NovelToon NovelToon

PESONA BRONDY ( Berondong Trendy )

BAB 1 : SWEET SEVENTEEN

"Hhhhh..."

Seorang pria muda dalam balutan kemeja navy berdiri di sudut ruangan dengan wajah puas menatap ke room central, kepalanya dari tadi memperhatikan suasana untuk memastikan semua hal berjalan baik.

Bagaimana tidak, ini adalah projek pertamanya sebagai asisten EO di sebuah perusahaan jasa Even Organizer yang cukup terkenal. Selama ini dia hanya di percaya merencanakan dan memfasilitasi acara yang berukuran kecil atau menengah tapi tak pernah di kelas hotel bintang lima seperti ini dengan klien salah satu konglomerat yang cukup ternama.

Sakitnya Desti, bos bagian eksekutor acara ternyata membawa berkah baginya, tentu saja kesempatan ini tak mau di sia-siakan Dirga. Namanya akan naik jika acara ini berjalan lancar dan tak bercela. Kepuasan Klien akan menentukan kariernya, dengan begitu dia tak perlu mengkhawatirkan dana untuk penyusunan skripsi serta biaya ibu dan adik-adiknya di kampung.

Sementara di dalam sebuah ballroom hotel itu. Tampak sepasang suami istri yang terlihat serasi dan sangat berbahagia, berdiri di depan meja berisi kue tart simple dan elegant. Yang di atasnya sudah tertancap angka 17. Ya, itu lambang usia pernikahan mereka.

Usia tujuh belas yang begitu istimewa dan mengandung banyak arti. Sebuah pencapaian seseorang mampu melewati masa sulit, masa kekanak-kanakan juga masa remaja. Sebab, itu pertanda suatu kematangan dan beranjak dewasanya seseorang. Tak berbeda dengan pasangan ini. Pasangan yang merintis usaha dari nol, hingga kini Pras Mahendra telah mampu menjadi seorang pemilik perusahaan yang ia tekuni dengan segenap kemampuannya. Pras bukan anak orang kaya, yang serta merta mendapat warisan dan sebuah perusahaan dari garis keturunan.

Pras adalah pria tekun dan ulet yang memulai kariernya dari seorang staf, hingga menjadi orang kepercayaan pemilik perusahaan yang malam ini telah sah menjadi miliknya. Siapa orang terbangga atas pencapaian itu, selain Pras?

Mutiara Andini. Dia adalah wanita hebat yang selalu setia mendukung karier suaminya hingga pada puncak kejayaan. Mulai dari nol, Mutia selalu ada membersamai perjuangan Pras. Pria yang terkenal pelit bicara, bahkan terkesan kaku pada tiap lawan bicaranya. Hanya Mutia, satu-satunya wanita yang mengerti dengan bahasa diamnya Pras.

“Mas … terima kasih kejutan sweet seventeennya.” Kecup Mutia di pipi suaminya saat mereka kini sudah berada di atas kasur empuk dalam hotel tempat pesta anniversary mereka di rayakan.

“Hem.” Dehem Pras datar sambil melaps pakaian yang sejak tadi membalut tubuhnya.

“Kok Cuma heem. Aku tuh beneran bahagia. Dan ga nyangka, akhirnya Mas bisa seromantis malam ini. Bikin kejutan sesempurna ini.” Dengan mata berbinar-binar Mutia menyampaikan kebahagiaannya. Sambil melempar gaun indah nan mewahnya, lalu menggantinya dengan gaun malam minimalis. Ia pastikan, malam ini ia akan melayani suaminya dengan luar biasa, sebab dalam mimpi pun ia tak pernah berandai-andai, jika suatu saat suaminya memiliki ide merayakan ulang tahun pernikahan mereka semeriah itu.

Bukankah selama tujuh belas tahun ini, hanya dia yang agresif dalam hal menciptakan keromantisan dalam rumah tangganya. Hanya Mutiara yang seolah pontang panting mempertahankan biduk itu, agar terlihat baik dan normal. Mutia dan Pras menikah tidak tercetus dari sebuah hubungan pacaran yang wajar. Bisa di katakan Mutia adalah, mungkin cinta pada pandangan pertamanya Pras saja. Saat mereka tak sengaja bertemu di sebuah café. Yang kebetulan, waktu itu Pras pergi bersama beberapa teman laki-laki yang juga sedang melakukan janji temu dengan teman kerja Mutia.

Flasback

“Berto … yang di pojok diam-diam bae…. Kenalin donk. Kita-kita ada yang jomblo ini.” Tukas Susan menyenggol Berto, menunjuk Pras dengan bibirnya.

“Hah … si manusia batu ada yang ngajak kenalan tuh.” Kekeh Berto merusak diamnya lelaki yang di maksudkan Susan tadi.

Ajaibnya, walau di sebut manusia batu, pria itu tidak keberatan. Dan segera berdiri mendekati mereka, lalu mengulurkan tangannya. Dan menyebutkan namanya, tanpa senyum apalagi basa-basi.

“Pras … Pras … Pras.” Ujarnya. Lalu kembali duduk ke tempat semula, memperhatikan gawainya, larut dengan benda pipih yang sepertinya lebih menarik dari mendengar obrolan orang-orang di dekatnya. Sambil sesekali , melempar pandanganya ke beberapa wanita yang cekakak-cekikik bersama temannya.

Hingga semuanya merasa lelah bicara dan telah puas bersama, mereka pun memutuskan untuk berpisah.

“Tunggu. Mutia … ra. Iya namamu tadi Mutiara?” todong Pras pada Mutiara yang usianya waktu itu paling bontot dari antara teman yang ada di sana. Sebab saat itu Mutiara memang baru lulus kuliah, berusia 23 tahun dan masih berstatus pekerja magang di sebuah perusahaan.

“Hah… iya. Gimana?” Mutiara merasa namanya di panggil, tentu saja menoleh ke asal suara yang ia dengar.

“Tolong … no kontaknya.” Manusia batu tadi menyodorkan ponselnya pada Mutiara, agar di berikan akses agar bisa saling berkomunikasi selanjutnya.

“Ciee …. Manusia batu mulai mencair nih.” Ledek beberapa kawannya merasa takjub dengan permintaan dadakan seorang Pras. Teman-temanya sudah bosan mengenalkan apalagi menjodohkan Pras dengan wanita dalam bentuk, rupa, dan profesi apapun dengan manusia super kaku itu. Sebab pasti selalu mental alias zonk.

Tapi berbeda dengan kejadian ini. Bagai sebuah keajaiban. Pras yang berani meminta no kontak seorang wanita.

Selanjutnya, sepertinya Pras juga tidak menemukan kesulitan dalam hal menaklukan hati Mutiara. Apakah pesona Pras begitu tepat di mata Mutia saat itu. Sehingga hanya butuh waktu 6 bulan setelah perkenalan itu, Mutia dan Pras pun segera mengirimkan Undangan pernikahan mereka berdua. Hanya mereka berdua tau bagaimana proses kesepakatan itu terjadi. Bahkan kini mereka telah tiba pada usia pernikahan ke tujuh belas, dan di karuniai dua orang anak. Radit yang kini duduk di kelas 3 SMP dan Raisa kelas 5 SD.

Flashback off

“Mas … aku bahagia. Bisa merasakan meriahnya pesta perayaan ulang tahun pernikahan kita. Terima kasih.” Mutia memilih kedua paha Pras untuk ia duduki dengan kedua kaki melingkar di pinggang suaminya. Demi menggoda hasrat suaminya, sekaligus ingin sungguh mengungkapkan rasa terima kasihnya pada sang suami.

Pras hanya mengecup kening Mutia.

“Berapa hari persiapan semua ini, rapi banget lho Mas. Sampai aku ga tau, akan ada surprise seperti ini.” Mutia sungguh bangga dengan hasil kerja suaminya dalam diam kali ini.

“Bukan aku yang mengerjakannya.” Jawabnya singkat.

“Kalo bukan Mas … siapa?” tanya Mutiua dengan wajah cemberut.

“Indah.” Huh … tentu saja. Siapa lagi kalau bukan sekretarisnya itu. Indah yang selalu mengerti akan perintah Pras yang super diam ini. Indah bagai istri kedua Pras, yang dapat bekerja bahkan hanya dari sebuah kode.

“Hah … mengapa aku harus sebegini bahagia dengan semua perayaan ini. Kalau sesungguhnya ini semua pekerjaan Indah.” Dengusnya kesal. Kemudian berdiri memasang kimono sutra untuk menutup lingerie yang sudah menempel di tubuh gendutnya. Kemudian memilih Balkon untuknya mencari udara segar.

Entah, Mutia tiba-tiba merasa kesal, saat tau kesuksesan acara ini di tangani oleh Indah sekretaris suaminya.

Bersambung …

BAB 2 : DIRGA RAHARDIAN

Bagi Mutia pernikahan adalah sebuah kesepakatan antara dua orang untuk hidup bersama selama mungkin. Enam bulan mengenal Pras tentu adalah waktu yang sangat singkat. Sebab sebelumnya ia sudah menghabiskan waktu 6 tahun menjalin hubungan yang orang sebut ‘pacaran’ bersama Dino. Mantan terindahnya.

Apakah Pras hanya pelariannya saja? Sebab sebulan sebelum bertemu Pras, Dino sungguh meminta untuk mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan yang jelas. Hanya berdalih ia tak pantas untuk di tunggu saat masih asyik membuang waktu di bangku kuliahnya. Dino secara sadar dan sungguh, memutuskan begitu saja hubungan yang juga sudah sama-sama di ketahui oleh orang tua masing-masing.

Lalu salahkan Mutia, membuka hati untuk seorang Pras yang secara fisik dan mental jauh dari deretan catatan standartnya selama ini.

Mutia suka dengan pria romantic, Pras tidak.

Mutia suka dengan pria yang banyak bicara, Pras tidak.

Mutia suka pria yang mau menyanyi untuknya kala sedih, Pras tidak.

Mutia suka melihat pria yang terlihat tampil percaya diri dan menawan, Pras tidak.

Mutia suka dengan pria bertubuh tinggi. Ya … pras hanya masuk kriteria itu.

Lalu, apa hanya bermodalkan postur itu. Mutia berani mengambil keputusan untuk menerima Pras.

Tidak, bukan itu.

Saat itu. Hanya karena Pras terlihat serius mendekatinya. Terlihat sungguh-sungguh ingin memperjuangkannya, menginginkannya menjadi ibu dari anak-anaknya. Bahkan tak ada benih cinta dalam hatinya.

Fix, Mutia terlalu berani mengambil resiko. Berumah tangga dengan pria yang baru ia kenal, bahkan tanpa rasa. Ia hanya yakin, bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Juga, tak ada alasan baginya untuk tidak menyayangi Pras, selama pria itu berbuat baik padanya. Hukum alam yang sangat alamiah.

Dan buktinya, Mutia berhasil mempertahankan rumah tangga mereka hingga di angka 17 tahun. Rumah tangga yang tak pernah terdengar bertengkar, apalagi bertikai. Pras tampak baik memerankan tokoh suami yang baik di dalam rumah tangga mereka.

Pras tetaplah Pras yang sedikit bicara, namun tidak buta akan kebutuhan anak dan istrinya. Semua ia cukupkan dengan segala penghasilan yang memang selalu ia percayakan pada istrinya. Dan Mutia cukup pandai dalam urusan mengelolanya dengan baik. Bukankah tidak sia-sia jika selama ini Mutia senantiasa belajar untuk jatuh cinta pada suaminya sendiri.

“Mau minum tante …” Suara yang terdengar dekat dengan telinga Mutia. Saat ia memandang kelamnya malam dari sisi Balkon hotel yang memberikan pemandangan exotic malam itu.

Mutia menoleh.

Kemudian tak sengaja mengerjabkan matanya tatkala melihat sebuah pemandangan indah nan macho, menakjubkan di sebelah kanan balkon yang ia hinggapi sekarang.

Mutia mengalihkan pandangannya, lalu memastikan di mana kakinya berpijak kini. Apakah ia masih berpijak di bumi, atau tak sadar sedang terbang ke kayangan.

Ah …Ternyata benar saja, ia masih di bumi. Tapi, mengapa mahkluk di samping balkon ini bagai pangeran. Tampan, gagah dan begitu sempurna di matanya. Ini nyatakan? Bukan halu.

“Ini … aku ga punya teman berbagi minuman. Teman-temanku belum kembali ke kamar.” Ucapnya lagi. Mnegulurkkan segelas whine dalam gelas kaca. Dan kali ini dengan senyuman yang luar biasa manisnya.

“ OMG … ini senyuman atau gulali sih. Manis benar. “ Batin Mutia tetiba meronta.

“E … oh. Maaf saya tidak minum itu.” Jawab Mutia setelah berhasil meredam amukan badai di dadanya. Hey … apa itu tadi ? Tsunamikah yang terjadi di dalam hatinya. Mengapa ia merasa senyuman orang di depannya ini bagai sihir. Mutia sungguh terpana di buatnya.

“Oh … saya Dirga Tante. Dirga Rahardian.” Dengan sopan pria itu mengulurkan tangannya hendak berkenalan pada Mutia.

Mutia menyambut tangan yang terulur tadi dengan cengkraman yang cukup hangat.

“Tante Mutiara, kan?” wuush … Mutiara bahkan belum menyebut namanya, tetapi kenapa anak ini sudah dengan percaya diri menyebut namanya.

“Maaf jika lancang. Saya Co EO yang mengurus semua acara tadi. Dan bisa ikut menikmati tidur di kamar di sebelah tante adalah bagian dari bonus.” Ujarnya menjelaskan dengan sedikit pecicilan tanpa di minta.

“Oh … tante kira kamu peramal.” Akhirnya Mutia sudah kembali ke bumi bersama dengan isi otaknya yang sempat gegar akibat pertemuanya dengan pria yang terlihat masih sangat ranum ini.

“Udah malam tante, kenapa masih di luar dan sendirian juga?” tanyanya kepo.

“Huuum … pemandangan malam dari sini sangat indah dan sempurna. Tak masalah bukan, menunda waktu memejamkan mata. Sebab besok belum tentu saya masih menginap di sini.” Jawab Mutia sebijak mungkin. Sambil melempar tatapan pada lawan bicaranya.

“Ya … benar sekali. Apalagi aku. Bisa berada di hotel bintang lima begini saja hanya karena bekerja.” Curhatnya merendah.

“Oh sudah bekerja, tante kira masih bocah. Masih seragam putih abu atau yaah, mahasiswa semester dua lah.” Lirik Mutia lagi dengan tatapan yang tak dapat di artikan.

“Semuda itu, aku di mata tante …?” Kekehnya. Ampun … kenapa anak ini harus tertawa selepas itu. Diakan jadi tambah tampan maksimal dengan mimic wajah demikian. Hati Mutia tak karuan di buatnya. Lain kali ia harus bawa lakban deh, kalau ketemu anak ini. Hati Mutia bisa berloncatan kegirangan oleh pesonanya.

“Ya … emang keliatan masih kayak brondong jagung.” Kekeh Mutia yang mencoba untuk melepas tawanya, menggali potensi humornya.

“Iiih … Dirga bukan bocah tante, Dirga juga bukan brondong. Dirga udah 22 tahun, mau 23 tahun.” Wajahnya di buat memelas, minta Mutia percaya padanya.

“Masa … imut gitu?” Mutia menyipitkan matanya agar lebih fokus mengamati tampilan lelaki muda di sampingnya.

“Ha … ha… orang bilangnya wajahku baby face dan innocent gitu tante.” Pujinya pada diri sendiri. So’ akrab.

Lagi … Mutia memperhatikan penampakan lelaki muda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Ga innocent banget siih. Soalnya pipinya hampir ga keliatan.” Kekeh Mutia. Ya iyalah, masa polos, bukankah jambangnya banyak. Hampir menutupi semua permukaan pipi dan dagunya.

“Ini … ini sengaja di pelihara tan, supaya terlihat tua dari usia sebenarnya. Biar kelihatan seperti lelaki dewasa.” Dirga membelai janggut dan jambangnya pelan.

Mutia hanya tertawa sambil menggeleng, tak setuju dan merasa jika selera humor lelaki muda ini lumayan.

“Oh … iya tan. Gimana evaluasi pelayanan EO kami tadi, apakah tante merasa puas?” tanya Dirga. Mungkin ini inti dari alasan obrolannya malam itu, dengan Mutia. Kliennya.

“Oh … so far so good sih. Tante ga merasa ada cela buruk saat pesta tadi. Dari dekorasinya, makanannya, cara penghidangannya, pelayanannya. Sampai acaranya, perfect. Tante suka.” Mutia mana bisa berhenti jika bicara seperti itu.

“Syukur deh kalau begitu. Ijin tante, boleh minta no kontak nya. Atau ku kasih kartu nama EO kami. Mungkin saja kelak kita bisa bekerja sama lagi, di lain acara.” Oh … anak ini sedang ingin mempromosikan bisnisnya pada Mutia. Kirain bocah ini ingin tebar pesona dengan tante-tante seusia Mutia.

“Siniin, ponselmu. Biar tante ketik nomor tante aja.” Mutia meminta ponsel Dirga, untuk menyimpan no kontaknya.

“Sudah malam.” Ada selimut yang sengaja di gantung seseorang di bahu bagian belakang Mutia. Tepat saat ponsel Dirga sudah kembali ke tangan pemiliknya.

Bersambung …

BAB 3 : GOOD LOOKING

Mutia segera lupa akan kekesalannya tadi pada Indah, sekretaris suaminya. Berkat bantuan Dirga. Lelaki tampan, muda dan terkesan ceria juga rada tengil itu. Entah sihir apa yang ia gunakan, sehingga dalam hitungan menit dalam perkenalan mereka, Dirga mampu mengalihkan masalah sebesar coral menjadi kerikil bahkan hanya jadi serpihan debu saja, dalam pikiran Mutia.

“Iya Mas, aku juga akan masuk.” Mutia kembali pada mode ramah pada suaminya yang baru saja menyampirkan selimut di bahunya.

Pras memang begitu. Entahlah tingkat romantisnya itu masuk dalam angka berapa jika di urutkan dari angka satu hingga sepuluh. Mau di beri nilai nol, itu keterlaluan. Mau di kasih 9, tentu tidak sesuai. Mau di beri 3, tapi kadang juga bisa melakukan hal tak terduga, yang masuk sih dalam kategori romantic.

Dulu, waktu mereka hanya punya satu kendaraan roda 4. Ia selalu menyiapkan jas hujan di balik jok kendaraan roda dua tanpa atap yang di gunakan Mutia. Sehingga istrinya tidak pernah bingung dan takut kebasaahn saat hujan turun.

“Mas ya, yang siapkan jas hujan di jok motorku ..?”

“Iya.”

“Makasih perhatiannya, Mas ga mau aku sakit kan?” pancing Mutia. Berharap suaminya seide dengannya. Pertanda Pras sungguh ingin ia selalu sehat sebagai bukti cintanya pada Mutia.

“Tidak. Aku tidak mau kamu pulang terlambat. Dan lalai dengan pekerjaan rumahmu.” Heeeer. Bukan itu kali, jawaban yang Mutia inginkan. Nyesel kan nanya. Kesannya ketus lagi kalau sudah bicara. Tapi … ya begitulah Pras. Yang tidak pandai memilih kata-kata sekira membuat istrinya merasa tersanjung.

Ajaibnya, hal itu tidak membuat Mutia lelah untuk tetap berusaha mengerti watak suaminya tersebut. Mutia dulu sering bertanya, lebih tepatnya mengenang masa, mengapa mereka dulu akhirnya memutuskan untuk menikah. Syukur-syukur Pras bisa katakana cinta, Tapi hasilnya nol besar.

“Mas …”

“Hm …”

“Dulu kenapa kita tiba-tiba menikah ya?”

“Sayang aja, ada perawan nganggur.” Jawabnya datar. Mungkin maksudnya bercanda. Tapi Pliis deh, wajahnya ga sedatar itu juga, plat! Ngalahin TV layar datar lho. Sumpah.

“Hiish … sorry ya nganggur. Dulu aku juga pernah kerja magang tau ga sih, bukan pengangguran.” Kesal Mutia.

“Iya … perawan magang.” Lanjutnya memperbaiki kosa katanya yang juga tidak memberi efek berbunga di hati sang istri.

“Iih. Bilang karena Mas sangat sayang dan cinta padaku kek, gitu. “ Rutunya kesal dengan jawaban suami yang jauh dari kalimat, sekira membuatnya melambung dan melayang ke udara saking bahagianya.

“Iya … karena itu juga.” Jawabnya saat Mutia akan pergi menjauhinya.

“Itu apa mas …?” Mutia berbalik ingin mendengar kata cinta dalam bentuk jelas dan lugas dari mulut sang suami.

“Iya yang kamu bilang tadi.” Jawabnya sedikit senyum sambil menyeruput kopi hitamnya.

“Yang mana …?” cecar Muti ingin dapat pengakuan.

“Ya yang tadi. Ucapan sendiri kok lupa.” Heh, buset. Tadi Mutia yang akan pergi meninggalkannya. Sekarang justru hanya tersisa Mutia yang ia tinggal sendiri dalam perasaan penuh kebangongan. Kesel kan.

Itulah gambaran rumah tangga Mutia. Sampai di usia tujuh belas, bukan karena tak ada aral di dalamnya. Mereka berdua hanya tidak saling meruncingkan masalah yang muncul di permukaan. Mutia, sering membandingkan cara suaminya memperlakukannya dengan suami temannya yang menurut Mutia super romantic. Tapi Pras bilang, "Menikah saja dengan suami temanmu itu, aku bukan dia." Iya sih … tapi ga gitu juga kan solusinya. Berubah dikit kek.

“Mas … Mbak Widya pas ulang tahunnya, di beliin gelang berlian lho oleh suaminya. Keren banget suaminya, bisa pinter gitu pilih hadianya, bagus banget. Mau ah sekali-kali ulang tahun di beliin kayak gitu oleh Mas Pras Mahendra.” Demikianlah Mutia, bukan tipe wanita yang pandai menyimpan impiannya, ia selalu terbuka mengungkapkan isi hati dan apa keinginan di kepalanya. Sehingga Pras tidak capek menerka apa yang ia inginkan. Sehingga pada saat Mutia akan berulang tahun ia langsung menyodorkan amplop berisi uang pada Mutia.

“Nih … kamu beli sendiri kado ulang tahun yang kamu mau. Jangan mau kalah dari Mbak Widya mu itu.” Rupanya dalam diamnya itu, dia adalah seorang pengingat yang baik. Tentang semua yang pernah Mutia ceritakan padanya. Kalau sudah begitu, prestasi romantisnya Pras, bolehlah nambah 1 menjadi ke angka 4. Iya ga sih?

Oh iya … sikap diam Pras itu hanya pada kalimat. Alias pendiam. Hal itu berbeda dengan kebutuhan biologisnya. Itu lumayan berbanding terbalik dengan cara bicaranya yang irit. Pras lumayan Pria yang tangguh dan tidak pernah mau di tolak jika soal meminta haknya sebagai seorang suami.

Mungkin di bagian itulah, batin Mutia terpenuhi. Membuatnya lupa dengan kekurangan suaminya yang tidak banyak bicara tapi banyak kerja. Sepertinya Pras memang lebih senang memberi aksi ketimbang narasi. Rasa cinta Pras tak dapat di wakilkan melalui kata-kata, saking cintanya pada Mutia. Ia cukup menikmati istrinya dengan caranya.

Mencintai dalam diam, memenuhi semua kebutuhan Mutia sesuai keinginan Mutia. Dalam bentuk apapun. Pras sungguh mencintai Mutia apa adanya. Ia terlalu memanjakan Mutia, sampai Mutia tak punya control untuk dirinya sendiri. Hal itu terlihat dari tampilan tubuh Mutia sekarang.

Mutia yang cantik, putih dan langsing di masa gadisnya. Kini sudah menjelma bagai itik yang buruk rupa. Ia bukanlah wanita yang peduli dengan bentuk tubuhnya, yang kesininya semakin tidak beraturan. Baginya selama Pras tidak complain, ia kan makan atau cuek saja. Toh, ia berpenampilan sesuai selera suaminya.

“Mas … aku sekarang gendut banget ya ?” tanya Mutia suatu hari.

“Kamu timbang aja sendiri.” Jawab Pras dalam mode datar andalannya.

“Iih … Mas. Kalo gendut bilang.” Mutia langsung nyolot.

“Yang penting sehat dan bahagia.” Jawabnya mencium kening istrinya. Nah loo, kalo dah gitu Mutia melenyot donk. Kan tetap di cium suami. Artinya dia masih semenarik itu di hadapan suaminya. Lalu, untuk apa dia capek jogging, atur pola makan. Toh saat dia gendut tak pernah di hina. Dan nanti bila kurus pun pasti tidak mendapat pujian dari suami super irit bicara itu.

[Mut, ngegym yuk. Di sanggarku ada instruktur baru. Ketceh] isi chat Shane ke ponsel Mutia ketika ia baru membuka mata. Setelah semalam berada dalam pelukan suaminya dalam sebuah kamar hotel. Dan itu di anggap Mutia sebagai bulan madu versi Pras.

[Ngapain buang waktu. Ga bakalan kurus juga akunya] balas Mutia asal-asalan. Mutia seolah anti jika di ajak senam, zumba, ngegym atau apapun yang beraroma ngecilin badan. Baginya ga guna, unfaedah.

[Eh … buntelan beras. Tiga bulan lagi kamu tuh 40 tahun lho. Loe kasih kado dong buat diri loe sendiri. Dengan mengubah ukuran baju loe. Ga sadar … loe jauh dari kata good looking]

Bersambung ….

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!