NovelToon NovelToon

Berakhirnya Bahtera Kehidupan

Bahtera Kehidupan

Bahtera berwujud sebuah kapal selam berukuran besar 40 tahun lebih berada didalam air pada kedalaman setinggi gunung tertinggi di dunia.

Mengartikan bahwa daratan yang dulunya sebagai tempat tinggal berbagai makhluk hidup hingga bertahun-tahun lamanya, tenggelam diakibatkan oleh penaikan volume air di dunia.

Sehingga manusia mengantisipasi hal yang pasti akan terjadi itu dengan berbagai cara memanfaatkan teknologi di zaman ini. Dimana teknologi mampu menggantikan beberapa persen jenis pekerjaan di bumi.

Kapal selam itu berukuran raksasa dibuat dalam kurun waktu tahunan, dan dapat menampung puluhan ribu lebih orang didalamnya.

Bahkan uniknya, orang-orang dari berbagai ras, negara, dan keunikan lainnya sudah dipersiapkan untuk menempati bahtera kehidupan itu.

Sebagai wadah pelarian bagi manusia yang belum merasakan kehidupan di dunia. Dan menghindari kiamat.

Selama ini mereka menjalani kehidupan normal seperti biasa, persis seperti manusia pada umumnya. Didalam kapal selam itu teknologi mempermudah segala urusan manusia.

Hal tersebut pada awalnya karena bumi tempat tinggal mereka mengalami perubahan drastis dari tahun ke tahun.

Bencana alam, pengaruh perbuatan manusia di muka bumi, dan faktor lainnya turut serta dalam kematian ribuan manusia di muka bumi, yang sudah hidup selama jutaan tahun lebih.

Sebagian dari manusia ada yang hidup dalam bungker, pergi ke luar angkasa menggunakan pesawat canggih, dan juga ada sekelompok orang yang tetap bertahan di bumi.

Lambat laun air laut semakin meninggi hingga menenggelamkan peradaban manusia dalam fase teknologi termutakhir.

Bahkan rasa-rasanya waktu seperti berputar balik dari awal lagi.

•••

Pagi pagi sekali tepatnya pukul 04.00 aku selalu bangun di jam tersebut dan sudah menjadi rutinitas harian yang tak pernah aku lewati. Karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang terbilang telah mendarah daging.

Hari ini aku ingat jika diriku berulang tahun, aku yakin sekali. Sebab, diriku selalu melingkari hari demi hari dan menunggu hari penantian itu.

Aku melihatnya pada sebuah kalender yang aku buat sendiri dari kertas karton. Kalender yang ku buat dengan mencontoh kalender pada umumnya.

Sret.. sret..

Melingkari tanggal lima bulan tiga hari ini dengan alat tulis dari arang lalu aku mengingat lagi flashback kenangan di tahun sebelumnya.

Meskipun hanya sekedar ucapan dari orang tua dan beberapa orang yang aku kenal saja, aku tetap bersyukur.

Karena waktu kebersamaan dengan orang-orang yang aku sayangi sangatlah berharga, meskipun bisa dibeli dengan uang, namun perasaan maupun suasananya tidak menyamai persis kebersamaan murni.

"Hmm, aku sudah berumur 16 tahun sekarang, um.. harapanku... ku harap aku dapat pergi ke sekolah tahun ini. Melihat mereka yang asyik bermain dan belajar membuatku iri, tapi apa boleh buat, aku sadar jika keluargaku kesulitan hanya untuk makan.."

"Huh... sepertinya belum saatnya aku merasakan kehidupan seperti mereka, sebelum aku mengubah kehidupan ini menuju kehidupan yang lebih baik lagi," gumam ku saat pikiran di kepalaku dipenuhi dengan pikiran membanding-bandingkan kehidupan orang lain yang menjalani hidup enak dari lahir.

Sambil membereskan tempat tidur beralaskan kain yang sudah menipis aku membayangkan diri merasakan nikmatnya kehidupan seperti mereka. Orang orang yang sejak lahir diberkahi keberuntungan dalam segi harga.

Usai merapikan tempat tidur aku langsung beranjak untuk mempersiapkan diri, mandi dan memulai aktivitas kecil saat diriku berada di rumah. Sebelum diriku bekerja.

Kedua orang tuaku sebenarnya jatuh sakit hingga membuat mereka berdua harus berhenti bekerja, dan hanya bisa berbaring di tempat tidur untuk sekarang ini.

Ayahku sebelumnya bekerja di sebuah pusat penelitian sebagai penjaga kebersihan di sana. Hanya saja ayah di pecat karena kondisinya yang mendadak lumpuh.

Ibuku dari aku lahir katanya selalu berada di kursi roda dan akhir-akhir ini ibu sering sakit-sakitan sehingga kondisi kesehatannya menurun drastis.

Selang beberapa waktu aku selesai pada urusan dapur setelah usai mandi, kemudian aku membangunkan ayah dan ibu sembari membantu mereka agar berada di meja makan.

Dan sebelum itu aku membantu memandikan ibu terlebih dahulu.

Waktu berlalu begitu cepat kini aku sudah berada di meja dan makan sembari mengunyah nasi dengan lauk sayur-sayuran yang terasa enak di lidah, jujur ini enak sekali. Karena aku diajari cara memasak berbagai menu oleh seseorang yang aku banggakan.

Di tambah olahan dari daging sisa yang aku dapatkan kemarin. Sungguh, sarapan pagi ini terasa begitu nikmat. Apalagi dipadukan dengan kebersamaan keluarga.

"Alexia.. selamat ulang tahun ya nak, ibu doakan kamu menjadi anak yang pintar dan sukses di masa depan. Dan maaf, ibu tidak bisa memberimu hadiah!" ucap ibu disela waktu makannya membuatku terkejut hingga menghentikan aktivitas makanku ini.

"Nggak papa kok Bu, aku malah bersyukur ibu dan ayah..." perkataan ku tertahan oleh ingatan bahwa keadaan kedua orang tuaku sekarang ini tidak baik-baik saja.

Walaupun mereka terlihat masih kuat untuk makan bersama saat ini denganku, sebelum aku pergi bekerja, aku baru menyadari jika raut mereka mengidentifikasi sedang menahan rasa sakit, yang tertutupi sebuah senyuman dan obrolan hangat selagi menyantap hidangan.

Aku pun menangis saat ini tak kuasa menahan air mata yang hendak aku bendung.

"Tahun ini aku berharap ayah dan ibu sembuh dari penyakitnya."

Sampai di tempat bekerja aku langsung mempersiapkan diri agar kondisiku benar-benar steril.

Karena aku bekerja di sebuah tempat produsen sayur-sayuran yang menanam berbagai jenis sayuran dalam tempat yang luas.

Atau bisa aku sebut tempat ini berada di dalam tempat lagi, begitulah.

Bagi mereka yang berada di kelas bawah hanya sedikit aktivitas yang dilakukan oleh bantuan teknologi. Paling banyak dilakukan secara manual.

Selain kelas bawah ada tiga kelas lain dalam kasta kehidupan, yaitu kelas menengah dan kelas atas yang katanya berada di lantai paling atas.

Dimana kehidupan disana yang ku tahu sungguh mewah, mengasyikkan, luar biasa, dipermudah teknologi dan lainnya.

Aku pernah melihat foto-foto kehidupan orang-orang dari golongan kelas atas dari seseorang, dan aku mengetahui bahwa di sana berbeda jauh dengan kehidupan masyarakat di kelas bawah.

Dua jam lamanya aku memetik tujuh jenis sayuran yang lahannya lumayan luas ini. Sebenarnya tanah di lahan ini paling dasar adalah lantai datar terbuat dari materi kuat sama seperti lantai tempat aku tinggal.

Tak terasa sudah waktunya aku beristirahat, aku pun menghentikan pekerjaan ku ini sembari mempersiapkan bekal yang dipersiapkan olehku sendiri.

Duduk sendirian sembari melihat hamparan lahan luas di depanku yang memang menjadi hal biasa yang aku saksikan selama waktu istirahat berlangsung.

Saat sedang makan aku sedikit tersedak hingga aku buru-buru untuk beranjak dan mengambil botol minum yang aku tinggalkan di loker.

Bruk.

"Aww..!"

"Maaf, biar aku bantu!"

Saat buru-buru pergi aku sampai tidak memperhatikan sekitaran hingga aku menabrak tubuh seseorang.

Karena kecerobohan ku ini bekal makananku jadi berhamburan di lantai.

Tak berpikir lama aku langsung membersihkan kekacauan yang telah aku buat ini.

"Heh...?"

Seorang laki-laki berkacamata berpakaian rapi itu tak ku sangka mau membantuku, padahal aku yang salah pada situasi ini dan aku belum meminta maaf padanya.

Sebenarnya aku tidak ingin kejadian ini diketahui oleh Bibi Rini, karena kalau ketahuan aku bakal dimarahi habis-habisan olehnya.

"Ti-tidak usah bantu aku tuan, biar aku saja. Dan... saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas kecerobohan saya tadi!" ucapku menegaskan suatu keharusan dengan merendah. Selain itu mencegah laki-laki yang lebih tua dariku ini agar berhenti membantuku memungut sisa sayur dan nasi yang berhamburan.

Dia aku nilai adalah orang yang tak peduli dengan status sosial seseorang yang belum dikenalnya, ataupun sebaliknya. Tak memperdulikan dirinya memiliki derajat lebih tinggi dariku, menanggap semua orang sederajat.

Dari tanda pada lengannya aku tahu, jika dia berasal dari masyarakat kelas atas.

"Hmm, saya maafkan. Tapi saya juga bersalah atas kejadian tadi, karena saya sibuk pada ponsel sampai tidak memperhatikan sekitaran!" sahutnya dengan senyuman tipis, aku akui dari dekat laki-laki ini memanglah tampan.

"Padahal harusnya aku yang mengatakan kalimat akhir itu kepadanya, tunggu, bukannya dia tadi bilang ponsel!?"

Laki-laki itu kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai, saat aku menghampirinya ternyata ponsel itu layarnya sudah pecah.

Membuatku mematung tak bisa berkata-kata lagi.

•••

Semenjak kejadian itu aku meninggalkan pekerjaan yang selalu aku lakukan setiap harinya, pekerja serabutan yang kulakukan di luar rumah. Kini aku bekerja sebagai seorang pembantu di kediaman sebuah keluarga yang bagaikan mimpi ini.

Sudah hampir sebulan aku menjadi pembantu dari sebuah keluarga golongan kelas atas, sebab aku memiliki hutang kepada kak Devan yang ku tekankan padanya, bahwa aku akan melakukan apapun demi mengganti ponselnya yang rusak.

Pada awalnya dia memang menolak, tapi karena aku memaksanya dia jadi terpaksa memberiku kesempatan untuk membayar ponselnya yang rusak tanpa uang. Karena sebelumnya aku sempat bergumam tidak bisa membayarnya dengan uang, sebab untuk makan saja keluargaku kesusahan.

Lantaran selama ini uang yang aku peroleh dari bekerja serabutan digunakan untuk membeli obat untuk ibu dan pengobatan ayah dalam masa penyembuhan.

Jujur saja aku hanya dapat menabung sedikit demi sedikit dari sisa uang belanjaan.

Pada akhirnya Devan memberiku kesempatan untuk diperkerjakan sebagai pembantu di kediamannya.

Dan untuk sekarang ini aku sangat bersyukur karena kehidupanku berubah semenjak bekerja di tempat ini.

Entah mengapa ibu dan ayah sudah sembuh dari penyakitnya sehari setelah kabar aku bekerja di tempat golongan kelas atas ku beritahu.

Beruntungnya aku bisa makan enak selama aku tinggal disini, bahkan sisa dari beberapa makanan dapat aku bawa pulang. Namun harus menunggu waktu yang tepat ketika diriku sedang libur kerja.

Karena mereka orang tua Devan sangat ramah padaku, mungkin karena diriku yang begitu cekatan dan cepat beradaptasi maupun mengerti pada setiap pekerjaan yang disuruh, selama aku menjadi pembantu disini.

Selain itu kebaikan orang tua Devan menular pada anaknya, bahkan Devan sering memaksa diriku untuk menerima uang yang diberikannya.

Tentu saja aku menerimanya, tapi bukan menandakan aku ini berpura-pura tak mau dari awal.

Dan selama sebulan ini pun aku lumayan akrab dengan Devan, saat ini aku sedang di undang olehnya di sebuah perpustakaan.

Aku melihatnya bukan sekedar perpustakaan biasa seperti di perpustakaan pusat ditempat ku, sebab, ruang untuk perpustakaan saja penuh akan buku-buku.

"Sebenernya tempat ini aku rahasiakan dari orang lain, selain orang tuaku, aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun tentang perpustakaan ini!" ucapnya menghentikan langkah seakan mengijinkan aku untuk melihat lebih detail lagi isi ruangan ini

"Tapi tuan muda, kalau tuan beritahu padaku tempat ini.. bukannya... tidak menjadi rahasia lagi terutama orang lain selain keluarga tuan muda sendiri yang mengetahui?"

"Saya jadi penasaran apa alasan tuan muda membawa saya kemari, maaf jika perkataan saya terlalu berani."

"Santai saja, alasan aku mengajakmu kesini karena aku butuh seseorang untuk dijadikan pendengar selagi aku menerangkan suatu materi!" jelas Devan yang aku pahami maksudnya berhubungan dengan tugasnya sebagai seorang guru.

Aku membalasnya dengan anggukan tak lupa senyuman tipis sembari menatapnya. Jujur saja aku ada niatan untuk menggodanya, karena aku berharap dia melamar ku suatu hari nanti.

Ya, meskipun hal itu hanya terjadi di mimpi saja.

"Oh ya, jangan panggil aku tuan muda, panggil aku Devan saja mulai sekarang! Jika di tempat biasa boleh panggil aku tuan!" titah Devan yang mana membuatku terkejut.

"Apa artinya saat kita berdua aku boleh memanggil anda Devan...?"

Wajahnya terlihat tersipu malu setelah aku menyebut namanya dengan lembut.

"Tapi bukan berarti aku memiliki alasan terselubung ya, aku hanya ingin dirimu memiliki waktu luang dimana menganggap diriku sebagai orang biasa!" ucapnya serius meskipun ekspresinya masih samar-samar dengan pipi memerah.

Beberapa menit berlalu, Devan membebaskan aku untuk memilih buku yang ingin aku baca, sementara dia terlihat fokus membaca karena bukunya sudah terdapat di meja.

Lama memilih akhirnya aku mendapati buku yang ingin aku baca, sebuah buku berisi ilmu pengetahuan.

"Eh.. aku salah ambil, malah album yang aku raih."

Saat hendak mengembalikan album yang salah aku ambil ini, sayangnya beberapa foto terjatuh.

Aku langsung mengambilnya, namun...

Pemandangan lima foto ini terlihat begitu indah sekali dan aku belum pernah melihatnya.

"Ternyata kamu disini!"

"Eh..? Maaf tu.. maksud saya Devan. Saya tertarik sekali dengan pemandangan-pemandangan indah di foto ini! Apa tuan tahu tempat ini ada di mana?" tanyaku penasaran, sebenarnya aku memiliki firasat jika pemandangan yang aku lihat dalam foto ini tidak diambil di tempat kami semua tinggal.

"Oh, itu di bumi. Tempat manusia dahulu kala tinggal, disana ada banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan..." Devan mengantungkan kata membuatku makin penasaran dan menatapnya lekat.

"Bumi...? Aku pernah dengar tapi..."

Kepalaku langsung sakit saat mengingat ingatan itu.

Akhirnya aku menyudahi pertanyaan yang merujuk pada pemandangan di foto ini dan juga kata "bumi"

•••

Seminggu berlalu, entah kenapa aku senang mempelajari tentang bumi meskipun ada ingatan yang membuatku sakit saat mengingatnya.

Hari hari berlalu, kali ini aku bertugas membeli beberapa bahan pokok di pasar, namun bahan makanan yang biasa aku temukan dalam jumlah banyak setiap harinya kini dibatasi.

Bahkan akhir-akhir ini semua orang dihimbau agar mengurangi penggunaan air bersih, dan dilarang membeli banyak belanjaan di supermarket.

Himbauan itu langsung ditegaskan oleh pemimpin tempat ini, dengan alasan musibah buruk bisa saja terjadi. Jika semua golongan manusia bertindak terlalu berlebihan.

"Dasar wanita j*lang!! Aku ini yang pertama kali datang kesini!" umpatan seseorang mengalihkan atensi ku.

Krisis

Rupanya umpatan yang aku dengar tadi berasal dari tempat penjual daging berada, dua wanita aku simpulkan ribut gara-gara perkara berebut daging.

Dari jauh aku mendengar perdebatan mereka hingga situasi semakin memanas, orang-orang pun mulai memisahkan mereka agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Lagi-lagi.. huh... hal tersebut memang sering terjadi akhir-akhir ini!" ucap pria penjual sayuran yang berada di sampingku. Dia mengeluh barusan.

"Pak, kalau saya boleh tahu kenapa hal seperti itu sering terjadi?" tanyaku penasaran.

"Hmm, kamu masih anak kecil, yakin mau mendengarnya dari bapak?" pria paruh baya itu bertanya balik.

"Yakin pak, aku penasaran...!"

"Ya sudah, bapak akan beritahu, tapi tidak ada salahnya kan bapak mempromosikan terlebih dahulu dagangan bapak? Siapa tahu kamu butuh sayur-sayuran."

"Boleh, boleh.. mari pak!"

Di dalam tempat bapak ini menjual sayur-mayurnya rupanya tempat sayuran ini disusun secara rapi pada rak-rak khusus bak didalam supermaket. Dan aku juga menemukan berbagai jenis sayuran disini.

Terlihat segar dengan kualitasnya yang bagus-bagus.

Harga pun terbilang murah, bahkan aku menemukan diskon menarik disini.

"Eh.. kok di ambil pak pemberitahuan diskonnya? Apa kebetulan sudah tidak berlaku lagi?"

"Begitulah, karena bahan-bahan pokok sekarang ini sedang mengalami kemerosotan! Stoknya sedikit!" jelas bapak ini mau menerangkannya kepadaku, sekilas aku melihat raut murung.

"Bukannya orang-orang dari kelas bawah selalu mengirimkan Berton-ton sayuran pak, setiap harinya?"

"Memang, hanya saja pengiriman itu sekarang ini dibatasi. Sayuran yang mereka tanam itu mengalami penurunan drastis! Belum lagi pasar dan tempat tempat tertentu memaksa agar mereka mempercepat proses dengan bahan kimia, alhasil desakan itu membuat para pekerja disana tidak fokus dalam mengolah!"

"Tapi kan.. pak, golongan masyarakat kelas menengah dan atas ini kan bisa melakukan upaya yang serupa?"

"Sebenarnya di sini kekurangan pasokan tempat produksi bahan pokok seperti susu, telur, dan daging! Masyarakat disini lebih memilih untuk menanggung kan hal itu kepada masyarakat kelas bawah dan menengah!" sambungnya menjawab pertanyaanku dengan suara kecil sembari mendekati diriku.

Dari perkataan pria paruh baya ini barusan aku mengetahui suatu informasi mengenai masalah masyarakat kelas atas, entah benar atau tidak, keadaan lah yang dapat dijadikan bukti.

Dan selama aku berada di tempat ini aku juga berpikir bahwa masyarakat kelas atas lebih mementingkan hidup nyaman dan uang yang dimiliki.

Berbeda dengan masyarakat kelas bawah yang selalu ku lihat bekerja keras dalam berbagai hal yang dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari berserta orang lain.

Tapi ku harap anggapan itu tidak seratus persen benar, karena aku masih belum menjelajah lebih jauh lagi seluruh wilayah masyarakat golongan kelas bawah, menengah, maupun atas.

Sekarang ini aku mengerti, jika ada krisis yang terjadi pada pasar bahan pokok saat ini. Yang berimbas pula pada bahan makanan sejenis sayur-sayuran.

Kurasa aku harus pulang Minggu depan, dan menyempatkan waktu untuk mengunjungi tempat diriku bekerja sebelumnya.

Memastikan apakah keadaan disana hampir sama atau tidak. Dan persis seperti apa yang dikatakan oleh pria paruh baya ini.

Puluhan menit berlalu.

Aku hanya mendapat sedikit bahan belanjaan yang aku dapatkan daripada biasanya, akibat krisis yang aku asumsikan itu. Membuatku sebelumnya harus berada di pasar cukup lama.

Berkeliling dengan jeli demi mendapatkan bahan makanan atau kebutuhan yang belum sesuai takaran dalam daftar.

Hanya saja beberapa kali mencari dan menemukan, tempat-tempat menjajakan kebutuhan yang aku cari, si pemilik selalu saja membatasi para pembeli. Dalam hal yang dibeli.

Bahkan saat aku pergi ke sebuah toko untuk membeli telur aku sempat ditanyai alasan aku membelinya, aneh bukan.

Sampai salah satu pembeli di toko itu melihat keranjang yang aku bawa terdapat telur, berjumlah dua lusin. Jumlah tersebut masih belum cukup aku penuhi untuk kebutuhan keluarga Li.

Tak disangka dia lalu berkata kepada diriku lebih baik cukupkan telur tersebut.

Sebenarnya aku ingin berusaha keras agar mendapatkan tambahan telur, namun penjual di toko ini rupanya setuju dengan usulan pembeli itu.

Apa boleh buat, aku pun pulang dengan bahan makanan yang cukup untuk dua sampai tiga hari kedepan. Beda dengan biasanya yang dapat distok hingga seminggu.

"Kamu ini gimana sih, harusnya pintar dong dalam bernegosiasi... agar dapat bahan makanan sesuai dengan daftar!" ucap Gwenny pengurus para pembantu di kediaman Li.Yang sekarang ini sedang mengomeli diriku.

Masih muda kira-kira dia berumur 19 tahun hanya saja temperamennya selalu berubah-ubah, apalagi menyangkut kepentingan keluarga Li.

Selalu saja menyuruh para pembantu agar disiplin, bekerja keras, dan ulet. Ya, karena dia sendiri aku amati sangat gigih dalam melakukan banyak hal.

"Maaf, saya mengaku bersalah. Dan siap diberi hukuman!" ucapku dengan nada merendah seraya menundukkan kepala.

Alasan diriku langsung menyimpulkan kesalahan tersebut yang meskipun bukan semuanya disebabkan olehku, lantaran saat ini barang belanjaan di pasar sedang dibatasi.

Aku hanya mengingat pengalaman dari seorang pembantu yang tetap ngeyel dan tidak mengakui kesalahannya kepada Gwenny. Dan esoknya dia dipecat, aku tidak ingin hal itu terjadi padaku.

Ibu dan ayah pasti akan sedih, itulah sebabnya aku terus merendahkan diri jika memang tidak disukai oleh Gwenny.

"Ya sudah, biar aku saja yang terjun ke pasar. Karena para pembantu yang lain pun sama, tapi tidak semuanya mendapatkan sedikit bahan seperti kamu!"

"Hmm," balasku dengan anggukan sembari berdehem dengan wajah bersalah dan masih merendah.

•••

Di kala malam hari tiba waktu bagiku untuk beristirahat, tepatnya jam 21.00 aku selalu membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan milik Devan itu.

Buku yang aku ambil ini sebenarnya tidak aku beritahu tahu kepada Devan mengenai judulnya.

Buku ini berisi catatan mengenai tempat yang disebut "bumi" tempat dengan jutaan tawa, kebahagiaan, dan banyak hal lainnya yang membuatku penasaran ingin tinggal disana.

Banyak hal menarik yang ku tuliskan dalam secarik kertas sebagai keinginan mutlak yang akan aku lakukan saat berada disana.

Namun keinginan tersebut masih dalam angan-angan saja, sebab, diriku ingin membahagiakan kedua orang tua terlebih dahulu.

Dan tempat yang disebut bumi itu sepertinya jauh dan belum pernah aku lihat sebelumnya. Yang mungkin saja lokasinya dirahasiakan.

Tok.. tok.. tok..

"Tu.. Devan, kamu kenapa kemari? Ini sudah malam lho...!" ucapku mengingatkan kepada Devan yang malam-malam begini datang ke kamarku, entah apa tujuannya.

"Aku kehilangan buku ku yang paling berharga! Buku itu terlihat kuno dengan sampul berwarna coklat, apa kamu tahu?"

"Umm sebenarnya aku yang bawa, tapi aku pinjam ya.. bukan mengambil!" sahutku memberitahu sembari menjelaskan. Aku tak ingin Devan salah paham kepadaku.

"Ya, ya.. aku ingat. Waktu itu aku pernah bilang kamu boleh pinjam satu buku di perpustakaan! Jadi buku itu rupanya yang kamu ambil."

"Hm, soalnya aku penasaran sama judulnya 'peradaban awal mula' dan ada hubungannya dengan tempat bernama bumi, btw kamu tahu tidak, tempat itu ada dimana?" tanyaku di akhir kalimat, siapa tahu saja Devan mengetahui apa yang tidak aku ketahui.

"......."

Diperlakukan Berbeda

"Hmm??" aku memiringkan kepala seraya mendekati Devan yang masih diam belum berbicara.

"Pertama-tama seberapa tertariknya dirimu dengan bumi?" sahut Devan bertanya balik terlihat mengernyitkan dahi.

"Umm... sampai aku mau tinggal disana dan membawa kedua orang tuaku."

Entah kenapa Devan tersenyum seakan menertawakan diriku dalam hati, setelah aku berujar mengenai rasa keterikatan diriku terhadap bumi. Tempat impian yang ingin aku kunjungi suatu hari nanti.

"Maaf, aku tidak bisa menjelaskan detail-nya mengenai bumi. Bukannya pemimpin kita pernah membuat aturan, berupa larangan mengenai pengetahuan tentang bumi?!" ucap Devan dengan tatapan mata serius.

"Entah. aku tidak tahu. Lagian kenapa sih pengetahuan tentang bumi dilarang?" tanyaku dengan tegas menekankan kata sembari mendelik. Aku tahu kelakuanku ini terlalu berani, tapi selama aku di samping Devan aku tidak perlu khawatir, karena dia selalu sabar dan baik kepadaku.

"Ehh?"

Dia malah mengelus pucuk kepalaku dengan ekspresi gemas seperti biasa, hal ini sering dia lakukan saat aku bertanya sesuatu hal yang kemungkinannya, Devan tidak ingin memberitahukannya kepadaku.

"Kamu ini.. selalu saja begini, lebih banyak bertanya dibandingkan menjelaskan sesuatu yang penting saat bersama ku!" ucap Devan yang terus saja mengelus kepalaku disertai senyuman manis. Terus terang saja, senyuman itu kadang membuatku terbuai.

Mengingat posisiku dibawahnya aku hanya bisa pasrah terhadap hal yang dia lakukan kepadaku.

Dan pada akhirnya aku harus mencari tahu sendiri larangan tentang pengetahuan bumi yang dilarang oleh pemimpin, yang jarang diketahui oleh kebanyakan orang.

Beberapa hari telah berlalu hingga hari Minggu tiba. Aku berniat untuk pulang ke rumah sembari melakukan aktivitas liburan nantinya, waktu liburan ini diberikan oleh nyonya dari keluarga Li secara bergilir kepada setiap pembantunya.

Jam lima pagi, aku sibuk mengecek barang bawaan yang sudah aku kemas, didalamnya ada hadiah yang ingin aku berikan kepada ayah dan ibu.

Usai mengecek dan semuanya telah siap aku pun bergegas untuk pergi meninggalkan kamar. Tak lupa aku mengunci pintu untuk berjaga-jaga.

Saat melewati lorong kamar para pembantu aku dikejutkan oleh kedatangan Devan.

Dia berpakaian berbeda dari biasanya, namun tetap rapi. Semacam pakaian yang dapat menyerap keringat. Ditambah memakai kacamata putih yang cocok dengan kepribadiannya.

"De.. tuan muda.. apa sedang mencari seseorang?" tanyaku dengan langkah yang sudah terhenti.

"Ya."

"Kalau begitu siapa yang tuan cari? Biar saya bantu!"

"Kamu!"

"Iya, aku akan bantu cari, eh!? Aku?"

"Hmm, aku mau mengajakmu pergi ke suatu tempat. Kebetulan tempat itu sejalan dengan dirimu yang hendak pulang ke kampung halaman!"

"Begitu ya, aku tidak bisa menolak.."

"Benarkah?" tanya Devan sembari mendekati diriku.

"Mau bagaimana lagi.. aku ini cuma bawahan, tapi bukan berarti aku sungguh-sungguh mau ikut ya sama kamu.. Soalnya aku mau menghabiskan waktu bersama keluarga disana dan..."

"Apa?" tanya Devan yang semakin dekat denganku hingga aku bisa melihat wajahnya yang begitu mulus berserta mata birunya dengan jelas.

"Enggak deh.. cuma sama keluarga aja!" selorohku seraya memalingkan wajah, jujur, aku tak kuat melihatnya dari dekat. Bisa-bisa aku pingsan karena malu.

"Hmm, ya sudah. Kita langsung berangkat setelah sarapan, sini, biar aku yang bawa koper itu!"

"Iyaa."

Di meja makan.

Aku terpaksa harus menuruti perintah yang berlawanan dengan statusku sekarang ini, sebagai pembantu. Lantaran Devan memerintahkan diriku agar sarapan bersama-sama dengan dirinya, di tempat yang seharusnya tidak aku tempati.

Meja makan yang berisi hidangan lezat dan menggugah selera di waktu sarapan ini.

Yang untungnya tuan besar dan nyonya tidak sedang ada di rumah, aku jadi tak perlu khawatir tentang itu.

Namun karena kesempatan ini aku pasti akan dikucilkan oleh beberapa pembantu lagi, dan hal itu hanya sebagian kecil dari apa yang mereka perbuat kepadaku. Lantaran mereka begitu benci dan tak suka kepadaku.

Entah karena cemburu atau merasa tak senang aku diperlakukan berbeda oleh Devan dari kebanyakan pembantu di kediaman Li, mereka sampai segitunya membenci diriku.

Sampai-sampai aku pernah mengalami hal buruk yang aku yakini hal tersebut dilakukan oleh mereka. Dan hampir saja membuat nyawaku melayang.

Yang aku tahu ada empat pembantu yang membenciku.

Salah satunya bernama Vera yang kini memandangiku di sisi yang tidak diketahui oleh Devan dengan tatapan mata kebencian.

Dan selain tenaga kerja manusia, di kediaman Li juga menggunakan robot sebagai pembantu mereka.

Sebenarnya keluarga Li adalah salah satu keluarga besar yang masih menggunakan pekerja manusia guna memudahkan urusan sehari-hari.

Usut punya usut katanya tuan besar pernah mengalami hal buruk selagi pelayan robot melayaninya. Yang dialami pula oleh nyonya besar.

Sebab itulah keluarga Li lebih memilih tenaga manusia sebagai pekerja dirumahnya, dibandingkan tenaga robot. Tapi tidak menutup kemungkinan robot-robot disingkirkan dari kediaman ini.

"Xia.. kamu melamun?" tanya Devan membuyarkan lamunanku.

"Ah.. iyaa, maaf."

Usai sarapan aku dan Devan bergegas menuju tempat penurunan kasta menggunakan kendaraan pribadi, aku menyebutnya begitu karena dengan turun menggunakan tangga, lift, dan semacamnya jauh kebawah, maka kasta diriku seakan turun.

"Hihi.."

"Apa yang kamu tertawakan?"

"Nggak ada."

"Hei... jangan berbohong, kamu ini masih kecil jadi..."

"Iya, iya aku mengaku!" kelakuan liar Devan sering aku dapati, barusan pun dia hendak menyentil dahiku. Untungnya karena terbiasa aku jadi sempat melakukan perlindungan diri. Dengan menutup dahiku dengan kedua telapak tangan.

"Emmm."

"Hehe.."

Aku salah, ternyata melindungi dahi bukanlah hal yang efektif. Devan malah menyentuh kedua pipiku seperti mencubit dengan gemasnya, dia berani begitu karena kendaraan yang dikendarainya saat ini dalam keadaan auto drive. Tak salah lagi.

Jujur saja, perlakuan Devan ini membuatku berpikir jika dia mungkin saja menyukaiku, tapi sebagai adik. Tentunya.

Seandainya aku diberi satu permintaan yang bakalan terwujud mungkin aku bakal berharap agar Devan menjadi suamiku di masa depan. Atau kedua orang tuaku diberikan kesembuhan total atas penyakitnya.

[Persentase penduduk yang menolak mentah-mentah keputusan pemimpin makin bertambah, hal ini disebabkan kesenjangan sosial yang terjadi di seluruh lapisan]

[Terkait aturan baru pemimpin yang dikatakan perlu rombak lagi agar tidak merugikan beberapa pihak yang tidak diuntungkan]

"Awal dari kehan..." ucapan Devan menggantung tidak dilanjutkan lagi.

Membuatku penasaran apa yang sebenarnya akan dia komentari dari berita barusan.

Tidak ingin ambil pusing, aku pun memilih asyik mendengarkan berita lagi pada radio mobil.

Tiba-tiba saja aku merasa mobil yang aku tumpangi ini berhenti, ketika aku sudah terbawa suasana dan sudah memejamkan mata.

"Emm? Apa kita sudah sampai..?" tanyaku.

"Belum, aku cuma mau agar dirimu duduk didepan!"

"Kenapa?"

"Tidak ada alasan, cepat."

"Iyaa, tunggu sebentar."

Selama perjalanan aku berpura-pura tidur dengan bersandar lantaran menyadari Devan yang mencuri-curi pandangan kepadaku.

Aku hanya ingin tahu, kelakuannya saat kondisi memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas.

Akankah dia bertindak melampaui batas kepadaku?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!