NovelToon NovelToon

Pengantin Pengganti Untuk Tuan Muda

Bab 1: Perjodohan

Seorang pria bersandar di sisi jendela, menatap keramaian dari ruangan tertinggi di Jotuns Corps, sebuah perusahaan multinasional yang telah mengembangkan sayapnya hingga mancanegara. Ia menggulung lengan bajunya dan berjalan menuju meja, meraih segelas kopi tanpa gula yang disediakan oleh Anne, sekretarisnya. Pria berambut lurus itu menyesap cairan hangat itu perlahan, lalu menumpu tubuhnya dengan kedua lengan yang kekar di atas meja. Wajahnya terlihat sedikit kusut.

Alex Smith, CEO sekaligus pemilik Jotuns Corps yang baru berusia 27 tahun itu melepaskan dasinya dan melempar benda itu ke lantai. Maniknya yang hitam kelam berkilat penuh amarah. Jonathan Smith, ayahnya, baru saja menetapkan tanggal pertunangannya dengan Amanda, putri dari pemilik The Mag's Industry.

Ponsel di atas meja terus berdering sejak tadi, tetapi Alex bergeming. Siapa lagi yang bisa sangat mengganggu dan tidak tahu diri seperti itu selain Amanda? Gadis manja itu beberapa bulan belakangan ini selalu berusaha menempel padanya sepertinya lintah yang menjengkelkan. Pria itu mendengkus kesal, kemudian mengatur ponselnya ke mode diam.

Tak lama kemudian, telepon kantornya ikut berbunyi. Suara Anne langsung terdengar ketika gagang telepon diangkat.

"Tuan, ada Nona Amanda di ruang tunggu."

"Bilang padanya, aku sedang rapat," jawab Alex sembari menggertakkan gigi.

"Emm ..., saya sudah bilang seperti itu, tapi--"

"Apa pun yang terjadi, jangan biarkan dia masuk ke dalam ruanganku," ujar Alex sebelum membanting gagang telepon dengan kesal.

"Benar-benar merepotkan," gumam pria itu ketika melihat layar ponselnya kembali menyala.

"Ada apa, Ayah?"

"Di mana kamu? Amanda bilang ada di kantormu, tapi kamu tidak mau menemuinya. Jangan buat masalah, Alex!" Suara Jonathan Smith terdengar jelas meski Alex telah menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Aku sedang sibuk, ada rapat sebentar lagi."

"Omong kosong! Temui dia sebentar, itu tidak--"

"Ayah saja yang datang dan temani dia, bagaimana?"

"Anak kurang aj--"

Alex memutus sambungan telepon, kemudian menekan tombol power hingga layar ponselnya berubah gelap.

"Anne," panggilnya melalui interkom, "batalkan semua agenda hari ini. Suruh Billy menemuiku di Blue Eyes."

"Baik, Tuan."

Alex menyambar jas yang tersampir di lengan kursi dan keluar dari kantornya.

***

Alex memarkir Bugatti Veyron miliknya di VIP parking spot, lalu berjalan menuju lift. Seorang pria berwajah oriental menyambut Alex dengan senyum lebar di lantai 12. Pria itu adalah Billy, asisten sekaligus tangan kanan yang telah menemani Alex selama lebih dari tujuh tahun, satu-satunya orang yang dapat diandalkan.

"Alex," sapa Billy lalu buru-buru membuka pintu VIP room.

"Ambilkan aku segelas whiskey," pinta Alex sebelum menghempaskan tubuhnya di sofa.

Tanpa banyak cakap, Billy mengeluarkan

The Dalmore 62 dari kabinet. Ia menuangkan cairan cokelat kemerahan itu pada gelas kristal, lalu meletakkannya di atas meja.

"Apa yang membuatmu gusar?" tanya Billy.

Setelah bekerja dengan Alex sekian lama, Billy lebih tahu karakter majikan sekaligus sahabatnya itu dibandingkan siapa pun. Alex hanya akan menyentuh minuman beralkohol jika kalah tender, saham perusahaan anjlok, atau sedang kesal setengah mati.

"Aku dipaksa untuk segera menikah, hari pertunangan bahkan sudah ditetapkan tanpa persetujuanku," ujar Alex lalu menenggak habis isi gelas di tangannya.

Billy menyentuh ujung hidungnya sekilas sebelumnya mengalihkan pandangan ke arah lemari kaca. Sebenarnya ia sudah tahu hal ini, tuan Jonathan yang memintanya untuk mem-booking hotel Shangrila untuk acara pertunangan Alex, juga mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan acara itu. Hanya saja, bagaimana caranya menyampaikan hal itu pada Alex? Pria itu sudah pasti akan mengamuk, lalu semua acara akan batal. Jika hal itu terjadi, sudah pasti tuan Jonathan akan membantainya. Jadi, ia hanya bisa menutupi hal ini dari Alex.

"Jangan katakan kalau kau sudah tahu hal ini." Alex memicingkan matanya, menatap dengan sorot mengintimidasi pada Billy.

"A-apa? Aku? Aku tidak tahu apa-apa," jawab Billy tergagap-gagap.

"Dasar pembohong!" Alex melemparkan setumpuk kertas ke arah Billy ketika melihat sahabatnya itu kembali mengusap ujung hidungnya, pertanda ia sedang gugup dan mencoba menyembunyikan sesuatu.

"Pengkhianat!" desis Alex lagi, nada suaranya sarat akan emosi.

"Maafkan aku." Billy mengangkat kedua tangannya ke udara. "Tuan Besar mengancam akan menyebarkan aibku ke publik, aku tidak bisa," ujarnya dengan nada tidak berdaya.

"Jadi kau menumbalkan aku?" Alex memelototi pria bersetelan biru dongker di hadapannya. "Aku akan menyuruh Anne membuka lowongan untuk asisten baru. Kau dipecat!" Benar-benar asisten yang tidak dapat dipercaya. Alex mendengkus kesal.

"Jangan repotkan Anne, aku yang akan membantumu mencarikan asisten baru." Billy menyeringai licik. Ia tahu, Alex tidak mungkin akan benar-benar mendepaknya 'kan?

"Tutup mulut busukmu!" Alex menggeram marah, membuat Billy menutup mulutnya dan berdiri dengan patuh.

Kepala Alex terasa berdenyut. Saat ini ia belum berpikir atau memiliki keinginan untuk menikah sama sekali, tapi ayah dan ibunya begitu bersemangat menjodohkannya dengan Amanda. Untuk apa lagi? Tentu saja bukan demi kebahagiaannya, tetapi agar proyek di Macau bisa jatuh ke tangan Jotuns Corps.

"Sialan!" Alex melemparkan gelas kristal ke tembok hingga hancur berkeping-keping.

"Alex," tegur Billy dengan nada serius, "Kamu tahu, ayahmu melakukan ini demi kebaikanmu juga."

Alex mencibir, "Maksudmu kebaikan perusahaan?"

"Tidak, dengarkan aku. Kau tahu Jericho sedang mengincar Jotuns Corps. Jika kau berhasil memenangkan tender di Macau dengan bantuan keluarga Amanda, sisa saham Jericho bisa kau dapatkan. Ia tidak akan bisa macam-macam lagi."

Alex terdiam, mencoba mencerna rentetan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Billy. Jericho adalah sepupunya, putra dari Paman Marco, saudara tiri ayahnya. Jericho memang sangat ambisius. Pria itu selalu bersikap baik di depan keluarga Smith, tapi siapa yang tidak tahu isi hatinya. Secara pribadi, ia menganggap kematian ayahnya dua tahun lalu adalah perbuatan Jonathan Smith. Padahal polisi sudah menetapkan kasus itu murni kecelakaan.

Sejak saat itu, sepertinya Jericho bertekad untuk menghancurkan keluarga Smith, dimulai dari Jotuns Corps. Saham Paman Marco sebesar 12% telah diambil alih oleh Jericho, kini saham itu telah bertambah menjadi 20%.

"Ia sendiri yang telah mengatakan, jika kamu berhasil memenangkan tender itu darinya, ia akan menyerahkan sahamnya secara sukarela," kata Billy lagi.

Alex masih tidak merespon semua perkataan Billy. Ia hanya memutar-mutar pulpen di tangan kanannya sambil memperhatikan pria di depannya yang terus mengoceh itu.

"Tenang saja, dia tidak memiliki kualifikasi untuk mengalahkanmu, tapi kau tahu sendiri ia selalu berusaha menyingkirkanmu menggunakan cara yang licik. Jadi kuharap kamu harus tetap waspada."

"Billy, apa kau tahu sesuatu?" tanya Alex tiba-tiba.

"Apa?"

"Selain sangat hebat dalam menjadi seorang pengkhianat, kamu juga sangat mahir sebagai penjilat, sangat pandai merangkai kata-kata yang penuh dengan omong kosong," ujar Alex sambil mempertahankan ekpresi datar di wajahnya, "Pergi, urus pekerjaanmu!"

Billy menyeringai lalu menjawab cepat, "Baik, aku pergi sekarang."

Sosok jangkung itu berbalik dan melangkah dengan cepat menjauh. Kulit kepalanya seakan mati rasa oleh tatapan tajam Alex yang menggiringnya hingga menghilang di balik pintu.

Alex menghela napasnya, lalu memejamkan mata. Tampaknya kali ini ia tidak bisa meloloskan diri lagi.

***

Halooo, silakan mampir juga ke sini yaaa

thank you💙

Bab 2: Sang Pelayan

"Dari mana saja kamu?" Suara Jonathan Smith yang tajam langsung menyambut Alex begitu memasuki ruang tamu.

Raut wajah pria paruh baya itu sungguh tidak enak dilihat. Keningnya berkerut dalam, sedangkan matanya seakan mampu menyemburkan api.

"Tidak apa-apa, Dad. Alex pasti sangat sibuk seharian ini, makanya nggak bisa nemenin Manda." Suara merdu yang halus dan penuh pengertian itu sangat kontras dengan suara pria tua yang baru saja memenuhi ruangan.

Alex terdiam di tempatnya. Ia menatap ayahnya dan Amanda bergantian. Sudut matanya berkedut samar, ingin menonton pertunjukan yang akan dihadirkan oleh dua orang di hadapannya ini.

"Lihat, kamu sudah bersikap begitu menyebalkan, tapi Amanda masih saja membelamu! Cepat, minta maaf padanya!" seru Jonathan Smith lagi.

Amanda menggeleng cepat, "Tidak perlu. Jangan marahi Alex lagi," ujarnya sambil tersipu-sipu.

Alex melirik sekilas,memperhatikan wanita bergaun hijau tosca yang sedang duduk dengan anggun di seberang ayahnya. Sebenarnya, gadis itu cukup cantik. Polesan make-up yang tipis memperkuat fitur wajahnya yang memang sudah menarik. Hanya saja masalahnya, Alex sama sekali tidak tertarik pada gadis itu.

"Sudah pulang?"

Alex mendongak ketika suara ibunya terdengar dari lantai dua. Beatrice Smith, wanita paruh baya yang hampir separuh rambutnya telah memutih itu berjalan menuruni anak tangga, senyum lebar menghiasi wajahnya yang masih terlihat cantik.

"Ya," jawab Alex.

"Cepat, siapkan makan malam untuk Tuan Muda!" perintah wanita itu pada pelayan, "Manda, temani Alex makan, ya," sambungnya lagi.

"Tidak perlu, aku sudah makan di luar." Alex berjalan menuju tangga. Namun, langkah kakinya terhenti ketika mendengar suara ayahnya yang terdengar penuh amarah.

"Anak kurang ajar!" teriak Jonathan Smith, "Hanya bisa membangkang, aku--"

"Aku sudah setuju untuk menikah dengannya, apakah itu masih kurang?" Suara Alex terdengar dingin, ia bahkan tidak membalikkan tubuhnya ketika berbicara.

Seketika suasana dalam ruangan itu membeku. Tidak ada satu orang pun yang berani bersuara. Bahkan Jonathan Smith menelan kembali kata-kata yang sudah sampai di tenggorokannya. Nyonya Beatrice melambaikan tangannya pada pelayan tanpa suara, lalu berjalan dan duduk di sisi suaminya dalam diam.

Meski keadaan berubah canggung dalam sekejap mata, Amanda merasa cukup bahagia. Alex setuju untuk menikah! Gadis itu menunduk sambil tersipu malu. Tidak sia-sia ia mempertaruhkan harga dirinya.

Alex melanjutkan langkah kakinya, menapaki anak tangga satu demi satu, kemudian berbelok menuju kamarnya.

"Merepotkan saja," rutuknya sebelum membanting diri ke atas kasur.

Tanggung jawab di atas pundaknya terlalu berat. Sejak kecil, ayahnya telah menggembleng dirinya untuk menjadi seorang pemimpin. Jotuns Corps mulanya adalah usaha keluarga, kepemilikan saham dibagi rata. Lalu, paman Marco Millu mulai terlilit hutang. Sedikit demi sedikit, sahamnya dijual pada Jonathan Smith, hingga akhirnya seluruh perusahaan menjadi milik keluarga Smith. Paman Marco hanya menjadi anggota dewan direksi.

Setelah menggantikan posisi ayahnya sebagai direktur utama, Alex berhasil membuat Jotuns Corps menancapkan kakinya semakin dalam di dunia bisnis, melahirkan anak perusahaan di mana-mana. Kini, Jericho ingin merebut hasil kerja kerasnya itu. Tentu saja mustahil! Alex akan melakukan apa saja untuk mempertahankan Jostuns Corps. Apa saja.

***

Kinara memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang karena jalur yang dilewatinya ini cukup berbahaya. Selain jalan pegunungan yang berkelok-kelok, beberapa sisi jalan merupakan tanah miring yang cukup curam. Gadis itu tampak bersemangat ketika puncak kastil di atas bukit mulai terlihat. Bangunan bernuansa Eropa Klasik itu tampak kokoh dan megah, mirip istana dalam dongeng yang sering dibacanya semasa kecil.

The Spring Mountain, tempat tinggal keluarga Smith yang populer itu. Meski telah bekerja di sana selama hampir satu tahun, Kinara tak pernah berhenti berdecak kagum tiap kali memasuki bangunan berwarna putih gading itu.

"Pagi, Pak," sapa Kinara seraya membuka helm dan kacamata hitamnya.

Gadis itu menunjukkan kartu pengenal pada petugas jaga, lalu kembali melajukan motornya ke tempat khusus pekerja rumah tangga. Sambil bersiul riang, gadis itu mengikat tinggi rambutnya yang tergerai hingga pundak, kemudian berjalan menuju ruang ganti untuk memakai seragam kerjanya.

Dulu, ayahnya adalah salah satu supir pribadi keluarga Smith, tetapi kini ayahnya itu sudah pensiun. Mengingat kesetiaan ayahnya itulah maka Nyonya Smith bersedia menerima Kinara untuk bekerja di sini.

Hari ini adalah hari pertunangan tuan Alex, semua pekerja tampak bersemangat. Setelah acara dilaksanakan di hotel, keluarga dari kedua belah pihak akan berkumpul di sini untuk membahas rencana pernikahan tiga bulan lagi. Oleh karena itu, koki telah mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat makanan ketika Kinara melewati dapur.

"Baunya enak," celetuk gadis itu sambil lalu.

"Aku belum memasak satu hidangan pun," jawab Alvaro--sang Koki--sambil memutar bola matanya.

"Jangan lupa sisihkan untukku," bisiknya di dekat telinga pria bertubuh tambun itu.

"Datanglah ketika jamuan telah usai."

"Aku sangat mencintaimu." Kinara memeluk Alvaro sekilas.

Lagi-lagi Alvaro memutar bola matanya. Ia mengacungkan pisau ke arah Kinara sambil berseru, "Pergi, selesaikan pekerjaanmu. Jangan ganggu aku lagi!"

Kinara terkekeh lalu berjalan menuju gudang untuk mengambil alat bersih-bersih. Ada 20 orang yang bertugas membersihkan rumah ini. Kinara mendapat bagian di sayap kanan.

"Lisa, mana Ayumi? Belum datang?" tanya Kinara mereka melihat seorang gadis berkacamata keluar dari ruang perlengkapan.

"Sepertinya terlambat lagi," jawab Lisa, "semoga Nyonya Besar tidak tahu, kalau tidak--"

"Jangan khawatir, aku sudah sampai!"

Seruan dari balik tubuhnya itu membuat Kinara menoleh ke belakang. Seorang gadis yang tingginya hampir sama dengannya sedang berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Gadis itu buru-buru mengikat tinggi rambutnya seperti dua orang temannya, kemudian berlari mengambil peralatan.

"Suatu hari nanti kau akan mati karena kehabisan napas," kata Kinara. Rambut lurusnya bergoyang ke kanan dan kiri, mengikuti gerakan kepalanya.

"Aku yakin itu masih lama, tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini," balas Ayumi dari dalam.

Kinara dan Lisa saling menatap, lalu mengangkat tangan tak berdaya. Mereka berjalan bersisian menuju tempat tugas masing-masing, mengabaikan teriakan Ayumi yang meminta untuk ditunggu.

"Hey, Kalian! Tolong bantu aku!"

Suara teriakan dari ruang tamu spontan menghentikan langkah Kinara dan Ayumi. Dua gadis itu menoleh ke sekitar, hanya ada mereka berdua. Pelayan pria di depan sana mengangguk ketika Kinara mengacungkan jari telunjuk ke dadanya.

"Apa apa?" tanya Ayumi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah dari pria yang memanggil mereka tadi.

"Tolong bantu aku membawa buket bunga ini ke atas, letakkan saja di dekat kamar Nyonya," jawab pria itu sambil menyerahkan seikat besar bunga mawar dan lily ke tangan Kinara.

"Tolong serahkan ini pada kepala pelayan. Aku harus mengambil beberapa rangkaian lagi di depan. Terima kasih." Pria itu mendorong rangkaian bunga aster dan krisan ke tangan Ayumi. Ia langsung berbalik dan pergi sebelum Kinara dan Ayumi sempat menjawab.

Setelah terbengong beberapa saat, dua gadis itu menghela napas panjang dan melakukan apa yang dipinta oleh pria tadi. Ayumi tertatih-tatih mencari kepala pelayan, sedangkan Kinara terseok-seok menaiki anak tangga. Rangkaian bunga di tangannya menutupi hampir seluruh batas pandangannya. Begitu sampai di puncak tangga, Kinara berbelok ke kanan.

Dugh!

"Akh!" pekikan tajam terdengar dari depan.

"Wooo ... wooo ... wooo ...." Tubuh Kinara bergoyang-goyang, kehilangan keseimbangan.

Kaki kiri gadis itu melayang di udara, sementara kaki kanan gemetaran menahan bobot tubuh. Kedua lengannya masih tetap merangkul buket bunga dalam dekapan, menjaga benda itu seakan melindungi nyawanya sendiri.

Kinara sudah hampir terjungkal ke belakang saat sebuah lengan yang kokoh menahan pinggangnya. Aroma mint yang kuat menelusup dalam indera penciuman, membuat gadis itu terpana dan kehilangan kata-kata.

"Apa kamu tidak punya mata? Jalan sembarangan!"

Suara bariton dari depan wajahnya membuyarkan otak Kinara yang sedang linglung.

"Apa bunga-bunga ini lebih penting dari nyawamu? Dasar bodoh!" seru pria itu seraya melepaskan cengkeraman tangannya dari pinggang Kinara dangan kasar.

Apa?

***

Bab 3: Menolongnya

Kinara melotot, menggeser lengannya ke sisi kiri agar dapat melihat siapa yang berani memakinya dengan begitu kurang ajar. Namun, baru saja lengan kecilnya bergerak beberapa senti, mata bulatnya kembali meredup.

"Maaf, Tuan Muda."

Hanya itu yang keluar dari bibir tipis gadis itu. Kepalanya menunduk dalam, tidak berani menatap sosok yang berdiri menjulang di hadapannya.

"Lain kali lihat dulu sebelum belok. Dasar ceroboh!" Alex memelototi pelayan di hadapannya.

"Baik. Terima kasih sudah menyelamatkan saya." Kinara membungkuk sekilas, kemudian menyingkir agar majikannya itu bisa lewat.

"Apa kau tahu harga bunga-bunga ini sama dengan separuh gajiku? Dasar orang kaya! Sombong!" Kinara mencibir setelah melihat pria itu telah mencapai ujung tangga.

Ia lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar Nyonya Smith di ujung lorong. Sesaat gadis itu ragu, di sisi mana ia harus meletakkan buket bunga. Setelah menimbang beberapa saat, ia berjalan ke sisi kamar yang dekat jendela kaca. Ia terpaku sejenak, pemandangan di luar sangat indah. Jendela kaca ini menghadap gerbang masuk, segala sesuatu terlihat jelas dari sini, termasuk mobil sport biru yang baru saja melesat keluar. Dua mobil hitam mengikuti mobil biru itu, masing-masing dari depan dan belakang.

Gadis itu tersenyum samar. Ia meletakkan rangkaian bunga dengan hati-hati lalu berbalik, hendak mengetuk pintu kamar sang Nyonya.

Boom!

Ledakan yang sangat kuat menghentikan langkah Kinara. Gadis itu tercekat melihat kaca-kaca dan lemari ikut bergetar akibat suara ledakan tadi. Belum pulih dari rasa terkejutnya, suara decitan yang panjang dan tajam kembali terdengar dari luar. Kinara berlari kembali ke depan jendela, dengan tubuh bergetar menyaksikan mobil biru yang baru saja keluar berputar kehilangan arah, terbalik beberapa kali sebelum meluncur di sisi jalan yang terjal. Dua mobil pengawalnya sudah hancur berkeping-keping.

"Tidak!" teriaknya histeris.

Tidak!

Pria itu ....

"Apa yang terjadi?" tanya Nyonya Smith yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Tuan Muda!" jawab Kinara seraya berlari menuruni anak tangga.

"Apa yang terjadi?" teriak sang Nyonya lagi dari lantai dua.

"Tuan Muda, mobil Tuan Muda masuk jurang."

Suasana dalam rumah yang semarak mendadak kacau balau. Para pelayan berhamburan, sebagian belum tahu apa yang sedang terjadi, sebagian lainnya sibuk menggotong nyonya Smith yang pingsan. Tidak ada bodyguard yang berjaga di sini, semuanya telah dialihkan ke hotel bersama kepala keluarga, Jonathan Smith, sebagian lainnya baru saja hancur dalam mobil yang meledak.

"Hubungi Tuan Besar!" perintah Kinara pada pelayan yang berpapasan dengannya.

"Polisi, panggil polisi! Tidak, tidak, ambulans dulu! Cepat telepon ambulans!" teriaknya pada siapa pun yang ditemuinya, "yang lain, cepat ikuti aku! Bawa kendaraan kalian!"

Gadis itu terus berlari menuju tempat parkir sepeda motornya. Sesekali ia mendongak, mencoba menghalau rasa panas di pelupuk mata.

"Sialan, jangan menangis, Nara! Sekarang bukan waktunya untuk jadi seorang pengecut," gumamnya pada diri sendiri. Ia menyalakan motornya dan melajukan benda itu dengan kecepatan maksimal.

Gadis itu menoleh ke kiri, mencari lokasi jatuhnya mobil tadi. Di sana, di ujung belokan ketiga, mobil itu tergeletak dengan begitu menyedihkan. Bulir bening menggumpal di pelupuk mata Kinara, mengaburkan pandangannya. Semakin ia menghapus cairan itu, semakin banyak yang mengalir melewati pipinya.

"Tuan Muda!" teriak Kinara saat sampai di sisi jalan yang dekat dengan mobil biru itu.

Gadis itu melepaskan motornya begitu saja dan berlari menuruni tebing yang sedikit curam. Beberapa kali ia tergelincir, karang menggores telapak tangannya tapi tak ia hiraukan. Seluruh pikirannya terpusat pada bensin yang mulai tumpah dari tangki bahan bakar.

Untungnya mobil itu tersangkut pada sebongkah karang yang cukup besar sehingga tidak terus terguling sampai di bawah sana. Kinara menutup mulut dengan kedua tangannya ketika melihat tiga penumpang dalam mobil, semuanya berlumuran darah.

Ia meletakkan jari tengah dan telunjuk di pergelangan tangan supir yang lehernya tersayat. Pria itu sudah meninggal. Cepat, Kirana memeriksa denyut nadi dua orang di kursi penumpang. Hanya tuan muda Smith yang masih bernapas meski denyut jantungnya sangat lemah.

Kinara mengambil sebuah batu yang cukup besar lalu menghantamkannya pada pintu yang sudah ringsek itu. Ia menunduk dan menempelkan telinganya ke dada sang Majikan, memeriksa apakah ada pendarahan internal. Dari suara napasnya, sepertinya ada tulang rusuk yang patah dan menusuk paru-paru.

"Tuan Muda, aku akan menarikmu keluar. Bertahanlah," ujar Kinara sebelum meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak pria itu dan mulai menyeretnya keluar.

"Ahh ...." desisan lemah lolos dari bibir yang memucat itu.

Kinara menghentikan tindakannya dan melihat ke bawah. Kaki Alex Smith terjepit bangku yang ringsek.

"Tuan Muda, Anda akan baik-baik saja. Jangan takut, oke?" Kinara mengigit bibirnya dan mendorong kursi yang menjepit kaki tuannya sekuat tenaga. Tak berhasil. Logam yang hancur itu seakan menertawakannya.

"Sialan!" maki Kinara.

Di saat gadis itu hampir putus asa, terdengar suara dari pinggir jalan. Kepala pelayan berhasil menyusulnya bersama dua orang penjaga pintu gerbang.

"Cepatlah!" teriak Kinara, "Bantu aku keluarkan Tuan Muda!"

Kepala pelayan menarik kursi dari depan, sedangkan penjaga pintu mendorong dari belakang. Kinara bergegas mengeluarkan tuan muda Smith ketika melihat ada sedikit celah.

"Tahan kakinya!" perintah Kinara pada kepala pelayan, "Hati-hati, sepertinya patah."

Hati gadis itu mencelos melihat posisi kaki majikannya yang terlihat dislokasi. Wajah pria itu juga terus mengeluarkan darah, mungkin terkena serpihan kaca.

"Di sini," ujar Kinara ketika mereka sudah cukup jauh dari mobil. Ia mengambil napas sejenak lalu kembali memeriksa denyut jantung tuannya.

"Alex!" Kinara mulai panik ketika melihat pria di hadapannya mulai menunjukkan tanda-tanda kegagalan fungsi organ tubuh. "Alex, kau akan selamat! Oke? Bertahanlah, kumohon bertahanlah!"

Gadis itu menoleh pada dua orang pelayan yang mematung di sampingnya, "Ambulans? Di mana ambulans?"

"Seharusnya sebentar lagi tiba," jawab Kepala Pelayan. Dua pria itu pun tampak paniknya, tetapi tak banyak yang dapat mereka lakukan saat ini.

"Kau dengar itu, Alex? Sebentar lagi tiba, jadi kau bertahanlah. Oke? Dengarkan aku, apakah kau suka makan cokelat atau manisan? Genggam tanganku jika kau tidak menyukai keduanya ... jadi, apa yang kau suka?"

Kinara terus menjaga agar Alex tidak kehilangan kesadaran, hingga akhirnya deru helikopter terdengar di atas kepala mereka. Air mata Kinara kembali tumpah, membanjiri wajahnya yang lengket oleh darah dan keringat.

"Kau akan baik-baik saja. Pasti baik-baik saja."

Kinara berdiri, hendak melambaikan tangan ke arah helikopter ketika suara ledakan yang dahsyat terdengar. Refleks, gadis itu menunduk, menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng untuk melindungi tuannya.

Rasa sakit yang sangat menghantam bagian belakang kepala Kinara, membuat dunianya tiba-tiba berubah menjadi gelap.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!