"Ummi …”
Wanita paruh baya yang menggunakan gamis berwarna cokelat lengkap dengan jilbab langsung berwarna sama itu pun menoleh.
“Masya Allah, Shabira. Agustina Shabira.”
Mata wanita paruh baya itu pun berbinar. Ia membentangkan kedua tangannya untuk menerima tubuh sang putri yang telah lama meninggalkan rumah.
Agustina Shabira yang biasa dipanggil Tina di kantornya, sedari kecil ia dipanggil Bira atau Shabira.
“Ummi.”
Tina berlari menghampiri sang Ibu dan langsung bersimpuh.
“Bangunlah, Nak!” Hasna, istri yang lembut dan ibu yang tak pernah mengeluarkan kata kasar untuk anaknya itu pun mencoba mengangkat bahu Tina.
“Tidak, Ummi. Bira ingin sujud di kaki Ummi. Bira sudah banyak salah sama Ummi. Bira kabur dari rumah dan membuat Ummi selalu dimarahi Abi.”
Tina terus bersimpuh dan mengecup punggung kaki sang ibu
Hasna pun berjongkok. Ia memegang bahu putrinya. Bahu yang dulu begitu kokoh dan yakin bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi kini, terasa rapuh.
“Ummi yakin kamu akan pulang. Ummi yakin, suatu saat doa Ummi dikabul Allah. Dan hari ini adalah jawabannya.”
Hasna tampak senang. Rona bahagia benar – benar terpancar di wajah itu. senyumnya mengembang saat melihat sang putri yang pergi selama lebih dari dua tahun itu pun kembali.
Walau, Tina juga tetap berkomunikasi pada sang Ibu dan tetap menelepon saat hari raya, tapi tetap saja kehadirannya dibutuhkan kala itu. Dan, Tina tidak bisa menampakkkan batang hidungnya karena sudah pasti jika ia pulang, ia akan dicincang oleh sang ayah yang merupakan pimpinan pondok pesantren ini.
Airmata Tina mengucur deras. “Ummi, ampuni Shabira.”
Kedua tangan Hasna membimbing bahu itu untuk berdiri. Isakan sang putri terdengar menyayat hati, membuat Hasna pun tak kuasa untuk tidak ikut menangis.
Kedua wanita yang berada di dapur itu pun berpelukan erat diiringi dengan isakan tangis. Tina tiba di rumah ini saat lima belas menit adzan isya akan berkumadang. Hasna pun berada di dapur dan hendak memasuki kamar mandi untuk berwudhu. Namun, ia dikejutkan dengan kedatangan sang putri dari pintu belakang.
“Allohu akbar, Allahu Akbar.”
Suasana haru itu semakin haru, saat pelukan sang ibu yang berada dalam tubuh putrinya itu disambut oleh suara adzan. Airmata Tina semakin mengalir deras. Keangkuhan di usia mudanya kala itu menghantarkannya menuju jalan yang salah. Ia terlena oleh kenikmatan dunia yang ditawarkan melalui keputusannya sendiri.
Tina, dengan nama lengkap Agustina Shabira adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Tina lahir dari keluarga yang taat agama. Sang ayah memiliki pondok pesantren. Pondok yang dibangun oleh kakek Tina dan kini ayahnya lah yang meneruskan kepemimpinan itu, dibantu oleh kakak laki - laki Tina yang pertama.
Tina memiliki dua kakak. Yang pertama laki – laki berusia tiga puluh dua tahun, memiliki istri solehah dan dua orang anak, sedangkan kakak kedua Tina berusia dua puluh delapan tahun dan berjenis kelamin perempuan. Kakak perempuan Tina menikah tiga tahun lalu, tepat satu tahun sebelum Tina kabur dan dia belum dikaruniai anak.
Kedua kakak Tina menikah melalui perjodohan. Ketika kedua kakaknya sudah menyelesaikan pendidikan dan siap menikah, maka sang ayah segera mencarikan calon untuk mereka. Begitu pun dengan Tina. Saat ia telah lulus kuliah, maka sang ayah segera mencarikan calon suami untuknya. Hal itu, yang membuat Tina tak terima hingga mengambil keputusan untuk pergi dari rumah.
Tina merasa bahwa hidupnya selalu di atur oleh sang ayah. Ia melihat dari bagaimana sang ayah mengatur hidup kedua kakaknya dan Tina tidak ingin menjadi seperti kedua kakaknya. Ia ingin mencari cintanya sendiri dan lepas dari rumah yang penuh dengan aturan. Tina belum menyadari bahwa yang dilakukan sang ayah adalah demi kebaikan dirinya sendiri. Dan kini, ia pun baru menyadari, ternyata dunia diluar begitu kejam. Keputusannya untuk pergi dari rumah dan tidak dalam pengawasan keluarga membuat hidupnya tak tentu arah.
Saat adzan masih berkumandang, pikiran Tina melayang mengingat semua dosa yang ia lakukan. Airmatanya terus mengalir deras. Di sini lah tempatnya pulang. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan anak – anaknya ke jurang. Walau keras dan seperti selalu diatur, tapi ternyata hidup memang perlu sebuah aturan. Hidup memang perlu rambu – rambu agar seimbang dan Tina telah menerobos aturan itu hingga kini hidupnya pun tampak tak beraturan.
“Maafkan Bira, Ummi.” Tina kembali bersuara saat adzan selesai berkumandang.
Hasna menatap mata penuh sesal itu dengan sendu. “Ummi memaafkanmu, Sayang.”
Kedua tangan yang lembut itu menghapus airmata yang mengalir di pipi Tina. Tidak ada yang lebih menenangkan selain pelukan sang Ibu, apalagi ditengah hatinya yang sedang gundah gulana.
“Bira menyesal telah membangkang pada Abi. Apa Abi masih mau menerima Tina lagi di rumah ini?” tanya Tina sedih pada sang Ibu saat pelukan itu mulai terlerai.
“Abimu memang terlihat galak, tapi hatinya lembut, Nak. Dia seperti itu karena sayang padamu, sayang pada Mas Abid dan Mba Arafah.”
Hasna menarik nafasnya kasar sembari tersenyum. “Abi melakukan itu hanya ingin melihat anak – anaknya tetap pada garis yang dia yakini benar. Ummi dan Abi hanya ingin yang terbaik untuk kalian, walau mungkin cara kami dinilai salah.”
Tina mengangguk. ia baru menyadari bahwa semua aturan dan ketegasan itu adalah benar. Semua memang yang terbaik untuknya, hanya saja jiwa muda yang masih terselimuti nafs*, membuat Tina berpikiran lain. Saat sang ayah bersikap tegas dan keras, Tina justru malah berpikir bahwa dirinya bukanlah anak kandung sang ayah. pemikiran salah yang kini ia sesalkan setengah mati.
“Bira takut sama Abi, Ummi.”
Hasna masih mengulas senyum. “Karena itu kamu datang lewat pintu belakang?”
Tina mengangguk. “Bira takut dicincang Abi.”
Hasna pun tertawa. “Mana ada ayah yang tega mencincang anaknya. Itu hanya omongan Abi saat marah saja.”
“Ya sudah, Ayo, masuk ke dalam!” Hasna mengajak putrinya untuk masuk ke kamar. Ia pun membantu membawakan tas Tina yang kecil.
“Kamu pasti lelah, perjalanan dari Jakarta ke sini kan cukup jauh.”
Tina mengangguk.
“Kamar kamu masih seperti yang dulu.” Hasna membuka pintu kamar sang putri yang dahulu ditempatinya sejak kecil. “Ummi tidak merubah kamar ini. semua letaknya masih sama seperti sebelum kamu tinggalkan. Ummi hanya membersihkannya saja.”
Tina mengedarkan pandangan ke penjuru kamar itu. Kamar yang menjadi saksi kala dirinya bahagia dan sedih. Atau saat isi kepalanya mulai membangkang dan ingin menjadi diri sendiri. Lalu, Tina menatap poster band kesukaannya. Karena poster ini, sang Ibu harus terkena murkanya sang ayah.
“Poster ini belum dirobek Abi, Mi?” tanya Tina tersenyum sembari menunjuk poster yang menempel di dinding dalam kamarnya.
Hasna menggeleng. “Belum.”
“Sewaktu kamu pergi, Abi masuk ke kamar ini. Ummi pikir, Abi akan merobek poster ini, tapi ternyata tidak. Dia hanya duduk dan menatap kamarmu.”
Mata Tina pun kembali menggenang. Sejak SMA, ia memang sangat menggemari grup band asal korea yang ke semua personilnya berjenis kelamin laki – laki. Setiap kali Tina membeli barang – barang yang ia idolakan itu, sang ayah membuang atau membakarnya. Dan yang tersisa hanya poster itu.
“Ya sudah, istirahatlah dulu. Ummi mau wudhu sekalian membuatkanmu minum.” Hasna mengusap kepala putrinya dengan lembut sebelum meninggalkan.
“Ummi,” panggil Tina kepada sang ibu yang sudah berdiri di pintu kamar yang terbuka.
Hasna pun menoleh.
“Bira sayang Ummi.”
Hasna pun tersenyum. “Ummi juga sayang kamu.”
Akhirnya, ia kembali pulang ke rumah. Rumah yang sudah dua tahun lebih ia tinggalkan dan tidak didatanginya sama sekali.
Tina mengusap tempat tidurnya. Sprei itu tampak bersih dan halus. Sepertinya sang ibu tetap menggantikan kain ini walau tak pernah disentuh pemiliknya.
“Assalamualaikum. Ummi.”
Deg
Suara itu membuat jantung Tina seakan berhenti sejenak. Suara yang paling ia takuti kini telah pulang dari masjid. Setelah Abid dan Arafah menikah, kedua kakak Tina tak lagi tinggal di rumah ini. Mereka tinggal di tempat yang cukup jauh. Abis yang sebelumnya tinggal di samping rumah orang tuanya, Kini berada di Mesir untuk melanjutkan Lc, dia juga memboyong anak istrinya beberapa bulan lalu. Sedangkan Arafah tinggal di Surabaya.
“Ummi, kenapa kamar Bira terbuka?”
Tina mendengar langkah kaki itu yang semakin mendekat. Ia masih terpaku duduk di tepi tempat tidurnya sambil menunggu suara itu mendekat.
“Shabira.”
“Abi.”
Ustman berdiri mematung di ambang pintu kamar yang terbuka. Ia tidak menyangka sepulangnya berjamaah menunaikan sholat isya bersama para santrinya, menemukan sang putri duduk di kamar ini.
Kemarahan yang dulu sempat hingga, kini berubah menjadi sebuah kerinduan.
“Abi.”
Tina berlari mendekati sang ayah dan memeluknya. Ia sudah tidak peduli sang ayah menerima atau akan menolak pelukan itu, tapi satu yang pasti ia akan menebus semua kesalahan ini dengan menjadi pribadi yang diinginkan sang ayah, karena hanya keluargalah tempatnya pulang. Orang tua adalah satu – satunya orang yang menerima keburukannya dengan tulus. Orang tua adalah satu – satunya orang yang selalu bisa memaafkan walau sebesar apapun yang ia lakukan.
Di tempat berbeda, seorang pria dengan perawakan bule, memiliki tubuh tinggi atletis dengan rambut sedikit kepirangan dan berkulit putih bersih, berdiri tepat di depan jendela besar yang ada dalam ruang kerjanya.
Jhon Loius, pria yang baru menduduki posisi CEO itu memandang lurus ke depan. Kedua tangan melipat di dada dengan satu tangan yang memegang ponsel. Matanya menikmati langit cerah dengan warna seperti laut.
Jhon menarik nafasnya kasar. Ia dilema oleh permintaan dua orang yang ia sayang, putri dan kekasihnya.
Tok Tok Tok
“Sorry, Sir.” Bima, asisten Jhon itu pun masuk ke dalam setelah membuka pintu ruangan itu.
Bima langsung meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja Jhon sembari berkata, “Ini dokumen yang terakhir Tina selesaikan, Sir.”
Jhon yang semula berdiri di depan jendela, beralih ke kursi kebesarannya. Ia duduk dan mengambil berkas yang diletakkan Bima.
“Ternyata dia sudah merencakan ini sebelumnya,” gumam Jhon.
“Saya juga terkejut saat Tina mengajukan surat resign. Dan, yang paling saya kaget karena surat itu sudah Sir tandatangani,” sambung Bima.
Jhon menarik nafasnya kasar. Ia tak menyangka gadis polos dan lugu yang menjadi sekretarisnya itu kini menjadi sedikit licik karena ulahnya. Jhon kembali ingat saat pertama kali merubah gadis polos dan lugu itu menjadi liar. Bahkan sekretaris polos itu pun ia jadikan kekasih hingga keduanya hidup seperti pasangan suami istri dalam dua tahun terakhir.
Kini, Tina pergi dan kembali pulang karena ketidakpastian status yang ia berikan. Fokus Jhon masih terbelah antara kebahagiaan sang putri dengan kebahagiaan dirinya sendiri.
Sang putri menginginkan dirinya menikahi ibu dari anaknya. Wanita yang dulu pernah ia cintai sebelum pergi dan membuat hati Jhon kacau. Dan disaat kacau itu, hadir seorang Tina dengan kelakuannya yang sedikit bar – bar, polos, dan lugu yang membuat Jhon kembali tertawa serta hidupnya berwarna.
Setelah terciduk skandal dan menjalin kasih dengan sang sekretaris, tiba – tiba wanita yang bernama Grace datang dengan mengenalkan seorang gadis imut berusia lima tahun. Gadis kecil yang ternyata adalah putrinya karena Grace pergi dengan membawa benihnya kala itu. Grace berkutat dengan pikirannya sendiri dan memilih tidak memberitahukan kehamilannya pada Jhon dan malah pergi.
#Flashback on
“Sir, kopi.”
Tanpa menoleh ke arah Tina, Jhon hanya berdehem. Sikap bosnya itu sangat dingin. Tina pun tidak masalah, mengingat ia di sini memang hanya niat bekerja. Tina berdiri di samping Jhon sambil memegang nampan.
Lima menit kemudian, Jhon melirik ke arah Tina yang masih berdiri di samping kursi yang ia duduki.
“Kenapa kamu berdiri di sini!” ucapnya sinis.
“Saya letakkan cangkir ini di mana, Sir? Meja anda penuh. Saya takut salah meletakkan cangkir ini dan anda kembali menyenggolnya seperti kemarin.”
“Nanti laptop Sir, kesiram lagi.” Tina menyambung kalimatnya.
Seketika, Jhon semakin melirik ke arah wanita cantik yang menjadi sekretarisnya itu.
“Jadi, kejadian kemarin itu salahku?” tanyanya.
Tina mengangguk. “Ya.”
“Apa?” Jhon langsung memutar kursi yang ia duduki hingga berhadapan dengan sekretarisnya yang masih membawa nampang.
“Eum … tidak. Mak – sud saya …”
“Sudah. Cukup!” Jhon mengangkat tangannya untuk menyudahi perdebatan itu.
“Maaf, Sir. jadi saya harus letakkan cangkir ini di mana?” tanya Tina dengan wajah polos.
Jhon kembali mendelik. Ia melirik Tina dengan jarak yang cukup dekat, karena saat ini sekretarisnya itu tengah sedikit membungkuk tepat di hadapannya.
Jhon memindai seorang Tina, hingga matanya jatuh pada belahan dada yang terlihat saat membungkuk.
Tina pun menatap mata sang bos dan mengikuti arah mata yang dilihat terakhirnya. Sontak, Tina langsung menaikkan bagian atas pakaiannya yang berbentuk neck.
“Kamu menggodaku?” tanya Jhon menyeringai.
Dengan cepat, kepala Tina menggeleng. “Tidak, Sir.”
“Ck. Ayolah Tina! Sejak kemarin kamu selalu menggodaku. Mencoba mengambil perhatianku. Bukan begitu?”
“Tidak, Sir. Tidak.” Tina gugup sembari menggoyangkan kesepuluh jarinya di depan Jhon.
“Kamu ingin seperti Saskiya? Sekretaris bagian Human Resaurce itu?”
Beberapa hari lalu memang beredar kabar skandal asmaran sekretaris dengan bosnya yang dialami oleh Saskiya dan Ringgo. Kabar itu merebak saat istri Ringgo datang ke kantor dan melabrak Saskiya. Sehingga Saskiya pun dimutasi beberapa saat ke bagian lain. Walau pada akhirnya mereka tetap menjadi sekretaris dan bos lagi.
Jhon tesenyum. Untuk pertama kali setelah kehilangan Grace, akhirnya Jhon kembali tersenyum. Jhon menerima tawaran Alex untuk membantu mengembangkan perusahaan sahabatnya di sini. Berharap kantor yang baru dimulai itu akan berkembang seperti miliki mereka yang ada di pusat kota Singapura.
“Tidak, Sir. Sumpah, saya tidak seperti itu. Saya tidak pernah berniat menggoda anda, Sir.”
“Oh ya?” mata Jhon menyipit. Rasanya ia tak percaya.
Tina langsung meletakkan cangkir itu asal. Lalu, ia pergi begitu saja dari hadapan pria yang membuatnya selalu gugup.
Jhon yang melihat rona merah di wajah Tina pun tersenyum. Senyum itu terus mengulas diiringi mata yang tertuju pada wanita yang berlari kecil ke arah pintu untuk keluar dari ruangan itu.
“She is funny.” Jhon menggelengkan kepala.
Sejenak ia baru sadar bahwa kini dirinya tengah tersenyum hanya karena melihat tingkah Tina.
****
“Jhon, nanti malam kamu yang datang ke pertemuan itu ya.”
“Aku saja? Kenapa tidak kita berdua?”
Jhon berbincang dengan Alex di ruangan sahabat sekaligus pemilik perusahaan ini. K-Net system corporate adalah kantor cabang yang baru Alex buka di Jakarat. Jhon pun menjadi orang kepercayaan Alex dalam hal birokrasi dan promosi.
“Aku tidak bisa. Malam ini, Aurel baru tiba di Jakarta. Aku harus menjemputnya.”
Jhon pun berpikir.
“Dia orang cukup berpengaruh di kota ini, Jhon. Kita harus memiliki hubungan yang baik dengannya. Paling tidak kamu datang sebagai perwakilan, kita diundang di pestanya malam ini,” ujar Alex.
“Lalu, aku pergi dengan siapa?” tanya Jhon bingung. “Masa’ sendirian.”
Alex tertawa. “Masih belum move on dari Grace?”
Jhon terdiam dan menggeleng.
“Di Jakarta, wanita itu banyak. Di kantor juga. Bahkan sekretarismu cantik.”
“Hei, apa cermin di sana kurang besar?” tanya Jhon kesal. “Kamu sendiri saja belum move on dari mendiang istrimu.”
Alex kembali tertawa. “Itu berbeda.”
“Apa bedanya? Kita sama – sama pria yan tidak mudah jatuh cinta kan?”
“Sudahlah. Pokoknya, nanti malam kamu harus hadir. Terserah mengajak siapa? Kalau tidak ada wanita yang bisa kamu ajak, ajaklah Tina.” Alex kembali memberi saran.
Jhon belum menjawab permintaan saran itu. ia hanya menghempaskan punggungnya pada punggung sofa yang ada di ruangan CEO itu.
“Acaranya di kapal pesiar menuju. Oke! Kamu bisa menikmati liburanmu bersama sekretarismu itu,” sambung Alex lagi.
“Ck. Si*l kau, Lex.” Jhon melemparkan kertas ke arah Alex dan sahabatnya itu pun tertawa.
Dengan terpaksa ia harus jalan bersama Tina nanti malam. kemungkinan mereka pun akan menginap di dalam kapal pesiar yang menuju Pulau karimunjawa bersama para pebisnis lainnya.
Usai berbincang dengan Alex, Jhon kembali menuju ruangannya sendiri. Ia melewati meja Tina dan berhenti sejenak di depannya.
“Tina,” panggil Jhon pelan pada sekretarisnya yang sedang asyik mengetik di depan komputer PC yang tersedia di mejanya.
Tina tidak menjawab panggilan itu, bahkan ia tak menoleh ke arah Jhon yang berdiri di mejanya, mengingat saat ini telinga Tina sedang tersumpal earphone bluetooth.
“Tina.” Jhon kembali memanggil wanita itu dengan suara yang agak keras, tapi Tina masih asyik menggoyangkan kepalanya.
Bukannya menoleh, Tina malah meraih gelas di sampingnya.
Jhon yang kesal pun, sedikit menunduk tepat di depan wajah Tina dengan memanggil nama itu lebih kencang.
“Tinaaaa.”
Fuuuh
Karena terkejut, tiba – tiba air yang masih dalam mulut Tina pun menyembur tepat di wajah Jhon.
“Tinaaaaaaaa.”
Pria itu semakin berteriak, membuat Tina ketakutan setengah mati.
"Sorry, Sir. Sorry.” Tina langsung mengambil tisu dan mengusap wajah Jhon.
Jhon langsung berdiri. Tina pun segera melepas earphone – nya dan berlari mendekati sang bos, tapi Jhon sudah berlalu ke dalam ruangan. Wajah Jhon tampak tak baik – baik saja. pria itu seperti memendam kekesalan. Di antar ke empat sahabat, Jhon, Alex, Damian, dan Zavier. Jhon memang yang paling tidak mudah marah. Kalau pun kesal, Jhon tak pernah meluapkan, berbeda dengan Alex yang ketika marah bisa dengan ringan mengeluarkan kata kasar.
“Sir, Sorry.”
Tina masih mengejar bosnya hingga ke dalam ruangan, bahkan hingga Jhon duduk di kursi kerjanya. Jhon masih mengusap wajahnya yang basah dengan tisu. Dan Tina tetap berdiri di hadapannya.
Jhon mendelik ke arah Tina dan berkata, “kenapa masih di sini? Sana pergi! Kerjakan lagi pekerjaanmu.”
“Sir, Sorry. Saya minta maaf. saya tidak sengaja karena anda mengagetkan.”
Jhon memilih diam dan membuka laptopnya. Sungguh, Tina sangat merasa tidak enak. Terlebih ketika bosnya itu memilih diam.
“Sir,” panggil Tina. Namun Jhon tetap acuh, hingga ia kembali memanggil bosnya. “Sir.”
Suara panggilan itu terdengar manja, hingga Jhon kembali melirik, padahal Tina yang terlahir sebagai anak bungsu memang bersuara manja. Apalagi saat ia kebingungan melihat bosnya yang merajuk karena ulahnya tadi. Kelakuan Tina tadi memang cukup kurang ajar.
“Apa kamu sedang menggodaku?”
“Tidak, Sir.” Tina meggelengkan kepalanya dengan cepat. “Saya hanya ingin minta maaf. Saya tidak ingin anda marah, karena …”
“Karena apa?” tanya Jhon dengan menatap intens ke arah sekretarisnya yang mengenakan tangtop dengan balutan blazer.
Namun tangtop berbahan satin itu tidak menutupi dada Tina sampai ke leher, sehingga dada putih itu pun tampak di depan Jhon. Belum lagi jika Tina sedikit membungkuk, sudah pasti belahan dada yang ia lihat kemarin akan dilihatnya lagi.
“Karena tadi saya kurang ajar. Telah menyembur wajah Sir,” sambung Tina dengan ekspresi takut dan sedikit menunduk.
Jhon menarik nafasnya kasar. Ia menghempaskan tubuhnya pada punggung kursi sembari melipat kedua tangannya di dada.
“Lalu?” tanya Jhon.
“Baiklah, saya bersedia dikenakan hukuman apa saja.”
“Apa saja?” tanya Jhon mengulang.
Tina mengangguk. “Ya, apa saja.”
“Good. Kalau begitu, siapkan dirimu nanti malam.”
“Nanti malam?” tanya Tina bingung.
“Ya, nanti malam kita akan hadir di acara Tuan Adipati.”
Dahi Tina mengernyit. “Bukannya Sir pergi dengan Sir Alex?”
“Alex sedang ada urusan, jadi kamu yang akan menemaniku nanti,” jawab Jhon tegas.
“Ta – pi …”
“Tidak ada tapi - tapi. Kamu bilang kamu ingin menebus kesalahanmu tadi, bukan?”
Tina mengangguk.
“Good,” jawab Jhon senang, padahal semula ia bingung untuk mengatakan ini pada sekretarisnya. Ia bingung alasan apa mengajak Tina ke pesta itu. ia takut Tina langsung menolak.
Tina pun pasrah. Ia hany mematung sembari memainkan jarinya.
“Ada lagi?” tanya Jhon meliril pada Tina.
Tina menggeleng.
“Lalu, mengapa masih di sini? Kembali ke mejamu!”
Tina pun menurut. Ia membalikkan tubuhnya dan hendak meninggalkan ruangn ini. Namun sebelum keluar dari ruangan itu, Tina kembali menoleh ke arah Jhon yang kembali fokus pada laptopnya.
“Sir.”
Jhon langsung mendongak dan melihat ke arah Tina, saat namanya dipanggil.
“Ada apa lagi?” tanya Jhon.
“Apa harus saya yang menemani anda?” Tina balik bertanya dengan nada yang sama, nada manja nada bicara khas seorang Tina jika dipojokkan, tapi jika sedang meledek orang, maka suara terdnegar lantang. Menyebalkan memang.
“Lalu siapa lagi?”
“Pak Dion.”
“Ck. Ini bukan ranah bagian operasional, Tina. Bagian operasional mengurus internal perusahaan, sementara kita bertugas diliuar, melobby dan memperbanyak klien, mengerti!”
Tina pun mengangguk. “Mengerti.”
Wanita itu kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu untuk keluar, sementara Jhon di kursinya malah tersenyum melihat ketidakberdayaan Tina.
****
Malam ini, Tina berada di sebuah salon bersama Jhon. Pria itu menemaninya sepulang dari kantor tadi. Mereka pulang lebih cepat dari jam kerja seharusnya. Jhon memilih jas dan gaun untuk menghadiri pesta di kapal pesiar nanti malam. mengingat pesta ini adalah pesta para pembesar, ia pun tidak ingin tampil tidak maksimal, karena di depan mereka, penampilan bisa dibilang sebagai ajang harga diri dan pencapaian diri.
“Mbal, ini pakaiannya terbuka begini?” tanya Tina saat berada di ruang gant bersama perias yang tadi mendandani wajahnya hingga menjadi cantik seperti sekarang.
Sungguh, ia tidak tahu saat Jhon membeli pakaian dibutik tadi. Tina hanya duduk menunggu di lobby dan melihat Jhon berdiri di kasir untuk membayar barang pesanannya.
“Iya, Mba. Ini isi paper bag dari pacar bule Mbak.”
“Pacar bule? Dia bukan pacar saya, Mbak.” Tina menyanggah pernyataan perias itu.
“Dia bos saya.” Tina menegaskan lagi sanggahannya.
“Oh.” Seorang perias yang berjenis kelamin perempuan dan belum dikatakan tua itu pun tersenyum. “Jadi pacarnya juga ga apa – apa, Mba. Ganteng loh bulenya. Kalau saya jadi Mbak, langsung tak embat. Apalagi Bos.”
Tina tertawa. “Embat, emang makanan.”
“Sosisnya, pasti enak, Mbak.”
Tina menoleh ke arah perias itu sambil bertanya, “sosis apa?”
Perias itu pun tertawa. “Wah Mbak masih polos ternyata. Makin seneng deh tuh bule.”
Tina pun tersenyum sembari menggelengkan kepala. Ia tidak mengerti dengan apa yang dbicarakan perias itu.
Usai membuat Tina yang semakin walau tanpa make up dan pakaian itu pun sudah terlihat cantik, Tina pun keluar dari ruang ganti itu. kakinya melangkah menuju ruang tunggu, tempat Jhon duduk menyilangkan kaki sembari memainkan ponsel.
“Sir,” panggil Tina ragu, membuat pria yang semula duduk tenang itu pun ternganga.
Jhon mendongak dan melihat penampilan Tina yang memukai. Sekretarisnya tampak cantik, bahkan sangat cantik, lebih cantik dari yang biasa ia lihat saat bekerja.
“Tina.”
Tina mengangguk saat namanya disebut.
“Ya, ini sekretaris anda, Sir. Tidak sulit mempermaknya karena dasarnya sekretarsi anda sudah cantik,” ujar perias itu membuat Tina malu.
“Ih, Mbak bisa aja,” kata Tina pada perias itu dengan wajah merona.
“Eh, emang bener Mbak. Sebelum di dandani aja Mbak-nya udah cantik, apalagi di dandanin coba.”
Tina semakin malu. Pipinya yang sudah merah semakin merah, membuat Jhon pun tak bisa untuk tidak tersenyum.
Jhon berdiri dan mencoba bersikap biasa dengan mengajak Tina untuk segera berangkat menuju pesta itu.
“Ayo, nanti kita tertinggal!” Jhon berjalan lebih dulu dan berhenti sejena saat Tina melangkah agak lambat.
“Sabar, Sir. saya tidak bisa berjalan cepat,” jawab Tina dengan berjalan hati – hati, pasalnya ini adalah kali pertama ia menggunakan high heels.
Jhon yang melihat jalan Tina seperti siput pun menghampiri. Lalu, ia meraih tangan Tina agar wanita itu bisa berpegangan dan berjalan lebih cepat.
Saat tangan itu menyentuh tangan Tina, Tina pun tersenak hingga keduanya saling berpandangan.
“Maaf, jika tidak seperti ini maka kita akan kehilangan waktu lima belas menit untuk sampai ke parkiran saja,” ujar Jhon yang seolah terpaksa menggenggam tangan itu, padahal dihatinya memang mau.
Tina pun cemberut.
Melihat bibir Tina yang menggemaskan membuat Jhon semakin ingin menggoda sekretarisnya, padahal biasanya sang sekretarislah yang kerap menggodanya, walau Tina tidak pernah merasa seperti itu.
“Atau supaya lebih cepat, aku menggendongmu saja,” tawar Jhon yang langsung ditolak oleh Tina dengan menggelengkan kepala.
“Tidak usah, Sir. tidak usah.”
Jhon pun mencibir. “Lagi pula siapa yang mau menggendongmu, pasti kamu berat.”
“Apa? Apa maksud anda, saya gemuk?” tanya Tina kesal dengan menatap tajam ke arah bos nya yang luar biasa menyebalkan.
Dan, tanpa berdosa Jhon berlalu menghampiri pintu mobil karena mereka sudah berada di depan kendaraan roda empat itu.
Tina semakin cemberut, membuat Jhon kembali mengulas senyum. Sungguh, hari – harinya yang suram dan penuh kesedihan kembali berganti dengan hadirnya seorang Tina sebagai sekretarisnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!