NovelToon NovelToon

OH MY DUDA

Ditinggal Nikah

Seorang wanita duduk termenung di tepi ranjang dengan kepala menunduk. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang begitu mengganggu suasana hatinya.

Suara pintu yang terbuka tidak membuatnya sedikitpun merubah posisi. Bahkan ia tidak tahu jika ada seseorang yang kini sudah duduk di sisinya.

"Sudahlah, Alena. Lupakan saja dia. Lagipula sekarang dia sudah menjadi suami orang lain."

"Dia bukan orang, Cath. Dia sepupuku," sergah Alena. "Bahkan aku masih tidak menyangka jika Glen selingkuh dengannya."

"Seharusnya kau bersyukur, Alena. Tuhan telah menunjukan sifat asli Glen sebelum semuanya terlambat. Sekarang kau memiliki kesempatan untuk mencari pria yang jauh lebih baik daripada dia."

Catherine segera mengatupkan bibirnya begitu Alena melemparkan tatapan tajam padanya. Ia merasa apa yang di katakannya sudah benar, tapi mungkin tidak bisa di terima begitu saja oleh Alena.

"Aku harap kau benar-benar tidak pernah merasakan jatuh cinta, Cath," desis Alena.

"Aku pun berharap demikian, Alena. Meski aku belum pernah merasakannya, tapi aku banyak belajar darimu, jika cinta hanya membuat kita luka. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya."

"Lalu kenapa kau bicara seolah-olah kau paham tentang cinta?"

"Aku bahkan tidak paham. Aku hanya kasihan padamu, Alena."

"Aku pantang untuk di kasihani. Pergilah, aku sedang ingin sendiri, Cath."

"Aku tidak akan membiarkanmu sendiri, Alena. Aku tidak ingin kau menghabiskan harimu untuk menangisi pria yang sudah menghamili sepupumu sendiri."

"Jangan katakan hal itu di hadapanku jika kau masih sayang dengan mulutmu."

Catherine reflek memegang mulutnya.

"Pergilah, aku ingin sendiri. Temui aku besok atau lusa. Setelah suasana hatiku membaik. Jika perlu pekan depan."

"Ah, baiklah. Aku harap aku masih bisa mendengar suaramu esok, Alena."

Lagi-lagi Catherine mendapat lirikan tajam dari sahabatnya itu.

"Apa maksudmu?"

"Bukan apa-apa, aku hanya takut kau sampai nekad bunuh diri hanya karena kehilangan seorang pengkhianat."

"Glen segalanya bagiku."

"Itulah kenapa aku mengkhawatirkanmu sampai sejauh itu."

Catherine melipir pergi dari kamar Alena. Awalnya ia berniat untuk menghibur sahabatnya, akan tetapi Alena justru malah mengusirnya karena dia ingin sendiri. Mungkin Alena memang butuh ruang untuk merenung.

Alena membaringkan tubuhnya dengan hentakan kecil sehingga tubuhnya sedikit mengampul dengan kedua tangan yang di rentangkan namun kaki tetap ke bawah lantai. Ia menatap cahaya lampu yang berada tepat di atas kepalanya. Kedua matanya terpejam begitu ia merasakan sakit akibat cahaya lampu yang terasa menusuk kornea mata. Namun, ada yang lebih sakit daripada itu. Begitu ia menyaksikan sepupunya yang menikah dengan kekasihnya sendiri. Itu sangat menusuk hati.

***

Keesokan harinya, Alena memutuskan untuk tidak masuk kerja hari ini. Meskipun ia berasal dari keluarga berada dan marga yang cukup di kenal banyak orang, ia tetap ingin bekerja dengan caranya sendiri tanpa campur tangan keluarganya. Ia tidak ingin di cap sebagai orang yang menikmati harta keluarganya.

"Aku kira hari ini aku akan mendapatkan berita buruk tentangmu. Syukurlah jika kau masih punya semangat untuk bekerja," ujar wanita yang menyambut kedatangannya di kubikel kantor.

"Kau pikir aku akan bunuh diri sungguhan?" desis Alena sembari menarik kursinya.

"Kurang lebih seperti itu setelah kau mengatakan jika Glen segalanya bagimu."

Alena tidak lagi menanggapi ucapan Catherine, ia menyalakan komputer untuk memulai bekerja. Namun, semangatnya seketika memudar saat melihat layar tampilan utama komputer tersebut.

"Aku rasa mulai hari ini kau harus membuang semua kenangan tentang Glen. Aku tidak mau jika kau bunuh diri sungguhan."

"Aku tidak sedang meminta pendapatmu. Jadi diamlah. Atau aku akan merobek mulutmu, Cath!"

Mendapat ancama demikian, Catherine pun akhirnya terdiam. Ia kembali fokus pada layar komputer di kubikel nya yang bersebelahan dengan Alena. Sementara Alena hanya bisa menghembuskan napas sedikit kasar. Sepertinya ia harus memulai pekerjaan hari ini dengan menghapus seluruh kenangan yang ia miliki bersama Glen.

"Hari ini tuan Glen akan datang untuk meeting bersama kita."

"Bukankah dia baru saja menikah?"

"Iya, tapi tuan Glen tidak mengambil cuti setelah menikah karena menurutnya meeting ini jauh lebih penting."

Pembicaraan tuan Haxel dengan sekretarisnya seketika mengundang perhatian Alena. Ia menoleh ke arah perginya tuan Haxel dan sekretarisnya yang sudah jauh dari sana.

Ucapan sekretaris tuan Haxel barusan membuat Alena menciptakan banyak spekulasi.

"Meetingnya jauh lebih penting?" batin Alena.

_Bersambung_

Teringat Sesuatu

Alena dan Catherine kini tengah makan siang di jam istirahat kantor. Keduanya sama-sama memesan menu yang sama.

"Biasanya kau tidak mau memesan menu yang satu ini," ujar Catherine lalu memasukan sesendok makan ke dalam mulutnya.

"Aku hanya penasaran. Seminggu berturut-turut kau terus memakan makanan ini. Aku pikir rasanya enak, tapi ternyata karena harganya murah."

Catherine hanya bisa memamerkan sederet giginya yang putih bersih. Maklum jika ia selalu memilih makanan yang paling murah, sebab ia tidak punya cukup uang untuk membeli makanan mahal seperti Alena.

"Ah iya, kau tadi dengar tuan Haxel dengan sekretarisnya mau meeting dengan tuan Glen?"

Alena mengangguk.

"Apa Glen yang mereka maksud itu mantan kekasihmu?"

Alena mengedikkan bahunya. "Entahlah."

Alena sengaja pura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya ia dengar jika Glen yang mereka maksud itu memang Glen mantan kekasihnya. Ah bahkan belum bisa di bilang mantan, sebab mereka belum sempat memutuskan hubungan.

"Shttt .." Catherine memanggil Alena dengan bisik-bisik.

Alena yang tengah menunduk fokus pada makanannya kini mendongak. "Apa?"

"Menurutmu, tuan Haxel itu orangnya bagaimana?"

Kening Alena berkerut tiba-tiba Catherine menanyakan hal demikian. "Bagaimana apanya?"

"Iish .. Maksudku, apa menurutmu tuan Haxel itu tampan?"

Alena terdiam sejenak sembari mengingat wajah tuan Haxel karena ia hampir lupa.

"Menurutmu?" Alena malah bertanya balik.

"Menurutku tidak kalah tampan dengan Glen. Dia keren, tidak menye-menye."

"Apa maksudmu? Kenapa jadi bawa Glen?"

"Ah ya ampun, Alena .. Kau tidak paham juga apa maksudku. Jadi begini, aku rasa kau harus melupakan Glen dan tidak ada salahnya juga jika kau bersama dengan tuan Haxel."

"Apa kau sudah gila?! Dia atasan kita dan dia juga seorang duda." Alena tampak sedikit kesal mendengar saran boddoh Catherine.

"Iya, aku tahu dia seorang duda, Alena. Tapi coba deh kau perhatikan tuan Haxel, dia tampan dan keren."

Alena memicingkan matanya menatap Catherine. Membuat Catherine merasa sedang di curigai.

"Alena, kenapa kau menatapku seperti itu?"

Catherine sedikit gugup mendapat tatapan itu dari Alena. Entah kenapa wanita itu malah menatapnya seperti itu.

Alena sedikit mencondongkan badannya ke arah Catherine tanpa melepaskan tatapan.

"Apa selama ini kau diam-diam memperhatikan tuan Haxel?" tebak Alena.

Catherine menggeleng. "Ah, tidak. Untuk apa aku memperhatikannya?"

"Benarkah?" Desak Alena dan membuat wanita itu semakin merasa gugup.

"Apa jangan-jangan kau sudah bisa merasakan apa itu cinta?" ujar Alena lagi.

Catherine menggeleng keras.

"Mengaku saja, Cath. Aku tidak akan memberi tahu pada siapapun jika kau sebenarnya menyukai tuan Haxel."

"Ah berhentilah mengatakan hal itu, Alena. Aku bahkan tidak tahu apa itu cinta."

"Benarkah? Kau tidak menyukainya?"

"Alena, ayolah. Berhenti mengatakan itu."

"Apa aku perlu membantumu?"

"Alena, stop. Selera makanku hampir hilang."

Catherine sudah tampak badmood. Alena pun menghentikan godaannya. Ia hanya bisa tertawa melihat kekesalan di wajah sahabatnya.

Keduanya melanjutkan makan, seketika Alena teringat sesuatu.

"Ada apa?" tanya Catherine penasaran melihat perubahan di wajah sahabatnya.

"Aku harus pergi sekarang." Alena menyambar minuman di gelas kemudian meminumnya setengah, setelah itu ia beranjak pergi.

"Alenaaa .. Kau mau kemana?" panggil Catherine setengah berteriak, namun Alena tetap saja pergi tanpa menghiraukan panggilannya.

"Mau kemana dia?" pikirnya.

Catherine berniat untuk melanjutkan makan yang terus saja tertunda. Kedua matanya seketika membulat sempurna melihat makanan Alena.

"ALENA MAKANANMU BELUM DI BAYAAAARRRR...!!!"

_Bersambung_

Sebuah Kenangan

Alena pulang begitu saja di saat jam kantor belum waktunya pulang. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia di buat kesal lantaran jalanan macet, di tambah lagi cuaca siang ini yang cukup terik.

Setelah menempuh perjalanan yang membuatnya emosi karena ia baru sadar tidak ada jalan alternatif menuju rumahnya, ia pun sampai. Turun dari mobilnya dan berlari kecil menuju taman samping rumah. Lebih tepatnya ke bagian dimana tempat peliharaan hewan papanya berada.

Dengan napas tersengal Alena berlari menuju kandang kelincinya. Namun, begitu ia sampai di sana, kelincinya sudah tidak ada. Alena menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang.

Seorang pria yang bertugas untuk memelihara peliharaan hewan papanya berdiri di depan kandang hamster tengah memberi makan. Alena berjalan menghampiri pria paruh baya itu.

"Kelinciku dimana?"

Pertanyaan Alena membuat pria paruh baya itu menoleh dan berhenti memberi makan hamster.

"Eh, nona. Kelincinya sudah di jual," jawab pria tersebut.

"Sama siapa?"

"Sama nyonya, nona."

Alena sontak menepuk jidatnya. Ternyata ia terlambat pulang. Ia lupa jika semalam mamanya memberi tahu akan membuang semua kenangan miliknya bersama Glen. Termasuk kelinci kesayangannya yang merupakan pemberian dari Glen.

Alena bergegas pergi menemui mamanya di dalam rumah. Dan ia mendapati mamanya tengah duduk sofa di ruang televisi sedang memainkan ponselnya.

"Ma!"

Panggilan Alena membuat wanita paruh baya itu mengalihkan perhatian dari ponselnya.

"Alena, kau sudah pulang?" Wanita paruh baya itu meletakan ponselnya lalu berdiri.

"Kenapa mama jual kelincinya, ma?" seru Alena dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Nyonya Alfi pun berjalan menghampiri putrinya.

"Maaf, sayang. Tapi mama harus melakukannya."

"Aku tahu mama ikut sakit hati sama Glen, tapi bukan berarti mama harus melakukan sesuatu tanpa persetujuan aku, ma!"

"Iya, sayang. Maaf. Semalam mama kan sudah bilang kalau mama akan membuang semua kenanganmu bersama Glen termasuk menjual kelincinya. Tapi kau diam saja, mama pikir kau tidak keberatan dengan itu, sayang."

Alena sedikit kecewa lantaran mamanya bisa se ceroboh itu. Meskipun kelinci itu pemberian dari Glen, tapi ia sudah sayang terhadap kelinci lucu tersebut. Dan sekarang ia tidak hanya kehilangan Glen saja, ia juga kehilangan kelinci yang menemaninya di kala merasa sepi.

Alena melipir pergi dari hadapan mamanya. Ia berniat untuk pergi ke kamar.

"Glen sudah sepantasnya di lupakan bersama kenangannya, sayang. Termasuk kenangan yang ada di dalam ingatanmu!"

Langkah Alena terhenti. "Tidak semudah itu, ma. Tapi aku akan berusaha," sahut Alena sebelum melanjutkan langkahnya.

Nyonya Alfi hanya bisa menghembuskan napas. Jujur ia ikut kecewa dengan Glen karena pria itu sudah mematahkan hati putrinya.

Alena menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Tidak ada lagi yang membuat dirinya semangat menjalani hari-hari. Ia merasa sudah kehilangan separuh dunianya.

Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar menjalani hubungan. Padahal selama setahun itu ia sama sekali tidak pernah mencurigai Glen dekat dengan wanita lain. Perlakuan dan sikap pria itu sama sekali tidak pernah berubah. Glen selalu bisa membuatnya tersenyum dan senang. Hingga suatu hari ia mendapat kabar jika Glen akan menikahi sepupunya karena sudah hamil dua bulan.

"Aarrgghhh ...."

Alena melempar bantal, guling, dan benda lain yang mampu ia jangkau. Sebenarnya dari kemarin ia ingin meluapkan emosinya, hanya saja kemarin masih terlalu syok.

_Bersambung_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!