Di sebuah rumah di pusat Kota Semarang, seorang pemuda sedang menunggu Mamanya bersiap. Hari ini, mereka akan mengunjungi salah satu panti di daerah Ambarawa.
Bayu Cakrawala, pemuda delapan belas tahun itu tak sabar menunggu Kinanti bersiap.
"Ma, jadi kita ke pantinya kan?"
"Iya Sayang, hari ini Sahara ulang tahun jadi Mama mengajakmu kesana."
"Maksud Mama? Astaga aku hampir lupa." Cakra menepuk jidatnya pelan, sampai lupa jikalau hari ini gadis kesayangannya berulang tahun ke tujuh belas. Mereka hanya terpaut usia satu tahun.
Bintang Sahara, gadis kesayangan Cakra di panti asuhan Kasih Ibu daerah Ambarawa. Sejak kecil, Cakra sering ikut mamanya mengunjungi panti asuhan itu. Makhlum saja, Kinanti adalah salah satu donatur terbesar disana.
Seringnya berkunjung membuat Cakra dan Sahara sangat dekat bahkan diam-diam Cakra memendam perasaan pada gadis itu. Perasaan yang Cakra sendiri tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
"Jo, nanti kalau Bapak pulang bilang saja saya dan Cakra ke panti ya?" pesan Kinanti.
Jordan mengangguk, "Nggeh, Bu!"
"Papa semalam nggak pulang lagi ya, Ma?" tanya Cakra.
Kinanti hanya menggeleng sambil tersenyum, meskipun dalam hatinya ia menyimpan banyak tangis kesedihan.
Kinanti tak ingin sang anak tahu keburukan Papanya di luar sana, biarlah ia menahan sakit seorang diri asalkan Cakra hidup didampingi oleh orang tua yang lengkap.
"Ma, boleh mampir toko sebentar? Aku nggak ada kado buat Sahara!" gumamnya.
"Boleh," ujar Kinanti. Ia pun menepikan mobilnya di salah satu gerai yang menjual aneka aksesoris dan boneka.
"Disini gimana? Biasanya gadis seusia Sahara suka sekali dengan boneka." Kinanti mengutarakan pendapatnya.
"Aku lihat-lihat dulu ya, Ma!" Cakra turun bersama Kinanti. Mereka memasuki gerai asesoris pinggir jalan.
Cakra berkeliling sementara Kinanti mencari-cari sesuatu, Ibu satu anak itu juga ingin memberikan hadiah kecil untuk Sahara.
***
Kasih Ibu, Ambarawa.
"Sahara, hari ini Bu Kinanti dan Mas Cakra akan datang! Ibu bisa minta tolong, belikan beberapa camilan untuk sambutan?"
"Bisa, Bu! Kalau gitu Sahara pergi sekarang aja ya? takut nggak keburu. Nanti Bu Kinan malah datang duluan," ujar Sahara.
Ibu Panti menggangguk sambil tersenyum. Entah kenapa, matanya memanas menahan tangis melihat Sahara sudah tumbuh menjadi gadis remaja, bahkan usianya genap tujuh belas hari ini.
"Sahara, maafkan Ibu, Nak!" gumam Ibu panti merasa bersalah karena menyembunyikan identitas orang tua Sahara hingga detik ini.
Flashback on,
Tujuh belas tahun yang lalu, tepat di tanggal ini. Sahabat wanita Arimbi menitipkan Sahara padanya.
"Ar, aku titip anakku! Suamiku gila, kamu tau aku bahkan hampir dibunuhnya. Sekarang, satu-satunya cara agar aku lepas darinya adalah menitipkannya padamu. Aku tak ingin Sagara membunuh anakku, Ar!"
"Tapi kenapa? Bukankah kalian saling mencintai?" tanya Arimbi.
Kinara menggeleng, "hubungan kami terjalin karena perjodohan. Aku memergokinya selingkuh disaat aku mengandung, Sagara selalu memaksaku minum pil penunda kehamilan. Dan sekarang, aku gak kuat lagi, aku titip putriku. Berjanjilah tidak akan memberitahu Sagara sampai kapanpun!" Kinara merasakan sesak di dadanya. Orang tua satu-satunya, Papa meninggal setelah Kinara menikah dan sekarang? Sagara bahkan tak menganggap Kinara sebagai istri layaknya pasangan lain.
"Tapi,---"
Kinara tak kuat menahan sakit pasca operasi, ia seperti memiliki firasat akan pergi jadi menitipkan bayinya pada Arimbi. Berusaha meraih gelas di sisi ranjangnya untuk minum.
"Kinara kamu belum boleh minum," seru Arimbi panik. Pasalnya, Kinara baru dipindahkan ke ruang rawat setelah setengah jam yang lalu obat biusnya habis.
"Aku haus, Ar! Jaga anakku ya! Sahara nama anakku, beri nama dia Bintang Sahara," pinta Kinara meredup.
Arimbi mengangguk, ia tak kuasa menahan tangisnya. Terlebih saat mata Kinara berangsur memejam. Firasat Arimbi tak baik, Kinara akan pergi meninggalkan bayi mungil itu dan dirinya.
Flashback off.
"Andai kamu tahu, Papamu masih hidup apakah kamu akan mencarinya dan menyalahkan Ibu karena memisahkan kalian? Atau kamu tak akan mau bertemu Papamu lagi?" gumam Arimbi.
Lamunannya buyar saat Nana dan Wahyu menghampiri. "Kue ulang tahun buat Kak Sahara udah siap, Bu!"
"Makasih ya kalian, udah bantu Ibu bikin surprize kecil-lecilan untuk kakak!" Arimbi tersenyum menatap anak-anak pantinya. Dimana yang paling besar setelah Sahara adalah Wahyu kemudian Nana. Mereka bertiga masih duduk di bangku SMA. Setelah pulang sekolah membantu Arimbi berkebun dan menjual hasilnya ke pasar-pasar tradisional. Arimbi adalah seorang janda tanpa anak, suaminya meninggal karena Lambung akut dan sejak saat itu ia memilih menjadikan rumahnya sebagai rumah ladang pahala, menampung anak-anak yatim piatu.
Dengan dibantu Wahyu dan Nana serta anak-anak panti lainnya. Arimbi menghias ruang tengah untuk Sahara. Sudah jadi agenda kecil-kecilan bagi Arimbi merayakan ulang tahun anak-anak asuhnya. Menurut Arimbi, merayakan ulang tahun akan membuat seseorang merasa dirinya berharga telah lahir ke dunia ini bagaimanapun nasibnya.
Sahara pulang beriringan dengan mobil hitam legam memasuki pekarangan panti.
Sejenak, Cakra tertegun melihat gadis itu mengusap keringat setelah memarkirkan motor maticnya. Sahara menenteng dua kantong keresek entah isinya apa? yang jelas mau bagaimanapun kondisi Sahara, bahkan jika berlumuran tanah setelah berkebun, gadis itu tetaplah cantik dimana Cakra.
"Assalamu'alaikum," ucap Kinanti dan Cakra setelah turun mobil lalu memasuki emperan panti.
"Waalaikumsalam warrohmatullohi wabarrokatuh, Bu Kinan, Mas Cakra," jawab Arimbi, Sahara dan yang lain bersamaan.
Sejenak Cakra dan Sahara saling tatap lama, sebelum akhirnya memutus pandangan itu dengan mempersilahkan Kinanti dan Cakra masuk ke dalam. Sahara tertegun, ia tak menyangka akan mendapat surprize dari Ibu panti dan adik-adiknya.
"Ibu..." Bukan senang, Sahara malah menghambur dalam pelukan Arimbi dan menangis terisak.
"Selamat ulang tahun Sayang, semoga kamu selalu bahagia!" Arimbi memeluk Sahara disusul adik-adiknya. Pemandangan hangat itu tak lepas dari mata Kinanti. Saking terharunya, ia sampai menitikkan air mata.
"Bu Kinan gak ada yang meluk nih," seloroh Kinanti. Sahara mengusap air matanya lantas berbalik memeluk Kinanti.
"Ehm, Sahara aku juga gak dipeluk?" Cakra berdehem sambil melirik Sahara yang memeluk Mamanya sangat erat.
"Apaan, enggak ah!" pipi Sahara memerah.
Cakra hanya terkekeh melihat ekspresi Sahara yang menggemaskan, apalagi pipi cubby itu akan menggembung jika sedang mode cemberut.
Namun, jika Sahara tersenyum. Lesung di kedua pipinya semakin menambah kadar manis gadis itu.
Sahara memotong kue tart setelah meniup lilin dan merapalkan doa, keinginan sederhananya tahun ini adalah membuat Arimbi dan adik-adiknya bahagia. Itu saja, sesederhana itu.
"Buat kamu sayang, pokoknya doa Ibu yang terbaik buat kamu!" Kinanti menyodorkan paperbag ke pangkuan Sahara.
"Astaga, kado dari Cakra lupa, Ma!" Cakra menepuk jidatnya lantas berdiri.
"Sahara temenin ambil yuk," ajak Cakra.
"Eh!" Sahara mengangguk, lalu mengekori Cakra keluar rumah.
"Kok kesini?" tanya Sahara, saat Cakra justru mengajaknya ke arah taman samping rumah.
"Hm." Cakra berdehem, ia tersenyum tipis tanpa melihat Sahara dan tetap berjalan lurus ke arah gasebo.
"Cakra!" teriak Sahara.
Saat itulah Cakra menoleh dan tertawa.
"Ishhh, rese!" Sahara melipat bibirnya dan bersedekap.
Cakra merogoh sesuatu di sakunya, kotak kado kecil berisi kalung yang ia beli di toko asesoris tadi.
"Happy birthday Sahara, semoga..." Cakra tak melanjutkan kalimatnya.
Sahara menunggu kalimat lanjutan dari bibir Cakra, tapi memang dasar laki-laki itu suka sekali mengusilinya bahkan di momen haru biru malah menjadi momen terbengek.
"Aamiin," seru Cakra lalu menyodorkan kado ke tangan Sahara.
"Apa ini? Kebiasaan kalau doa aku nggak tau isi doamu!" Sahara membuka kado dari Cakra dan kembali dibuat tertegun oleh isinya. Kalung berbandul hati yang sangat cantik.
"Cantik sekali," gumam Sahara dengan mata berbinar.
"Sama kaya kamu," batin Cakra. Sayang sekali bibirnya justru terkunci rapat tak mampu mengatakan pujian sederhana itu. Cakra bukan penggombal sejati yang akan dengan mudah mengeluarkan kalimat manis untuk gadis yang disukainya, Cakra lebih cenderung memendam semuanya seorang diri.
"Makasih," seru Sahara teramat senang.
"Mau aku pakaikan?" tawar Cakra, Sahara langsung mengangguk.
"Cantik sekali," gumam Sahara tak henti-hentinya.
Cakra tersenyum, ia bisa saja bilang pada Sahara bahwa si pemakai kalung itu jauh lebih cantik.
***
Hallo bestie, selamat datang di karya baruku yang ke--- entah!
Tapi doaku, semoga kalian menyukai karyaku kecil ini dan menjadi salah satu pengisi rak favorit kalian.
Salam hangat dariku dan anak baruku hehehe.
Yuk kenalan sama Mas Bayu Cakrawala dan Dek Bintang Sahara. Kisah manis sederhana berbumbu balado. Jangan lupa beri jejak termanis kalian💋
"Melamun apa? Ayo kembali," ajak Sahara.
Gadis itu menyunggingkan senyum termanisnya sambil menarik tangan Cakra menyusuri taman bunga mawar dan beberapa bunga samping panti.
"Sahara..." Panggil Cakra.
Sahara menoleh, "hm, ya?" mengerutkan alisnya menatap Cakra bingung.
"Sudah tujuh belas tahun bentar lagi kelas tiga dong, ya?"
Sahara mengangguk, "iya tapi aku bingung, kayaknya sehabis lulus langsung kerja aja."
"Oh," sahut Cakra. Ia mengekor Sahara masuk kembali ke dalam panti.
"Kalian ini kaya adik kakak aja," seru Kinanti tersenyum melihat keakraban Sahara dan Cakra.
Arimbi pun ikut tersenyum, tak berselang lama Wahyu dan Nana menghidangkan jamuan sederhana untuk makan bersama. Tentu Sahara tak diam, ia langsung menuju meja makan yang bersisihan dengan ruang tamu dan membantu adik-adiknya.
Cakra duduk, ia lebih senang mengamati Sahara dari kejauhan. Hingga pandangannya buyar saat Kinanti menepuk pelan pundaknya, "kamu menyukai Sahara?" tanya Kinanti.
Cakra terdiam, kemudian menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Yakin?" tanya Kinanti sekali lagi. Ia tahu putranya sudah dewasa, sudah mulai bisa membedakan mana perasaan sayang dan mana perasaan cinta.
"Sekolah yang bener dulu Cakra, nanti kalau sudah bisa menghasilkan uang sendiri baru kamu boleh pacaran."
"Hehe, iya Ma."
Kinanti dan Cakra menghabiskan hari minggunya di panti. Tanpa tahu jika seseorang kini tengah marah dan mengamuk di rumah karena tak menemukan keberadaan mereka.
"Selalu begitu, selalu saja ke panti, panti dan panti! Apa tidak bisa hari minggu diam di rumah dan melayani suami, lama-lama aku musnahkan juga itu panti," teriak Lendra marah-marah.
Joan dan Bibi hanya bisa saling tatap dan mengedikkan bahu seolah kode agar membiarkan Tuannya meluapkan kekesalan.
"Tadi Ibu pesan apa Jo?" tanya Lendra.
"Anu, Pak! Ibu cuma bilang mau ke panti sama Den Cakra," ujar Joan.
Brakkkkk...
Lendra membanting kursi, ia kembali meraih mobilnya dan keluar rumah.
Hingga malam tiba dan kembali, Lendra masih tak menemukan Kinanti di rumah. Hal itu semakin membuat Lendra meledakkan amarah dan menjadi-jadi.
Tinnnn...
Joan membuka gerbang, mempersilahkan mobil Kinanti masuk.
Sampai di bagasi, Kinanti dan Cakra saling pandang.
"Papamu sudah pulang!" ujar Kinanti.
"Hm, iya Ma!"
Mereka masuk, akan tetapi disambut tatapan horor Lendra saat sampai di ruang tengah.
"Mas sudah pulang?" tanya Kinanti datar.
"Darimana kalian?" Tanya Lendra dengan nada dingin.
"Dari panti, Pa! Kami kan selalu kesana sebulan sekali." Cakra menjawab dengan perasaan was-was.
"Hm, kalau begitu. Masuklah ke kamar dan bebersih. Papa mau bicara dengan mama."
Cakra mengangguk, baru saja ia menutup pintu kamarnya. Suara gaduh terdengar memekakkan telinga.
Plakkkk...
Tamparan telak langsung mendarat di pipi Kinanti, Lendra menamparnya keras hingga rasa panas langsung menyergap pipi wanita paruh baya cantik itu.
"Sudahku bilang, kalau hari minggu diam di rumah. Aku suamimu! Apa susahnya berdiam di rumah dan layani suami saat ia tak kerja."
"Terus Mas? Menurutmu, aku harus diam di rumah menunggumu padahal kamu sedang sibuk dengan ja lang di luaran sana?" teriak Kinanti.
"Sembilan belas tahun kita sama-sama, aku berusaha menahan diriku agar tidak sakit. Aku berusaha memakhlumi kesalahan-kesalahanmu! Apapun itu. Tapi sekarang? Perkara kecil kamu sampai menamparku," pekik Kinanti. Air matanya menetes, bersama luka yang terus Lendra torehkan.
"Hehhh, seharusnya kamu berkaca! Apa kamu sudah melayaniku dengan baik, aku bosan kamu selalu menyalahkan wanita cantik di luaran sana. Sedangkan kamu? Lihat dirimu? Cantikkah? Bahkan laki-laki miskin di luaran sana bisa melihat dengan jelas mana wanita yang cantik atau bukan," seru Lendra.
"Jadi karena itu, kamu hanya mikirin nafsu dan keinginanmu tanpa memikirkan Cakra!" balas telak Kinanti.
"Cakra sudah cukup dewasa, ia bisa menerima kenyataan dengan baik kalau Mama dan Papanya sudah tak saling mencintai." Lendra menyeringai.
Deg.
Kinanti membeku, inilah akhir dari semuanya. Bertahan hanya akan membuat hati semakin sakit. Mengadu dengan orang tua Mas Lendra pun percuma karena mereka selalu meminta agar Kinanti memakhlumi perselingkuhan suaminya.
Lendra membanting pintu dan pergi setelah meledakkan amarahnya. Sementara Cakra tertegun di balik pintu kamar.
"My first heartbreak," gumam Cakra. Dengan gemetar ia membuka handle pintu dan menghampiri Kinanti yang terisak.
"Cakra," seru Kinanti. Dengan tubuh bergetar Kinanti memegang pipi Cakra.
"Anak Mama sudah dewasa, kamu sudah tahu mana yang baik untukmu dan mana yang bukan untukmu! Mama minta maaf, kalau mama belum bisa menjadi ibu terbaik un--"
"Ma, aku sudah tahu semuanya Ma! Sudah tahu. Berhenti memendamnya sendiri, Ma!" Cakra memeluk Kinanti, diam-diam mengepalkan tangannya erat.
Dialah, Bayu Cakrawala. Pemuda delapan belas tahun itu masih duduk di bangku SMA kelas tiga. Hari-hari menjelang kelulusan, ia malah mendapati pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Kadang, Cakra sampai berfikir seperti apa manusia yang ia sebut Papa itu di luaran sana? Apakah baik? Apakah pantas?
Cakra kehilangan seorang panutan, ia tak lagi mengharap kasih sayang dari Lendra sejak melihat dengan mata sendiri beberapa waktu lalu Papanya memukul sang Mama. Belum lagi suara gaduh tiap kali Lendra memintanya masuk ke dalam kamar. Rumah yang awalnya menjadi tempat Cakra berlindung justru kini terasa engap, sesak dan panas. Andai Cakra punya sedikit saja keberanian, maka meninggalkan rumah yang penuh serpihan kaca berserakan ini sangatlah mudah.
***
Pagi terasa dingin, sayup-sayup Cakra mendengar suara Mamanya memasak di dapur. Meski bukan titisan CEO, kehidupan Cakra terbilang cukup lumayan. Papanya bekerja sebagai manager salah satu perusahaan properti, sementara Mama seorang Ibu rumah tangga yang sehariannya disibukkan oleh usaha cathering. Beradu dengan wajan dan panci, serta bau bumbu masakan setiap hari.
"Ma," sapa Cakra menuruni tangga setelah rapi dengan seragam SMA-nya.
"Pagi anak Mama, sudah rapi bin ganteng! Mau berangkat sekarang?" tanya Kinanti dengan senyum lebar, seolah tak ada beban.
"Papa,---"
"Papa nggak pulang, udah biarin aja!" potong Kinanti.
Cakra mendekat, lalu memeluk Kinanti dari belakang layaknya anak manja pada umumnya.
Jika seusia Cakra sudah mulai jatuh cinta dengan gadis-gadis cantik, akan tetapi tidak dengan pemuda itu.
Kinanti adalah cinta pertama dalam hidupnya, jadi dalam pikiran Cakra adalah bagaimana cara membahagiakan Mamanya saat ini?
"Cakra berangkat dulu, Mama jaga diri ya? Kalau ada apa-apa langsung kabarin." Cakra mencium tangan Kinanti dan berpamitan.
"Iya, hati-hati sayang. Mama nggak apa-apa selama ada kamu," seru Kinanti.
Cakra berangkat, ia berpesan pada Bibi dan Pak Joan untuk menjaga Mamanya bila sang papa kembali pulang dan mengamuk. Dengan melajukan motornya, ia keluar dari komplek perumahan menuju SMA Bina Bangsa.
Lain dengan Sahara, setiap detik memandangi kalung pemberian Cakra yang menggantung di leher jenjangnya. Kadang terbesit banyak tanya, kenapa Cakra sebaik itu padanya? Pada seorang gadis yatim piatu seperti Sahara.
Apalagi Bu Kinanti! Mama Cakra itu selalu saja memberikan bantuannya untuk ibu panti dan adik-adik agar tak kekurangan makanan. Mulai dari uang untuk tambahan biaya sekolah, beras, susu dan bahan-bahan lain yang kadang selalu dibawakan langsung dari Semarang.
My first breakhheart : patah hati pertamaku.
.
.
.
Duhlah, mensad sekali Abang Cakra ini punya Papa yang jahat🥺
Kamu adalah definisi rumah kedua, setelah rumah pertamaku hancur.
Cakra~
***
Cakra hampir tak sarapan karena memikirkan masalah mamanya. Alhasil, sampai sekolah ia langsung menuju kantin untuk sekedar mengisi perut dengan gorengan atau roti.
"Laper banget ye, sampai diteriakin gak denger?" tanya Rival duduk di sebelah Cakra.
"Aku takut nggak keburu, akhir-akhir ini jarang makan di rumah." Cakra melanjutkan mengunyah potongan roti ke mulut. Setelah tandas, menyeruput teh manis hangat sebagai penutup.
Bell tanda upacara akan dimulai berbunyi. Inilah alasan Cakra nyampir di kantin lebih dulu, karena hari senin adalah hari wajib upacara dan ia harus sarapan.
"Cakra!" seru Rival. Ia seperti ragu mau mengatakan pada sahabatnya atau tidak.
"Hm? Ada apa?"
"Semalam aku lihat papa kamu," ucap Rival ragu-ragu.
"Oh, biarin."
"Tapi dia sama tante-tante cantik, di caffe. Bahkan,--" Rival tercekat kala Cakra menoleh horor padanya.
Tak sampai menjawab, Cakra sudah meloloskan napas berat.
"Dimana caffenya?" tanya Cakra, terjeda oleh siswa lain yang mulai ramai berdiri di lapangan. Ya, tanpa sadar Cakra dan Rival sudah bergabung diantara siswa-siswi kelas dua belas untuk mengikuti upacara bendera.
"Nanti saja lah," gumam Rival selirih mungkin.
***
Pulang sekolah, Cakra berniat mengunjungi caffe yang kata Rival adalah tempat yang sering didatangi oleh Papanya. Bukan kepo dengan permasalahan orang dewasa! Pemuda itu hanya ingin tahu separah apa kelakuan Lendra di luar sana.
"Val, disini tempatnya?" tanya Cakra.
Rival mengangguk, "kayaknya tante cantik itu yang mengurus caffe ini. Soalnya hampir setiap hari Papamu disini, kan aku kalau pulang sekolah suka lewat," jelas Rival.
Cakra kembali menghela napas, "tapi ini jauh banget dari kantor tempat Papaku kerja?" tanya Cakra tak percaya.
Namun, omongan Rival benar adanya. Terbukti mobil pajero warna hitam milik Papanya terparkir di depan caffe baru saja.
"Tuh, itu Om Lendra," seru Rival.
Sontak dua anak berseragam putih abu dengan menggendong ransel itu memasuki area caffe, mengikuti ke arah mana Papa Cakra berjalan.
"Mas, akhirnya datang juga! Kangen tahu." seorang wanita menyambut Papa Cakra dengan pelukan manja. Wanita yang jauh lebih muda dibanding dengan Mamanya.
Rival mengusap-usap bahu Cakra, berharap sahabatnya itu tak sampai emosi.
Namun, di luar dugaan Rival karena Cakra langsung menghampiri Lendra disana.
Prok prok prok...
Cakra bertepuk tangan keras membuat Lendra dan kekasih gelapnya terhenyak.
"Aku baru tahu kalau ada laki-laki paling pengecut di dunia ini, cuihh!" Cakra meludah di lantai. Menatap tajam ke arah Papanya dan tentu ja lang yang ada di pelukan laki tua itu.
"Cakra ngapain kamu disini?" geram Lendra.
"Tentu saja untuk mengejutkan anda, Tuan Lendra yang terhormat! Ceraikan Mamaku, anda selingkuh seolah jadi manusia paling benar. Memukul mamaku di rumah hanya demi menutup satu bangkai yang anda simpan. Hebat, sangat hebat!" seru Cakra dengan nada menekan.
Pengunjung caffe itu sontak memperhatikan mereka yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Lendra memerah marah, sementara wanita yang bersamanya menunduk malu.
"Ceraikan Mamaku!"
"Jaga bicaramu, Cakra!" Lagi-lagi Lendra akan memukul Cakra. Namun, dengan sigap Cakra menahan tangan Papanya itu agar tak sampai mendarat bebas seenak jidat di pipinya.
"Begini cara papa memperlakukanku dan Mama? Selalu memakai tangan? Haha, aku jadi penasaran bagaimana jika tangan itu aku patahkan! Apa masih bisa dengan jumawa menampar kami!"
"Mas, kurang ajar banget anak kamu! Masa sama Papa sendiri malah mempermalukan di depan umum." Wanita yang ada di samping Lendra berusaha mengompori.
"Pulang kamu! Kita bisa bicarakan di rumah, bikin malu saja." Lendra menatap tajam Cakra.
"Oh, begitu! Jadi kalau di rumah, papa bisa lebih leluasa melempar meja dan kursi tanpa terlihat orang lain. Ck!"
"Oh jadi di rumah KDRT."
"Wah, gila ya udah kdrt, main perempuan lagi. Mana anak tau di depan mata. Aduh bapak, malu sama umur yang udah bau tanah."
"Ck ck ck, ternyata pemilik caffe ini gak lebih dari seorang simpanan pria beristri. Ayo semuanya, kita pindah."
Beberapa orang berbisik dan saling julid setelah menyaksikan perdebatan Cakra dan Lendra.
Rival yang sedari tadi menunggu di jarak aman berangsur mendekat dan menarik Cakra.
Bahkan pengunjung caffe langsung memutuskan pindah tanpa menunggu pesanan mereka datang.
"Kamu tuh ya, perusuh!" pekik wanita itu.
Lendra dengan sigap menarik Cakra, akan tetapi tertahan oleh Rival.
"Om jangan kasar ya sama Cakra," serunya membela.
Sebenarnya sedari tadi ia sudah ga tal ingin maju, tapi Rival memilih memberikan ruang untuk Cakra mengungkapkan kekesalannya.
"Jangan ikut campur urusan keluarga saya," tekan Lendra.
Cakra menginjak sepatu Papanya lantas kabur bersama Rival.
"Kurang ajar!" maki Lendra.
***
Cakra ngos-ngosan pun dengan Rival yang terus menarik tangannya.
"Stop udah," serunya menarik napas. Mereka memakai helm dan tancap gass dari caffe tanpa memperdulikan pekikan Lendra.
"Aku ikut, Mas." Wanita itu meraih tas dan mengekor Lendra masuk ke dalam mobil tanpa memperdulikan julidan pengunjung caffe yang menyudutkannya.
Areta memilih cuek dan masuk ke dalam mobil Lendra setelah memasrahkan urusan caffe pada pegawainya.
"Mas kenapa gak langsung cerai aja sih, kita kan bisa segera nikah!" rengek Areta layaknya bocah.
Lendra hanya menghela napas. "Baru-baru ini aku dipromosikan naik jabatan. Jadi tahan dulu lah, nanti image aku di kantor jadi jelek kalau mereka tahu kabar perceraianku karena kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa," seru Lendra tersenyum tipis. Meski sebagian rambutnya mulai memutih, hal itu tak membuat pesonanya sebagai buaya senior luntur.
"Tapi kan Mas bisa menyudutkan Mbak Kinanti, Mas bisa bikin Mbak Kinanti salah di mata orang-orang." Areta masih tak menyerah, enak saja Lendra sudah menidurinya, masa sepanjang hidup harus jadi simpanan. Pikir wanita tiga puluh tahun itu. Karena salah menjalin hubungan dengan Lendra, Areta malah menjelma menjadi pelakor kelas teri.
Lendra memarkirkan mobilnya di luar pagar tanpa berniat membawanya masuk, sementara Areta dengan tidak tahu malu mengekor layaknya anak bebek.
"Kinanti," teriak Lendra diambang pintu.
Dari arah dapur, Kinanti datang dengan daster rumahan sebatas lutut karena ia sedang membuat beberapa pesanan cathering.
"Ck! Mbak-mbak, pantes aja Mas Lendra nggak betah di rumah. Kamu aja kayak gini, lebih mirip ba bu ketimbang jadi istri," seru Areta dengan nada mengejek.
Cakra memakirkan motornya, ia melangkah masuk akan tetapi tertegun saat melihat Papanya marah-marah bahkan sampai tega membawa kekasih gelapnya menginjakkan kaki di rumah.
"Cukup, Pa!" bentak Cakra. Ia langsung merangkul Kinanti dan membawanya menjauh dari Lendra.
"Mama belum selesai Cakra!" kilah Kinanti, ia menyerah! Hari ini juga, ia meminta Lendra menalaknya.
Tanpa sadar, Lendra mengucap talak untuk Kinanti.
Meski sedih tak karuan, Kinanti tetap menegakkan kepalanya.
"Ya kalau udah nggak jadi istri Mas Lendra, kalian angkat kaki dong dari rumah ini," seru Areta girang.
"Dengan senang hati," ketus Cakra.
Sore hari, Cakra dan Kinanti membereskan semua barang-barang mereka. Hingga malam menjelang, mobil hitamnya meninggalkan kediaman Lendra bersama hujan yang sangat deras.
"Kita sekarang kemana, Ma?" tanya Cakra. Impian memiliki keluarga utuh hancur berserakan bersama dengan luka yang Papanya torehkan. Tanpa mau mengerti posisi Mama, keinginan Mama bahkan papanya hanya jadi baji ngan yang hobi menuntut ini itu tanpa mau tahu apapun.
"Gimana kalau cari kontrakan kecil-kecilan, apa kamu keberatan?" Cakra menggeleng.
Setelah memutar beberapa jalan, mereka akhirnya menemukan kontrakan yang pas. Rumah kecil di pinggiran kota Semarang. Meski jauh dari rumah lama, tapi rumah itu strategis dan murah. Terletak di pinggir jalan raya, hanya saja Cakra akan kesulitan berangkat sekolah mengingat motornya masih tertinggal di rumah Papanya.
"Berapa Bu?"
"Tujuh juta pertahun, Bu!"
"Apa bisa dicicil? Maksud saya bayar beberapa kali," mohon Kinanti.
"Bisa nanti saya buatkan perintilannya," seru pemilik kontrakan.
Cakra asik melamun, sedang memikirkan nasib Panti Kasih Ibu. Setelah kehidupan ia dan Mama berubah, apakah mereka masih bisa membantu panti?
Di sela lamunan Cakra, ia ingat akan Sahara.
"Sahara, sekarang kita sama. Rumah pertamaku juga hancur. Bagaimana kalau pada akhirnya aku sama sepertimu, apa aku sekuat dirimu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!