"Kenapa harus aku, Ma, Pa!?"
"Karena kamu anak kami, Nat. Jika bukan kamu, siapa lagi?" Papanya malah bertanya balik.
"Ya, karena kamu anak kami satu-satunya, Nathali. Jika masih ada anak lain, mungkin perjodohan ini akan kami pertimbangkan untuk yang lainnya. Bukan hanya terfokus pada kamu saja. Karena kamu terlalu keras kepala," ucap sang mama pula dengan nada kesal.
"Apa!? Mama ... aku gak keras kepala." Nathali berusaha membantah apa yang mamanya katakan.
Padahal, apa yang mamanya katakan itu benar adanya. Nathalia, gadis yang sekarang sudah menginjak usia dua puluh empat tahun. Dan, sudah menguasai perusahaan keluarga dengan baik.
Karena dia adalah satu-satunya pewaris dari keluarga Hartono, jadi dia harus menikah dengan pewaris dari keluarga Murad yang terkenal akan kedudukan juga kekayaannya yang berlimpah.
Tapi, tuan muda keluarga itu dulunya tidak tinggal di tanah air. Dia menghabiskan waktunya di luar negeri. Menyelesaikan pelajarannya dari tingkat sekolah menengah hingga bangku perkuliahan di luar negeri tanpa pulang ke tanah air.
Namun, beberapa tahun terakhir ini, di kabarkan, tuan muda dari keluarga Murad sudah pulang. Bahkan, sudah menjabat sebagai presdir di perusahan induk Murad Grup yang paling terkenal tanah air ini.
Tapi sepertinya, tuan muda Murad ini masih cukup misteri. Karena tidak banyak yang kenal dengannya. Bahkan, Nathali saja tidak pernah bertemu dengan si tuan muda yang di katakan paling ganteng itu.
Entah dia yang tidak ingin tahu. Atau memang tidak ada waktu untuk tahu tentang hal yang tidak penting. Yang pasti, Nata masih belum tahu siapa si tuan muda Murad yang katanya cukup terkenal ini.
Namun sekarang, kedua orang tuanya malah ingin menikahkan dia dengan tuan muda dari keluarga Murad ini. Katanya, itu adalah kesepakatan dari kedua belah pihak yang kedua tetua keluarga buat.
Hal yang sungguh tidak bisa Nata terima dengan akal sehat. Dia dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak dia kenali sedikitpun. Jangankan sifatnya, wajahnya saja tidak tahu seperti apa.
Akhirnya, perlawanan sengit antara Nata dan kedua orang tuanya pun terjadi. Nata yang tidak terima dijodohkan, dengan kedua orang tuanya yang tetap bersikeras sehingga Nata tidak punya celah sedikitpun untuk membangkang.
"Jika kamu tetap tidak terima, maka mama akan pergi keluar negeri tanpa kembali lagi, Nata. Jangan pernah hubungi mama lagi. Karena mama tidak akan pernah mau bicara sama kamu selamanya."
"Mah!"
"Papa juga akan melakukan hal yang sama, Nata. Kami akan pergi dari tanah air. Kami tidak bisa tetap di sini karena anak kami saja tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan. Lalu, untuk apa kami tetap berada di sini?"
Nata membulatkan matanya lebar-lebar. Kedua orang tuanya terlihat kompak memberikan ancaman yang sama pada dia. Hal yang sungguh sangat membunuh akal sehat Nata saat ini.
"Papa! Kalian .... "
"Kami akan pergi. Mungkin, opa mu juga akan melakukan hal yang sama, Nata. Karena keputusan ini dia yang ambil, jadi kami bertiga akan meninggalkan tanah air jika kamu tidak bisa kami atur. Karena kami tidak bisa menerima malu dari apa yang anak kami buat." Papanya bicara dengan nada memelas.
"Perjodohan sudah disetujui. Lalu, bagaimana mungkin kami akan membatalkannya begitu saja? Di mana wajah ini akan kami letak, Nat?" Kali ini giliran sang mama.
Nata benar-benar tidak punya pilihan lagi sekarang. Dia sangat tidak ingin menyetujui perjodohan yang baginya sangat tidak masuk akan ini. Tapi, kedua orang tuanya adalah hal yang paling penting. Mana bisa dia mengabaikan apa yang orang tuanya katakan. Mana nama opanya juga dibawa-bawa lagi.
Di dunia ini, keluarga adalah hal yang paling utama buat Nata. Meskipun dia terkenal keras kepala. Selalu mengambil keputusan berdasarkan apa yang dia anggap benar. Tapi sekarang, saat ancaman itu dia dapatkan dari mama dan papanya. Dia sama sekali tidak bisa berkutik.
"Baiklah. Aku akan ikuti apa yang kalian katakan. Aku akan menerima perjodohan yang kalian buat," ucap Nata dengan nada melemas.
Sontak saja, saat kata-kata itu kedua orang tuanya dengar, orang tua Nata langsung menunjukkan wajah bahagia. Keduanya langsung memeluk Nata dengan pelukan yang hangat.
"Terima kasih, sayang. Kamu memang anak kami satu-satunya, Nat." Sang mama berucap dengan nada penuh bahagia.
"Ya iyalah, dia memang anak kita, Mah. Bagaimanapun, dia pasti akan berusaha membahagiakan kita. Iya, kan Sayang?" Papa Nata berucap sambil menyentuh hidung sang anak.
"Iya, tentu saja. Kalian adalah duniaku," ucap Nata dengan nada masih lemah.
Hal itu langsung membuat papanya menatap dia dengan tatapan bersalah. "Kamu ... terpaksa, Nak?"
"Papa, udah. Nata juga butuh waktu buat bahagia. Tapi, mama yakin kalau ini adalah jalan terbaik buat Nata bahagia. Jadi, semangat ya sayang," kata sang mama tanpa sedikitpun melepas pelukan dari tubuh Nata.
Hal itu langsung membuat papanya menatap dia dengan tatapan bersalah. "Kamu ... terpaksa, Nak?"
"Papa, udah. Nata juga butuh waktu buat bahagia. Tapi, mama yakin kalau ini adalah jalan terbaik buat Nata bahagia. Jadi, semangat ya sayang," kata sang mama tanpa sedikitpun melepas pelukan dari tubuh Nata.
Menerima ucapan itu dari sang mama, Nata hanya bisa tersenyum kecil yang terlihat sangat dipaksakan. "Iya, Ma."
Lalu, napas kesal ia lepaskan secara perlahan. Mungkin, dia memang terpaksa saat ini. Sangat-sangat terpaksa. Karena hati sungguh tidak bisa terima perjodohan yang tidak masuk akal buat dirinya ini. Tapi, melihat kebahagiaan kedua orang tuanya sekarang, dia juga sedikit merasa bahagia. Meskipun itu hanya sedikit saja. Sebagian kecil yang tak ubah seukuran biji jagung. Tapi, itupun sudah cukup untuk Nata saat ini.
....
"Hei! Kok kelihatan lemes aja kamu. Kenapa? Apa karena kerjaan yang banyak yah?"
"Gak. Aku lagi banyak beban pikiran, Nil. Kalau soal pekerjaan, gak akan gangguin mood aku. Karena aku punya kamu yang siap bantuin aku, bukan?"
"Lah, terus soal apa? Maksudku, beban pikirannya itu apaan? Gak mungkin dong, kalo soal cinta. Lah aku udah gak pernah lihat kamu bahas masalah cinta sejak kamu gagal waktu itu."
"Tunggu! Apa jangan-jangan, kamu benar-benar sedang jatuh cinta sekarang, Nat? Hayo ngaku! Jangan ada yang kamu sembunyikan dari aku. Karena jika ia, aku siap bantu," ucap Nila dengan raut wajah yang cerah penuh semangat.
"Nah, semakin ngaco aja kamu, kan? Ini soal hidup pribadi aku yang sudah sangat kacau berantakan dan gak akan tertolong lagi. Gak ada hubungan dengan asmara. Aku sudah membunuh yang namanya asmara sejak aku remaja. Jadi, dia gak akan hidup lagi sampai aku tua. Paham?"
Nila terdiam. Dia tatap wajah sahabat sekaligus atasannya ini. Ingatan akan masa lalu pun tergambar dengan jelas.
Saat remaja, Nata patah hati akibat dikhianati oleh laki-laki yang dia cintai sepenuh hati. Gagal dari cinta pertama, Nata langsung menutup hati buat siapapun sampai dia dewasa seperti saat ini.
Sementara itu, Nila yang tahu bagaimana perasaan sahabatnya ini, selalu mendukung si sahabat dengan sepenuh hati. Segala cara ia lakukan untuk membuat sahabatnya jatuh cinta lagi, tapi sayang, dia tidak berhasil.
Nila pun putus asa dan langsung pasrah aja. Jika memang nanti datang cinta, maka dia adalah orang pertama yang mendukung dengan sekuat tenaga. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.
"Woi! Kok malah bengong lagi kamu," kata Nata sambil menepuk meja.
Hal tersebut sontak langsung membuat Nila terperanjat akibat kaget. Ingatan masa lalunya pun buyar seketika.
"Ya Tuhan. Kamu kok tega banget, Nat. Jantungan aku nih. Tanggung jawab ayo!" Nila berkata sambil memegang dadanya.
"Salah kamu sendiri, Nil. Siapa suruh malah bengong. Bukannya bantuin aku yang sedang banyak masalah. Eh, malah bikin aku semakin kesal dengan kamu yang tiba-tiba bengong saat ngajak aku ngobrol." Nata berucap dengan nada kesal. Ia pun kembali menghempaskan bokongnya secara kasar di atas kursi kebanggaannya itu.
"Ya elah. Gitu aja ngambek kamu, ibuk bos."
"Gimana mau bantuin kamu coba? Tahu masalah kamu aja nggak aku saat ini."
"Nah, makanya, langsung curhat atuh. Biar temanmu ini tahu apa yang sebenarnya terjadi." Nila bicara lagi sambil membenarkan duduknya di depan Nata.
"Oh iya, lupa aku."
"Nil, sebenarnya .... " Nata lalu menceritakan prihal kegundahan yang kini sedang menguasai hatinya.
Sontak, tanggapan Nila sungguh luar biasa. Belum juga dia mengatakan semua tentang apa yang dia rasakan, Nila langsung bangun sambil berteriak ketika mendengar Nata mengatakan soal perjodohan yang kedua orang tuanya buat.
"Apa!? Lo mau dijodohkan dengan pria dari keluarga Murad? Ya Tuhan! Akhirnya ... ada juga pelangi muncul di siang bolong," kata Nila dengan nada tinggi yang cukup membuat kuping Nata sakit.
Nata yang mendengar tanggapan bahagia dari si sahabat, langsung menghela napas berat.
"Ya elah. Lo ini sahabat gue atau bukan sih, Nil? Gue ini ... aduh, lupa kalo ini kantor bukan pasar. Jangan pakai bahasa gaul. Pakai bahasa formal."
"Ups. Iya, maaf." Nila lalu menutup mulutnya dengan satu tangan. "Aku juga lupa tadi. Lupa kalo ini kantor. Habisnya, kaget aku dengar apa yang kamu katakan. Kamu ingin dijodohkan, ini berita besar yang luar biasa lho, Nat. Mana dengan anak konglomerat ternama lagi. Tuan muda keluarga Murad yang cukup misterius. Uh, luar biasalah pokoknya."
Lagi-lagi, tanggapan Nila bikin Nata kesal dua kali lipat. Dia yang berharap dapat belas kasihan juga prihatin dari si sahabat, eh, malah sebaliknya. Si sahabat malah langsung senang tak ubah seperti yang kedua orang tuanya lakukan padanya.
"Ups. Iya, maaf." Nila lalu menutup mulutnya dengan satu tangan. "Aku juga lupa tadi. Lupa kalo ini kantor. Habisnya, kaget aku dengar apa yang kamu katakan. Kamu ingin dijodohkan, ini berita besar yang luar biasa lho, Nat. Mana dengan anak konglomerat ternama lagi. Tuan muda keluarga Murad yang cukup misterius. Uh, luar biasalah pokoknya."
Lagi-lagi, tanggapan Nila bikin Nata kesal dua kali lipat. Dia yang berharap dapat belas kasihan juga prihatin dari si sahabat, eh, malah sebaliknya. Si sahabat malah langsung senang tak ubah seperti yang kedua orang tuanya lakukan padanya.
Nata yang kesal pun langsung bangun dari duduknya. Dia ingin beranjak meninggalkan Nila, tapi Nila yang tahu apa yang Nata rasakan, langsung menahan tangan sahabatnya.
"Eit, mau ke mana sih, Nat? Kok malah pergi begitu aja. Kita kan belum selesai bicara, Nathalia."
Natha malah memberikan Nila tatapan tajam.
"Udah selesai. Karena kek nya, kamu itu bukan sahabat aku deh. Aku yang kesal dan sedih akibat perjodohan yang kedua orang tuaku buat, tapi kamu malah bahagia. Sahabat kek apa sih kamu ini, Nila?"
"Eee .... " Nila langsung memasang wajah bersalah. Sejujurnya, dia memang sangat senang dengan kabar perjodohan itu. Sangking senangnya, dia sampai lupa, kalau ini adalah perjodohan. Yang artinya, pemaksaan.
Sahabatnya paling tidak suka dengan pemaksaan. Karena itu, sahabaynya ini tentu sangat menolak perjodohan yang keluarganya buat.
Lah dia yang bahagia karena sahabatnya telah menemukan pasangan, lupa kalau pasangan itu tidak sahabaynya inginkan. Dia malah menunjukkan kebahagaiaannya itu secara terang-terangan. Hal yang sama sekali tidak boleh ia lakukan tadi sebetulnya.
'Aduh. Aku kok mlaah kebablasan sih,' kata Nila dalam hati. Dia pun terus memikirkan cara agat bisa membujung Nata.
"Kamu itu sahabat aku atau bukan sih, Nil? Heran aku sama kamu. Kamu sama keluargaku itu kek nya sama aja deh. Salah aku curhat ama kamu."
"Eh, jangan ngomong gitu dong, besti ku yang manis. Aku ... mm maafkan aku. Sebenarnya, ini gak burul kok, Nat."
"Gak buruk? Mkasud kamu?" Nata menatap tajam ke arah Nila. Tatapan itu terlihat semakin tajam akibat hatinya yang semakin kesal saja.
"Iya, gak buruk. Dengar penjelasan aku, Nat."
Nila lalu menjelaskan, kalau perjodohan ini juga bisa jadi keuntungan. Memang, Nata tidak suka dengan tuan muda itu karena tidak kenal sama sekali dengannya. Jadi, Nila menyarankan untuk Nata buat bertemu dengan tuan muda Murad yang bernama Nathan Murad Arwanda ini terlebih dahulu.
Selanjutnya, Nata bisa menjalin kerja sama dengan si tuan muda Nathan. Bukankah mereka sama-sama datang dari dunianmodern. Tentunya, perjodohan ini adalah hal yang paling tidak mereka sukai.
Nila beranggapan, kalau mungkin tuan muda Murad alias Nathan ini juga tidak setuju. Tapi terpkasa karena status yang ia miliki tidak memungkinkan untuk dirinya menolak. Sama halnya seperti yang Nata alami saat ini.
Jadi sepertinya, sama-sama bekerja sama adalah pilihan terbaik. Karena dengan bekerja sama, mereka akan bisa menjalani hidup dengan baik.
"Hah? Lo mikirnya kok gampang banget, Nil? Kerja sama? Maksud lo kerja sama gimana? Aku? Kerja sama dengan dia?"
Nata masih yidak mengerti dengan apa yang sahabtnya maksudkan. Meskipun sudah sahabatnya jelaskan secara rinci panjang kali tinggi kali lebar. Otaknya yang pusing karena menolak perjodohan, masih saja beku.
"Ya elah, nona Nathalia Wijaya Diningrat. Kamu ini gimana sih? Kok malah loading begitu aja. Sia-sia dong aku menjelaskan panjang lebar barusan," kata Nila dengan nada agak kesal.
"Kamu yang menjelaskan tidak jelas. Malah nyuruh aku berpikir dengan apa yang kamu jelaskan. Bagaimana bisa? Sekarang, aku sedang tidak ada mood buat mikir. Ya jadi, jangan salahlan aku kalo gak nyambung dengan apa yang kamu katakan." Nata malah memasang wajah tidak bersalah karena dia anggap dirinya emang tidak salah.
Hal itu langsung membuat Nila melepas napas kesal dengan kasar. "Heh! Memang aku yang salah. Aku itu sebenarnya ingin bilang, sebaiknya, kamu kerja sama dengan calon suami kamu. Kalian bisa bekerja sama dengan cara menikah pura-pura aja. Dengan begitu, kamu masih bisa melakukan apa yang ingin kamu lakukan. Sementara dia, juga bisa melakukan hal yang sama."
"Kalian tidak perlu menjadi suami istri ketika betdua. Hanya perlu bersandiwara saat kalian ada di depan orang lain saja. Bukankah itu lebih baik dari pada kalian hidup terpaksa?"
Kali ini, penjelasan yang Nila katakan langsung masuk ke dalam benak Nata. Sepertinya, dia langsung paham sekarang. Itu terlihat dengan wajahnya yang kini mulai cerah. Sebuah senyuman pun terlihat muncul dari bibir Nata saat ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!