Kini di sebuah rumah megah berlantai dua ada seorang wanita dewasa berusia 33 tahun sedang berada di balkon kamar mendiang suami nya sedang menatap bunga di taman mertua nya.
Nayyara Apriliani Al Ayaan, wanita itu. Wanita dengan tiga orang anak yang menggemaskan. Wanita yang di usia nya semuda itu sudah menyandang status janda mati di tinggal sang suami yang sangat dia cintai.
Sudah seminggu berlalu, kematian suami nya itu sudah seminggu. Tapi relung hati nya masih saja kosong dan bersedih. Apalagi jika harus melihat dan mengingat kenangan mereka di kamar ini. Kamar suami nya. Air mata Nayya pasti jatuh menetes tanpa bisa di tahan sama sekali. Dia mencintai suami nya itu sedalam itu. Suami nya adalah milik nya. Tapi Allah tidak memberi nya banyak waktu untuk bersama suami nya itu. Allah lebih menyayangi suami nya hingga dengan cepat membawa suami nya ke pangkuan nya.
Tok … tok … tok …
Terdengar ada yang mengetuk pintu kamar itu, Nayya tidak menyahut sama sekali. Hingga masuk lah siapa yang mengetuk pintu itu ke kamar karena memang Nayya tidak mengunci pintu kamar itu.
Adiba, yah itu adalah kakak ipar nya yang datang dengan membawa makanan di tangan nya karena dia memang tidak turun untuk sarapan dan hanya mengurung diri di kamar saja. Dia bahkan tidak sempat mengurusi ketiga buah hati nya itu. Tapi untuk saja mereka mandiri dan mengerti bahwa bunda mereka sedang sedih.
“Dek, ayo makan. Lihat lah tubuhmu sudah bertambah kurus. Risam pasti tidak ingin melihat istri nya sedih dan jatuh terpuruk seperti ini. Dia menyayangimu dek. Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Kasihan anak-anakmu. Mereka rindu pada bunda mereka.” ucap Adiba lembut. Dia seolah memberi kekuatan kepada Nayya tapi sebenar nya dia juga memberikan kekuatan untuk diri nya sendiri. Hati siapa yang tidak akan sedih dan merasa kehilangan saat saudara nya meninggal. Risam adalah satu-satu nya saudara yang dia miliki. Satu-satu nya adik nya. Tapi kini adik nya itu sudah pergi berpulang. Dia hanya mencoba ikhlas menerima semua nya atau mungkin dia hanya mencoba berdamai dengan keadaan saja agar tidak terlalu terlihat bersedih.
Nayya yang mendengar ketiga anak nya di sebut dia pun mendongak dan menatap kakak ipar nya itu dengan air mata yang menetes di pipi nya. Adiba langsung menghapus nya dan menggeleng meminta adik ipar nya itu untuk tidak menangis. Dia mengerti apa yang sedang di rasakan oleh adik ipar nya itu. Seperti dia yang kehilangan adik dan saudara maka Nayya kehilangan suami dan ayah dari anak-anak nya. Mungkin saja rasa sedih, sakit dan kehilangan Nayya lebih dari yang dia rasakan. Nayya dan Risam memang saling mencintai tapi maut memisahkan kedua nya.
“Jangan menangis dek. Ikhlaskan Risam. Dia mencintaimu dan sangat menyayangimu. Jangan begini.” Ucap Adiba menenangkan adik ipar nya itu sekali lagi. Walaupun sebenar nya air mata nya itu hendak jatuh tapi dia tahan agar adik ipar nya itu tidak semakin sedih juga.
“Kak … kenapa ini terjadi padaku? Aku--” ucap Nayya terbata tidak sanggung melanjutkan perkataan nya. Dia terlampau sedih.
Adiba menangkup wajah adik ipar nya itu yang terlihat tidak terurus. Kusam dan ada kantung mata hitam menandakan bahwa dia kurang tidur dan hanya bersedih saja.
“Ayo makan dulu dek! Kamu harus sehat. Tidak boleh begini lagi. Ingat ada anak-anak yang menunggu bunda mereka. Mereka rindu padamu dek. Mereka juga sedih melihatmu begini. Kau harus kuat demi mereka. Mereka butuh dirimu sebagai bunda dan ayah mereka. Jadi kau harus kuat untuk bangkit dan lawan lah rasa sedihmu itu.” ucap Adiba menguatkan lalu dia mulai menyuapi adik ipar nya itu dengan lembut.
Adiba adalah orang yang memilih Nayya jadi adik ipar nya. Nayya adalah menantu dan adik ipar kesayangan orang tua nya dan diri nya. Untuk itu lah menjaga Nayya adalah tanggung jawab mereka. Mengantar Nayya untuk kebahagiaan nya adalah tanggung jawab mereka.
Nayya bukan sekedar adik ipar untuk nya tapi sudah dia anggap sebagai adik juga. Saudari. Dia sudah kehilangan saudara maka dia tidak ingin kehilangan saudari lagi. Nayya harus bangkit dari kesedihan nya itu. Bukan meminta Nayya untuk melupakan adik nya. Tapi hanya agar Nayya tidak bersedih selama nya yang akan membuat nya mati perlahan.
“Kak … apa anak-anak sudah makan?” tanya Nayya saat dia di suapi makan oleh Adiba itu. Nayya berusaha untuk menelan makanan itu yang sebenar nya terasa sangat pahit di lidah nya. Tapi dia harus makan demi anak-anak nya.
Adiba mengangguk lalu kembali menyuapi Nayya, “Mereka sudah makan dek. Tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Karena sebenar nya kau yang perlu di perhatikan. Mereka sudah pergi ke sekolah di jemput oleh papamu.” Ucap Adiba menjelaskan.
“Maaf kak!” ucap Nayya.
“Untuk apa?” tanya Adiba.
“Untuk semua nya. Aku tidak bisa menjaga adikmu dengan baik. Lalu kini merepotkan kalian dengan mengurusi aku dan ketiga anakku.” Ucap Nayya.
“Jangan mengatakan hal seperti itu dek. Kau bukan beban untuk kami. Kau tetap saja adik ipar dan menantu keluarga ini apapun yang akan terjadi di masa depan nanti. Ingat kau memiliki kakak. Jangan memendam sendiri perasaanmu itu. Kau harus ceritakan dan bagi masalahmu dengan orang lain. Memang kami tidak bisa membantumu untuk menyelesaikan masalah itu tapi setidak nya dengan menemanimu bercerita hal itu bisa melegakan.” Ucap Adiba.
“Terima kasih kak. Sudah cukup kak. Aku sudah kenyang.” Tolak Nayya saat Adiba ingin menyuapi nya lagi.
Adiba menggeleng tidak menerima penolakan dari Nayya itu dan tetap memaksa Nayya untuk membuka mulut nya yang pada akhirnya Nayya pun membuka mulut nya itu, “Kau harus menghabiskan makanan ini dek. Sudah cukup kau hanya makan satu sampai tiga sendok dalam seminggu ini. Kau harus sehat. Jangan meracuni lambungmu. Kau lebih mengerti itu bukan. Kau adalah seorang perawat.” Ucap Adiba.
Nayya yang mendengar ucapan Adiba itu pun tertawa menyedihkan, “Perawat? Profesi apa itu kak? Aku sudah mempelajari semua nya dengan tekun tapi apa pada akhirnya aku tidak bisa menolong orang yang ku cintai. Aku kehilangan orang yang ku cintai dan ku sayangi dalam hidup ini. Jadi untuk apa profesi ini.” ucap Nayya.
“Jangan berkata begitu dek. Jangan menyalahkan dirimu. Ini semua sudah takdir. Risam sudah tenang di sana. Dia pasti tidak ingin melihat mu bersedih begini. Ayo sekarang kau harus habiskan makananmu itu.” ucap Adiba kembali menyuapi adik ipar nya itu sampai makanan yang dia bawa itu habis.
Kini Adiba sudah kembali turun ke lantai satu dengan piring di tangan nya. Mami Vega pun segera mendekati putri nya itu, “Bagaimana nak?” tanya mami Vega.
“Dia menghabiskan makanan nya tapi bersedih, menyalahkan diri nya tetap saja ada dan tidak hilang. Dia benar-benar kehilangan mih.” Ucap Adiba.
Mami Vega pun menarik nafas nya panjang, “Siapa juga yang bisa menerima kehilangan suami yang dia cintai nak. Menjadi janda di usia semuda itu. Memang menjadi janda itu bukan suatu kejahatan tapi status itu tentu saja sedikit membawa pengaruh dalam hidup. Mami kehilangan anak dan putra. Kau kehilangan saudara dan adik. Tapi dia kehilangan banyak nak dia kehilangan suami, kekasih yang dia cintai, imam nya, panutan nya, ayah dari anak-anak nya. Di tambah lagi dia harus hidup dengan ketiga anak nya yang masih butuh perhatian nya.” Ucap mami Vega.
Sama seperti Adiba yang menyayangi Nayya layak adik kandung nya begitu juga dengan mami Vega yang menyayangi Nayya seperti putri nya sendiri. Mereka akan tetap selalu menganggap Nayya keluarga. Tidak ada yang berubah walaupun putra mereka sudah tiada. Mereka tidak menyalahkan Nayya sama sekali karena yang kehilangan bukan mereka saja tapi Nayya juga. Nayya sudah berjuang dengan sekuat mampu nya untuk kesembuhan Risam tapi Nayya tentu saja tidak bisa melawan takdir Allah.
“Mih, apa yang harus kita lakukan agar dia tidak bersedih. Aku sedih kehilangan Risam tapi melihat nya terpuruk seperti itu justru aku lebih sedih. Dia adalah wanita yang di cintai oleh Risam. Aku yakin di atas sana Risam sedih melihat istri nya bersedih dan terpuruk seperti itu.” ucap Adiba sedih.
Mami Vega pun diam saja. Tidak tahu harus melakukan apa. Dia sendiri juga bingung sampai tiba-tiba papi Lutfi pulang dari kebun yang dia miliki bersama suami Adiba.
“Apa menantu kita sudah makan mih?” tanya papi Lutfi.
Mami Vega pun mengangguk dan segera membantu suami nya.
“Apa dia masih saja bersedih nak?” tanya papi Lutfi pada putri nya.
Adiba pun mengangguk, “Masih saja sama pih. Dia tetap begitu. Bersedih terus di tambah menyalahkan diri nya. Aku takut kesehatan mental nya akan kena jika dia terus begini. Bukan kah kehilangan bisa membuat orang gila.” Ucap Adiba.
“Kita tidak akan biarkan itu terjadi. Kita sudah kehilangan Risam sebagai putra dan anak. Maka kita tidak boleh kehilangan putri dan ibu dari cucu kita. Kita harus membuat nya menerima kenyataan ini. Aku yakin saat ini besan kita itu lebih bersedih dari pada kita. Mereka ingin membawa putri mereka pergi dari sini tapi Nayya menolak nya dengan alasan tidak ingin meninggalkan suami nya. Mereka pasti sangat sedih karena hal itu. Nayya adalah putri kesayangan mereka. Kita tidak boleh hanya membiarkan saja dia seperti itu.” ucap papi Lutfi.
***
Sementara di sisi lain, kini mama Fara menatap foto putri nya itu yang tertempel di dinding di ruang keluarga. Foto ketiga putri nya dengan suami mereka masing-masing. Di sana mama Najwa bisa melihat senyum ketiga putri nya. Senyum manis penuh kebahagiaan.
“Nayya, apa kau masih saja bersedih dan kehilangan nak?” tanya mama Fara.
“Mah, apa yang kau bicarakan?” tanya papa Imran tiba-tiba saja berada di sisi istri nya itu dan ikut memandangi apa yang di lihat oleh sang istri.
“Pah, kita berkunjung ke rumah besan kita pah. Aku rindu pada putriku. Aku ingin melihat nya. Aku tidak bisa terima putriku itu bersedih seperti itu. Kenapa itu harus terjadi pada putri kita yang sangat baik dan lembut. Putri kita masih sangat muda untuk menanggung semua ini.” ucap mama Fara.
“Ini sudah takdir Allah mah. Kita tidak bisa menolak apa yang sudah dia takdirkan. Putri kita pasti orang yang kuat sehingga dia di uji dengan hal ini. Dia pasti orang terpilih. Belum tentu orang lain bisa menerima cobaan ini. Kita harus lebih bersabar. Kita masih memiliki Nayya dalam hidup kita ini. Tapi lihat lah besan kita itu. Mereka kehilangan anak mereka. Jadi kesedihan kita tidak seberapa dengan kesedihan yang di rasakan oleh besan kita. Tidak perlu menyalahkan takdir lagi. Ini sudah ketentuan yang harus terjadi. Jadi biarkan saja seperti air yang mengalir.” Ucap papa Imran.
“Tapi aku sedih pah melihat keadaan putri kita.” Ucap mama Fara meneteskan air mata nya itu di pipi nya.
Papi Imran segera menghapus air mata di pipi istri nya itu, “Kita tidak boleh sedih. Kita harus kuat agar bisa menguatkan Nayya menghadapi cobaan nya ini. Kita akan mengunjungi nya nanti setelah si triplets pulang sekolah.” Ucap papa Imran.
Mama Fara pun mengangguk dalam pelukan suami nya, “Aku juga sedih mah melihat putri kita mengurung diri seperti itu. Tapi aku berusaha kuat untuk semua nya.” Batin papa Imran.
***
Kembali lagi ke sisi Nayya, kini Nayya beralih dari balkon dan menuju kamar mandi. Dia pun membersihkan diri nya itu.
Sekitar 15 menit dia mandi, kini dia keluar dan mengganti pakaian nya dengan pakaian tanpa warna tanda dia berduka. Dia memang harus menjalani masa iddah nya itu. Dia menerima status nya saat ini tapi tidak dengan rasa kehilangan yang ada. Dia kehilangan separuh hati dan jiwa nya. Seolah saat ini dia berjalan pincang. Penopang sudah tidak ada lagi. Benar-benar kehilangan semangat hidup nya.
Nayya menatap foto nya dan suami nya itu di dinding kamar itu yang tertempel, “Kau sangat tampan suamiku. Bagaimana mungkin aku bisa mengganti posisimu itu dengan orang lain. Tapi janji itu? Aku tidak bisa menepati nya untuk waktu yang lama. Mungkin bisa tapi tidak sekarang. Aku menyayangimu mas. Sampai kapan pun kau yang akan jadi penghuni terbesar ruang hatiku.” Ucap Nayya menatap foto suami nya yang tersenyum itu. Sangat tampan dan akan selalu seperti itu dalam ingatan nya.
“Mas, aku tahu kau pasti saat ini sedang sedih melihatku yang begini. Tapi aku mohon biarkan aku yang seperti ini. Aku sedang menikmati kesedihanku sebelum nanti aku akan mencoba bangkit. Biarkan aku menikmati kesedihan, rasa kehilangan ini. Jangan memintaku untuk tidak bersedih lagi. Aku jamin aku tidak akan gila atau pun memilih kematian adalah jalan akhirku. Aku akan menjaga anak-anak kita dengan baik. Walaupun untuk seminggu ini aku tidak melakukan kewajibanku sebagai seorang ibu dan hanya menikmati peranku sebagai seorang istri yang kehilangan suami nya. Aku mohon tolong maklumi apa yang ku lakukan ini suamiku.” gumam Nayya.
Nayya meraih sisir nya dan menyisir rambut nya itu. Seketika air mata menetes di pipi nya. Kenangan saat sang suami membantu nya menyisir rambut dan mengeringkan rambut nya itu terbayang dalam otak nya.
“Mas, aku rindu. Rinduku ini sudah mencapai titik tertinggi puncak kerinduan. Aku harap kau mendengar suara rinduku.” Batin Lila lalu segera memakaikan hijab nya itu. Kini dia sudah fresh kembali walaupun tanpa make up dan skin care di wajah nya itu. Tapi kecantikan wanita dewasa yang terpancar di wajah nya itu adalah hal yang tidak perlu di pertanyakan. Dia memang cantik. Sangat cantik.
“Mas, bagaimana penampilanku saat ini? Apa aku sudah cantik atau bagaimana?” tanya Nayya pada foto suami nya itu
“Mas, biasa nya kau akan memujiku tanpa aku bertanya seperti itu dan aku pasti akan merasa malu dan memintamu untuk tidak memujiku lagi. Tapi kini aku sudah bertanya namun kau justru tidak bisa menjawab nya.” Ucap Nayya kembali meneteskan air mata nya itu tapi segera dia hapus.
“Tenang saja mas. Aku tidak akan menangis di hadapanmu. Aku akan datang mengunjungimu. Kau mau mendengar surah apa dariku?” tanya Nayya lagi.
“Hum, kau belum bisa memilih yaa dan memintaku memilihkan untukmu. Baiklah akan aku lakukan hal itu. Tenang saja.” ucap Lila lalu mengambil mushaf nya dan membawa nya turun.
Keluarga suami nya yang sedang ada di ruang keluarga itu kini melihat nya turun dengan pakaian yang berbeda dan wajah fresh pun sedikit menyunggingkan senyum. Mami Vega segera mendekati Nayya, “Nak, kau mau kemana?” tanya mami Vega lembut. Tidak ada yang berubah sama sekali di rumah ini. Dia tetap di perlakukan dengan lembut. Tidak ada yang menyalahkan nya. Tapi justru hal itu yang membuat nya bersedih. Dia lebih terima mereka menyalahkan nya yang tidak bisa menjaga suami nya.
“Nayya mau mengunjungi mas Risam mih.” Jawab Nayya sedikit menyunggingkan senyum di bibir nya. Walaupun senyum nya itu terlihat seperti senyum penuh kesedihan.
“Aku akan menemanimu dek.” ucap Adiba begitu mendengar ucapan adik ipar nya itu.
“Mami juga akan ikut denganmu.” Sambung mami Vega.
Nayya tersenyum lalu kemudian dia menggeleng, “Mih, kak Diba, aku tahu kekhawatiran kalian. Tapi tenang saja aku hanya ingin mengunjungi suamiku saja. Aku pasti akan baik-baik saja.” tolak Nayya secara halus.
“Sudah biarkan saja Adiba, mami. Biarkan dia pergi mengunjungi suami nya sendiri. Jangan mengikuti nya.” Ucap papi Lutfi menatap menantu nya itu. Terlihat sekali bahwa menantu nya itu sedang dalam fase terbawah dalam tahap berduka dan kehilangan.
“Nayya, kemari lah. Papi mau bicara.” Pinta papi Lutfi.
Nayya pun mengangguk dan mendekati papi mertua nya itu, “Kau bisa pergi sendiri kesana. Tapi ingat kau harus baik-baik saja. Lalu setelah dari sana kau tidak boleh sedih lagi. Janji?” pinta papi Lutfi.
Nayya pun tersenyum lembut, “Nayya bisa menjanjikan hal pertama bahwa Nayya akan baik-baik saja. Tapi untuk hal yang kedua Nayya tidak ingin menjanjikan apapun. Sudah banyak janji yang Nayya buat. Nayya tidak ingin menjadi pembuat janji tanpa menepati nya. Maaf pih, Nayya tidak bisa. Biarkan saja Nayya bersedih. Itu adalah bentuk penerimaan dan proses Nayya untuk menerima kenyaaan yang ada.” Ucap Nayya dengan pendirian nya.
Semua orang di ruangan itu pun diam tidak ada yang menimpali atau pun bertanya lagi pada Nayya. Semua orang diam sampai Nayya pun pamit pergi ke makam suami nya.
***
Nayya memilih berjalan kaki untuk ke makam suami nya itu yang memang hanya berjarak sekitar 50 meter saja dari kediaman mertua nya itu. Makam keluarga.
Di siang terik itu Nayya tetap semangat mendatangi suami nya. Kini Nayya sudah berada di makam suami nya. Dia menatap gundukan tanah yang masih merah di hadapan nya itu karena memang baru seminggu lalu suami nya itu pergi dari nya.
“Assalamu’alaikum mas. Ini aku istrimu datang mengunjungimu. Apa kau senang atas kedatanganku?” tanya Nayya segera duduk di hadapan makam itu dan tersenyum.
Cukup lama Nayya mengajak bicara suami nya itu. Nayya juga membacakan dua surah untuk suami nya. Surah Yasiin dan Ar-Rahman.
“Mas, maafkan aku yang berlarut-larut dalam kesedihanku. Maafkan aku yang tidak bisa menepati janji untuk tidak sedih. Bagaimana mungkin juga aku tidak sedih saat kau pergi meninggalkanku mas. Kau ada duniaku. Kita pernah berjanji untuk hidup selama nya sampai anak-anak dewasa. Tapi kini kau pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Lalu kau memintaku untuk tidak bersedih. Tidak kah itu adalah hal sulit yang kau minta lakukan. Semua janji yang kau minta padaku adalah janji yang sulit ku lakukan mas. Jadi maafkan aku jika janji itu tidak bisa ku tunaikan.” Ujar Nayya mengusap nisan suami nya itu.
“Mas, pergi dulu ya. Tapi aku janji akan mengunjungimu lagi. Membacakan surah yang kau inginkan. Datang saja dalam mimpiku untuk mengatakan nya. Aku menantikan nya. Tolong beri aku kekuatan untuk menghadapi semua nya.” Ucap Nayya tersenyum lalu dia bangkit posisi nya itu.
“Aku pamit mas.” Ucap Nayya lalu dia pun pergi meninggalkan makam itu.
Nayya pun melangkahkan kaki nya kembali ke kediaman suami nya itu. Entah sampai kapan dia akan tetap tinggal di sana. Dia pun tak tahu. Yang pasti dia tidak ingin meninggalkan suami nya itu.
Di sudut lain di sebuah mobil, ada seorang pria yang menatap sendu ke arah Nayya.
“Kau terlihat sangat kurus Nayya. Apa rasa kesedihan dan kehilanganmu itu sudah mencapai puncak nya. Apa kau tidak memiliki gairah hidup lagi Nay?” gumam nya. Dia memang sering datang untuk melihat Nayya dari jauh. Dia sering melihat Nayya selalu datang ke makam suami nya itu setiap hari nya di jam yang sama yaitu menjelang zuhur sehingga dia sendiri sudah hafal akan jadwal Nayya itu. Dia datang bukan untuk mengganggu kehidupan Nayya tapi untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.
Untuk ketenangan hati nya dan untuk menepati janji nya pada seseorang untuk terus melindungi dan menjaga Nayya.
“Aku akan menepati janjiku pada nya Nay. Aku akan melindungi dan menjagamu beserta ketiga buah hati kalian itu.” gumam nya lagi.
Lalu tiba-tiba ponsel nya berdering. Itu panggilan dari rumah.
“Halo, Assalamu’alaikum mih?” salam nya.
“---”
“Baiklah. Aku akan datang ke sana. Tenang saja mih. Aku akan menjemput nya. Aku hanya sedang di luar saja saat ini. Mungkin dalam waktu 30 menit aku akan tiba.”
“---”
Pria itu pun segera memutuskan panggilan dan dia pergi dari tempat nya mengawasi Nayya. Pergi untuk kembali lagi tentu saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!