Di sebuah ruangan putih beraroma obat-obatan, Frans melihat Charlynda yang tidak berhenti menangis usai mendapatkan kabar buruk tentang kegugurannya. Sebagai seorang ibu yang kandungannya sudah memasuki usia 4 bulan, tentu saja hal itu menjadi kesedihan yang sangat mendalam bagi istrinya itu. Namun, ada sebuah kemarahan dari sorot mata wanita itu kepadanya sejak ia memasuki ruangan.
“Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan bayiku?! Ini pasti bukan sebuah kebetulan! Penyebabnya pasti karena kutukan yang kau miliki, Frans!” Charlynda meluapkan kemarahan sekaligus kesedihannya kepada Frans.
“Charlynda, aku mohon tenanglah. Kau baru saja mendapatkan perawatan. Tubuhmu masih belum sungguh-sungguh pulih.” Frans mencoba menenangkan istrinya. Ia bisa mengerti kesedihan istrinya saat ini, meski juga ada keterlukaan saat istrinya menyebut kutukan yang ia miliki.
“Tidak, Frans! Orang yang harus disalahkan atas keguguran ini adalah kau! Kau yang menyebabkan aku kehilangan bayiku! Ini semua gara-gara kutukan yang kau miliki itu!” teriak Charlynda tidak terkendali.
Kembali mendengar kata kutukan itu, Frans hanya bisa tertunduk seperti seorang tersangka. Bibirnya tak mampu berucap memberikan pembelaan. Kutukan yang bertahun-tahun dialamatkan padanya kini membuatnya kembali merasa bersalah atas keguguran yang dialami istrinya.
“Saat ini juga aku meminta cerai darimu, Frans! Aku tidak mau hidup bersama laki-laki yang membawa kutukan mengerikan itu!” Charlynda bersuara lantang.
Frans mendongak terkejut dengan kalimat itu. “Charlynda, apa yang baru saja kau katakan?”
“Aku katakan, aku meminta cerai darimu, Frans. Aku menyesal telah menikah denganmu jika seperti ini keadaanya. Kau hanya akan membawa kesialan dalam hidupku dengan kutukan yang kau miliki itu,” ucap Charlynda tajam.
Frans terpejam penuh sesal bersama hatinya yang seketika remuk. Membuat bibirnya lagi-lagi tak mampu berkata-kata. Satu sisi, ia masih ingin mempertahankan pernikahannya, setelah gagal dipernikahan pertamanya. Namun, di sisi lain, jika memang benar kutukan dalam dirinya yang menjadi penyebab semua ini, maka ia akan memilih melepaskan istrinya, ketimbang membuat istrinya semakin menderita karenanya.
“Aku tidak peduli kau setuju atau tidak dengan keinginanku ini, Frans. Karena aku akan tetap menginginkan perceraian ini. Aku tidak mau terkena imbas dari kutukan sialan yang kau miliki itu,” ucap Charlynda tanpa hati.
Frans mengangguk pelan dengan tatapan kesedihan kepada istrinya. “Baiklah jika memang itu yang kau inginkan, Charlynda. Maafkan aku sudah membuatmu menderita karena semua ini.”
“Kalau begitu segera kau urus surat-suratnya dari sekarang, Frans. Aku tidak mau membuang-buang waktu lagi untuk bersamamu,” ucap Charlynda ketus.
***
Beberapa minggu kemudian Frans benar-benar mewujudkan keinginkan Charlynda untuk bercerai darinya di sebuah pengadilan. Dengan tertunduk lesu, ia menerima nasib malangnya yang kembali menduda untuk yang kedua kalinya dan kembali kehilangan calon bayinya untuk yang kedua kalinya.
Keluar dari ruang persidangan, Frans masih mendapati raut kebencian Charlynda kepadanya. Ia mencoba untuk mengerti dengan tatapan kebencian itu. Sebab memang tidak bisa dipungkiri, jika nasib buruk yang menimpa mantan istrinya itu penyebabnya adalah dirinya. Meski begitu, ia tetap melangkah menghampiri untuk mengatakan sesuatu untuk yang terakhir kalinya.
“Charlynda, sekali aku meminta maaf atas nasib buruk yang kau alami ini. Aku sangat berharap keputusan kita berdua saat ini adalah terbaik untuk kita berdua,” ucap Frans.
“Tentu saja perceraian ini akan menjadi jalan terbaik untuk kita berdua, Frans. Karena dengan begitu aku bisa memutus nasib burukku karena kutukanmu itu,” balas Charlynda masih tajam.
Mendengar itu, Frans terpejam penuh sesal.
“Jujur saja aku masih sangat membencimu, Frans. Melihat wajahmu membuatku teringat dengan bayiku yang harus mengalami nasib buruk karena kutukanmu itu. Bayi tak berdosa yang seharusnya masih tumbuh dalam perutku untuk lahir ke dunia, justru harus menjadi korban,” pekik Charlynda menangis.
“Sekali lagi aku minta maaf, Charlynda.” Frans tertunduk pilu.
“Sayangnya permintaan maafmu itu tidak bisa mengembalikan bayiku lagi, Frans.”
“Aku tahu kau sangat terpukul, Charlynda. Namun, bukan berarti aku tidak merasakan hal yang sama sepertimu saat ini. Bagaimanapun dia juga bayiku, karena aku adalah ayahnya. Aku juga merasa terpukul dan sangat kehilangannya,” lirih Frans menahan tangis.
Charlynda terdiam, enggan menatap wajah pilu Frans yang semakin membuatnya benci.
“Baiklah, aku bisa menerima semua kebencianmu kepadaku karena kutukan yang kumiliki itu. Namun, kau harus mengingat satu hal ini, Charlynda. Jika aku juga sangat terpukul dan kehilangan atas meninggalnya bayi kita,” ucap Frans berusaha menegarkan diri.
“Tentu saja kau juga harus merasa kehilangan dan terpukul, Frans. Karena jika tidak, maka kau tidak memiliki hati sebagai orang tua.” Charlynda terus bersikap ketus.
“Fine. Apa pun itu, aku berharap kau bisa mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik setelah ini, Charlynda. Aku doakan, semoga kau bisa menemukan laki-laki yang lebih dariku dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik ketimbang bersamaku. Aku tulus mendoakan kebahagiaanmu.” Frans mengulurkan tangan, mengharapkan sambutan tangan Charlynda untuk yang terakhir kalinya.
“Semoga kau juga bahagia setelah ini.” Charlynda membalas uluran tangan itu, kemudian berlalu meninggalkan Franas.
*****
Pulang ke rumah, Frans langsung melampiaskan semua kesedihannya dengan menangis di sofa ruang tamu. Kesedihan itu bukan lantaran penceraian yang kembali terjadi dalam hidupnya, melainkan karena kutukan yang bertahun-tahun dialamatkan kepadanya ternyata benar-benar nyata. Frans sudah mencoba membuktikan jika kutukan itu tidak nyata, bukan satu kali, tetapi Frans sudah dua kali mengalaminya.
Pernikahan pertama Frans bukan karena cinta, tetapi karena tujuan tersembunyinya yang ingin membuktikan kutukan yang ada padanya, tetapi sang istri justru meninggal dunia dalam keadaan hamil anaknya. Itu semua Frans anggap sebagai musibah, Frans kembali menemukan wanita yang dirasa cocok menjadi pendampingnya, mereka menikah lalu dua tahun kemudian istri keduanya hamil, tetapi lagi-lagi Frans kehilangan calon anaknya, membuat Frans tak bisa lagi menyangkal jika semuanya nyata.
“Apa yang harus kulakukan untuk melenyapkan kutukan sialan itu, Tuhan?” Frans meremas rambutnya frustrasi.
Ya, Frans berada dalam keputusasaan saat ini. Keinginanya untuk bisa memiliki kehidupan normal dalam membina rumah tangga dan membesarkan seorang anak tampak tidak bisa berjalan dengan baik. Dua kali gagal berumah tangga dan gagal melahirkan keturunan, membuatnya dihantui oleh kutukan itu saat ini.
“Bagaimana aku bisa hidup bahagia jika kutukan itu masih terus mengikutiku? Bagaimana aku bisa bahagia, jika orang-orang yang aku sayangi selalu menderita karena kutukan itu?” keluh Frans pada dirinya sendiri.
Punggung tegap Frans kemudian bergetar diikuti oleh suara tangis. “Apa aku memang sudah ditakdirkan untuk tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dan keturunan, Tuhan? Lalu apa gunanya aku hidup jika aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan? Aku manusia biasa yang menginginkan kebahagiaan. Aku butuh keturunan untuk meneruskan semua yang telah aku raih.”
Sebagai laki-laki yang mapan, Frans memang telah memiliki banyak hal dalam urusan memenuhi kebutuhan hidup dan memanjakan hidupnya dengan kemewahan. Namun, tidak dalam urusan percintaan. Bukan karena cinta tak dia dapatkan dari pasangan, melainkan cinta itu sendiri yang tidak dapat tumbuh di hatinya, sekali pun Frans sudah dua kali menikah. Hanya perasan nyaman yang dapat dia rasakan terhadap pasangan, tidak dengan cinta. “Fine. Jika memang kutukan itu yang menginginkan aku hancur, maka aku tidak akan mencari pasangan ataupun keturunan lagi. Akan aku buktikan, jika aku bisa menikmati hidupku dengan apa yang aku miliki saat ini. Aku tidak akan mengharapkan keturunan lagi,” desis Frans berusaha menguatkan diri untuk kembali menata hidupnya.
Pria itu tersenyum kecut menatap rumah yang berdiri kokoh di hadapannya. Rumah tersebut dulu adalah tempat di mana ia pikir tawa dan bahagia akan dapat dia bagi dengan mantan istrinya, Carlynda. Namun nyatanya tetap tak berlangsung lama. Sekarang rumah itu juga yang menjadi saksi kesedihan paling mendalam yang dialami oleh Frans atas kutukan yang nyata ada padanya. Frans tidak menyangka jika kebahagiaan yang selama ini dia rajut bersama Carlynda bisa sirna dalam waktu sekejap mata. Semuanya masih terasa seperti mimpi bagi Frans. Tapi tidak, Frans tidak akan membiarkan keterpurukan menenggelamkannya dalam jurang nestapa.
“Apakah Anda masih ingin di sini, Pak?” tanya sopir pribadi Frans, membuat Frans tersentak dari lamunannya.
“Ah, tidak. Ayo, kita pergi sekarang,” ucap Frans kemudian masuk ke dalam mobil.
Sopir pribadi Frans mengangguk kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya. Di belakang mobil Frans, sebuah mobil yang membawa barang-barang berharga Frans membuntuti mobil Frans.
Seperti pada mantan istrinya, Frans kembali menjual rumah lamanya. Dia bukanlah tipe pria yang suka jejak-jejak mantannya tertinggal di kehidupannya. Maka dari itu Frans menjual rumahnya dan pindah ke rumah yang baru. Hasil penjualan rumah lamanya akan dia donasikan untuk anak-anak yang kurang mampu.
Hari-hari setelah mengurus kepindahannya, Frans lebih banyak menghabiskan waktu untuk di perusahaan. Selain untuk bekerja, di dalam ruang kerjanya ada sebuah ruangan lain yang dari dulu memang didesain seperti sebuah kamar. Pulang ke rumah pun Frans akan tinggal sendiri. Lagi pula tidak ada yang peduli apakah Frans pulang atau tidak jadi pria itu lebih memilih untuk tidur di kantor kalau sedang lembur.
Frans telah bersumpah tidak akan jatuh hati lagi akibat kutukan yang menghantuinya. Tak ayal jika pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dan sikapnya semakin dingin terhadap wanita.
***
Di sisi lain, Lulla tengah bahagia di kediaman Nielshen. Wanita paruh baya itu adalah ibu tiri Frans yang tengah merayakan perceraian Frans dan Carlynda. Dia tertawa bahagia sambil menikmati segelas anggur sambil berjemur di dekat kolam renang.
“Dasar orang-orang bodoh. Kau tidak akan bisa dengan mudah mengambil apa yang harusnya menjadi miliku, Frans. Aku lah pemilik dari semuanya,” cibirnya pada keluarga Frans.
Lula sangat bahagia kala mengingat ucapan peramal kepercayaan keluarga mereka yang mengatakan kalau Frans telah dikutuk supaya tidak bisa memiliki keturunan, dengan begitu putranya–Aren akan menjadi satu-satunya pewaris kekayaan suaminya. Lulla adalah wanita licik yang akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan Frans dari kekuasaan perusahaan Nielshen. Dan kutukan tersebut seakan kartu as untuk Lula.
Apa yang terjadi kepada istri pertama dan istri kedua Frans membuat orang-orang semakin percaya dengan kutukan itu, termasuk Frans. Kini, Lulla yakin kalau tidak akan ada yang bisa menyingkirkan Aren—saudara tiri Frans—dari kekuasaannya memimpin perusahaan Nielshen.
“Pelayan! Ambilkan aku satu botol lagi,” seru Lulla. Hari ini dia sedang merayakan kemenangannya, jadi dia ingin minum anggur yang banyak. Apalagi hari ini tidak ada Aren dan Nielshen di rumah sebab mereka sedang melakukan perjalanan bisnis di luar kota, Lulla bisa melakukan apa saja yang dia mau.
“Maaf, Nyonya. Tapi, kata Tuan Anda tidak boleh minum anggur terlalu banyak,” ucap seorang pelayan sambil menundukkan kepalanya.
“Suamiku tidak ada di sini. Jadi, turuti saja apa yang aku mau!” perintah Lulla dengan suara tinggi.
“B-baik, Nyonya,” jawab pelayan itu pada akhirnya kemudian berjalan cepat masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan sebotol anggur untuk Lulla.
“Dasar pelayan menyebalkan,” gerutu Lulla. Tapi, kemarahan Lulla tidak berlangsung lama sebab dia kembali mengingat kehancuran Frans yang membuatnya merasa sangat bahagia.
*****
Dua tahun berlalu. Frans semakin sukses dalam bisnisnya, membuat namanya dikenal banyak orang. Nama Frans bahkan setiap tahunnya muncul di majalah-majalah bisnis sebagai salah satu pria paling sukses di negaranya. Perusahaannya pun mendapat peringkat kesuksesan yang tinggi, mengalahkan kesuksesan keluarga ayahnya.
Saat ini, pria itu sedang menjalani sebuah rapat penting. Jika dia berhasil bekerja sama dengan perusahaan kliennya, maka hotel milik Frans akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Dengan saksama Frans memerhatikan presentasi dari kliennya mengenai kerja sama mereka nantinya. Sesekali dia juga mengajukan pendapat untuk kepentingan mereka bersama. Setelah dua jam berada di ruang rapat, akhirnya mereka sepakat untuk bekerja sama.
“Aku senang perusahaanku bisa bekerja sama dengan perusahaan Anda, Pak,” ucap klien Frans ketika mereka berjabat tangan sebelum meninggalkan ruang rapat. “Anda masih muda tapi sangat berpengalaman dalam dunia bisnis. Aku benar-benar kagum dengan kesuksesan Anda.”
Frans terkekeh. “Jangan menyanjungku. Perusahaan Anda juga sangat sukses. Aku senang kita dapat bekerja sama,” balas Frans sambil tersenyum lebar. Pria itu lantas menoleh ke arah sekretarisnya. “Anna, bisakah kau antar Pak Robinson ke depan?” perintahnya.
“Baik, Pak,” jawab Anna.
Setelah Anna dan kliennya pergi, Frans kembali ke ruang kerjanya. Baru saja mendaratkan pantatnya di kursi kebesarannya, sebuah telepon dari temannya sudah dia terima.
“Frans, apakah kau mau bergabung denganku dan Sean nanti malam?” tanya Peter. “Di kelab malam yang semalam aku datangi dengan Sean ada banyak sekali wanita cantik dan seksi.”
Frans terkekeh kecil. “Malam ini kau datang saja ke mansion-ku. Aku sedang ingin merayakan keberhasilanku hari ini,” balas Frans.
“Tapi, di mansion-mu tidak ada wanita cantik yang bisa aku goda,” ujar Peter.
“Terserah kau saja kalau tidak mau datang. Aku akan meminta Sean datang ke rumahku,” ucap Frans kemudian menutup teleponnya.
Malam harinya, Frans dan Sean telah berada di basemen mansion milik Frans sambil minum minuman beralkohol. Di mansion Frans, basemen dia jadikan sebagai tempat bersenang-senang. Ada sebuah bar di mana dia meletakkan berbagai jenis alkohol, sebuah meja biliar, hingga tempat gym. Semuanya lengkap di sana.
“Apakah Peter benar-benar tidak akan datang ke sini?” tanya Frans.
Sean mengedikkan bahunya. “Entahlah. Pria itu benar-benar mata keranjang. Aku sampai malu memiliki teman seperti dia,” balas Sean sambil tertawa.
Ting!
Bel rumah Frans berbunyi. Frans pun naik ke lantai satu dan membuka pintu. Matanya membelalak lebar saat melihat Peter datang dengan beberapa wanita yang dia sewa khusus untuk menghibur mereka. Peter bahkan merangkul dua wanita sementara beberapa wanita lain berdiri di belakangnya.
“Kau benar-benar tidak waras, Peter,” gerutu Frans yang dibalas Peter dengan tawa renyah. Mereka pun pergi ke basemen mansion Frans untuk bersenang-senang.
Malam itu, Frans dan kedua temannya menikmati kebersamaan mereka dengan wanita-wanita bayaran itu.
Tampan dan mapan membuat Frans dikelilingi banyak wanita. Tapi, sampai sekarang tidak ada satu pun wanita yang berhasil masuk ke dalam hatinya. Dua pernikahan yang dia jalani di masa lalu ia lakukan karena sedikit ketertarikan dan dia ingin mencoba peruntungan. Namun, setelah kutukan itu terbukti nyata, Frans tak lagi peduli dengan wanita. Pria itu lebih memilih menghabiskan waktu luangnya untuk bersenang-senang.
“Aku ingin kalian bersiap-siap untuk liburan musim panas tahun ini karena aku yakin sekali kalau jumlah pengunjung hotel akan membludak. Terima kasih atas kerja sama kalian. Pastikan jangan sampai ada komplain dari pengunjung.” Frans membereskan beberapa dokumen dari meja, kemudian berdiri. “Baik, aku rasa rapat ini sudah cukup. Silakan kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing,” ucapnya kemudian keluar dari ruang rapat disusul para petinggi hotel miliknya.
Suara langkah kaki cepat terdengar menyusul Frans. Seorang wanita bertubuh ramping yang tak lain adalah sekretaris Frans berusaha mengimbangi langkah Frans sebab ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada bosnya itu.
“Maaf, Pak. Aku ingin mengingatkan kalau sebentar lagi Anda memiliki rapat dengan klien penting. Tadi, aku mendapat laporan dari pihak resepsionis jika mereka sudah datang,” jelas sekretaris Frans setelah menyejajarkan langkahnya dengan langkah Frans.
Drrtt ... Drrtt ....
Belum sempat Frans menjawab, suara dering ponsel Frans terdengar. Pria itu merogoh kantong celananya dan memeriksa siapa yang meneleponnya. Melihat nama ayahnya di layar ponsel membuat Frans mengerutkan dahinya. Pasalnya, Jorgie Nielsen jarang sekali menelepon Frans. Dalam setahun mungkin Jorgie hanya menghubungi Frans satu atau dua kali saja.
Frans melirik ke arah sekretarisnya. “Ajak mereka langsung ke ruang rapat. Aku akan mengangkat telepon ini sebentar. Mungkin sekitar sepuluh menit,” ujar Frans
“Baik, Pak,” jawab sekretarisnya. Dengan patuh wanita itu langsung berjalan menuju ke arah lift sementara Frans masuk ke dalam ruang kerjanya.
Pria itu mengangkat panggilan tersebut kemudian menempelkan ponsel ke telinganya. Dia masih tidak mengatakan apa-apa sampai Jorgie yang terlebih dahulu membuka suara.
“Halo, Frans. Kamu apa kabar?” sapa Jorgie.
Frans menghela napas. “Tidak perlu banyak basa-basi, Ayah. Aku tahu pasti ada sesuatu yang ayah inginkan,” balas Frans.
“Frans, ayolah. Memangnya aku selalu meneleponmu hanya jika aku menginginkan sesuatu?” tanya Jorgie.
Frans tersenyum kecut. “Ada apa, Ayah?” tanya Frans pada akhirnya sebab dia malas kalau harus membahas sesuatu yang menurutnya sangat tidak penting.
“Sebentar lagi aku akan mengadakan pesta ulang tahun perusahaan keluarga kita. Aku harap kau mau datang,” jawab Jorgie penuh harap. Di ulang tahun perusahaannya akhir pekan nanti, Jorgie ingin seluruh anggota keluarganya berkumpul.
“Kalau aku tidak datang?” tanya Frans.
“Aku ingin kau datang, Frans. Apakah kau tidak rindu denganku?” Jorgie balik bertanya.
Frans tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan datang,” ucap Frans kemudian menutup teleponnya meskipun sang ayah sebetulnya masih ingin mengobrol panjang lebar dengan Frans. Pria itu sebetulnya masih berharap Frans bisa menjadi penggantinya di perusahaan, namun mengingat kutukan yang dimiliki Frans membuat Jorgie tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah menutup telepon, Frans tidak langsung bergegas menuju ke ruang rapat. Pria itu justru termenung mengingat kejadian tiga belas tahun yang lalu. Saat itu ....
Matahari bersinar dengan sangat terang kala seorang pria berdiri di atas podium untuk menerima penghargaan sebagai lulusan universitas termuda. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh tahun, Frans sudah lulus dari universitas dengan gelar cumlaude. Sebagai seorang pria yang sangat berprestasi, Frans dapat menyelesaikan studinya lebih awal karena sejak masa sekolah dia berkali-kali mengalami kelas akselerasi.
Dengan berakhirnya studi yang dijalani oleh Frans, itu artinya dia sudah siap untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin perusahaan Nielsen. Pria itu pulang dengan senyuman bangga di wajahnya. Apalagi dari saat ayahnya menghadiri acara wisudanya, pria itu tidak henti-hentinya mengatakan kalau dia sangat bangga dengan Frans.
Namun, tak semua orang bahagia di hari itu. Contohnya Lulla. Ibu tiri Frans justru merasa tak tenang sebab posisi putranya akan terancam. Dia tidak mau Frans menjadi pemimpin perusahaan Nielsen sementara putranya hanya menjadi bawahan saja. Padahal, Aren pun tak masalah jika dia tidak menjadi pemimpin. Tapi Lulla dan egonya tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Dengan otak liciknya, dia mencoba untuk menghasut sang suami supaya Frans tidak dijadikan pemimpin perusahaan.
“Sayang, apakah kau yakin kalau kau akan memberikan kepemimpinan perusahaanmu kepada dia?” tanya Lulla. Saat ini, dia sedang berada di kamar bersama dengan sang suami setelah seharian menghadiri acara wisuda Frans. Dia ingin memanfaatkan kesempatan untuk menghasut Jorgie supaya tidak jadi memberikan takhtanya kepada Frans.
“Dari dulu aku memang berencana untuk memberikan kekuasaan perusahaan kepada Frans setelah dia lulus. Sekarang Frans sudah lulus, apalagi yang harus aku tunggu?” Jorgie balik bertanya.
“Memangnya apa kau tidak takut kalau orang-orang tahu salah satu anggota keluarga Nielsen terkena kutukan? Aku, sih, tidak bisa membayangkan kalau Frans semakin terkenal nanti pasti semakin banyak orang yang tidak mau berbisnis dengan perusahaanmu lagi,” ucap Lulla.
Sebetulnya apa yang dia katakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan bisnis. Di dalam bisnis rasanya tidak mungkin ada orang yang memikirkan tentang kutukan. Apalagi jika kutukan itu belum terbukti terjadi. Tapi, Lulla harus melakukan segala cara untuk menghasut Jorgie asalkan Aren yang akan mendapatkan posisi Jorgie.
“Kau ini bicara apa? Kutukan itu belum tentu benar. Jadi, tidak perlu berlebihan seperti itu,” balas Jorgie kemudian duduk di sofa.
“Aku bukannya berlebihan. Tapi, aku tahu bagaimana gosip bisa cepat menyebar di era digital seperti ini. Gosip semacam ini pasti bisa merusak citra perusahaan keluarga Nielsen,” ucap Lulla tidak mau kalah.
Jorgie terdiam di tempatnya, memikirkan ucapan Lulla dengan saksama. Melihat keraguan di kedua bola mata suaminya, Lulla tentu merasa sangat bahagia. Wanita itu bahkan tersenyum miring sebab dia yakin sekali kalau Jorgie akan membatalkan rencananya untuk memberikan kepemimpinan perusahaan kepada Frans.
Keesokan harinya, apa yang diinginkan Lulla terjadi. Saat sedang sarapan, Jorgie mengungkapkan keraguannya untuk memberikan jabatan tinggi kepada Frans akibat kutukan yang hinggap di hidup Frans. Jorgie bahkan juga menyatakan kalau dia akan memberikan takhtanya kepada Aren.
Frans tidak merasa keberatan sama sekali, pria itu bahkan pergi dari rumah. Dan dengan bermodalkan tabungan almarhumah ibunya saja, Frans akhirnya membangun usaha yang berakhir sangat sukses, bahkan jauh lebih sukses dari kerajaan bisnis keluarga Nielsen. Frans bahkan tidak pernah kembali ke rumah kecuali kalau ada sesuatu yang penting.
Ya, kekecewaan Frans pada sikap ayahnya yang dengan mudah percaya dan menggantikan posisinya hanya karena sebuah kutukan yang jelas tak akan berpengaruh pada perusahaan.
Bukan posisi tinggi yang Frans harapkan, tetapi tidak dikuculkan lah yang Frans inginkan dari ayahnya sendiri. Ayah yang seharunya melindunginya.
Kembali ke masa sekarang.
Frans tersenyum kecut saat mengingat bagaimana sang ayah lebih mempercayai
kutukan itu daripada dirinya. Namun, setelah apa yang terjadi di dalam pernikahannya, dia tidak menyalahkan keputusan ayahnya lagi. Mungkin benar jika dirinya memang telah dikutuk.
“Kutukan itu membuatku kehilangan semuanya. Apakah aku bisa menghilangkan kutukan itu?” gumam Frans sambil menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang kerjanya tatkala mengingat masa lalunya yang pahit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!