana nih?" Tanya ku mengulang.
"Ke Danau Pelangi yuk? Dengar-dengar sih view nya bagus. Baru dibuka lho seminggu yang lalu!" Jawab Rona kemudian.
"Oh.. di daerah Kisamaun itu ya?" Aku menebak lokasi wisata yang diusulkan oleh Rona.
"Iya. Gimana? Mau gak?"
"Hayok lah cabut!"
"Naii motor kamu aja ya, Mel? Tensng.. nanti bensin aku yang isiin deh.." usul Rona.
"Tumben mau ngisiin bensin?" Aku menggoda Rona.
Maklum saja. Biasanya kan teman ku ini agak-agak felito, alias pelit.
"Iya. Aku lagi mau sedekah nih,"
Aku memberi Rona senyuman terima kasih. setelah beberapa lama. Rona menambahkan.
"Tapi nanti kamu yang bayar tiket masuk nya ya, Mel!" Usul Rona kembali.
"Jiaahh.. itu sih berat di Mel, Neng geulis!"
Dan Rona pun tergelak menertawai kalimat ku tadi.
***
Wisata Danau pelangi yang hendak ku tuju bersama Rona saat ini, berada di pinggir kota. Yang menarik dari tempat wisata ini adalah pemandangannya yang bisa dilihat dari atas tebing yang tak terlalu tinggi.
Untuk menuju ke puncak tebing, kami harus melalui jalan lorong di tepian tebing yang sudah direnovasi menjadi jalan lebar ber kanopi. Jalannya berbentuk zig zag mulai dari bawah hingga ke puncak tebing.
Di sepanjang jalan menuju puncak, tepatnya di bagian dinding-dinding nya, terpasang lukisan-lukisan nan artistik serta papan informasi tentang latar sejarah pembangunan tempat wisata tersebut.
Kami terus berjalan melewati jalan lorong itu. Sampai akhirnya tiba juga kami di puncak tebing. Setelahnya, kami pun berfoto-foto di tebing yang persis mengarah ke arah Barat.
Panorama danau berwarna keunguan yang ada di bawah Kami memberikan warna indah tersendiri.
Aku asik berfoto-foto sampai kemudian kulihat seorang wanita yang berada sekitar 1 meter dariku Seperti sedang melamun. Ekspresi di wajah wanita itu entah kenapa membuta ku jadi sering ingin memperhatikan nya.
Dan, benar saja. Tak lama kemudian kulihat tubuh wanita itu seperti oleng dan hendak jatuh melewati pagar pembatas tebing. Maka spontan saja, kuraih lengan wanita itu dan ia pun tak jadi jatuh ke danau yang terletak sekitar 20 meter di bawah kami.
Orang-orang mulai menyadari apa yang hampir saja akan terjadi. Entah apa yang menyebabkan wanita tersebut nekad untuk bunuh diri.
Tapi anehnya, reaksi wanita itu kenudian malah membuat ku menjadi bingung. Seolah baru saja tersadar dari tifur nya, wanita itu tiba-tiba menatap ku dengan pandangan ketus. Ia lalu bertanya.
"Maaf? Mbak ini siapa ya? Kenapa Mbak mendorong ku jatuh?" Tanya wanita itu kepadaku.
"Aku.. Kakak nya tadi mau jatuh ke danau kan? Jadi saya tarik tangan Kakak biar gak jatuh ke bawah sana," aku pun menjelaskan.
Wanita itu mengerutkan kening.
"Jatuh? Enggak kok. Tadi itu saya cuma lagi asik lihat-lihat danau aja!" Jawab wanita itu yang kemudian malah berubah menjadi ketus.
Aku pun ternganga keheranan saat si Mbak nya tiba-tiba beranjak pergi tanpa mengucapkan terimakaish atau apapun lagi kepada ku. Ia meninggalkan ku begitu saja di sana.
Saat melihat kepergian nya itulah aku melihat sesosok lelaki asing yang berdiri tak jauh dari kami tengah menatap tajam kepadaku.
Tatapan tajam yang seolah menyimpan amarah menggunung dan itu ditujukan kepadaku, yang sama sekali tak mengenal siapa sosok lelaki itu.
Sesaat kemudian, ada rombongan ornag yang lewat di depan kum sehingga pandangan ku terhadap lelaki tadi jadi terhalang. Begitu rombongan itu berlalu, aku tak lagi melihat sosok nya.
Tak lama setelah nya, ku putuskan untuk pulang. Di perjalanan pulang, entah kenapa aku merasa ada yang selalu memperhatikan gerak-gerikku. Tapi setiap kali kutengokkan wajah ke arah yang kucurigai, aku tak mendapati siapa-siapa di sana.
"Mel? Mel?"
Aku tersentak kaget saat menyadari tepukan kencang di bahu ku. Penyebabnya adalah Rona. Ku lihat ia memandang ku dengan tatapan aneh.
"Kamu lihatin siapa sih? Serius banget? Mbak yang tadi ya? Lagian Mbak nya juga aneh. Udah ditolong , bukannya bilang terima kasih. Eh, malah ketus gitu!" Komentar Rona.
"Yah.. malu kali. Kalau dia ngaku mau bunuh diri," sahut ku asal.
"Itu namanya maunya setengah-setengah!" Kipah Rona menyimpulkan.
"Tauk ah. Pulang sekarang yuk? Mulai panas nih!" Ajak ku pada Rona.
"Ayuk! Lumayan lah dapat foto-foto yang bagus.."
"Awas! Foto ku yang lagi merem tadi jangan di upload ke IG ya!" Aku mengancam Rona.
"Lha kenapa gak boleh sih? Fotonya kan lumayan artistik, Mel!" Protes Rona.
"Artistik apaan sih?! Yang ada, itu tuh malu-maluin tahu!" Aku mendumel sebal.
"Iya.. iya.. nona Mama!"
Dan aku langsung mendelik ke arah Rona.
Bukannya kenapa. Panggilan Nona Mama itu adalah singkatan dari Nona Marah-Marah. Itu adalah gelar yang dibuat oleh Rona khusus untuk ku. Menurutnya, aku terlalu sering marah-marah.
Padahal kan, enggak ya?
***
Setelah mengantarkan Rona pulang ke kosannya, aku langsung melanjutkan perjalanan menuju rumah ku. Butuh waktu hampir satu jam sebelum akhirnya aku tiba di rumah.
Begitu tiba, aku langsung masuk dan duduk selonjoran di ruang tamu.
"Baru pulang, Mel?" Tanya Emak yang sedang mengangkat bak berisi baju yang baru diangkat dari jemuran.
Kemudian Emak meletakkan bak itu tepat di depan ku.
"Nanti bajunya lipetin ya, Mel?" Titah Emak.
"Iya, Mak..habis Meli mandi nanti ya.." jawab ku masih bersandar ke punggung sofa.
"Iya. Emak mau ngelayat dulu ya. Wa Ijo meninggal. Baru aja pengumumannya tadi di mushola,"
"Hah?! Wa Ijo? Wa Ijo tukang gorengan yang biasa lewat itu, Mak?!" Aku bertanya kaget.
"Iya. Wa Ijo itu,"
"Ya ampun! Padahal kayaknya kemarin masih sempet beli gorengan di Wa Ijo. Koo bisa ya Wa Ijo meninggal? Kayaknya kemarin sehat-sehat aja, Mak?" Aku masih sulit untuk mempercayai informasi ini.
"Namanya juga maut, Mel. Gak ada yang tahu kapan dia datang menjemput. Udah ya. Emak mau ke sana dulu nih. Ditungguin Bibi-bibi kamu tuh di depan rumah! Jangan lupa dilipetin baju nya ya, Mel!" Pamit Emak yang kemudian pergi meninggalkan ku sendiri.
Aku adalah anak semata wayang dari Emak dan Bapak. Emak ku hanyalah ibu rumah tangga biasa yang menjaga warung kelontong kecil-kecilan di depan rumah. Sementara Bapak adalah pegawai pabrik yang biasa berangkat pagi dan pulang lewat maghrib.
Saat ini Bapak belum pulang dari bekerja. Jadilah akhirnya aku hanya sendirian saja di rumah.
Masih rebahan di sofa ruang tamu, tanpa sadar aku malah jatuh tertidur. Saat tertidur itu, aku bermimpi seram sekali.
...
Aku dikejar-kejar oleh sesosok bayangan hitam yang ukurannya dua kali lebih besar dan tinggi dari ku. Yang paling menyeramkan adalah sepasang mata merah menatap ku dari balik bayangan itu.
Apalagi bayangan itu bisa melesat terbang begitu cepat. Sementara aku ketar-ketir berlari cepat untuk menghindar dari tertangkap olehnya.
"Syaahhhhh...."
Bayangan hitam itu mende sah keras. Membuat bulu kuduk ku meremang seketika. Di saat aku merasa tungkai kakiku tak lagi mampu untuk berlari. Sehingga pada akhirnya bayangan itu berhasil mencapai ku jua.
Aku tersungkur jatuh dengan suara berdebum kencang.
Gedebug!
Dan begitu ku balikkan badan, tahu-tahu bayangan hitam itu sudah melayang tak sampai sepuluh senti jauhnya di atas ku.
Aku melotot ngeri. Tubuh ku membeku tak bisa ku gerakkan lagi.
"Syaaahhhh.." bayangan hitam itu kian turun mendekati wajah ku. Dan keringat dingin pun semakin deras mengucur di sekujur tubuh ku.
Tapi kemudian, secara tiba-tiba..
...
"Mel! Meli!"
Aku tersentak kaget dan terbangun seketika.
"Hah! Hah! Hah! Hah!"
"Ehh, kok ngos ngosan gitu sih? Kamu mimpi apa, Mel?"
Ku tatap wajah Emak yang menatap sebal ke arah ku.
"E.. emak? Emak belum berangkat melayat?" Tanya ku tergagap.
"Kamu ngelindur! Emak baru pulang ini, dari melayat. Ditinggal sebentar, malah tidur. Jangan tidur sore-sore Mel.. pamali!" Omel Emak menegur ku.
"Iya, Mak.." aku menunduk merasa bersalah.
"Sudah sana, cepat mandi! Habis itu, lipatin baju di bak ya! Emak mau nyapu halaman dulu. Tadi rumah udah disapu. Kamu tinggal ngepel aja ya, Mel!" Titah Emak terus berlanjut.
"Iya. mak. Hoaahhmm!"
Aku tak bisa menahan diri dari menguap. Dan Emak kembali menegur ku.
"Imelda! Ayo buruan mandi! Udah sore, Mel!" Tegur Emak mengingatkan lagi.
"Iya. Iya, Mak. Meli bangun nih.. tapi Mel mau ngepel dulu lah, Mak. Baru deh mandi. Jadi sekalian kan gerahnya.." aku menyampaikan rencana ku.
"Terserah. Yang penting jangan tidur lagi ya, Mel!" Ucap Emak mengingatkan.
"Iya, Mak!"
Setelahnya. Aku pun langsung mengepel dilanjut membersihkan badan ku sendiri. Sisa hari itu berlalu dengan baik. Dan aku sudah langsung melupakan mimpi buruk yang sempat ku alami sewaktu sore tadi.
***
Keesokan harinya..
Aku sedang berjalan menuju kompleks keluarga besar yang terletak sekitar 200 meter dari rumah. Hari ini rencananya akan ada pesta hajatan keluarga. Salah seorang sepupu ku akan menikah dengan wanita pujaan nya.
Di sana aku menemui uwak, bibi, juga sepupu-sepupuku. Semuanya sibuk dan ramai berhias diri untuk merayakan hajatan keluarga. Aku pun diminta oleh Ceu Euis untuk berhias juga.
Mak Ida kemudian menawarkan sebuah kamar untuk tempatku berganti. Dan aku pun segera melangkah ke sana. Ke dalam kamar.
Memasuki kamar seorang diri, entah kenapa aku merasa tak benar-benar seorang diri. Seketika pula kudukku berdiri. Membuatku langsung teringat pada mimpi buruk ku kemarin sore.
Refleks, ku tengokkan pandangan ke segala sisi kamar. Kehampaan ruangan saja yang terekam di mata. Tapi kudukku tak kunjung mereda, justru kian menjadi-jadi.
Maka segera, meski aku belum memakai kerudung, kubuka saja pintu kamar agar segera hengkang dari kesunyian mencekam ini. Namun...
"Aaargh!"
Sebuah tangan entah dari mana sepintas saja memeluk pinggang ku saat langkah ku belum sempurna keluar dari kamar itu.
Aku pun berteriak. Mengagetkan saudara-saudaraku yang tengah menunggu di luar kamar. Mereka terkejut ketika mendapatiku keluar dari kamar dengan wajah pucat dan keringat dingin.
Segera kupeluk Bi Hana yang berdiri paling dekat denganku. Dan aku tak kuasa menahan tangis akibat dicekam horor beberapa saat lalu.
Saat tangisku telah mereda, barulah Bi Hana menanyakan hal apa yang sebenarnya telah terjadi padaku tadi.
Dengan terbata-bata, di bawah pandangan beberapa pasang mata yang ingin mendengarkan penuturanku, aku pun menceritakan segalanya.
Bahwa aku merasakan horor dalam ruangan tadi.
Selama sejenak, suasana hening. Semua pandangan mata mengarah lurus padaku. Mungkin ingin menanyakan kesungguhan ucapanku barusan.
Aku pun mengangguk mantap. Bahkan tak kukedipkan mataku untuk meyakinkan mereka bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku barusan.
Keheningan masih mengisi udara di sekitar kami. Sampai akhirnya pecahlah tawa garing dari mulut Mang Harlan.
"Mel ngelindur ya? Capek habis jalan-jalan kali, Mel?" ucapnya dengan nada garing.
Aku sempat kesal karena dianggap melindur. Akhirnya kukatakanlah bahwa aku benar-benar merasakannya. Merasakan sebuah pelukan di pinggang kiri.
Mang Harlan kembali menjawab ucapanku dengan guyonan.
" Di kamar gak ada siapa-siapa, Mel.. Angin kali yang tadi meluk.... Nih lihat.. Tuh kan, gak ada orang, kan?" ucap Mang Harlan sembari membuka pintu kamar berhias.
Dan kami dapati ruangan tanpa seseorang pun di sana.
"Tuh kan.. Meli ngelindur itu.. Dah tidur aja dulu, Mel." ucap Mang Harlan lagi.
"Enggak, Mang! Meli beneran ngerasa dipeluk tadi!" ucapku geram bercampur kesal.
"Coba, atuh lihat. Kali aja ada bekasnya, Mel".
Kesal karena ketakutanku tak dianggap serius, aku pun langsung menyingkap bajuku sedikit ke atas untuk menunjukkan bagian pinggang yang kurasakan bekas horor tadi.
Dan semua orang yang berada di ruang tamu itu (bahkan termasuk juga aku sendiri) sangat terkejut ketika menyaksikan sebuah bekas pelukan tangan berwarna kehitaman berada di bagian pinggang yang kutunjukkan.
Ya. Pelukan dari sosok ghaib itu memang benar adanya. Ia telah meninggalkan jejak tanda tangan nya.
Kini, semua mata mengarah kembali padaku. Kali ini, ku temukan pula horor yang kurasakan telah membayang di setiap mata yang kutatap.
Nampaknya semua orang kini telah percaya pada ucapanku. Dan mereka kian percaya ketika sebuah ketukan terdengar di pintu kamar berhias yang tadi kami dapati tak ada orangnya.
Tok! Tok!
Tok! Tok!
***
"...Itu pasti kucing! Ya.. Pasti itu kucing kan? Atau.. mungkin si Beno. Anak itu kan sering berbuat jahil! Sudah pasti itu dia!" Seru Mang Harlan menuding Beno, salah satu sepupu ku yang memang terkenal jahil.
Mang Harlan pun lalu membuka kembali pintu kamar di hadapan kami. Kali ini ada juga Om Edi, salah satu sepupu ipar ku yang ikut mengecek ke dalam kamar. Aku sendiri tak berani masuk ke dalam kamar. Aku hanya berani mengintip saja dari luar.
Cklek.
Pintu terbuka lagi. Dan jantung ku sudah siap untuk ber sport lagi. Ku tengok sedikit ke dalam kamar. Namun tetap saja tak ada penampakan sosok makhluk hidup satu pun juga dari dalam sana.
Meski begitu, ada yang berbeda kali ini. Ku sadari, jendela kamar kini dalam kondisi terbuka. Mang Harlan pun sepertinya menyadari perbedaan itu. Sehingga Paman ku itu berjalan mendekati jendela.
Ditengoknya jendela itu oleh Mang Harlan. Sementara aku melirik takut-takut dari luar. Tak lama kemudian Mang Harlan kembali keluar kamar. Dan ia pun berkata.
"Pasti si Beno yang barusan ngerjain kamu, Mel. Itu buktinya jendela nya terbuka gitu. Tadi kan tertutup. Sudah. Ayo semuanya lanjut lagi aja siap-siapnya. Akad nikah nya sebentar lagi mau mulai!" Titah Mang Harlan menenangkan semua yang ada di sana.
Semua pun menghela napas lega. Terkecuali aku seorang tentunya. Aku masih saja menatap takut ke arah kamar. Tak menerima alasan Mang Harlan barusan.
'Jelas-jelas tadi itu aku gak lihat ada siapa-siapa di dalam kamar! Terus, tanda cakar hitam di perut ku ini bekas apaan dong?!' protes ku tanpa suara.
"Mel.. udah jangan kelamaan bengong. Kamu nanti bantu jadi pagar ayu kan? Cepat riasi muka kamu! Terus langsung tunggu di meja prasmanan!" Lanjut Mang Harlan memberikan titah nya.
Menyadari kalau tak ada gunanya jika aku parno sendirian, apalagi hari masihlah terlalu pagi. Jadilah akhirnya aku bergegas merias wajah ku, lalu kembali berganti baju di kamar yang tadi. Tapi dengan minta temani Ira, teman pagar ayu ku di meja prasmanan nanti.
Syukurlah, saat aku berganti baju, tak ada lagi insiden menyeramkan seperti tadi. Ataupun juga di sisa hari saat aku menjadi pagar ayu di pesta nikahan sepupu ku di hari ini.
***
Sekitar jam setengah sepuluh malam, aku berpamitan pulang dari acara pesta.
"Mau ditemani pulang gak, Mel?" Tawar Om Edi, salah seorang sepupu ipar ku.
"Gak perlu, Om. Dekat ini. lagian kan masih rame kok jam segini mah!" Aku menolak tawaran Om Edi.
Jika saja aku bisa meramal kejadian yang berikutnya akan ku alami, aku sudah pasti akan menerima tawaran dari Om Edi itu.
...
Jarak dari rumah keluarga besar ku ke rumah ku berkisar sekitar 200 meter jauhnya. Dan di sepanjang jarak itu aku harus melewati beberapa rumah tetangga serta lahan kebon yang panjang nya berkisar sekitar 70 meter.
Saat melewati rumah tetangga memang jalanan masih diterangi oleh lampu di depan rumah mereka. Namun begitu melewati area kebun, jalanan menjadi gelap gulita.
Biasanya aku sering melewati area perkebunan pisang dan juga mangga itu selepas Maghrib. Dan aku merasa baik-baik saja.
Akan tetapi malam ini, entah kenapa aku merasa tak nyaman sekali. Aku yakin, ada banyak pasang mata yang sedang melihat ke arah ku di antara dahan-dahan pepohonan yang gelap oleh karena rimbunnya dedaunan.
Hendak menoleh, bulu kuduk ku sudah meremang tak terkendali.
Kucoba menepis perasaan takut uang kini merasuki diri. Mengira kalau aku pasti masih merasakan efek ngeri setelah kejadian horor di kamar ganti tadi pagi.
"A'udzubillahi minasy syaithoonir rojimm.."
Berbagai bacaan ku lafalkan dengan suara yang cukup keras. Demi bisa mengusir rasa takut yang melanda. Ku percepat pula langkah kaki demi bisa sampai ke rumah secepat-cepatnya. Anehnya, aku merasa jarak area perkebunan terasa lebih panjang dari biasanya.
"Sssshhhhhh..."
Suara angin sayup-sayup berdesir kencang melewati tengkuk ku. Membuat ku tak lagi bisa menahan rasa takut yang mencekam diri.
Aku langsung saja berlari.
"Ihihihihihii!!" Tawa kikik yang ku yakini berasal dari salah satu pepohonan pisang di kebun itu menjadi pecut otomatis yang membuat laju lari ku pun kian cepat setiap detik nya.
Ketakutan ini kian mencekam ku rasakan. Apalagi sesaat tadi, aku yakin benar. Ada sekelebat bayangan kain merah melesat terbang lewat di atas jalan yang ku tinggalkan.
'Aduh Mak! Kunti merah! Sial banget sih!' umpat ku sambil lari terpontang panting.
Tap. Tap. Tap. Tap. Tap!
Aku sudah ngos ngosan kecapekan berlari. Kerudungku juga mungkin sudah miring ke kanan dan ke kiri. Namun aku tak perduli.
Tawa kikik itu masih terngiang-ngiang di telinga ku. Dan bulu kuduk ku masih meremang berdiri tanpa bisa ku kendali.
Tak berapa lama, kaki ku terantuk sesuatu. Aku pun tersungkur jatuh ke depan dengan suara berdebum kencang.
Jdug!
"Aduh!"
Aku langsung berusaha berdiri lagi. Namun anehnya, pergelangan kaki kiri ku seolah tertahan oleh sesuatu.
Aku menoleh ke belakang. Namun aku tak bisa melihat jelas apa yang sudah menahan kaki ku saat ini. Karena situasi di sekitar ku memang sangat gelap.
Akhirnya aku mencoba meraba pergelangan kaki ku. Dan, sedetik kemudian aku hampir dibuat pingsan karenanya.
Bagaimana tidak? Karena segera setelah aku berhasil meraba sesuatu yang menahan kaki ku, pada detik itu juga aku bisa melihat sepasang mata merah yang menatap ku tajam.
Dan yang paling membuat ku ngeri adalah jarak mata merah itu tak lebih dari satu meter di depan ku. Itu berarti, ia berada sangat-sangat dekat dengan ku.
'Aaaaa!!!' teriakan ku tak bisa mengeluarkan suara.
Sesosok makhluk gelap bertubuh besar kini meneror ku dalam jarak samgat dekat. Aku tak bisa melihat jelas rupanya, karena kegelapan yang melingkupi area di sekitar kami. Namun aku tahu pasti, kalau makhluk itu memiliki niat jahat terhadap ku. Aku sungguh meyakini itu.
Aku pun berusaha mundur. Namun kaki ku tetap tak bisa ku ajak pergi. Aku memukul-mukul tangan sang makhluk yang kuyakini telah menahan kaki ku sejak tadi. Berharap pukulan ku bisa meninggalkan efek padanya. Padahal sudah jelas, usaha ku itu akan berakhir sia-sia.
"Emaakkk!!"
Ku temukan suara ku kembali. Jadi aku pun berteriak sekencang-kencang nya. Menangis sejadi-jadinya. Lalu meringkuk menyembunyikan wajah ku dari penampakan menyeramkan di depan mata. Berharap makhluk apapun itu akan membiarkan ku pergi.
Keringat ku telah mengucur deras. Dinginnya malam kian membekukan hawa gentar yang merajai benakku saat ini. Malang benar nasib ku ini. Duduk meringkuk sendirian di tengah jalan yang gelap. Padahal jarak rumah ku hanya tinggal beberapa puluh langkah lagi saja.
Kemudian, usapan pelan di kepala ku membuat ku hampir pingsan seketika. Belum lagi suara desa han berat dari makhluk itu yang kian terdengar dekat di telinga.
"Syaaahhhhh..."
Tubuh ku menggigil oleh rasa takut. Udara terasa kelewat dingin, hingga aku hampir-hampir tak bisa merasakan lagi hawa di sekitar ku saat ini.
Dan, usapan itu kembali menyapu kepala ku.. dan turun ke bagian leher.. dan akhirnya pundak ku. Saat itulah, aku kembali menjerit sekencang-kencang nya. Ku keluarkan semua ketakutan yang mencekam batin dan juga rasa.
"Aaaaaaargghhh!!" Jerit ku memecah keheningan malam yang ada.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!