Namaku Rena, usiaku saat ini 27 tahun dan masih single. Aku adalah seorang anak tunggal, yang dibesarkan oleh seorang ayah single parent yang merupakan pengusaha kontruksi,usaha turun-temurun dari kakekku. Saat ini ayahku memberikan tanggung jawab pekerjaan itu padaku dan menempatkanku sebagai direktur diperusahaannya. Selama mengelola perusahaan ayah sangat mempercayaiku, terutama dalam bidang keuangan ayah sangat memperhatikan dan memberikan kepercayaan penuh padaku. Di perusahaan itu aku memiliki dua puluh orang karyawan, karena aku masih melanjutkan kuliahku ke S2 akuntansi, untuk mengelola keuangan aku percayakan pada seorang karyawanku yang bernama Jenny. Jenny sangat berkompeten dan rajin dalam bekerja sehingga setiap pembukuan keuangan sangat tertata rapi dan beruntun setiap bulannya, omset keuangan juga sangat baik karena barang-barang yang diproduksi oleh perusahaanku sangat diminati oleh pasar.
Memang dalam bisnis aku termasuk orang yang beruntung, namun ada hal penting yang belum tercapai dalam hidupku. Hal yang selalu diimpikan setiap wanita yaitu pernikahan.
Ayah selalu menanyakan padaku kapan aku akan menikah, tapi aku hanya menjawabnya nanti dan nanti. Wajar saja seorang ayah menjadi gelisah saat anaknya yang sudah berusia hampir kepala tiga belum juga menikah, sementara para gadis seumuranku telah menikah dan memiliki anak. Aku sangat paham dengan kekhawatiran ayah padaku tapi aku hanya bisa berusaha menenangkan ayah dengan meminta ayah untuk tetap bersabar hingga aku benar-benar siap untuk menikah.
***
Kisahku dimulai saat Mila memintaku untuk menemaninya dalam sebuah pesta. Malam itu Mila mengajakku untuk menemaninya pergi ke pesta pertunangan sahabatku yang bernama Zia.
Mila datang kerumahku dan menemui papa.
"Selamat malam om, Rena ada?"
"Kamu ini siapa? Apa teman kampusnya Mila?" tanya ayah sedikit heran memperhatikan Mila.
Aku yang mendengar suara sahabatku langsung menghampirinya keluar rumah.
"Mila, tumben malam-malam begini datang ke rumah?"
Aku sedikit heran menatapnya, karena selama ini Mila tidak pernah datang tanpa menelponku terlebih dahulu.
"Maaf Ren, om, aku datang mendadak. Sebenarnya aku ke sini mau minta izin sama om Brahma buat mengajak Mila ke acara pertunangan sahabat kami Zia," jelas Mila padaku dan ayah.
"Kenapa mendadak sekali ? Lagi pula sekarang sudah malam, kalian yakin mau pergi sekarang?" tanya ayah menatap heran pada Mila.
"Iya om, saya lupa kalau kemarin ada undangan pertunangan teman saya, makanya jadi dadakan begini. Om maukan mengizinkan Rena pergi bersama saya?" pinta Mila dengan sedikit merayu agar ayah mau mnegizinkanku pergi bersamanya.
"Baiklah om izinkan tapi kalian tidak boleh pergi bersama pria ataupun pulang larut malam," tegas papa pada Mila dan diriku.
"Baik om, saya janji paling lama jam sepuluh malam, Rena pasti udah kembali ke rumah," tegasnya pada ayah.
Ayahku bernama Brahma Aditya, seorang yang protektif terhadapku. Semenjak papa berpisah dengan mama, papa menjadi ibu, saudara sekaligus sahabat untukku. Beliau selalu menjagaku dari hal kecil sekalipun. Wajar saja jika sampai saat ini aku belum bisa menemukan pria yang tepat. Bukan karena tidak ada yang mau menikah denganku tapi papa sangat pemilih dalam urusan jodohku. Sudah beberapa lelaki datang untuk melamarku namun ayah belum mau menerima mereka.
Mungkin karena pernah mengalami kegagalan dalam rumah tangga beliau sangat detail mencari lelaki yang benar-benar tepat untukku. Sebenarnya ayah hanya menginginkan lelaki yang benar-benar bertanggung jawab padaku, namun dari sekian banyak teman lelaki yang datang kerumahku belum satupun yang dapat mengesankan hati ayahku.
***
Malam itu aku segera bersiap-siap untuk pergi bersama Mila, aku meminta izin pada ayah untuk pergi bersama Mila.
Sesampainya dipesta pertunangan. Terlihat pesta yang digelar sangat meriah dan dirayakan besar-besaran. Zia memang anak orang kaya, terlihat dari tampilannya yang sangat glamour malam itu, gaun yang dikenakannya malam itu terlihat sangat indah dan ellegan, begitu juga dengan lelaki yang bersamanya sangat tampan dan memiliki aura ketegasan yang terpancar diwajahnya, dekorasi pestanya juga sangat mewah Zia terlihat bagaikan seorang putri dengan balutan gaun putihnya dengan perhiasan berwarna putih yang menghiasi leher dan tangannya, dirinyapun menggandeng lengan tunangannya yang mengenakan jas hitam itu dengan wajah penuh kebahagiaan. Semua mata tertuju padanya dan Zia benar-benar jadi pusat perhatian malam itu.
Disela-sela kemeriahan pesta ulang tahun Zia, Aku melihat seorang lelaki yang tampan di pesta itu, secara tidak sengaja lelaki itupun menatap diriku. Kami saling memandang dan tersenyum satu sama lain. Ternyata Zia dan Mila memperhatikan yang tengah terjadi antara aku dan lelaki itu, akhirnya Mila memanggil lelaki itu dan mengenalkannya denganku. Lelaki itu menghampiriku. Mila langsung saja memperkenalkannya padaku.
“Ren, iniloh Alvian, cowo idaman di kampus kita” goda Mila pada kami berdua.
Aku hanya tersenyum dan tersipu malu menatap lelaki itu. Lelaki itu langsung mengulurkan tangannya padaku untuk berkenalan “hai … aku Alvian”.
Aku masih terpana menatap lelaki itu, Milapun langsung menyenggol bahuku dengan pelan memberi kode untuk berkenalan dengan Alvian. Aku segera mengulurkan tanganku dan berkenalan pada lelaki itu.
“Aku Rena” ucapku singkat.
“Cie … ada yang malu-malu,” goda Mila padaku.
Zia yang melihat kejadian itu sedari tadi, langsung memberi kode pada Mila dan mengajaknya pergi agar kami bisa berduaan.
“Mil … temenin gue sini, kitakan belum foto-foto dari tadi," tukas Zia padanya.
Mila paham dengan maksud Zia dan segera mengikuti Zia.
Kini aku dan Alvian hanya tinggal berdua di taman, cukup lama bercerita dengan Alvian aku merasa srek dan nyaman dengannya, senyumannya yang manis dengan tatapannya yang hangat membuatku benar-benar terpesona. Aku perhatikan Alvian juga senang berkenalan denganku, sepertinya dia juga tertarik untuk mengenalku lebih jauh.
Dari kejauhan aku melihat Mila dan Zia yang memperhatikanku. Ternyata Mila dan Zia berencana untuk menjodohkan kami berdua. Alvian cowo baik dan juga pintar. Salah satu sifat terbaiknya adalah perhatian dan sangat santun pada orang tua. Melihat karakter Alvian, Mila dan Zia sangat berharap aku dan Alvian bisa jadian kalau bisa sampai kejenjang pernikahan.
Rasanya aku akan menjadi wanita paling beruntung jika benar Alvian memiliki niat serius padaku.
***
Malam itu telah menunjukkan pukul sembilan malam, aku teringat akan janjiku pada ayah untuk pulang secepatnya.
"Alvian, aku rasa sudah saatnya aku pulang. Aku akan segera memanggil Mila."
"Mengapa cepat sekali?" Alvian mencoba menahanku.
"Aku sudah berjanji untuk pulang cepat pada ayahku, aku tidak ingin ayah khawatir."
"Baiklah, bagaimana kalau aku mengantarmu?" Alvian menawarkan diri padaku.
Sebenarnya aku sangat senang dengan penawarannya, tapi aku pikir tidak untuk kali ini karena aku baru saja mengenalnya. Lagi pula ayah tidak akan suka jika ada lelaki yang mengantarku pulang. Akhirnya aku meminta Mila untuk pulang bersamaku malam itu.
"Re, gimana pendapat lo tentang Alvian?" tanyanya memecahkan keheningan kami saat di mobil.
"Hm, baik. Dia cowo yang manis."
"Cuma itu aja? Emang lo ga ngerasain sesuatu waktu sama dia tadi?" goda Mila padaku.
"Iya gitulah Mil, sejujurnya gue suka sama dia tapi gue belum bisa mastiin perasaan gue ke dia,"jelasku sambil merasakan desir-desir aneh didalam tubuhku saat membayangkan pertemuanku dengan lelaki itu.
"Ok, gue ngerti sama maksud lo tapi gue paham kok," liriknya sambil menggodaku.
"Mila, udah deh jangan menggoda terus."
Mila pasti menyaksikan bagaimana wajahku merona seperti kepiting rebus saat ini. Mila hanya tersenyum penuh makna memperhatikan aku. Sepertinya dia paham dengan apa yang kurasakan.
Satu minggu setelah pertemuan dipesta, Alvian menemui Mila, lalu menanyakan tentang aku,
"Mil, teman kamu yang waktu itu dipesta mana ya?"
Mila yang waktu itu lagi bersama Zia langsung menebak maksud Alvian, “maksud kamu Rena, pasti mau ngomongin sesuatu ya”.
Alvian hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mila. Mila langsung menunjuk ke arah depan pintu kelas dan berkata “orang yang kamu cari ada di sana.”
Alvian langsung menoleh kearah depan kelas dan menuju kepadaku.
“Hai Ren, gimana kabarmu?” Tanya Alvian sambil tersenyum.
“Baik,” jawabku sambil tersenyum.
“Ren, nanti kalo ga sibuk dateng ya ke Cafe belakang kantin, aku tunggu jam tiga sore aku mau omongin sesuatu,” pinta Alvian padaku.
Tanpa berpikir panjang aku mengikuti perkataannya. Tepat jam tiga sore aku menemui Alvian bersama Zia dan Mila. Penasaran banget sebenarnya Alvian mau bilang apa? Tiba-tiba di atas panggung Alvian menyerukan sesuatu sambil memegang mikrofon “Selamat sore, mohon perhatiannya sebentar.
Hari ini adalah hari yang sangat spesial untuk seseorang yang spesial.”
Mendengar ucapan Alvian para pengunjung bertanya-tanya, begitu juga dengan Mila, Zia dan aku. Kira-kira siapa ya orang spesial yang dimaksud Alvian? Sambil menatap sekeliling cafe.
Alvian melanjutkan ucapannya “seorang wanita cantik yang baik hati yang ada di depan saya, namanya Rena”.
Mendengar ucapan Alvian aku menjadi gugup, Zia dan Mila menggenggam tanganku sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba saja Alvian mengajakku ke atas panggung lalu melanjutkan perkataannya “Rena… Will You Marry Me?” sambil memberikan seikat bunga dan sebuah cincin padaku. Teman-temanku yang menyaksikan kejadian itu langsung bersorak “terima ... terima … terima …” tanpa berpikir panjang aku langsung menerima Alvian.
Akhirnya kamipun jadian, kami melewati masa pacaran selama satu tahun, saat itu aku juga telah menyelesaikan S2 ku begitu juga dengan Alvian dan tiga bulan setelah itu kamipun menikah.
Pernikahan kami berlangsung dengan sangat mewah, karena aku anak satu-satunya dan kesayangan ayah, ayah merayakan pesta pernikahanku dengan sangat mewah dan hari itu adalah momen bahagia yang aku miliki bersama orang yang kucintai.
Awal pernikahan, terasa sangat menyenangkan. Alvian terlihat sangat bertanggung jawab kepadaku dan ayah, kami juga mengelola perusahaan ayah bersama. Satu tahun menikah kami dikaruniai seorang anak lelaki yang tampan. Anak pertamaku kuberi nama Dhafi artinya tamu, karena memang anak ini adalah tamu pertama kami, menjalani satu tahun pernikahan bersama Alvian. Membuatku sangat bahagia.
Aku melihat dia sangat menyayangi putraku dan memberikan perhatian yang sangat besar pada anakku, hingga aku memiliki anak kedua, seorang bayi perempuan lucu yang kuberi nama Belvina, dalam kondisiku yang memiliki dua anak yang ku urus sendiri tanpa pengasuh aku masih memimpin perusahaan tapi lama-kelamaan aku merasa sudah tidak sanggup untuk mengelola perusahaan karena juga mengurus anak-anak dan rumah. Akhirnya aku memutuskan supaya Alvian menjadi pimpinan perusahaan dengan izin dari ayah. Awalnya ayah tidak mau, tapi setelah aku menjelaskan kondisiku akhirnya ayah mau mengerti.
****
Pertama kali menjadi direktur perusahaan Alvian sangat menunjukkan rasa tanggungjawabnya pada pekerjaan dan prospek perusahaan juga semakin membaik, sampai suatu ketika perusahaan kami membutuhkan seorang sekretaris.
Ryan sepupuku merekomendasikan seorang wanita yang disebutnya sebagai teman kampusnya, namanya Anastasya, dia meminta kepada Ryan untuk dicarikan pekerjaan karena orang tuanya lagi sakit dan dia butuh biaya untuk pengobatan ibunya, karena merasa iba Alvian menerimanya bekerja di Perusahaan dan mengisi kekosongan sekretaris di perusahaan, tapi semenjak kedatangan Anastasya semua jadi berubah, Alvian mulai tidak peduli padaku.
Dia lebih sering menghabiskan waktu di luar daripada di rumah, alasannya kesibukan di perusahaan semakin bertambah karena permintaan pasar semakin meningkat, pernah suatu waktu aku ingin meminta Alvian untuk mengantarkanku ke rumah sakit karena ayah kena serangan jantung, tapi Alvian tidak ada di kantor kata resepsionis Alvian lagi ada meeting diluar bersama sekretarisnya, sampai keesokan harinyapun Alvian tetap tidak datang menjenguk ayah, jangankan datang bertanyapun tidak. Aku mulai curiga, aku mulai bertanya pada Alvian apa yang menyebabkannya tidak bertanya tentang ayah dan cenderung tidak peduli, dia hanya menjawab sibuk dengan urusan pekerjaan dan banyak deadline dengan klien.
Tidak percaya begitu saja akhirnya aku meminta Ryan mengantarkanku ke perusahaan dan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi, benar saja ketika aku ke perusahaan Alvian dan sekretarisnya tidak ada di kantor, akupun menanyakan pada resepsionis dan rekan-rekan di perusahaan apa benar banyak jadwal meeting dengan klien, mereka menjawab tidak ada, kalaupun ada palingan cuma sesekali. Kecurigaanku semakin bertambah saat aku meminta laporan keuangan hasilnya sangat mengejutkanku, uang perusahaan telah digelapkan dan semuanya dimasukkan ke rekening Alvian untuk membeli rumah dan mobil mewah, sementara Alvian tidak pernah memberikanku kejutan apapun. Aku benar-benar kesal dengan yang baru saja aku lihat, akupun pulang ke rumah dengan sangat marah.
Sesampainya di rumah aku menunggu kedatangan Alvian, seperti biasa dia pulang larut malam.
"Dari mana saja kamu mas?"
"Tadi ada rapat sama klien," jawabnya seperti biasa.
"Rapat? Masa rapat tiap hari mas?" selidikku padanya.
"Mau bagaimana lagi? Banyak klien yang mau bekerjasama sama dengan perusahaan kita, pastinya aku harus menyeleksi mereka," jelasnya lagi padaku.
"Oh begitu ya?" tanyaku datar padanya.
Dia tetap bungkam dan tak memberikan penjelasan apapun padaku.
Akupun melanjutkan pertanyaanku.
"Bagaimana dengan kantor apakah perusahaan baik-baik aja mas?"
"Ya, perusahaan baik-baik saja dan omsetnya selalu meningkat," jawabnya tanpa ada keraguan dimatanya.
Aku tidak percaya begitu saja ucapannya, "benarkah mas?" tanyaku lagi sambil menatap netranya, mencoba mencari kejujuran didalam sana.
Alvian masih mencoba meyakinkanku, "iya sayang, kamu kok ga percaya sama suamimu sendiri?"
"Lalu ini apa mas?" cecarku sambil memberikan fakta yang sebenarnya seperti yang aku lihat siang tadi di perusahaan.
"Apa ini sayang?" tanya Alvian sangat terkejut.
"Itu bukti kalau mas udah bohong sama aku tentang perusahaan kita," ucapku sambil meluapkan emosiku padanya.
Alvian masih mencoba berkilah, "itu fitnah sayang, pasti ada orang yang ingin menjatuhkanku," belanya terhadap dirinya.
Aku yang merasa kesal, memberikan bukti-bukti yang telah aku salin dari perusahaan.
"Lihat ini mas, kamu udah ketahuan berbohong kepadaku dan juga ayah!" Tegasku sambil melemparkan bukti-bukti yang kuperoleh ke atas meja.
Merasa terdesak Alvian mengakui semuanya.
"Oh itu, memang benar aku yang melakukannya, tapi itu semua hakku. Aku adalah pimpinan perusahaan jadi aku punya hak untuk menggunakan uang perusahaan," sungutnya tanpa rasa bersalah.
"Aku benar-benar sangat kecewa sama kamu mas, ternyata kamu telah menggelapkan uang perusahaan untuk bersenang-senang dengan Anastasya sekretarismu! Kamu ga mikirin aku dan anak-anak kita?" Tangiskupun pecah saat itu juga.
Alvian yang melihatku menangis langsung merangkulku, dia membawa tubuhku ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku sayang, aku melakukan itu bukan tanpa sebab tapi karena Anastasya membutuhkannya untuk biaya rumah sakit ibunya," jelasnya padaku.
"Kamu masih saja berbohong mas. Aku tahu kamu selingkuh dibelakangku kan?"
Seketika dia melepaskan pelukannya dan menatap mataku dengan intens. Mencari celah dari setiap ucapanku.
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Itu ga benar sayang," kilahnya lagi.
"Mas jujur saja, sebenarnya mas ada hubungan apa dengan sekretaris yang bernama Anastasya itu?"
"Maaf sayang aku memang salah, tapi aku ga pernah membohongi kamu. Aku memang pernah dekat sama dia tapi itu dulu dan sekarang udah ga lagi," ucapnya meyakinkanku.
Sulit bagiku untuk memaafkannya kalau bukan mengingat anak-anakku rasanya aku ingin sekali mengusirnya dari rumah, tapi aku mencoba memaafkannya dan berharap dia tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Ternyata Alvian tidak pernah berubah, aku pikir setelah kejadian itu dia tidak akan berhubungan dengan Anastasya, ternyata hubungan mereka masih tetap berlanjut.
Merasa lelah dengan sikap Alvian yang semakin menjadi-jadi akupun memintanya meninggalkanku.
"Mas aku cape dibohongi sama kamu terus-terusan. Aku ga bisa melanjutkan hubungan kita mas. Aku rasa berpisah adalah jalan terbaik untuk kita," pintaku sambil berderaian air mata.
Alvian tersenyum miring memperhatikanku dengan tatapan mencemooh.
"Baik, kalau itu maumu aku akan ikuti kemauan kamu, tapi dengan satu sayarat."
"Syarat apa mas?" tanyaku sambil menghapus jejak air mataku.
"Aku rasa aku tidak perlu berpura-pura lagi. Aku juga udah muak sama kamu, hidup membosankan dengan wanita rumahan yang cuma bisa mengurus anak dan rumah saja. Aku jenuh denganmu."
Ucapan yang terlontar dari bibirnya itu benar-benar menyakitku, aku tak rela dia menghinaku.
"Aku begini juga karena kamu mas. Aku dirumah mengurus anak-anak dan juga kamu." Aku mencoba membela diri.
"Ya aku tahu itu, tapi setidaknya jangan buat aku bosan dengan penampilanmu yang seperti ibu rumah tangga itu. Aku mau wanita yang modis dan cantik. Bukan seperti kamu." Tunjuknya ke wajahku dengan tatapan merendahkanku.
"Kamu jangan lupa ya mas. Aku ini istrimu dan aku juga yang udah memberikan kamu jabatan di perusahaanku sampai kamu jadi hebat seperti sekarang ini, tapi kamu ga boleh seenaknya begitu," ucapku sambil menatap tajam ke netra kecoklatan lelaki itu.
"Jadi sekarang kamu mau hitung-hitungan sama aku?" gertaknya padaku.
"Bukan begitu mas, aku cuma ga suka kamu merendahkanku seperti itu." Aku mencoba merendahkan suaraku dan sedikit mengatasi egoko.
"Ah, sudahlah! Lama-lama kamu itu membosankan ya. Kamu tadi bilang mau pisah dari aku? Yakin bisa dapatkan yang lebih baik dari pada aku?" Masih saja lelaki itu merendahkanku.
"Apa kamu pikir diusiamu yang memasuki kepala tiga dan memiliki dua orang anak seperti sekarang, lelaki mana yang mau denganmu?" sambungnya sambil mencerca padaku.
"Aku ga pernah berpikir untuk mencari pendamping lagi mas. Aku cuma ingin hidup bahagia dan anak-anakku juga bahagia," jelasku sambil menahan tangisku.
"Oh begitu, jadi kamu tidak bahagia bersamaku? Lantas kamu pikir kamu bisa menjalankan perusahaanmu itu tanpa aku?" tuturnya meremehkanku.
"Aku pasti bisa mas," jawabku singkat.
"Baik, kalau begitu maumu. Kita lihat saja apa kamu akan sanggup menjalankan perusahaan itu tanpa aku dan satu lagi, aku mau separoh dari aset perusahaan harus kamu berikan padaku, kalau tidak jangan harap aku akan mau berpisah denganmu."
Sejenak aku tertegun mendengar ucapannya. Benar saat ini aku tidak bisa menjalankan perusahaan itu tanpa dirinya, tapi aku tidak akan tinggal diam jika dia mencoba merendahkanku terus. Lama berpikir, akhirnya aku putuskan untuk mengikuti permintaannya, tanpa butuh waktu lama aku memanggil pengacaraku untuk mengurus pembagian aset perusahaan, akupun memberikan separuh aset perusahaan untuknya dan semua itu juga telah mendapat persetujuan dari ayah.
Setelah membagi aset perusahaan akupun memutuskan untuk berpisah dengan Alvian. Beberapa bulan setelah perpisahanku dengan Alvuan, kondisi ayah menirun. Ayah terkena serangan jantung dan kondisinya semakin memburuk. Ayah memang sangat menyayangi Alvian, karena ayah tekah menganggapnya seperti anak sendiri, tentu saja perpisahanku dengan Alvian menjadi beban pikirannya. Ayah dirawat beberapa minggu dirumah sakit dan akhirnya menutup mata untuk selamanya, aku sangat sedih karena kehilangan orang yang sangat aku sayangi dihidupku, disisi lain Alvian tidak pernah peduli tentang ayah, juga tidak pernah menemui anak-anakku dan yang lebih menyakitkan lagi tanpa merasa bersalah dan tanpa bertanggung jawab sedikitpun ia masih melanjutkan hubungannya dengan Anastasya, mereka membuat perusahaan kontruksi saingan, tapi sayang semuanya tidak berjalan dengan mulus karena usut punya usut perusahaan mereka sering melakukan kecurangan dan penyuapan.
Alvian juga kelakuannya makin menjadi-jadi dia sering gonta-ganti pasangan. Sampai akhirnya aku mendapatkan kabar Alvian masuk penjara karena tuduhan penggelapan uang rekan bisnisnya dan berpisah dengan Anastasya.
Aku merasa kasihan padanya, tapi ya… mau gimana lagi itukan pilihan dia, aku udah mencoba memberinya kesempatan tapi dia menyia-nyiakannya. Lagi pula sekarang aku sudah tidak bersamanya. Aku telah menjalani kehidupanku yang baru bersama kedua anak-anakku dan kembali menjadi pimpinan perusahaan dan Ryan sepupuku sebagai orang kepercayaanku mengelola perusahaan.
Beberapa minggu setelah kabar Alvian mendekam di jeruji besi, Anastasya datang menemuiku.
"Bu Rena, maafkan saya. Saya tahu saya sudah banyak menyakiti ibu dan berbuat tidak baik selama menjadi karyawan ibu, tapi saya mohon maafkan saya bu."
Wanita muda itu bersimpuh dihadapanku sambil berderaian air mata.
"Anastasya, apa yang kamu lakukan? Berdirilah, jika ada yang melihatmu seperti ini, nanti orang akan berpikir yang tidak-tidak padaku," ucapku sambil mengangkat tubuh wanita itu agar sejajar denganku.
"Saya minta maaf bu. Saya sudah mencurangi ibu, saya juga sudah menghancurkan pernikahan ibu dengan Alvian, tapi sekarang ibu lihat sendiri saya sudah menuai karma atas perbuatan saya." Gadis itu menangis tersedu-sedu dihadapanku.
Sebenarnya hatiku sangat sakit saat melihatnya muncul dihadapanku, namun rasa iba yang ada dihatiku lebih besar daripada benciku. Melihat wanita muda itu menghiba dihadapanku, akupun menjadi tidak tega terhadapnya.
"Sudahlah Ana, saya sudah memaafkan semua kesalahanmu. Aku sudah tidak memikirkan semua itu lagi," ucapku menenangkannya.
"Ibu tidak membenci saya sedikitpun?" Wanita muda itu mencoba meyakinkan dirinya sambil menatap mataku.
Aku hanya menganggukkan kepala melihatnya.
"Terimakasih bu, tapi saya butuh bantuan ibu saat ini," pinta wanita itu padaku.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu kamu?"
"Bu, maukah ibu menerima saya menjadi karyawan ibu kembali?"
Aku terperanjat oleh ucapan gadis itu, tapi aku tidak ingin menyakitinya. Meskipun luka yang ditorehkannya bersama Alvian masih membekas dihatiku, tetapi melihat kondisinya yang memprihatinkan saat ini aku juga tidak sampai hati untuk menolaknya.
"Ahm, begini sebenarnya saya tidak ingin kamu bekera di perusahaan saya kembali, tapi saya masih mau memberi kesempatan dan kepercayaan kepada kamu," tegasku padanya.
"Benarkah bu?" Mata gadis itu terlihat berbinar-binar saat mendengar ucapanku.
"Iya, saya akan menerima kamu kembali di perusahaan ini. Asal kamu janji kamu harus bekerja dengan baik di perusahaan ini."
"Terimakasih bu, saya pasti akan bekerja dengan baik di perusahaan ini dan saya janji saya akan memperbaiki kesalahan saya pada ibu dan perusahaan ini." Wanita itu langsung memeluk tubuhku dengan erat dan kurasakan ada buliran hangat yang jatuh dari matanya yang mebasahi bahuku.
Aku bisa merasakan penyesalan yang mendalam dari wanita itu. Isakan yang membuat tubuhnya berguncang hebat membuatku mengerti dia benar-benar membutuhkan bantuanku saat ini.
Akupun memeluk kembali gadis itu kemudian menatap kepadanya.
"Sudah, sekarang jangan menangis lagi. Kamu bisa mulai bekerja diperusahaan ini mulai saat ini," jelasku padanya.
Wanita itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum bahagia.
***
Ryan baru saja masuk ke dalam ruangan kerjanya.
"Selamat pagi pak Ryan, silahkan diminum kopinya," ujar Ana padanya.
"Kau? Bagaimana kau ada disini, bukankah kau tidak bekerja disini lagi?"
"Iya pak, kemarin saya menemui bu Rena dan saya menjelaskan semuanya padanya. Saya juga meminta maaf dan meminta untuk bekerja kembali di perusahaan ini," jelas wanita itu sambil menundukkan kepalanya.
"Apa semudah itu kak Rena memaafkanmu, setelah apa yang telah kau lakukan padanya? Jangan berpura-pura padaku. Kau pasti merencanakan sesuatu hal yang buruk pada perusahaan kakakku, " hardik Ryan padanya.
"Tidak pak, tidak seperti itu saya tidak bermaksud untuk menghancurkan perusahaan ini. Saya datang ke sini karena membutuhkan pekerjaan ini." Mata wanita itu mulai berkaca-kaca.
"Jangan berpura-pura dihadapanku. Aku tidak akan mengasihanimu, lebih baik kau pergi dari sini. Aku tidak ingin melihatmu berada disini," tunjuknya pada wajah wanita itu.
Wanita itu hanya bisa menangis karena dia sangat mengerti dengan kondisinya saat ini. Dialah penyebab kekacauan ditempat itu dan sekarang dia hanya ingin mendapatkan maaf dari Ryan.
"Maafkan aku, aku tahu aku salah tapi ku mohon berikan aku kesempatan sekali saja." Wanita itu memohon padanya.
Ryan membuang pandangannya pada wanita yang berada dihadapannya. Lelaki itu masih merasa sakit hati padanya, karena Anastaya bukan hanya membohonginya tapi juga telah mematahkan hatinya, gadis yang dicintainya itu berselingkuh dengan kakak iparnya, yaitu Alvian.
Disela-sela keributan diantara kedua orang itu, Rena datang menghampiri mereka.
"Ryan, Ana, ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut sepagi ini?"
Aku merasa sedikit terganggu dengan perdebatan kedua orang itu, karena ruangan Ryan tidak jauh dari ruanganku. Jelas saja setiap keributan yang terjadi diruangan itu akan segera diketahui oleh Rena.
"Ini kak, wanita ini bilang dia akan bekerja kembali di peurusahaan ini. Apa itu benar kak?" Tunjuknya pada Ana yang masih menangis dihadapannya.
"Iya, aku telah menerimanya kembali di perusahaan ini," jawabku menegaskan pengakuan wanita muda itu.
"Apa? Kakak yakin mau menerima dia bekerja di perusahaan ini lagi? Apa kakak sudah lupa? Dia yang udah menghancurkan perusahaan kita dan dia juga yang telah merebut suami kakak!" ucap lelaki itu dengan penuh kekesalan.
Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras menahan amarah yang sedang tertanam dihatinya. Rasanya ingin sekali dia berteriak untuk mengusir wanita itu tapi Ryan masih mengingat Rena yang merupakan pemilik perusahaan.
"Aku tahu Ryan, aku sangat menyadari itu semua dan aku sebagai pemimpin Zeneca Company telah menerimanya kembali di perusahaan ini," tegasku pada adik sepupuku itu.
"Tapi kak, bagaimana bisa kakak mempercayainya? Dia sudah mengkhianati kakak. Dia sudah berselingkuh dengan suami kakak. Kakak masih ingatkan bagaimana mas Alvian udah tega meninggalkan keluarga demi wanita itu?" Tunjuknya pada Ana dengan tatapan penuh kebencian.
"Bahkan dia juga pernah membuat perusahaan saingan untuk menjatuhkan perusahaan kita," imbuhnya lagi.
"Ryan, kakak tahu Ana sudah banyak berbuat salah, tapi kakak masih mau memberikan kesempatan padanya untuk memperbaiki kesalahannya," jelasku pada Ryan.
"Aku ga yakin dia bakal berubah," tatap Ryan dengan tajam pada Ana. Sementara gadis itu hanya menundukkan kepala layalnya orang yang sedang disidang. Dia benar-benar tak mampu menatap mataku ataupun Ryan yang berdiri tepat didepannya.
"Manusia itu adalah tempatnya salah. Baik aku ataupun kamu juga pernah melakukan kesalahan dan sudah seharusnya kita saling memperbaiki kesalahan itu bukan?" tatapku lembut pada adik sepupuku itu.
"Baiklah, kalau begitu mau kakak. Aku cuma tidak ingin perusahaan kita akan semakin terpuruk karena kita baru saja merintisnya kembali." Ryan menghembuskan nafas berat.
Aku melihat ada rasa kekecewaan yang mendalam tersirat dimatanya.
"Kakak sudah memperkirakan itu semua. Sudahlah kamu tidak usah khawatir. Kakak yakin Ana bisa dipercaya kok," tegasku padanya.
Ryanpun menganggukkan kepalanya setuju dengan keputusanku.
Sebenarnya aku masih belum yakin akan keputusanku untuk menerima Anastasya di Zeneca Company, tapi aku coba untuk memberikan kepercayaanku padanya sekaligus mengujinya apakah dia bisa menjaga kepercayaanku atau hanya ingin mengkhianatiku lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!