Seorang wanita datang ke sebuah sekolah. Ia dimintai tolong oleh Kakak iparnya mengantar bekal untuk dua keponakanya.
Wanita itu, adalah Aline Michaela. Wanita cantik yang tak kenal cinta dan menganggap cinta itu hanyalah sesuatu yang membosankan. Karena itu ia sering kali berganti-ganti kekasih. Aline akan langsung memutuskan hubungan kalau ia bosan. Meski begitu, banyak pria yang rela antri hanya untuk bisa menjadi kekasih Aline.
Usianya sudah cukup untuk menikah. Namun, Aline bahkan tak tertarik untuk menjalani hubungan serius dengan siapapun. Papa, dan dua kakak serta dua kakak iparnya pun dibuat pusing oleh Aline.
***
Aline melihat sekeliling sekolah. Ia berjalan cepat menaiki tangga mecari kelas dua keponakannya. Kebetulan ia bertemu wali kelas dua keponakannya di tengah jalan.
"Hallo, Nona Aline." sapa Guru.
"Hallo, Bu Hana. Kebetulam sekali, saya hendak ke kelas mengantar bekal Yurika dan Yeriko." kata Aline.
"Berikan saja kepada saya. Nanti saya akan berikan pada Yurika dan Yeriko." kata Guru itu.
Aline yang memang sedang buru-buru pun langsung memberikan dua tas bekal milik dua keponakannya pada Guru yang ditemuinya itu. Ia mengucapkan terima kasih dan langsung berpamitan pulang.
Aline menuruni tangga pelan-pelan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, ia mendapat pesan dan langsung membalas pesan temannya. Dalam perjalanan menuju parkiran, saat ingin turun tangga, ia melihat ada dua anak laki-laki sedang bertengkar.
Salah seorang tiba-tiba mendorong dan membuat si anak lain jatuh. Aline langsung menolong sampai menjatuhkam ponselnya, sehingga anak itu berada dalam dekapannya. Sialnya, tubuhnya tidak imbang dan ia pun merasa akan jatuh. Aline segera mendorong si anak dalam dekapannya dan ia pun jatuh berguling-guling di tangga.
Anak yang ditolong Aline langsung berteriak, dan membuat keributan. Sehingga ramai orang datang. Seorang guru bertanya pada si anak yang ditolong Aline, apa hal yang terjadi? Dan anak itu langsung menunjuk ke arah tangga. Terlihat Aline terkapar dilantai dan tak sadarkan diri.
***
Di rumah sakit. Aline sudah mendapatkan pewatan. Beruntung tidak ada masalah serius dialami Aline. Saat jatuh Aline menindungi kepalanya dengan dua tangannya. Meski begitu ia mengalami memar dan luka-luka dikejur tubuh karena berguling dari tangga yang cukup tinggi.
Aline melihat seorang anak menangis di sampingnya. Saat tahu itu adalah anak laki-laki yang ditolongnya, Aline memanggil anak itu mendekat dan bertanya apakah anak itu baik-baik saja atau tidak.
"Hei, kamu tidak apa-apa? apa kamu terluka?" tanya Aline.
Anak itu menggeleng, ia menyeka air matanya dan terisak-isak. Aline tersenyum, memegang tangan anak itu.
"Apa kamu takut? Aku tidak apa-apa. Lihat, hanya luka kecil." kata Aline.
"Maaf, Bibi ... " kata anak itu dengan suara serak.
"Maaf untuk apa? Aku jatuh bukan salahmu. Itu karena aku tidak bisa menyeimbangkan tubuhku," jawab Aline.
Aline merasa kasihan pada anak di hadapannya. Ia pun bertanya apa alasan anak itu bertengkar dengan temannya? anak laki-laki itupun bercerita, Kalau ia kesal karena anak yang mendorongnya selalu jahat padanya dan mengatainya.
"Dia anak nakal. Selalu menggangguku," kata anak itu.
"Begitu, ya. Apa kamu sudah bilang pada Papa dan Mamamu? Mereka perlu tahu, agar bisa bicara dengan gurumu di sekolah," kata Aline.
Anak itu menggeleng, "Aku tidak punya Mama, dan Papa sibuk. Aku tidak mau membuat Papa khawatir dan kerepotan." kata Anak itu.
Aline mengerutkan dahi. Ia merasa sedih setelah tahu anak laki-laki itu tak punya Mama dan hanya hidup bersama Papanya.
"Siapa namamu?" tanya Aline menatap anak laki-laki itu.
"Maximilian. Kalau Bibi?" tanya balik Maximilian.
"Aline," jawab Aline tersenyum.
Tiba-tiba pintu ruang rawat Aline terbuka dan seseorang masuk memanggil nama Maximilian.
"Max ... " panggil seseorang itu.
Maximilian memalingkan pandangan ke arah orang yang memanggilnya, "Papa ... " panggil Maximilian berlari mendekati sang Papa.
Maximilian memeluk Papanya dan menangis tersedu-sedu dipelukan sang Papa. Papa Maximilian menenangkan putranya, ia mengusap-usap punggung putranya.
"Tidak apa-apa. Papa sudah tahu semuanya, dan tidak marah." kata Papa Maximilian.
Maximilian melepas pelukan, "Tapi karena aku Bibi yang di sana terluka," kata Maximilian terisak.
Papa Maximilian menyeka air mata putranya, lalu mengusap kepala putranya. Ia mengatakan, kalau Maximilian merasa bersalah, seharusnya Maximilian mengucapkan maaf dan juga terima kasih karena sudah ditolong.
Maximilian dan Papanya berjalan mendekati Aline. Begitu melihat dari jarak dekat, Papa dari anak laki-laki yang ditolongnya, Aline langsung berdebar.
"Wah ... tampan sekali," batinnya melongo.
Papa Maximilian memperkenalkan diri. Namanya adalah Owen Alexius. Aline tersentak, ia juga memperkenalkan diri.
"A-Aline Michaela." kata Aline merasa gugup.
"Terima kasih sudah menolong Maximilian. Aku melihat dari rekaman kamera pengawas, kamu mendorongnya sebelum jatuh. Aku juga minta maaf, karena putraku keadaanmu jadi seperti ini." kata Owen.
"Tidak apa-apa. Saat itu aku hanya kebetulan lewat. Beruntung aku bisa menangkapnya sebelum jatuh. Soal aku jatuh, itu karena salahku yang tidak bisa jaga keseimbangan." jawab Aline.
Owen tetap merasa bersalah. Ia pun meminta Aline untuk istirahat dengan nyaman. Owen bahkan sudah minta pada Dokter, untuk Aline dipindahkan ke ruang rawat VIP.
Aline menolak. Ia merasa tak perlu harus dirawat inap. Ia hanya akan beristirahat sampai infusnya habis, lalu pulang. Bahkan sebelumnya Aline sudah bicara pada Dokter yang merawatnya.
Ponsel Owen berdering. Owen memint izin menerima panggilan lebih dulu sebelum lanjut berbincang dengan Aline. Aline menganggukkan kepala, mengiakan.
Aline menatap wajah tampan Owen dengan lekat. Ia tidak sangka, pria tampan di hadapannya sudah punya anak seusia keponakannya. Aline pun menebak-nebak berapa usia pria di hadapannya.
"Oh, ya. Max tadi kan bilang dia tidak punya Mama. Jadi pria ini, duda? wah ... keren. Duda tampan." batin Aline tersenyum senang.
"Bibi, apakah lukanya sangat sakit? wajah Bibi merah," kata Maximilian bertanya.
Aline kaget, "Oh, hanya nyeri sedikit. Tidak apa-apa, Max. Jangan khawatir," jawab cepat Aline.
Aline merasa ia tidak boleh ketahuan kalau sedang memperhatikan Owen dan memikirkan Owen.
"Nona, maaf. Sepertinya aku harus pergi. Ini kartu namaku, kalau butuh sesuatu hubungi saja aku." kata Owen memberikan kartu namamya.
Aline menerima kartu nama Owen, "Ya, terima kasih perhatiannya." kata Aline.
Owen meminta Maximilian berpamitan. Maximilian menurut dan berpamitan pada Aline. Maximilian kembali meminta maaf dan berterima kasih. Ia bahkan meminta izin untuk memeluk Aline.
Aline meminta Maximilian untuk lebih berhati-hati dan segera malapor pada Guru kalau dijahati teman. Maximilian melepas pelukannya dan menganggukkan kepala. Ia berkata akan selalu mengingat pesan Aline.
Owen juga berpamitan. Ia menggandeng tangan putranya pergi meninggalkan ruangan tempat Aline dirawat. Aline tersenyum manatap kepergian Owen dan Maximilian.
Mendapat kabar dari rumah sakit, Aiden langsung bergegas menuju rumah sakit. Ia sangat khawatir pada putri kesayangannya. Benar saja, begitu sampai di rumah sakit, ia langsung mengomeli Aline.
Aline hanya diam saja mendengar Papanya mengomel. Ia tahu kesalahannya, dan juga sudah membuat Papanya khawatir.
"Bisa-bisanya kamu langsung bertindak tanpa berpikir, Aline." gumam Aiden, Papa Aline.
"Papa, kalau aku biarkan, anak itulah yang jatuh. lagipula aku baik-baik saja, kan." kata Aline.
Aiden menghela napas panjang, "Yang seperti ini kamu anggap baik-baik saja? kenapa sifatmu sangat mirip Mamamu, Aline. Benar-benar keras kepala." kata Aiden.
"Kalau bukan mirip Mama, apa akku harus mirip orang lain? bukankah aneh kalau tidak mirip," gumam Aline.
Aiden pun tak bisa berkata-kata lagi. Ia tidak tahu harus seperti apa untuk mengatasi Putrinya itu.
Tidak berselang lama, Alwin dan Sarah datang. keduanya terengah-engah karena sangat khawatir.
"Papa ... bagaimana keadaan Aline?" tanya Alwin.
Aiden menatap Alwin, "Lihat saja sendiri," kata Aiden.
Alwin dan Sarah berjalan mendekati Aline. Sarah kaget, begitu banyak luka dan memar dati tangan sampai kaki, bahkan ada beberapa memar diwajah Aline.
"Astaga, Aline ... bagaimana bisa kamu jatuh?" kata Sarah panik.
"Kamu bukan anak kecil lagi, Aline. Jangan buat kami semua khwatir. Bagaimana keadaanmu? apa kata Dokter?" tanya Alwin khawatir menatap sang Adik.
"Tidak ada luka serius, seperti patah atau retak tulang. Hanya untuk berjaga-jaga, Papa minta pada Dokter untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Papa takut ada yang terlewat," kata Aiden.
"Syukurlah kalau hanya luka dan memar, tapi ini juga pasti menyakitkan. Kamu tidak boleh ke mana-mana sampai sembuh total, Aline." kata Alwin.
Aline menatap Alwin, "Itu ... apa maksudnya? apa aku Kakak suruh menginap di sini?" tanya Aline.
"Lalu kamu mau ke mana dengan kondisimu saat ini? jangan menentang dan menurut saja. Sayang, kamu di sini dulu dengan Papa, aku akan minta pada perawat untuk memindahkan Aline ke kamar VIP." kata Alwin.
"Oh, ya. Pergilah ... " kata Sarah.
Baru sajjja Alwin melangkah beberapa langkah, pintu ruangan diketyuk dan terbuka. Seorang Dokter dan dua orang perawat masuk, lalu menyampaikan untuk pemindahan Aline ke kamar VIP. Aiden dan Alwin terkejut.
"Maksudnya? baru saja saya ingin menemui perawat dan minta Adik saya dipindahkan." kata Alwin.
"Ini permintaan dari seseorang yang mengaku keluarga dari anak bernama Max. Asisten beliau pun sudah melunasi tagihan rumah sakit. Jadi, selama sebulan Nona bisa menjalani perawatan di rumah sakit ini." kata Dokter menjelaskan.
"Maaf, Dok. Boleh saya tahu siapa orang yang membayar biaya rrumah sakit putri saya? atau mungkin Asisten itu meninggalkan nomor teleponnya?" kata Aiden penasaran.
"Oh, sepertinya tadi beliau menulis nama dan nomot teleponnya saat melakukan transaksi pembayaran. Nanti saya salinkan, Tuan." kata salah seorang pearwat.
"Terim kasih," kata Aiden.
Aline pun dipindahkan dengan menggunakan kursi roda, dari kamar rawat biasa ke kamar rawat VIP. Seorang perawat mendorong kursi roda dan perawat lain pergi untuk menyalin nama dan nomor telepon Asisten Owen. Dokter berbincang dengan Aiden. Mereka membicarakan tentang hasil pemeriksaan Aline yang pertama. Karena pemeriksaan kedua akan dilakukan esok hari.
***
Owen membawa Maximilian ke kantor. Karena ia harus rapat, ia pun meninggalkan putranya sendirian di ruang kerjanya. Maximilian menurut. Ia duduk tenang membaca buku menunggu Papanya kembali.
Maximilian terus memikirkan Aline. Ia sungguh merasa bersalah dan ingin membalas kebaikan Aline. Ia pun berencana membujuk Papanya untuk mengunjungi Aline esok hari. Ia ingin memberi Aline hadiah.
Pintu ruangan terbuka. Owen masuk dan melihat putranya sedang membaca buku.
"Apa kamu tidak lapar? mau makan dengan Papa?" tanya Owen menatap Maximilian yang duduk di sofa tak jauh darinya.
"Pa ... " Panggil Maximilian.
"Hm?" gumam Owen. Ia berjalan mendekati putranya.
"Apa besok aku boleh mengunjungi Bibi Aline? mmm ... aku mau memberinya hadiah," kata Maximilian ragu-ragu.
Owen mengusap kepala Maximilian. Ia berkata kalau putranya itu tentu saja boleh pergi, dan memberikan hadiah. Saat ditanya, Maximilian akan memberikan hadiah apa? Maximilian menjawab akan memberikan kue dan bunga.
"Hmmm ... sepertinya itu menarik. " kata Owen memuji putranya.
Maximilian tersenyum bangga, sepertinya apa yang disampaikannya disukai Owen. Setelah berbincang tentang kue dan bunga yang akan diberikan pada Aline esok hari, Maximilian pun mengeluh lapar dan ingin makan. Baru saja anak kecil imut itu mengeluh, perutnya tak lama berbunyi.
Owen tersenyum, "Ayo, Papa gendong." kata Owen mengulurkan dua tangan kehadapan Maximilian.
Maximilian meletakkan buku yang dipegangnya dan menyambut tangan sang Papa. Owen lantas menggendong Maximilian dan membawa putranya itu pergi meninggalkan ruang kerjanya.
***
Owen mengajak Maximilian ke restoran tak jauh dari kantornya. Ia langsung memesankan makanan kesukaan putranya.
"Pa ... " panggil Maximilian.
"Ya, sayang?" jawab Owen.
"Kena Bibi-Bibi yang di sana menatap ke arah kita? aku tidak suka," kata Maximilian.
Owen memalingkan pandangan, membuat dua orang wanita yang menatap ke arah Owen dan Maximilian terkejut. Kedua orng itu langsung memalingkan pandangannya.
"Tidak perlu memedulikan hal yang tidak penting." kata Owen menatap Maximilian.
Sifat Maximilian sangat mirip dengan Owen. Mereka tidak senang diperhatikan dan ditatap lekat oleh orang asing. Juga tak akan banyak bicara pada orang yang dikenal. Tak hanya sifat, wajah Maximilian juga sangat mirip dengan Papanya. Maximilian memiliki wajah tampan dan rupawan.
"Max ... boleh Papa bertanya sesuatu?" tanya Owen menatap putranya.
"Ya, Pa." jawab Maximilian.
"Kenapa kamu tidak memberitahu Papa, kalau selama ini kamu diperlakukan tak baik oleh teman sekelasmu? Apa kamu tidak butuh Papa lagi?" tanya Owen. Ia ingin tahu alasan Maximilian hanya diam saja dan menyimpan kesusahannya sendirian.
Maximilian menunduk, "Karena aku tidak mau membuat Papa kerepotan. Papa kan sibuk bekerja. Aku juga tidak mau membuat Papa marah," kata Maximilian menunduk.
"Nak, dengar baik-baik perkataan Papa ini. Mulai sekarang, kamu harus beritahu Papa kalau kamu merasa kesulitan. Beritahu Papa juga saat kamu butuh bnatuan. Papa tidak akan marah. Papa janji," kata Owen.
"Ya, Pa, Maaf ... " kata Maximilian.
Owen merasa bersalah. Ia berpikir, mungkin selama ini ia terlalu fokus pada pekerjaan dan kurang perhatian pada Maximilian, sehingga putrannya itu berpikir jauh, kalau ia akan direpotkan oleh putranya itu. Padahal sebenarnya Ia kerja keras agar bisa terus memberikan yang terbaik bagi Maximilian. Sebagai orang tua tunggal, terkadang Owen kerepotan membagi waktunya bekerjja dan bermain bersama Maximilian. Karena itu juga, setiap akhir pekan Owen hanya akan fokus memerhatikan dan bermain bersama putranya. Ia tidak mau putranya kesepian karea sepanjang hari ia tinggal kerja. Terkadang kalau lembur, saat Owen pulang, pasti Maximilian sudah tertidur.
Malam harinya ....
Di rumah sakit. Yuna teman baik Aline datang menjenguk. Aline dan Yuna bernincang, mereka membicarakan tentang Owen.
"Hah? A-apa yang kamu katakan? jangan bercanda, Aline!" kata Yuna tak yakin dengan ucapan temannya.
Aline tersenyum, "Aku serius, Yuna. Aku sepertinya sudah jatuh cinta padanya. Tidak tahu kenapa, begitu melihatnya rasanya jantungku melompat ke sana-sini tak karuan. Aku menyukainya," kata Aline.
"Kamu jangan berlebihan. Mungkin saja itu karena dia memang pria yang tampan. Ah ... coba aku lihat diinternet dulu. Siapa tahu ada artikel tentangnya, kan? Siapa tadi namanya?" tanya Yuna. Yang jadi penasaran pada sosok Owen.
"Owen Alexius. CEO GoodFood." jawab Aline.
"CEO GoodFood," gumam Yuna mengulang nama perusahaan Owen dan mengetiknya di keyboard ponselnya.
Begitu melakukan pencarian. Langsung bermunculan artikel-artikel terkait. Yuna tertarik membaca salah satu artikel tentang pendiri GoodFood. Dan ternyata CEO saat ini, yakni Owen Alexius adalah cucu dari pendiri GoodFood. Dengan kata lain, Owen adalah generasi ketiga salah satu konglomerat. Sama seperti Aline.
"Wah ... gilaa ... ini sungguhan? dia, maksudku pria yang kamu kataka bermama Owen itu adalah generasi ketiga." kata Yuna.
"Ya, aku tahu. Aku juga baca diinternet dan mencaritahu semu tentangnya. Sampai makanan, kesukaan bahkan tempat-tempat yang suka dikunjunginya. Sampai aku mencari berita tentang istrinya, yang ternyata istrinya sudah meninggal tak lama setelah melahirkan putranya." kata Aline.
Yuna cukup kaget dengan jawaban Aline. Temannya itu belum pernah seklaipun membaca detail sesuatu terkait seseorang. Padahal Aline di matanya adalah orang yang acuh tak acuh pada sesuatu hal, meskipun itu hal sangat penting sekalipun. Terutama soal lawan jenis.
"Apa dia Aline teman kecilku? saat jatuh tadi isi kepalanya tak bermasalah, kan? kenapa dia aneh sekali?" batin Yuna khawatir.
Yuna menatap Aline. Yuna bertanya, apakah Aline benar baik-baik saja? bertanya kepalanya tak sakit atau semacannya? Aline menegaskan, jika kepalanya baik-baik saja. Saat jatuh pun ia melindungi kepalanya dengan dua tangannya. Karena itu tangannya bayak memar dan lecet.
"Kenapa kamu aneh sekali. Membuatku takut," kata Yuna.
"Aneh? apanya yang aneh? Sepertinya bukan aku yang aneh, tapi kamu. Lihat mataku yang lekat menatapku?" jawab Aline menatap Yuna.
Yuna menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia sungguh merasa aneh. Meski Aline berkata tidak apa-apa, tapi Yuna takut Aline jadi aneh karena terjatuh.
"Oh, Tuhanku. Lindungi dan berikan kesembuhan pada temanku ini. Aku mohon ... " batin Yuna berdoa.
Aline tersenyum memikirkan Owen. Sampai-sampai ia tidak sadar kalau Yuna memperhatikan dan semakin cemas. Yuna yang sangat tahu seperti apa Aline benar-benar dibuat bingung oleh sikap dan ucapan Aline yang aneh. Membicarakan seseorang dengan serius saja, sudah aneh. Ditambah Aline terlihat bersemangat, sampai membaca semua artikel.dan mencari tahu tentang sosok pria bernama Owen Alexius.
"Dia tidak gila, kan?" batin Yuna.
Aline berpikir, bagaimana cara agar bisa kembali bertemu Owen. Ia pun merencanakan sesuatu. Ia ingin berpura-pura tidak baik-baik saja agar diperhatikan oleh Owen.
"Hmm ... kira-kira kalau aku seperti itu dia curiga, atau tidak, ya? kalau mau dekat dengan Papanya, pertama-tama aku harus mendekati Anaknya dulu, kan? Max yang manis itu terlihat sangat merasa bersalah. Aku manfaatkan saja perasaannya itu untuk membuat kami dekat. Hohoho ... kamu memang hebat, Aline." batin Aline memuji diri sendiri.
"Aline ... kamu baik-baik saja? apa yang kamu pikirkan sampai tersenyum sendiri?" tanya Yuna.
Aline kaget. Ia tidak sadar kalau Yuna sedang bersamanya. Aline tersenyum dan mengatakan ka hanya memikirkan sesuatu yang tidak penting.
"Hm, begitu." gumam Yuna.
"Padahal terlihat jelas dari raut wajahnya kalau ia memikirkan sesuatu. Yang dipikikan tak penting katanya? dia mencurigakan sekali," batin Yuna.
Tidak mau satu-satunya teman dekatnya itu khawatir. Aline membahas tentang hal lain. Aline menanyakan tentang perkembangan butik yang Yuna kelola. Karena ditanya soal pekerjaannya, Yuna pun sengat semangat bercerita. Seketika perhatian dan pikiran Yuna teralihkan. Ia tidak lagi memikirkan kecurigaannya pada Aline.
Aline mendengrkan seksama apa yang dibicarakan teman baiknya itu. Aline tersenyum senang melihat betapa semangatnya Yuna saat menceritakan tengang butiknya.
***
Keesokan harinya ....
Aiden datang membawa bubur yang dimasak pelayan rumah. Karena hari sebelumnya Aline mengeluh makanan di rumah sakit hambar, dan ia meminta Papanya membawakannya makanan yang dimasak Bibi palayan rumah.
"Bagaimana keadaanmu, sayangku?" tanya Aiden menatap Aline.
Aline duduk bersandar diatas ranjang pasien. Ia tersenyum cantik menatap sang Papa yang berdiri di sampingnya. Aline berkata, jika ia sudah lebih baik.
"Apa aku masih belum boleh pulang, Pa?" tanya Aline.
"Belum. Hari ini kan kamu akan melakukan pemeriksaan ulang. Menurutlah, Nak. Papamu ini sangat khawatir." kata Aiden.
Aline mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, ya, ya. Aku akan jalani pemeriksaan lagi sesuai keinginan Papa. Jadi Papa bisa lebih tenang sekarang? sejak kemarin Papa terus khawatir." kata Aline.
"Papa mana yang bisa tenang kalau melihat anaknya sakit, huh? makanlah dan minum obatmu." jawab Aiden. Meminta putrinya untuk segera makan dan minum obat
Aline tidak bisa tidak menurut. Ia sangat sayang pada Papanya, dan tidak mau melihat papanya khawatir lagi. Aline langsung minta disuapi makan pada Papanya. Ia bersikap manja karena ingin melihat Papanya tersenyum. Aiden paling senang, kalau Aline mau bermanja-manja padanya. Ia justru khawatir misalkan anaknya tak pernah minta ini itu padanya. Aiden merasa sudah tak dibutuhkan lagi.
Aiden menyuapi putrinya bubur dengan hati-hati dan penuh kesabaran. Itu mengingatkannya pada momen saat Aline masih kecil. Ia tidak sangka putri kecilnya akan tumbuh dewasa dengan cepat.
"Pelan-pelan makan," kata Aiden lembut.
"Papa sudah makan?" tanya Aline. Usai menelan makanan di dalam mulutnya.
Aiden meganggukkan kepala. Msngatakan kalau Bibi palayan rumah memaksanya makan, padahal Aiden sedang tak nafsu makan.
"Papa harus makan secara teratur. Tidur cukup dan tidak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan pekerjaan kantor sampai larut malam. Lantas apa gunanya Papa memasukkan Kak Alwin dan Kak Alvin ke kantor? aku juga akan berusaha keras membantu Papa. Begini-begini aku tak pernah merepotkan siapa-siapa di kantor." kata Aline.
Aiden tersenyum, "Kalau begitu. Masuklah ke kantor pusat. Belajarlah agar kelak kamu bisa menggantikan posisi Papa." kata Aiden.
"Ke-kenapa aku? kan ada dua Kakak?" tanya Aline bingung.
"Alvin akan memegang perusahaan cabang yang ada di luar negeri. Dan Alwin akan memegang perusahaan cabang dalam negeri. Siapa lagi yang akan mengambil alih perusahaan pusat kalau bukan putri Papa? kamu kan bilang sendiri tadi, agar Papa istirahat." kata Aiden menggoda Aline.
Aline kaget. Entah mengapa ia malah tidak senang mendengar apa yang Papanya sampaikan. Ia menilai ia bukanlah orang yang cocok dan bisa mengambil alih. Kinerjanya tak sebanding dengan dua Kakak laki-lakinya, apalagi Papanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!