...****...
Malam itu disebuah jalanan, terlihat banyak orang-orang yang bersorak-sorai kepada 5 orang pria yang mengendarai motor sport dan ditengah jalanan. Suara motor itu saling beradu kekuatan, siapa yang paling hebat disana.
Brum...Brum...
"GARA! GARA! GARA!"
"VINO! VINO!"
"GARA! GARA!"
Hampir semua orang disana meneriaki nama Gara, disana Gara adalah bintangnya. Dia dikenal sebagai 'anak jalanan' yang menguasai jalanan motor. Gara juga adalah ketua dari sebuah geng bernama geng Black Dragon.
"Lo harus siap-siap kehilangan motor sport lo, Gar!" seru seorang pria yang mengendarai motor berwarna biru kepada pria yang mengendarai motor berwarna hitam.
"Lo yang harusnya takut kehilangan motor lo. Gue sih nggak bakal kalah dari lo." cetus pria bernama Gara itu sambil memakai helmnya dengan angkuh. Pria itu memiliki wajah yang rupawan, dia adalah Muhamad Ilham Sagara, putra dari seorang pemuka agama di daerah itu. Namanya ustad Zaki, namun Gara adalah kebalikan dari ayahnya. Gara seorang preman.
Di arena balapan liar, Gara sangat percaya diri bahwa kali ini dia akan memenangkan motor sport milik Vino, musuh bebuyutannya yang juga sudah merebut pacarnya. Dengan semangat menggebu, ia langsung tancap gas begitu bendera dikibarkan oleh seorang wanita di tengah jalan.
Kelima motor itu melaju sangat kencang, namun motor yang dikendarai oleh Gara melaju lebih kencang dari yang lainnya. Gara yang terdepan berada diposisi pertama, setiap tikungan bisa dia lewati dengan mudah.
'Sial lo Gara! Gue gak bakal biarin lo menang dari gue!' batin Vino yang menaikan kecepatan motornya untuk menyusul Gara. Sementara disisi lain, semua orang masih tampak bersorak sorai meneriakkan nama idola mereka, Gara, Vino dan tiga nama lainnya.
Vino kini berada di tempat kedua dan kecepatannya hampir mengimbangi Gara. "Lo mau nyusul gue? Gak semudah itu Ferguson! Gue Sagara, gak akan kalah dari lo." gumam Gara dari balik helmnya.
"Sial! Gue gak mau kehilangan motor gue!" umpat Vino kesal saat melihat Gara akan mencapai garis finish dan ia masih berada dibelakang Gara.
Saat akan mencapai garis finish, tiba-tiba saja ada seorang anak kecil muncul entah dari mana menyebrang tepat didepan Gara. Tepat saat itu juga, ada seorang wanita berhijab merah muda menarik tangan anak perempuan itu ke pinggir.
"JIRR! SIALAN!" teriak Gara emosi, dia banting stir menghindar dari wanita berhijab anak perempuan itu ke sisi kiri, hingga Vino lah pemenangnya. Dan Gara sendiri jatuh ke aspal bersama dengan motornya.
BRUGH!
"Wuhuyy! Gue menang! Gue menang!" Vino berteriak kegirangan, dia melepaskan helmnya dan disambut kata selamat dari teman-temannya. Sedangkan Gara, dia beranjak berdiri dari motornya yang sudah menempel di aspal. Bersamaan dengan itu, seorang wanita berhijab dan seorang anak perempuan datang menghampirinya.
"Maaf, kamu nggak apa-apa?" tanya wanita berhijab merah muda itu pada Gara. Pria itu menatap tajam pada si wanita berhijab, tatapan yang begitu menghunus.
"Gara-gara lo, gue kehilangan motor gue! Lagian lo jalan gak lihat-lihat hah? LO GAK PUNYA MATA APA?" murka Gara pada wanita berhijab yang membawa sajadah dan kantong mukena ditangannya
"Maaf, kenapa mas malah marah-marah sama saya? Emang jalanan ini punya mas doang? Ini jalanan umum kali. Dan Mas gak ada hak marah sama saya, mas yang udah naik motor ugal-ugalan." oceh wanita berhijab merah muda itu kepada Gara. Dia menegur Gara yang naik motor ugal-ugalan dan hampir menabrak anak perempuan yang baru saja ditolongnya itu.
"Bacot lo!" teriak Gara murka.
"Dih! Bukannya minta maaf, malah marah-marah. Lagian orang lain lagi tarawih, ini malah balapan motor." gerutu wanita berhijab merah muda itu dengan kesal.
"Apa lo bilang?!" sentak Gara dengan tatapan tajamnya pada gadis itu.
Namun gadis itu memilih pergi dari sana dan menuntun anak perempuan yang tadi bersamanya. Sementara Gara bersumpah jika dia bertemu lagi dengan gadis berhijab merah muda itu, dia akan membalasnya.
Akhirnya pada malam itu Gara yang suka cari gara-gara, kehilangan motor sportnya karena taruhan yang dia buat sendiri. Gara diantar pulang oleh salah seorang temannya, bernama Nico. "Gar, lo nggak bakal kenapa-napa kan sama bokap lo? Udah 5 kali lo kehilangan motor sport lo!" seru Nico yang tau betapa galaknya Papa Gara.
"Alah...palingan gue cuma di hukum gak boleh keluar rumah, terus gue suruh baca Qur'an. Males sih, tapi paling gitu doang. Tenang aja bro, gue pastikan gue masih bisa lihat matahari besok hari." kata Gara dengan santainya. Bukan sekali dua kali, pria itu membuat masalah.
"Oke deh, kalau kayak gitu mah. Gue balik dulu. Semoga besok gue masih bisa lihat lo. Gue cabut bro!" Nico segera menyalakan mesin motornya Setelah dia berpamitan dengan Gara.
Tak lama kemudian, Gara berjalan masuk dengan mengendap-endap ke rumahnya. Lampu tengah rumah itu tampak padam, Gara pikir semua orang sudah tidur.
Namun alangkah kagetnya Gara, saat tiba-tiba lampu ruang tengah menyala. Dan Gara lebih kaget lagi saat melihat kedua orang tuanya tengah berdiri dengan dua tangan mereka yang menyilang di dada. Tak hanya itu, tatapan mereka seakan bisa membunuh Gara saat itu juga.
"Anjirr! Mommy, Daddy, kalian ngagetin aku aja!" Gara memegang dadanya, dia masih terlihat kaget.
Plak, plak, plak!
"Dasar anak tidak sopan! Bukannya bilang salam, malah bilang anjir?Terus kamu bilang apa barusan? Mommy? Daddy? Siapa yang Mommy Daddy?" Zaki memukul punggung putranya dengan sapu ijuk tanpa ampun.
"Aduh! Ampun dad! Ampun!" pekik Gara kesakitan, lalu dia pun berlindung di belakang tubuh ibunya. Seorang wanita berhijab dengan wajahnya yang tampak cantik, dia adalah Asiyah, ibu Gara.
"Mom, tolongin aku." rengek Gara kepada ibunya, tak heran jika Gara tumbuh menjadi anak yang manja. Ia adalah anak bungsu dan anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga itu.
"Abi, udah dong. Kasihan Gara jangan dipukulin terus." Asiyah berusaha untuk meredakan emosi suaminya. "Ini bulan suci ramadhan Abi, tolong jangan emosi begini bi." bujuk Asiyah lagi.
"Umi diem aja deh! Ini anak bener-bener gak bisa dilembutin! Kesabaran Abi udah habis umi....udah HABIS. Jangan tahan Abi, untuk mendidik anak laki-laki kita. Anak laki-laki harus dididik dengan keras, sebab anak laki-laki memiliki tanggung jawab besar kelak sebagai imam keluarga! Dan Abi tidak mau kalau sampai anak laki-laki kita satu-satunya, semakin salah dalam melangkah." tutur ustad Zaki yang tidak tahan lagi dengan kelakuan anaknya. Sungguh Gara sangat tidak dewasa, usianya sudah 24 tahun, dia juga sudah menamatkan pendidikan yang di luar negeri. Tapi percuma saja berpendidikan tinggi kalau akhlak tidak baik dan tidak mau pergi bekerja. Gara hanya bisa berfoya-foya menghabiskan uang dari kakeknya.
Asiyah terdiam, dia tidak dapat mengatakan apapun lagi tentang Gara. Sebab apa yang dikatakan oleh suaminya memang benar. Sikap Gara sudah keterlaluan dan suaminya tidak tahan lagi. Mungkin karena Gara terlalu lama tinggal di luar negeri, jadilah dia terbawa pergaulan disana.
"Motor kamu mana Gara? Kalah taruhan lagi?" tanya ustadz Zaki para putranya dengan sarkas.
"A-apa maksud Daddy? Motorku?"
"Jawab jujur Gara!" murka Zaki.
"Mo-motornya ilang, dad." dusta Gara sambil menelan salivanya.
Untuk kesekian kalinya, ustad Zaki memukuli putranya dengan sapu ijuk itu. Zaki tau benar putranya berbohong saat ini. "ASTAGFIRULLAH! MUHAMMAD ILHAM SAGARA! JANGAN BOHONG KAMU!"
"Iya-iya, aku emang kalah taruhan!" Gara akhirnya mengaku, dia benar-benar takut dengan kemarahan abinya kali ini.
"Muhammad Ilham Sagara! Abi dan Umimu sudah memutuskan bahwa mulai besok kamu harus belajar di pesantren Ar-Rahman!" putus Zaki dengan nafas yang naik turun karena menghadapi Gara.
"APA?" teriak Gara dengan wajah memerah. "Nggak dad, aku gak mau!"
Ustad Zaki berdecak geram."Oh-jadi kamu nggak mau? Kalau kamu nggak mau, Abi akan adukan kelakuan kamu sama kakek kamu. Biar kakek kamu tau, bagaimana kelakuan cucu kesayangannya ini. Dan kamu tau apa yang akan dikatakan kakek kamu? Dia pasti akan mencabut semua fasilitas kamu dan dia tidak akan menyerahkan bagian warisannya kelak untuk kamu!"
Deg!
Gara terdiam membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat Zaki membahas masalah warisan yang pernah dikatakan kakeknya. Gara merasa terancam, dia tidak mau kalau itu sampai terjadi. Tanpa kekayaan kakeknya, Gara bukanlah apa-apa.
Maaf Gara, Abi tidak menuntut kamu untuk sekolah tinggi-tinggi atau mencetak prestasi yang bagus, tapi akhlak kamu nol buat apa?Abi cuma ingin kamu memiliki akhlak baik.
...****...
****
Gara, pria berusia hampir 24 tahun itu terdiam ditempatnya saat abinya membahas tentang warisan. Gara ingat benar saat kakeknya masih tinggal di rumahnya, kakeknya Muhammad Ibrahim Bharata pernah mengatakan pada cucu laki-lakinya ini. Bahwa dia tidak akan memberikan warisan pada Gara kalau suatu saat nanti Gara memiliki akhlak tidak baik dan melanggar norma agama. Ibrahim berkata lebih baik memberikan warisan pada anak-anak yatim daripada pada cucunya yang memiliki akhlak tidak baik.
"Kenapa kamu diem? Takut, kalau Abi adukan kelakuanmu sama kakek kamu di Mesir?" tanya ustadz Zaki menyudutkan putranya itu. Benar saja, ancaman ini membuat Gara terdiam seribu bahasa. Pria itu akan berpikir ulang untuk melawan ayahnya.
Tentang Ibrahim, kakek dari Gara. Pria tua itu berada di Mesir karena ia adalah guru besar yang mengajar bahasa Arab disana. Semua keluarga Gara memiliki latar belakang agama yang kuat, ya kecuali Gara.
"Gara! Jawab Abi! Kamu harus setuju ke pesantren besok. Umimu sudah mengemasi barang-barang milik kamu. Kamu tinggal berangkat." tegas ustadz Zaki. Sementara istrinya hanya diam, menghela nafas sesekali, dia tidak bisa terus menutupi kesalahan putranya lagi.
"Aku nggak mau dad. Lagian aku ini udah gede, kenapa Abi paksa aku kayak gini? Aku butuh kebebasan! Aku sudah bisa menentukan jalan hidupku sendiri!" serka Gara dengan kekesalan yang terlihat di matanya untuk ustadz Zaki. Gara tidak suka diceramahi oleh orang lain, atau didikte.
"Menentukan jalan hidup seperti apa, Muhammad Ilham Sagara? Dan soal kebebasan, bukannya Abi dan umi selama ini untuk cukup memberikan kamu kebebasan? Kamu tinggal di luar negeri, seperti keinginanmu. Kamu kuliah dengan jurusan yang kamu inginkan, kamu berfoya-foya dengan uang yang kami berikan....kami biarkan. Lalu kebebasan apa lagi yang kamu inginkan Gara? 5 motor yang harganya puluhan juta, bahkan kamu menganggapnya cuma sampah aja kan?!" Kali ini ustadz Zaki bukan marah lagi, melainkan murka pada putranya. Kedua kakak perempuannya yang sudah menikah, sangat berbeda jauh dengan anak laki-laki yang dia banggakan.
"Dad, Daddy kan kaya. Puluhan juta bukan apa-apanya buat Daddy. Kenapa daddy marahin aku cuma gara-gara motor? Sampai nyuruh aku masuk pesantren segala, aku bukan anak kecil dad!" bentak Gara marah.
"Kamu berani bentak Abi? Orang tuamu?" desah ustad Zaki kecewa.
"MUHAMMAD ILHAM SAGARA!" kali ini Asiyah yang bicara. Dia tidak bisa berdiam diri saja dengan bersabar menunggu Gara berubah.Ya, kali ini Gara harus ditegaskan dengan tindakan. Asiyah setuju dengan suaminya.
Gara terlonjak kaget saat mendengar uminya yang selalu lemah lembut, baru saja meninggikan suara memanggil nama lengkapnya. "Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS: Al-Isra ayat 23-24) kamu jangan lupakan itu nak. Perkataan membentak orang tua, termasuk perbuatan durhaka. Cepat minta maaf pada Abimu!" tegur Asiyah seraya mengingatkan bahwa sikap putranya itu salah.
"Ckckck, ceramah mulu." Gara malah berdecak kesal mendengar ucapan uminya. Pria itu mengabaikan kedua orang tuanya dan masuk ke dalam kamarnya yang ada di lantai atas.
Di lantai bawah Asiyah dan suaminya sedang berusaha menetralkan nafas dan hati dari rasa marah. Baru kali ini mereka marah sampai berapi-api pada Gara.
"Abi, kita harus gimana? Umi nggak mau Gara semakin salah jalan." Asiyah menundukkan kepalanya, ia merasa miris dengan kelakuan Putranya.
"Nasi sudah jadi bubur, umi. Tapi semua masih bisa diperbaiki dengan membuat adonan yang baru. Masih belum terlambat untuk semuanya, untuk Gara."
"Maksud Abi? Masuk pesantren Ar-Rahman?" Asiyah bertanya seraya menatap suaminya. Ustadz Zaki menganggukkan kepalanya.
"Iya umi, kalau Gara masuk ke pesantren yang dikelola oleh Abi. Yang ada Gara akan bersikap seenaknya disana, sedangkan di pesantren Ar-Rahman, mau tidak mau Gara harus menuruti peraturan disana." jelas ustad Zaki pada istrinya yang mendapatkan persetujuan dari Asiyah. Mereka sepakat untuk memasukkan Gara ke dalam pesantren Ar-Rahman yang dipimpin oleh ustad Sholehudin Rahman, sahabat baik ustad Zaki yang juga lulusan Kairo, Mesir.
Malam itu, Gara nekad kabur dari rumahnya, tentu saja dengan membawa ATM dan barang-barang berharga yang bisa ia jual nantinya. Bahkan Gara mengambil perhiasan milik ibunya yang ditaruh di kamar tamu, anehnya kamar tamu itu tidak dikunci dan Gara mudah mengambilnya.
"Gak ada yang bisa ngatur-ngatur gue! Termasuk bokap nyokap, ini hidup gue dan gue yang jalanin." gerutu Gara sambil melompat dari jendela kamarnya. Gara geram melihat baju-bajunya di lemari yang sudah dibuang oleh kedua orang tuanya. Padahal baju-baju dan celana itu adalah baju kesayangannya yang selalu dia pakai untuk bermain atau balapan.
"Bos! Cepetan!" ujar Nico pada temannya sekaligus bosnya itu. Gara sendiri adalah ketua geng black dragon. Salah satu geng motor terbesar di kota Paris Van Java itu.
"Oke." Gara pun menaiki motor Nico, kemudian mereka pergi dari kediaman ustadz Zaki.
Tak berselang lama setelah mereka pergi, kedua orang tua Gara melihatnya dari jendela. Mereka terlihat kecewa dengan Gara yang sudah berani mencuri bahkan kabur dari rumah.
"Abi...apa kita harus melakukan ini?" tanya Asiyah cemas.
"Umi, kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita mau Gara berubah, kita harus melakukannya. Umi lihat sendiri kan bagaimana kelakuan Gara?" ustadz Zaki melihat raut wajah istrinya yang gelisah dan sedih saat ini. "Abi mohon sama umi, jangan pernah menyalahkan orang lain tentang apa yang terjadi sama Gara. Tidak umi! Umi salah besar. Gara seperti ini karena ulah dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga diri dari pergaulan di luar sana." tegas ustadz Zaki.
Asiyah hanya bisa mengusap dadanya, ia berharap semoga dengan semua ini Gara bisa sadar akan kesalahannya.
Dan ditengah perjalanannya, Gara meminta Nico untuk memberhentikan motornya di sebuah club' malam. Tentu saja dengan senang hati Nico menepikan motornya. Nico sudah tau bahwa bosnya ini akan mengajaknya bersenang-senang seperti biasa. Ya, walaupun Gara suka pergi ke club malam alias tempat dugem, tapi dia tidak pernah bermain wanita. Disana ia hanya bersenang-senang saja dengan minuman keras bersama teman-temannya.
Tak hanya Nico yang diajak, melainkan temannya anggota black dragon juga. Yaitu Adrian dan Marcel. Merekalah orang-orang yang paling dekat dengan Gara.
"Karena mood gue lagi bad, kalian gue traktir sepuasnya," ujar Gara pada semua teman-temannya.
"Serius Gar? JIRR! Lo baik bener." celetuk Marcell pada sahabatnya itu. Mereka semua bahagia karena Gara akan mentraktir mereka. Akhirnya keempat orang itu memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan. Tengah malam, tempat hiburan itu masih ramai.
Setelah Gara selesai bersenang-senang dengan teman-temannya, ia pun berniat untuk membayar semua tagihan memakai kartu kreditnya. "Sorry bro, tapi kartu kredit lo gak bisa dipake." kata seorang pria yang bekerja di bagian kasir club' malam itu.
"Sorry, maksud lo gimana?" Gara mengerutkan keningnya, ia bingung.
"Kayaknya kartu kredit lo di blokir, bro." kata pria itu lagi yang membuat Gara bingung. Setelah ia cek kata sandi sudah benar dan kartu ATM tidak bisa diakses. Oke, akhirnya Gara memakai kartu ATMnya yang lain dan mencobanya kembali. Namun tetap saja gagal, tetap sama.
Gara mulai panik, dengan apa dia akan membayar traktiran teman-temannya? Kemudian ia pun menyerahkan berlian milik Asiyah yang ia curi dari kamar ruang tamu sebagai alat pembayaran.
"Apa Daddy dan mommy yang blokir kartu kredit gue? Tega banget mereka." gerutu Gara geram. Gara berjalan kembali ke tempat karaoke untuk pergi bersama teman-temannya. Namun sebelum sampai disana, Nico datang menghampirinya dengan raut wajah tegang.
"Cepet lari Gar! Lo dikejar polisi!" bisik Nico pada temannya itu.
"Hah?"
Belum sempat Gara mencerna apa yang dikatakan oleh Nico, beberapa orang berpakaian polisi sudah mendatangi tempat itu. "Saudara Muhammad Ilham Sagara! Jangan lari!" polisi itu mengejar Gara yang saat ini berlari melarikan diri dari sana.
Sial! Gue salah apa? Kenapa polisi mau nangkap gue?
Gara panik, ia berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya ia tertangkap oleh polisi dan dibawa ke jeruji besi saat itu juga. Pada saat dini hari, ketika semua orang tengah terlelap tidur atau baru saja bangun untuk menyiapkan sahur. Sedangkan Gara berada di balik jeruji besi.
"Pak! Bapak tidak bisa menangkap saya? Atas dasar apa saya ditangkap begini?" tanya Gara pada polisi.
"Karena kamu sudah mencuri berlian dan mencuri ATM." kata polisi itu tegas.
"Itu berlian ibu saya! Dan ATM jga ATM saya, lalu kenapa saya ditangkap karena itu?" Gara tidak mengerti kenapa dia ditangkap karena masalah ini.
"Itu karena kedua orang tua kamu yang sudah melaporkanmu kemari!"
Deg!
Gara tercengang mendengarnya, dia memegang erat jeruji besi didepannya dengan geram. "Tolong izinkan saya bicara dengan Daddy dan mommy saya pak!" teriak Gara marah.
****
Di sebuah rumah berlantai satu dan tampan sederhana, seorang wanita baru saja bangun dari tidur lelapnya. Dia pergi ke dapur untuk menyiapkan makan sahur untuk Abi dan kedua adiknya.
"Teteh?"
"Fahmi? Kamu udah bangun? Ini masih jam setengah 3 loh." kata Najwa seraya menatap anak remaja laki-laki yang berdiri diambang pintu.
"Kenapa teteh gak bangunin Fahmi? Fahmi kan bisa bantu teteh masak." Fahmi menggerutu pada kakaknya, anak laki-laki yang baru saja menginjak kelas 1 SMA itu.
"Biar Kakak aja yang masak, kamu siapin aja piring sama gelas. Udah itu, bantu kakak bangunin Sifa sama Abi ya." jelas Najwa pada adiknya itu.
Fahmi tersenyum seraya berada dalam posisi menghormati kakaknya. Setelah ibu mereka meninggal saat usia Najwa 10 tahun, ia harus menggantikan posisi sang ibu untuk mengurus kedua adiknya yang saat itu masih kecil-kecil. Fahmi 8 tahun dan Sifa berusia 6 tahun. Najwa sangat menyayangi kedua adiknya itu dan kini dia sudah menginjak kelas 3 SMA yang sebentar lagi lulus ujian.
Ketika semua orang sudah berkumpul di ruang makan untuk menyantap sahur. Ustad Sholeh, ayah dari Najwa bertanya tentang sekolah Najwa.
"Najwa, kapan kamu beres ujian?" tanya Ustad Sholeh pada putri sulungnya.
"Insya Allah, 4 bulan lagi Abi." jawab Najwa sambil membantu menyiapkan makanan untuk adik adiknya.
"Oh begitu ya...hem... Najwa, Abi udah pernah bilang kan soal ustad Hasan?" ustad Sholeh menatap ke arah putrinya itu.
"Ya Abi?"
"Besok ustad Ihsan, istri dan putranya Iqbal akan datang ke rumah kita. Untuk membicarakan masalah perjodohan kalian." terang ustad Sholeh yang hanya mendapatkan jawaban anggukan kepala dan senyuman tipis dari bibir Najwa. Sebagai anak yang berbakti, tentu saja Najwa selalu patuh pada perintah orang tuanya. Termasuk abinya yang akan menjodohkan ia dengan pria pilihan abinya itu.
"Apapun keputusan Abi, itu pasti yang terbaik untuk Najwa." kata Najwa.
...****...
Sampai mendekati waktu subuh,Gara mendekam di jeruji besi, dia tidak tidur dan orang tuanya tidak datang meski Gara sudah menghubungi mereka lewat telpon yang dipinjamnya dari kantor polisi. Pada saat waktu sahur, salah seorang petugas kepolisian mengantarkan makanan sahur untuk Gara.
"Ini, makan sahur buat kamu. Jangan buang-buang makanan." tegas petugas sipir penjara itu sambil menyimpan makanan tepat didepan Gara yang sedang duduk memeluk lututnya. Pria itu terlihat kesal, lalu ia membanting makanan yang dibawa oleh sipir penjara itu.
Brak!!
Prang!
Petugas sipir penjara itu melotot ke arah Gara, jelas dia kesal karena Gara melempar membuang-buang makanan sembarangan.
"Panggil orang tua saya kemari! CEPAT!" teriak Gara emosi.
"Kamu benar-benar tidak tahu diri ya. Sudah saya bilang jangan buang-buang makanan. Ya sudah kalau kamu gak mau makan sahur!" ketus sipir penjara itu kesal, lalu pergi begitu saja meninggalkan Gara disana seorang diri.
Gara memukul-mukul tembok, hingga buku-buku tangannya memutih dan punggung tangannya berdarah. Melampiaskan amarah didalam hatinya. Gara kesal karena kedua orang tuanya tega melaporkan dirinya ke kantor polisi dan membuatnya mendekam di jeruji besi.
"Tega banget mommy sama Daddy buat gue mendekam di penjara! Mereka pikir dengan begini, gue mau pergi ke pesantren? Big no, gue gak sudi." Gara tetap dengan keputusannya yang tidak mau pergi ke pesantren. Dia ingin hidup bebas seperti ini, tanpa aturan. Ya, Gara memang keras kepala dan tidak seperti umurnya yang bisa terbilang sudah cukup dewasa, alias baligh.
Gara masih mendekam disana, hingga sore itu Asiyah dan ustad Zaki menemuinya di penjara. Gara lantas melampiaskan kemarahan kepada mereka yang sudah tega melaporkannya ke kantor polisi.
"Umi sama Abi tega banget sama aku! Aku ini sebenernya anak umi sama Abi atau bukan sih?" murka Gara seraya melotot pada kedua orang tuanya. Jangan tanyakan lagi bagaimana perasaan Asiyah dan ustad Zaki melihat kelakuan anak mereka, pastilah hati mereka terluka.
"Gara! Jaga ucapanmu!" tegur ustad Zaki pada putranya. Sedangkan Asiyah mengelus dadanya, ia sudah tidak bisa menahan rasa kecewanya lagi. Asiyah dan suaminya sepakat untuk memasukkan Gara ke pesantren.
"Abi, jaga emosi! Ini bulan ramadhan Abi, kita harus jaga amalan puasa kita." Asiyah mengusap-usap pelan tangan suaminya seraya menenangkan ustad Zaki.
"DADDY!" bentak Gara marah.
Kemudian sebuah tamparan melayang di pipi Gara dan membuat pria itu tersentak kaget. Dia menatap orang yang sudah memukul pipinya. Gara terperangah melihat orang itu, pria tua dengan rambut hampir semuanya memutih dan memakai peci hitam.
Plakk!
"Ka-kakek?"
Kenapa kakek bisa ada disini? Bukannya dia ada di Mesir?
Pria tua itu menatap tajam pada Gara, tatapannya mampu membuat tubuh kekar dan tubuh tinggi Gara menciut dan menundukkan kepalanya. Dari kecil ustad Ibrahim memang terkenal dengan ketegasannya, terutama pada Gara. Cucu laki-laki satu-satunya yang tentu akan menjadi calon imam untuk keluarganya kelak.
Ibrahim terlihat kecewa, ia tidak menyangka bahwa memberikan kebebasan pada Gara, ternyata malah berakhir seperti ini. Cucunya memiliki akhlak yang tidak baik.
"Kamu pilih! Mau mendekam di penjara dan kehilangan hak warismu sebagai cucuku, atau pergi ke pesantren dan menimba ilmu disana sampai kami benar-benar yakin bahwa kamu sudah berubah dan tentu saja ada persyaratan yang harus kamu setujui untuk menjadi pewarisku kelak!" ujar Kiyai Ibrahim tegas. Hingga Gara membeku, dia tidak berani melawan ucapan kakeknya. "Kamu hanya punya dua pilihan, Muhammad Ilham Sagara." cetusnya lagi dengan sorot mata tajam seakan membunuh Gara.
Berbeda saat ia berbicara dengan ayah dan ibunya yang selalu melawan. Dihadapan sang kakek, Gara tidak berkutik.
Kiyai Ibrahim tidak banyak bicara, tapi pria tua itu mampu membuat Gara tidak berkutik. Hingga akhirnya Gara memilih untuk pergi ke pesantren daripada mendekam di penjara dan kehilangan hak warisnya. Ya, Gara berpikir jika setidaknya setelah di pesantren dia bisa kembali lagi ke rumahnya. Daripada hidup dipenjara bertahun-tahun.
"Ingat Gara! Kalau dalam waktu satu tahun, kamu belum bisa berubah...kakek pastikan akan mencari kamu dari daftar ahli waris!" ujar Kiyai Ibrahim pada cucunya tidak main-main.
"Iya kakek, aku akan belajar di pesantren. Aku akan hafalin Alquran ,kitab safanah...atau apalah itu. Kakek bisa tes aku nanti dan lihat kalau aku sudah berubah!" seru Gara meyakinkan kakeknya bahwa dia akan berubah.
'Gak apa-apa deh, jadi anak baik dulu buat sekarang dan satu tahun ke depan didepan kakek, Daddy dan mommy'
"Kakek akan lihat nanti." kata ustad Ibrahim pada cucunya. "Asiyah, Zaki, kalian gak usah antar dia ke pesantren Ar-Rahman. Biar dia pergi sendiri." kata Kiyai Ibrahim pada anak dan menantunya, untuk tidak mengantar Gara ke pesantren.
"Hah?" Asiyah dan ustad Zaki tersentak kaget mendengarnya.
****
Gara sempat merengek meminta agar diantarkan ke pesantren Ar-Rahman, namun ustadz Ibrahim dengan tegas melarang hal itu. Dia ingin Gara pergi sendiri dan mandiri, tanpa kedua orang tuanya yang mendaftarkannya. Ibrahim ingin Gara berusaha masuk ke pesantren Ar-Rahman itu tanpa bantuan siapapun. Ibrahim tau bagaimana ketatnya pesantren Ar-Rahman terhadap para santri dan santriwatinya. Ibrahim dan kedua orang tua Gara ingin agar Gara lebih menghargai sesuatu sekecil apapun.
Dan disinilah sekarang Gara berada ,didepan sebuah gerbang hitam yang besar. Dengan papan yang bertuliskan pondok pesantren Ar-Rahman. Gara hanya berbekal tas gendong yang berisi sedikit baju-baju didalam sana. Sekarang Gara hanya memakai baju yang melekat ditubuhnya, baju seadanya. Jaket kulit hitam, rambut yang gondrong, telinga ditindik, celana robek-robek, yeah itulah style dari Muhammad Ilham Sagara.
"Haahh....ini gak kayak penjara, anggap aja hotel ya gitu aja lah." gumam Gara seraya mendesaah berat. Pria itu melangkahkan kakinya ke dalam gerbang itu, dimana semua orang yang lewat melihatnya dengan tatapan tajam. Memperhatikan Gara dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Beberapa akhwat bahkan terpesona pada ketampanan Gara walau dia terlihat macam preman. Mereka bertanya-tanya siapa pria yang masuk ke dalam lingkungan pesantren dengan penampilan yang mencolok.
"Jaga mata, ini lagi bulan puasa ukhti!" ujar seorang wanita berhijab merah sambil melirik lirik Gara.
"Kamu juga jaga mata!" seru ketiga temannya pada wanita berhijab merah itu. Mereka pun senyum-senyum
Kring! Kring! Kring!
Seseorang membunyikan lonceng sepedanya berada tak jauh dibelakang Gara. "Permisi! Rem sepedaku blong! Tolong minggir, pak!" teriak wanita berseragam putih abu dan berhijab putih itu sambil berusaha memberhentikan sepedanya.
Tabrakan pun tak terelakan lagi karena Gara telat menghindar. Sepeda dan orang yang mengendarainya jatuh dengan posisi menindih tubuh Gara. Mereka berdua jatuh ke rerumputan yang ada di taman.
"Woy! Jalan pake mata dong!" seru Gara kesal, ia merasakan sakit di bagian pinggangnya.
Najwa segera beranjak dari tubuh Gara dan merasa bersalah. "Ma-maaf, saya nggak sengaja...saya--"
Gara menatap mata gadis itu, ia yakin gadis itu tidak asing dan dia pernah bertemu dengannya.
"LO? Si kerudung merah muda?"
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!