Part 1
"Ingat! Dia perempuan bersuami." seru Daniar
"Iya, aku tahu. Tetapi status itu tidak bisa membunuh cintaku pada Madu." Jidan bangun dari duduknya, sembari menepis tangan Daniar dipundaknya.
Kening Daniar berkerut, dia kehabisan kata-kata untuk menyadarkan sahabatnya. Jidan seakan telah buta dan tuli terperangkap pesona Madu. Madu seorang perempuan cerdas, ceria, berkarir cemerlang. Daniar tidak membantah, jika dirinya pun sempat terpapar pesona Madu. Namun untunglah dia mampu menguasai dirinya
Daniar mencoba menyadarkan Jidan, namun sepertinya usahanya sia-sia. Pemuda tegap nan berwibawa di hadapannya, seakan-akan telah terjerumus pada segitiga bermuda perempuan bermata coklat itu.
"Aku hanya mau dia ... "
"Tidakkah kau melihat betapa nyaris sempurnanya dia, bukan-bukan, dia sempurna bagiku." Jidan berusaha meyakinkan Daniar.
"Ok, lalu sekarang apa langkahmu? Pandangan Daniar tajam menyapu pemuda tampan yang sedang hilang akal.
Jidan berdiri membelakangi Daniar. Angannya melayang pada peristiwa 10 tahun silam. Dimana kala itu Jidan hanya mampu bertitip salam. Madu teman kecilnya, gadis periang dan penyayang, namun sedikit liar.
Sedangkan Jidan, hanya mampu diam dan memandang dari kejauhan setiap kali ada waktu bersama. Madu sangat ambisius, dia mau merubah wajah dunia. Dia bukan perempuan biasa, yang harus berteman dengan boneka.
Sepuluh tahun berlalu. Jidan berharap mampu mengungkapkan semua rasa. Jidan kini telah sukses dalam karirnya, impiannya untuk bersanding dengan Madu semakin dekat. Dia berharap gadis pujaannya itu, tidak punya alasan untuk menolaknya. Tetapi harapan tidak sesuai ekspektasi.
"Tuhannnnnnn ... !"
Tiba-tiba Jidan berteriak, suaranya memecah ombak yang sedang berkejaran.
"Ukhuk ... " Daniar terperanjat
Kopi yang baru saja dia pesan dari petani garam, seketika membasahi dadanya. Tak aya Daniar pun kepanasan. Sembari menyeringai, dia menghampiri Jidan.
"Hai sobat, apa ini langkahmu yang Kau maksud?"
"Kau tampan, kau banyak uang, kau pun punya pekerjaan yang mapan"
"Lalu, kalau Kau mau seratus, seribu atau sejuta Madu bisa Kau dapatkan!" Daniar pun berteriak sembari menarik kerah Jidan hingga menyentuh hidungnya.
Bola mata Daniar menyala, seolah ingin ******* habis budak cinta di hadapannya. Daniar masih tidak percaya, di dunia yang sudah menuju society 5.0 masih ada yang tuli dan buta karena cinta.
"Pergilah!" Jidan berteriak sembari menghempaskan tubuh sahabatnya itu.
"Kau tidak tahu apa-apa!" Jidan mengarahkan telunjuknya ke wajah Daniar yang terhempas di pasir berair.
Ombak semakin riuh berkejaran, namun kedua sahabat itu belum juga bergeming. Senja mulai menunjukkan pesonanya. Remang-remang dari jauh seorang perempuan menghampiri mereka.
"Syahid, Jidan!" seru Zakia
Kedua sahabat itu hanya menatap ke arah Zakia. Jidan merapikan pandangannya. Begitu pun Syahid, segera bangkit dan membersihkan butiran pasir putih yang melekat di tubuhnya.
"Apa yang terjadi? tanya Zakia.
Gadis cantik berambut pirang itu, menatap kedua pemuda tampan di hadapannya. Pandangan Zakia melucuti keduanya. Namun Syahid dan Jidan pun hanya membalas datar tatapan Zakia.
"Tidak ada apa-apa ... , Syahid dan Jidan menjawab bersamaan sembari melempar senyum tipis.
"Yakin! Serius ... tanya Zakia tak percaya.
Syahid berjalan mendekati Zakia.
"Zakia, apa untungnya kami berbohong, Kau tak ada jarak bagi kami. Sudahlah, apa semua sudah siap?" Syahid mencoba mengalihkan fokus Zakia.
"Kami sudah sangat lapar, perut kami sudah berdendang ... hahaha "
"Be ... be ... benar," sahut Jidan.
"Baiklah-baiklah, anggap saja aku percaya. Tapi ingat, kalian tidak akan pernah berhasil membohongiku." Zakia menarik telinga kedua pemuda tampan itu, dan ketiganya pun tertawa bersama.
Senja telah bersimpangan dengan sang malam. Gelap mulai merayap, menghadirkan dendang sang Raja malam. Zakia yang curiga dengan gelagat kedua sahabatnya, pura-pura tidur. Syahid dan Jidan yang tidak menyadari kecurigaan Zakia kembali berdebat di antara gelap dan sunyinya malam.
"Sudahlah Ji, jangan terlalu risau, bangkitlah, aku tahu ini hanya sesaat." Syahid kembali menasihati Jidan.
"Aku tahu, maksudmu Syah." Jidan menatap langit-langit teras yang terlihat samar.
"Tetapi, aku belum bisa mengakhiri rasa ini." Jidan mengusap kedua bola matanya, yang belum juga meredup.
Tatapannya liar menyapu gelapnya malam. Mereka terus saja berbincang hingga larut malam. Tik, tik, tik detik jarum jam semakin jelas terdengar.
"Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa mereka tidak menyebut satu nama pun." Zakia masih menajamkan telinganya.
"Atau mereka sedang membicakan aku, hmmm."
"Zakia ayolah, percayalah dia pasti menyukaimu, lihatlah dirimu, kamu cantik, pintar, dan menarik." Zakia bangkit dan melihat dirinya di cermin.
Senyum Zakia terkembang, dia begitu mengagumi dirinya. Dia begitu yakin, kalau cintanya pasti terbalas. Seketika Zakia hanyut dalam khayalannya, hingga tanpa dia sadari kedua pemuda itu telah berlalu.
"Sudahlah, sebaiknya aku kembali menyimak perbincangan mereka." Bola mata Zakia berbinar, menatap liar menyapu seluruh ruangan.
Zakia tidak menemukan siapapun, yang ada hanya gelap dan hening. Tetapi bukan Zakia namanya kalau harus menyerah begitu saja. Perlahan dia keluar dari kamarnya. Menyusuri setiap sudut, namun tidak mendapati siapa pun.
Pyarr, tetiba lampu menyala.
Zakia terperanjat, saat dia memalingkan pandangannya. Betapa terkejutnya dia, ke dua sosok tegap berdiri di hadapannya. Dia merasa sangat gugup.
"Ak ... ak ... aku, aku ... " Zakia kehabisan kata-kata. Mulutnya bagai terpenjara. Dia tidak menyangka, justru dia yang tertangkap. Zakia menyeringai dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dasar, ubur-ubur ... apa yang Kau lakukan?" Jidan menarik telinga Zakia dengan senyum tipis.
Jantung Zakia berdetak kencang, pipinya kemerahan, giginya berbenturan.
"Zakia, kuasai dirimu, jangan sampai hatimu terbaca," Zakia benar-benar mati gaya.
"Lepaskan aku, sakit tahu!" Zakia mengaburkan perasaannya.
"Tidak, aku tidak akan melepaskanmu, sebelum kau mengaku, apa yang Kau lakukan!" ujar Jidan
"Tidak, aku tidak mau!" Zakia memohon dengan manja.
"Dasar ubur-ubur, ayuk duduklah!" Syahid mengelus kepala Zakia yang telinganya masih dalam pegangan Jidan.
Selanjutnya mereka pun duduk bersama.
"Kalian memang kejam sama aku," Zakia menggerutu manja.
"Baiklah-baiklah, kami minta maaf."
Akhirnya mereka kembali bercanda dalam gelapnya malam. Semua larut dalam khayalannya masing-masing. Senyum-senyum dengan arti yang berbeda.
Zakia, semakin yakin dengan perasaannya. Bahwa cintanya pasti tersambut. Dia merasa menjadi perempuan paling beruntung. Dia jatuh cinta pada seseorang yang nyaris sempurna. Dia tidak sabar menunggu cinta itu terungkap. Senyum tipis berbunga-bunga di sudut bibir Zakia, yang terlihat begitu merona terbentur sinar lampu malam itu.
Sementara Jidan, masih larut dengan asmara yang tak kunjung reda. Dia masih sangat yakin, bahwa cintanya pasti sampai. Dia tidak akan menyerah, sebelum tahu isi hati Madu. Pandangannya, terus menerobos gelapnya malam.
Syahid yang mulai mengantuk, tiba-tiba terbersit satu hal. Bola matanya terpantul antara Zakia dan Jidan.
"Kenapa, Jidan tidak bersanding saja dengan Zakia." Syahid tersenyum optimis
"Baiklah, besok lihat apa yang bisa aku lakukan" gumam Syahid dalam hati.
"Ehhem, ehhem ... sebentar lagi subuh, ayuk kita istirahat dulu." Syahid berdiri menuju kamar.
"Oya jangan lupa cepat tidur dan tunggu kejutan dariku esok pagi!" ujar Syahid diiringi senyum tipis di ujung bibirnya.
Zakia dan Jidan pun menyepakati itu. Ketiganya pun meninggalkan tempat dan masuk kamar masing-masing.
"Syahid ... " langkah Syahid terhenti, dan betapa terkejutnya saat dia memalingkan pandangannya.
_Bersambung_ ...
Part 2
"Kau! Bola mata Syahid liar menajam
Perlahan Syahid memalingkan pandangannya. Tatapannya menyapu ke segala penjuru. Sementara itu sosok gemulai dengan rambut terurai, perlahan mendekatinya.
"Syahid tunggu, jangan masuk dulu!" ujar Zakia
Langkah Zakia semakin dekat, namun tetiba tanpa sengaja tangannya menyentuh guci yang berada di samping langkahnya.
Prakkk ...
Mendengar suara keras, Jidan yang telah bersiap melepas pakaiannya, untuk bersiap tidur seketika pun terhenti. Jidan menajamkan telinganya. Sayup-sayup dia mendengar suara berisik di luar. Tak aya, Jidan pun segera bangun dari duduknya. Dia bersiap keluar, dan saat dia membuka pintu. Jidan melihat pemandangan tak biasa.
Zakia terlihat berada di pelukan Syahid. Keduanya beradu pandang. Tanpa berpikir panjang Jidan pun menghampiri keduanya.
"Kalian," kedua tangan Jidan terbuka penuh tanya.
"Baiklah-baiklah, aku tidak peduli apa yang terjadi, yang pasti aku bahagia." Jidan tersenyum lebar."
"In ... ini, tidak seperti yang Kau pikirkan Jidan," Zakia mencoba menjelaskan, sembari melepaskan diri dari pelukan Syahid.
"Syahid, lepaskan aku, dan jelaskan pada Jidan, apa yang sebenarnya terjadi." Zakia mengerutkan wajahnya.
Syahid pun berdiri dan merapikan pakaiannya. Tangannya pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu dijelaskan, aku rasa semuanya sudah jelas." Jidan tersenyum menggoda keduanya.
"Ta ... tapi Jidan, kami," Zakia menghentikan ucapannya, Jidan menutupkan telunjuk di bibirnya.
"Sudahlah ubur-ubur, sebaiknya Kau masuk kamar sekarang. Biarkan kami yang membersihkan ini." Jidan meraih serpihan guci.
"Jidan benar, istirahatlah!" Syahid menimpali
Meskipun berat, dengan wajah kusut Zakia meninggalkan keduanya. Pikirannya tak menentu. Ada rasa marah, kesal, malu dan juga sesal. Zakia tidak menyangka, rasa penasarannya justru membuat asanya tak sampai.
Waktu terus berjalan, namun mata Zakia pun tak juga lelap. Zakia merasa sangat gelisah. Jam dinding yang berdetak serasa berhenti.
"Tenanglah Kia, semua pasti baik-baik saja." Zakia duduk, bangun dan berjalan hilir mudik di peraduan.
"Tidak ada yang bisa mengambil Jidan darimu, tenanglah. Ini hanya soal waktu." Zakia mencoba mendamaikan hati dan pikirannya.
Zakia terus menguras pikirannya, akibatnya dia pun tertidur karena kelelahan. Sang raja malam semakin mengusai kegelapan. Menambah sunyinya malam itu.
Keesokan harinya, matahari bersinar begitu cerah menerobos celah jendela, membangunkan tidur Zakia. Seketika Zakia pun beranjak dari peraduannya. Sayup-sayup terdengar gelak tawa riang. Zakia bangkit dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya langsung tertuju pada meja oval di sudut ruangan. Terlihat hidangan sarapan pagi dengan menu istimewa tersaji di sana. Ada dua pemuda tampan dan seorang ibu sedang memanjakan keduanya. Menuangkan setiap menu ke piring cantik di hadapan mereka.
Mereka terlihat sangat bahagia. Zakia yang sedang berada dalam kegelisahan, sungguh tidak sangat tertarik dengan suasana itu. Zakia hanya ingin Jidan, bukan yang lainnya. Sebelum semuanya melihat Zakia, dia pun kembali masuk ke kamar.
"Tunggu, dari tadi kalian membahas Zakia, lalu dimana calon menantuku itu? tanya ibu Rima sembari menatap kedua pemuda tampan di hadapannya.
"Apa!" suara keras Zakia mengejutkan Syahid dan Jidan yang sedang asyik menyantap hidangan pagi itu.
"Ukhukk," Syahid tersedak
"Minumlah!" Ibu Rima secepat kilat memberikan minuman ke putranya.
"Zakia cantik, kemarilah!" Zakia melipat senyumnya.
Bu Rima tanpa segan berjalan mendekati Zakia. Lalu menghampirinya, menarik tempat duduk untuknya, serta menyiapkan piring untuk sarapan pagi itu.
"Kau tidak perlu malu, makanlah dengan tenang. Baru setelah ini kita bicarakan segalanya." Senyum bu Rima merekah, pandangannya berbinar secerah sinar mentari.
Sementara itu Syahid yang hanya bisa terdiam, bungkam seribu bahasa. Dia tidak tahu, kalau pagi itu justru dia yang mendapat kejutan. Rencananya untuk menyatukan Zakia dan Jidan justru membuatnya terperangkap antara bahagia ibunya dan gelisahnya Zakia. Syahid tahu, Zakia tidak menyukainya. Syahid pun tahu, dirinya belum ingin menikah. Tetapi kali ini Syahid benar-benar dalam masalah.
Dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Yang terlihat begitu bahagia, mendengar cerita Jidan tentang peristiwa semalam. Syahid tidak habis pikir, kenapa Jidan tidak mau percaya dengan penjelasannya.
Di sisi lain Syahid tahu, kalau ada cinta di mata Zakia. Tetapi cinta itu bukan untuknya. Cinta dan hasrat itu, untuk Jidan. Meskipun begitu, Syahid pun tidak bisa mengatakan pada Zakia, kebenaran apa yang sedang disembunyikan oleh Jidan.
"Jidannnn, kau ini, kenapa kegilaanmu justru membelengguku" Syahid menggerutu dalam hati, sembari menahan kepalan tangannya di bawah meja.
Sesaat suasana terasa semrawut. Masing-masing larut dalam perasaan dan asa yang berbeda.
"Ayulah ubur-ubur, makan yang banyak, Kau tidak perlu diet ketat." Jidan menggoda Zakia.
"Sudahlah! ini semua gara-gara Kau." Zakia menghentikan suapannya.
Zakia beranjak dari duduknya, berlari ke taman samping rumah Syahid.
"Zakia, tunggu," bu Rima berusaha menghentikan Zakia.
"Sudahlah bu, biar aku yang tangani Zakia." Syahid dengan sigap, bangkit dan menenangkan ibunya.
"Kia, aku minta maaf," Syahid menyatukan tangannya, sembari tersenyum asam.
"Aku tidak tahu, kalau semuanya jadi serius."
"Sungguh Kia, aku tidak pernah merencanakan semua ini." Syahid mencoba memahamkan Zakia.
Berbagai untaian kata maaf, beserta penjelasan yang berlogika dia ucapkan. Namun semua sia-sia, api amarah telah menguasai jiwa Zakia. Zakia hanya diam mematung. Terlihat sesekali dia membuang pandangan. Bola matanya yang berapi-api, terus saja membakar rasa bersalah dalam diri Syahid.
"Sebenarnya aku pikir, ini tidak serius. Rencanaku yang sebenarnya adalah ... " Bola mata kemerahan gadis berambut pirang itu, mengunci lisan Syahid.
"Kenapa berhenti, ayuk lanjutkan kalimatmu!" Tatapan tajam Zakia menusuk tepat dijantung Syahid.
Semula Syahid ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun tiba-tiba, dia melihat ibunya tersenyum tegang dari arah yang berlawanan. Syahid pun mengurungkan niatnya, untuk menyampaikan yang sebenarnya.
"Tidak Kia, aku hanya, hanya ingin bilang," tubuh Syahid bergetar, lisannya pun berantakan.
Zakia terus saja memaksakan asanya. Dia ingin tahu, apa sebenarnya yang ingin Syahid katakan. Namun belum sempat Syahid berucap, bu Rima datang menghampiri keduanya.
Zakia yang sejak kecil diasuh oleh ibunya Syahid, benar-benar tidak bisa menolaknya. Ibu Rima memegang tangan keduanya. Lalu mengembangkan senyumnya.
Zakia bukan orang asing bagi ibunya Syahid. Kia sudah seperti putrinya sendiri. Sudah sejak lama, bu Rima ingin menyampaikan maksudnya. Namun mendengar peristiwa semalam dari Jidan, bu Rima semakin yakin bahwa Zakia adalah jodoh yang baik bagi Syahid.
Syahid yang selama ini tinggal di luar kota. Yang hanya pulang setahun sekali, memang kurang sedikit dekat dengan Zakia. Rasa hutang budi yang Zakia tanggung membuatnya tidak berdaya untuk menolak kesalah pahaman bu Rima.
Zakia hanya menahan gelisahnya dalam pelukan bu Rima. Sementara Syahid benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
"Sekarang Kau bersiaplah!" ujar bu Rima sembari merapikan rambut pirang Zakia yang menghalangi pandangannya.
"Zakia tertunduk diam, dia mencoba menebar senyum, namun tak bisa." Gadis berambut pirang itu pun, menarik napas panjang.
"Baiklah bu, aku akan bersiap." Zakia meninggalkan Syahid dan ibunya.
Syahid mencoba menjelaskan kepada ibunya. Namun sekali lagi, bu Rima tidak percaya penjelasannya. Pemuda berkumis tipis itu pun mulai gusar. Dia mencoba memutar otak.
Sementara itu ditempat lain. Jidan sudah bersiap tanpa merasa berdosa.
"Jidan tunggu!" Syahid menghentikan langkah Jidan sembari tersemat murka diwajahnya.
"Ini semua gara-gara Kau." Syahid meraih kerah baju Jidan hingga tubuhnya pun terjebak kedinding.
"He ... apa-apaan Kau ini, lepaskan aku!" Jidan berusaha melepaskan diri.
"Tidak, Kau telah membuat aku gila dengan kegilaanmu!" Tatapan Syahid menyala.
Syahid terus memegang Jidan dengan kuat. Hingga Jidan pun kesulitan bernapas.
"Le ... lepaskan aku, hari ini aku akan bertemu cintaku." Jidan terengah-engah dalam cengkraman Syahid.
"Kau tahu, aku hampir saja mendapatkannya, jadi tolong lepaskan aku." Jidan menyatukan tangannya sembari meringis.
Mendengar pinta Jidan, Syahid pun melepaskan cengkeramannya.
"Apapun masalahmu sobat, aku pasti akan membantumu. Tetapi, tolong jangan hari ini, aku hampir saja mendapatkan cintaku, aku mohon." Jidan kembali menyatukan kedua tangannya, sembari melipat wajahnya dengan rambut yang berantakan.
"Baiklah, tapi ingat urusan kita belum selesai." Syahid pun menjauh dari Jidan tanpa daya.
Jidan sejenak tertegun melihat sikap Syahid. Dia tidak habis pikir, mengapa sahabatnya itu marah kepadanya.
"Bukankah harusnya Syahid bahagia, cintanya tersambut dan juga mendapat restu ibunya." Jidan mengerutkan jidatnya,
"Cinta memang aneh, aku pendam cintaku bertahun-tahun,"
"Hari ini aku hampir mendapatkannya,"
"Tapi Syahid, cintanya yang baru saja dimulai telah tersambut, tetapi mengapa dia pendam lautan amarah kepadaku." Jidan terus saja memutar otak sembari merapikan kemejanya.
Jidan belum juga mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Yang dia tahu hari ini dia akan bertemu cintanya.
"Atau Syahid menghawatirkan aku" Jidan pun segera berlari mencari Syahid.
Sesampainya di depan pintu kamar Syahid, Jidan pun berhenti. Tanpa berpikir panjang, Jidan berucap dari balik pintu. Dia begitu yakin, kalau yang di dalam kamar adalah Syahid.
"Syahid, aku janji setelah aku bertemu dengan cintaku, aku pasti akan kembali, untuk menyelesaikan semuanya." Suara Jidan terbata-bata penuh semangat.
"Hari ini aku akan buktikan kepadamu sobat, bahwa cinta tidak pernah salah." Jidan menarik napas panjang dan sesekali mengusap rambutnya.
"Percayalah, aku akan baik-baik saja, tidak ada yang bisa menghalangi cintaku." Jidan terus meyakinkan Syahid.
"Syahid ... jawab aku" Jidan pun mulai mengetuk pintu.
"Baiklah, kalau Kau sedang ingin sendiri seperti ubur-ubur, ok ... aku pergi." Jidan pun membalikkan badannya.
"Aku mencintainya, dan aku hanya ingin dia tahu kalau aku mencintainya." Jidan pun meraih kunci mobil dan berlalu.
Sementara itu, saat pintu terbuka. Syahid melihat Zakia telah berdiri di dalam kamarnya.
"Kia, Kau?" Syahid menatap penuh tanya
"Iya aku, semula aku datang untuk memintamu menyampaikan kebenaranku." Zakia melangkah keluar.
Dari atas balkon Zakia melihat mobil Jidan yang perlahan menghilang diujung jalan. Perasaannya hancur, mendengar pernyataan cinta Jidan. Cinta yang dia harapkan terbalas, tetapi ternyata cinta itu bukan untuknya.
"Aku sudah tahu semua." Butiran bening mengkristal satu-satu bergantian menuruni pipi yang memudar warnanya.
"Kau tahu apa Kia?" Syahid menundukkan pandangannya.
"Aku tahu, kalau Jidan mencintai seseorang di luar sana." Zakia membuang pandangannya ke ujung hilangnya mobil putih yang membawa cintanya.
Zakia menumpahkan segala rasa dan asa yang tak sempat tercurah. Melihat hal itu Syahid semakin merasa bersalah pada Kia.
"Kia maafkan aku, semula aku berpikir akan menyatukanmu dengan Jidan, tetapi malam itu." Lisan Syahid terhenti, saat jari telunjuk gadis berambut pirang yang berurai air mata itu, mendarat di bibirnya.
Semua terjadi begitu cepat, tanpa sadar Syahid pun membenamkan tubuh mungil itu ke dalam pelukkannya. Syahid yang telah menganggap Zakia seperti adik selama ini, merasakan sakit dan kecewa yang sedang melanda Zakia.
Jidan yang melajukan mobilnya dengan kencang telah sampai di stasiun. Hatinya begitu berbunga-bunga, jantungnya berdebar tak tentu. Senyum terus saja menghiasi bibirnya.
Pemuda tegap itu pun menghentikan laju mobilnya. Perlahan dia turun dan meringankan langkahnya menuju ke tempat tunggu.
Setiap kereta yang melintas tidak ada yang luput dari pandangannya. Satu per satu penumpang pun turun. Namun sampai penumpang terakhir turun, Jidan tidak menemukan cintanya. Dia berusaha menghubunginya, namun panggilannya selalu dialihkan.
Pesan singkatnya yang dikirim pun hanya centang satu. Pikiran Jidan mengembara, dia sangat gelisah. Madu telah berjanji menemuinya di stasiun, namun sampai hari mulai menjelang senja, Madu tak kunjung tiba.
"Nut ... nut ... nut ..."
Ponsel Jidan berdering, dia berharap itu dari Madu. Jidan pun bergegas menggapai ponselnya, tanpa melihat nama yang tersemat di sana.
"Halo ... Madu, di mana dirimu?
"Tenanglah jangan buru-buru, Madu pasti akan menemuimu." ujar seorang pria dari seberang sana.
"Kau ... siapa Kau?" Jidan meraih ponselnya, dan tidak mendapati profil Madu di sana.
"Pulanglah! Atau rambutmu akan memutih karenanya, haha ... " Jidan mulai curiga mendengar ejekan dari pria yang tidak dikenalnya.
Jidan terus saja bertanya siapa orang yang telah menelponnya. Namun orang itu pun, tetap tidak mengakui siapa dirinya. Bahkan pria itu terus saja mengejek Jidan.
Jidan berpikir, hanya Syahid dan Madu yang tahu masalahnya. Dia terus berpikir keras untuk menemukan jawabannya.
"Jawab aku, atau ... !" Jidan mengeraskan volume suaranya.
"Atau apa?" suara pria itu pun lebih meninggi
Jidan tidak mau membuang energinya untuk melayani penelpon tidak jelas itu. Dia menutup telponnya, dan berusaha bertanya kepada petugas.
"Maaf pak, apakah masih ada kereta yang akan melintas?" Jidan membukungkan tubuhnya di loket informasi.
"Maaf pak, yang melintas barusan adalah kereta terakhir." ujar staf kereta api
"Baiklah, terimakasih pak" Jidan berpaling dan menebarkan pandangannya.
Jidan berusaha menyusuri setiap celah, untuk menemukan Madu. Tetapi hingga senja menunjukkan pesonanya, Jidan tetap menunggu. Dia berharap ada keajaiban.
Nut ... nut ... nut ...
Ponselnya kembali berdering. Kali ini, Jidan lebih teliti. Saat dia layangkan pandangannya, ternyata itu panggilan dari Syahid.
"Halo, ada apa Syah?" jawab Jidan.
"Apakah Kau masih bersama Madu?"
"Kenapa Kau belum juga kembali, ingat Ji ... Madu bukan perempuan lajang." ujar Syahid.
Syahid begitu yakin, kalau Jidan sudah berhasil bertemu dengan cintanya. Dia berpikir, sebab bahagia, Jidan lupa pulang.
"Apa yang Kau pikirkan Syah, jangan bilang aku terlena sebab Madu." Jidan berusaha merapikan kecewanya.
Jidan berpikir, tidak mau lagi menambah masalah untuk Syahid. Dia tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Jika urusanmu telah usai, pulanglah. Kami menunggumu!" ujar Syahid
"Baiklah, aku akan segera pulang," Jidan menarik napas panjang, sembari menutup teleponnya.
"Halo, halo, Ji ..." Jidan terus memanggil Jidan.
Panggilan Syahid tidak terjawab. Sebab Jidan telah mengakhiri pembicaraannya sepihak.
Syahid dan ibunya pun saling beradu pandang. Mencoba menerawang apa yang sedang terjadi pada Jidan.
_Bersambung_ ...
Part 3
"Sudahlah bu, Jidan bukan anak kecil." Syahid menepuk pundak ibunya dengan lembut.
Syahid berusaha menenangkan ibunya. Jidan memang bukan putra bu Rima, tetapi keluarga besarnya berhutang budi pada orang tua Jidan. Waktu keluarga Syahid dalam keterpurukan, ayahnya Jidanlah yang telah membantunya.
Persahabatan kedua orang tua Syahid dan Jidan sudah begitu erat. Sehingga meski tidak ada ikatan darah mereka sudah seperti saudara. Setiap kebahagiaan selalu mereka bagi bersama. Begitu pula saat duka menghampiri. Mereka pun saling menguatkan.
Oleh sebab itu tidak heran rasanya, ketika Jidan dan Syahid juga begitu dekat. Hal itu terjadi karena mereka sudah sering bersama sejak kecil. Seperti halnya roda yang berputar, saat ini keluarga Jidan sudah melewati masa kejayaannya.
Sejak ayahnya mulai sakit-sakitan, perekonomian keluarga Jidan mulai melemah. Namun hal itu tidak menjadi masalah, sebab tidak sampai jatuh. Kedua tangan orang tua Syahid telah menyambutnya. Ayah Syahid sebelum meninggal telah berpesan agar persahabatan itu tidak boleh berakhir apapun alasannya.
"Ingat bu, Jidan sudah seperti anak kita sendiri, jadi jangan biarkan dia dalam kesulitan." Bola mata perempuan paruh baya itu berkelana ke masa silam.
"Ibu!" Suara Syahid seketika membangunkan lamunan ibunya.
"Iya ... ibu," senyum bu Rima merekah.
"Ibu baik-baik saja?" Syahid menyentuh lembut tangan ibunya.
"Iya, ibu baik-baik saja, ibu hanya sedikit khawatir tentang Jidan." bu Rima menarik napas panjang.
"Hari mulai petang, dia belum kembali juga." bu Rima berdiri, pandangannya terfokus pada pintu masuk.
"Coba telpon dia lagi!" Pinta bu Rima.
Tanpa komando dua kali, Syahid pun langsung meraih ponselnya. Dia mencoba menghubungi Jidan, namun sekali lagi, tidak ada jawaban apapun. Zakia yang melihat itu diam-diam hasrat penasarannya pun muncul. Zakia mendekati Syahid dan ibunya.
"Maaf, mengapa sepertinya ibu sangat gelisah?" Zakia duduk di samping bu Rima.
"Tentu saja ibu gelisah, ada hal penting yang ingin ibu sampaikan." Tatapan tajam bu Rima menelanjangi Zakia
"Kenapa ibu menatap Kia seperti itu, seolah-olah ibu ingin menelan Kia mentah-mentah." Zakia menundukkan pandangannya.
"Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" lirih suara Zakia membangkitkan tawa Syahid dan ibunya.
Pasalnya, Zakia yang terbiasa ceria, ngeyel dan cerewet, bahkan terkesan tidak mau kalah dalam hal apapun. Tiba-tiba menjadi gadis yang manis dan santun.
"Haha ... dasar ubur-ubur, apa yang terjadi denganmu? Syahid mengangkat alis dan bibirnya terbuka lebar.
Seketika suasana pun mencair. Syahid dan ibunya pun terus menggoda Zakia. Sebenarnya Zakia benar-benar tidak suka dengan situasi itu. Namun dia tidak punya pilihan lain. Kalau boleh jujur, sebenarnya dia pun merasa gelisah, sebab Jidan tak kunjung kembali.
Hati dan pikiran Zakia masih mengembara menemukan jalan untuk sampai kepada Jidan. Dia masih berharap Jidan bisa menjadi miliknya.
"Ya Tuhan, semoga keajaiban terjadi, aku hanya mau Jidan." Zakia kembali larut dalam dunianya.
Zakia masih membayangkan betapa beruntungnya dia, jika bisa bersanding dengan Jidan. Sebab yang Zakia tahu selain Jidan memang telah mencuri hatinya, dia juga calon pewaris dari seorang ayah yang kaya raya.
Syahid memang baik, bahkan sejak kecil ibunya Syahid telah mengasuhnya. Sejak ayah dan ibunya bercerai. Zakia dititipkan oleh ibunya kepada keluarga Syahid. Selain mereka bertetangga, ibunya Zakia juga sahabatnya bu Rima. Namun setahu Zakia keluarga Syahid tidak sekaya keluarga Jidan.
Sejak kecil ketika keluarga Jidan berkunjung dengan mengendarai mobil mewahnya. Zakia selalu memimpikan menjadi ratu di keluarga tuan Hartawan. Seorang Ceo dengan kekayaan melimpah serta baik hati.
"Bangun Kia, jangan berharap terlalu tinggi, nanti sakit." Zakia memejamkan matanya, dia berusaha mengendalikan dirinya.
"Lihatlah dengan jelas, siapa yang ada di hadapanmu, dia adalah seseorang yang sering berbagi nasi denganmu, oh ... Tuhan inikah takdirku." Zakia terperanjat saat Syahid menjentikkan jari di wajahnya.
"Hai ... sepertinya kau sedang kelelahan, istirahatlah." Syahid berdiri dan meraih kunci mobil.
Zakia merasa mati gaya, dia berharap Syahid dan ibunya tidak menyadari apa yang sedang dia pikirkan. Apapun yang terjadi Zakia tetap akan mencari cara untuk bisa mendapatkan Jidan. Tetapi dia harus hati-hati, karena dia tidak ingin menyakiti Syahid dan ibunya.
"Kau mau kemana? Zakia menatap kunci mobil yang dipegang Syahid.
"Dari tadi aku berusaha menghubungi Jidan, tetapi tetap tidak bisa, ibu memintaku untuk menyusulnya," ujar Syahid sembari merapikan jaketnya.
"Aku ikut, eh ... maksudku, biar aku temani." ujar Zakia
"Tidak perlu, Kau temani ibu saja di rumah." Syahid terus saja melangkah.
"Tunggu, pokoknya aku ikut" Zakia mengejar Syahid.
Keduanya terus saja berdebat. Mendengar hal itu, bu Rima pun setuju kalau Zakia menemani Syahid. Pemuda berkumis tipis itu tidak kuasa menolak perintah ibunya.
Keduanya pun bergegas menuju ke garansi. Namun belum sempat mereka masuk, dari arah berlawanan terlihat mobil putih memasuki halaman.
Jidan memarkirkan mobilnya, kemudian dia keluar tanpa bicara satu patah kata pun. Melihat hal itu, Syahid dan Zakia pun hanya mampu memandang.
"Jidan apa kau baik-baik saja, kemana saja Kau ini." Jidan diberondong pertanyaan oleh bu Rima.
"Apakah Kau sudah makan?"
"Kau bertemu dengan siapa?"
"Apa yang terjadi, sampai-sampai ponselmu pun istirahat!" Wajah perempuan paruh baya itu berurat.
Jidan pun hanya terdiam, karena perempuan paruh baya itu tidak memberinya kesempatan untuk menjawab. Selayaknya anak kecil yang terlambat pulang. Bu Rima pun mengomeli Jidan. Laksana polisi Jidan pun dicecar pertanyaan bertubi-tubi.
"Ibu, bagaimana si keras kepala ini bisa menjawab, tenanglah bu, biarkan dia bernapas dengan tenang." Syahid menyela ibunya
Bu Rima pun menghentikan kalimatnya. Dia tersenyum dan membiarkan Jidan bernapas dengan tenang.
"Ibu, aku hanya bertemu dengan teman lamaku, kami mengobrol banyak hal, sampai kami lupa waktu." Jidan memegang lembut kedua pundak bu Rima.
"Bateraiku habis, maaf aku sudah membuat kalian khawatir." Jidan menyatukan kedua tangannya, pandangannya menyapu ketiganya.
"Maaf, aku sangat lelah, aku juga belum mandi." Jidan mendekatkan tubuhnya kepada Syahid.
"Isstt ... " Syahid menyeringai.
"Ibu biarkan dia mandi, aromanya bisa membuat nyamuk-nyamuk pingsan, haha." Syahid menjauhkan tubuh Jidan darinya.
"Ya sudah, bersih-bersih, lalu makan, dan setelah itu beristirahatlah." Bu Rima menepuk pundak Jidan dengan senyum kasih sayang.
Syahid menatap sahabatnya yang perlahan meninggalkan mereka. Dia tahu, bahwa Jidan sedang berbohong. Pemuda berkumis tipis itu tahu, pasti sesuatu telah terjadi pada Jidan.
Malam mulai larut semua telah lelap dalam buaian mimpi masing-masing. Keesokan harinya, Syahid berniat menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Namun belum sempat dia bertanya, Syahid melihat Jidan sedang berbincang dengan ibunya.
"Jidan, Kau sudah kuanggap seperti anak kandungku."
"Sejak ayahnya Syahid tiada, hanya Zakia yang selalu menemaniku."
"Dia gadis baik, hanya saja nasibnya kurang beruntung."
"Ayah dan ibunya bercerai, sehingga dia kurang kasih sayang." Perempuan paruh baya itu menarik napas panjang.
"Aku hanya ingin meminta pendapatmu, apakah menurutmu, dia cocok dengan Syahid?" Tatapan bu Rima memaksa Jidan memutar otak.
Pemuda tampan itu tidak mau salah memberikan pendapat untuk sahabatnya. Meski sejujurnya, dia sedang larut dengan persoalannya sendiri.
"Kia gadis yang baik, cuma sedikit agak konyol, maka kami menyebutnya ubur-ubur." Jidan tersenyum simpul.
"Jadi kalau menurutku mereka memang cocok bu." Keduanya tersenyum dan beradu pandang.
"Tapi kita punya masalah Ji ... " bu Rima bangkit dari duduknya mendekati Jidan serasa berbisik.
"Sejak ayahnya pergi meninggalkan ibunya, tidak ada yang tahu dimana ayahnya sekarang."
"Ibunya pun tidak pernah tahu, apakah ayahnya masih hidup atau sudah mati." Bu Rima menatap datar.
"Tenang bu, nanti kita akan cari solusinya."
"Yang penting sekarang apakah mereka berdua setuju untuk menikah?"
"Jidan benar bu," suara Syahid menghampiri keduanya.
"Mengapa harus bertanya, bukankah semuanya sudah jelas." Bu Rima tidak peduli pendapat kedua pemuda tampan itu.
"Aku sudah tua, aku ingin sebelum aku pergi, aku bisa melihatmu menikah dan punya anak." Bu Rima menatap Syahid penuh harap.
Mendengar hal itu Jidan dan Syahid pun tidak bisa berkata-kata. Ketika suasana hening, tiba-tiba tanpa disadari Zakia pun muncul.
"Iya bu, Kia setuju" ketiganya tanpa komando menengok ke arah sumber suara.
Zakia berjalan mendekati ketiganya. Syahid yang mendengar hal itu benar-benar merasa tak percaya. Baru kemarin Zakia menolak mentah-mentah dirinya. Tetapi kenapa pagi ini dia setuju untuk menikah dengannya. Syahid benar-benar tidak percaya semua ini. Dia yakin sesuatu telah terjadi.
"Apa sebenarnya yang Kia inginkan, mengapa secepat kilat dia berubah." Syahid mengerutkan keningnya, kumis tipisnya pun ikut berkibar.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!