Sejak menyelesaikan urusan kami perihal jadwal kuliah, gue dan Mei memilih untuk tidak langsung pulang. Mei berniat untuk tetap di kampus karena ia ada pertemuan perdana bersama anggota UKM Band siang ini dan gue cuma mengikutinya.
Lagi pula gue juga bosan kalau cuma berdiam diri dirumah, tapi ternyata duduk di kantin bersama Mei jauh lebih membosankan. Kalau seperti itu rasanya lebih baik gue bersantai di rumah.
"Teman baru? Emang harus ya?" tiba-tiba gue teringat pembicaran semalam dengan Aga, sahabat gue sejak kecil. Kami sempat membahas perihal pertemanan semalam.
"Apanya yang harus? Kalau ngomong tuh yang jelas Rhea." Mei yang tadinya fokus pada ponsel langsung menatap gue penuh tanya, sepertinya ia mendengar gumaman tidak jelas tadi.
"Em, tentang..." gue menjeda ucapan, karena masih ragu akan mengutarakannya pada Mei atau tidak mengingat akan seperti apa responnya, "Ah, lupain deh. Anggep gue nggak ngomong apapun."
Mei hanya mendengus dan kembali menekuni aktivitasnya yang tertunda. Dia tidak lagi memperdulikan apa pun yang gue lakukan. Gue pun begitu, tidak lagi berniat untuk mengajak Mei ngobrol karena bisa dipastikan pada akhirnya kami akan berdebat.
Lyra yang baru saja tiba mengomentari kami yang hanya diam sejak tadi, "Kalian tuh, duduk bareng tapi kayak orang musuhan."
"Mei tuh dari tadi sibuk sama notesnya. Mana gue dicuekin pula." Gue memutar bola mata malas, melihat Mei yang masih saja fokus dengan notesnya dan mengabaikan gue dan Lyra.
"Apaan sih Rhea, siapa yang cuekin kamu sih!" Mei terlihat tidak suka dengan protesan gue, berujar dengan nada sinis.
"Dih, gitu aja sewot." Gue melayangkan tatapan tajam menantang Mei yang masih menatap sinis. Begitulah kami berdua, sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah. Sepertinya sebentar lagi kami akan bertengkar.
Lyra yang sudah paham dengan tabiat kami hanya menatap datar. Lyra sama sekali tidak berniat melerai gue dan Mei, dia malah sibuk dengan ponselnya dan tidak memperdulikan kami.
"Tahu gitu gue ikut Aga tadi, daripada di sini cuma diem doang kayak patung."
"Lah terus kenapa masih disini?"
"Aga lagi ada urusan." Bukan gue
Sebentar, ngomong-ngomong soal Aga sepertinya gue melupakan sesuatu. Tapi apa ya, kayaknya Aga udah memperingatkan gue sejak semalam tapi gue lupa.
"Eh iya, ini nanti malem kita jadi mau kumpul?"
Kalian berdua aja yang bahas, aku ikut aja keputusannya gimana. Sekarang mau ke ruang musik dulu, bentar lagi latihan dimulai," ucap Mei yang langsung membuyarkan lamunan gue tentang Aga.
"Bentar, Ra! Kayaknya gue lupa sesuatu. Bahas itu nanti aja, gue mau ketemu Aga dulu."
Gue buru-buru mengemasi barang milik gue yang tercecer di meja. Dengan sedikit berlari gue keluar kantin menuju parkiran mobil.
"Rhea, lo ngapain sih lari-lari. Mana gue ditinggalin." Lyra yang tidak terima karena gue meninggalkannya di kantin memprotes sambil berusaha menoyor kepala gue. Tapi belum sempat niat Lyra itu terlaksana seseorang menyerukan nama lengkap gue.
Ah, sepertinya Aga sudah benar-benar marah. Setelah ini gue pasti akan mendapatkan omelan panjang dari lelaki itu.
"Rhea Arysta Yasmine."
Mendengar nama lengkap gue disebut dengan penuh penekanan oleh Aga, reflek kami berdua langsung menengok ke arah asal suara itu. Rupanya Aga sudah berdiri samping mobilnya dan sepertinya sudah menunggu gue sejak tadi.
"Ehehe, maaf Ga. Gue lupa."
Aga menatapku takjub, "Tsk, kebiasaan. Pasti lo lupa juga kalau sore kita ada janji ketemu rekannnya Bang Eza."
"Eh, janji?" Gue mencoba mengingat janji yang dimasud Aga, jujur saja gue benar-benar lupa soal janji itu.
"Janji apaan sih? Kok kayaknya dari tadi bahas janji mulu. Bawa-bawa nama Kak Eza juga." Lyra yang penasaran akhirnya bertanya pada Aga yang sedari tadi terus-terusan mengungkit soal janji yang gue lupakan.
"Iya, gue sama Bang Eza kerjasama. Lebih tepatnya sih komunitas yang gue ikutin ada proyek bareng sama perusahaan temennya dia," ujar Aga memberitahu Lyra juga sekaligus mengingatkan gue tentang janji itu.
Ah, rupanya janji untuk berdiskusi dengan Kak Bryan tentang kelajutan kerjasama komunitas menulis. Bagaimana bisa gue melupakan janji sepenting itu, untung saja Aga mengingatkan. Kalau tidak, bisa-bisa gue kena amuk anak-anak komunitas.
"Lo mau gimana Ra? Ini gue udah ditelponin sama abang lo. Rhea kudu ikut gue sekarang." ucap Aga sembari menerima panggilan dari Eza di ponselnya.
"Eh, kok sekarang? Katanya masih nanti sore. Nggak mau tahu, gue mau jalan dulu sama Lyra." Gue merajuk pada Aga agar diperbolehkan pergi dengan Lyra. Tapi sepertinya Aga tak menghiraukan dan tetap fokus berbicara pada Eza di telepon.
"Nggak bisa Rhea sayang, kita nanti ada acara sama anak-anak. Lagi pula, nanti katanya lo mau nginep di rumah Lyra juga." Aga berujar dengan lembut sambil mengacak rambutku pelan. Dia memang paling ahli meredam kekesalan gue.
"Maaf ya Ra, kayaknya lo jalan sendiri deh. Gue harus kelarin urusan ini biar gue bisa ikut nginep." Mau tak mau akhirnya gue membatalkan rencana dengan Lyra.
"Yah, masa gue sendirian sih. Temenin dong, bentar doang kok. Nanti gue deh yang bilang ke Kak Eza." Lyra masih berikeras mengajak gue untuk ikut berbelanja ke supermarket.
"Boleh ya Ga, nanti gue anter Rhea ke kantor Kak Eza. Bentar doang kok, janji deh." Lyra berusaha membujuk Aga agar mengijinkanku pergi. Sedangkan gue hanya menatap penuh harap pada Aga. Karena sejujurnya gue memang sangat ingin pergi bersama Lyra walaupun hanya sebentar.
"Oke, masih ada waktu sekitar sejam. Kalian gue anter sekalian, searah juga kan" setelah sedari tadi hanya diam menatap gue, tiba-tiba Aga berbicara pada Lyra setelah ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Akhirnya kami bertiga menuju ke daerah Cihampelas untuk mengantar Lyra yang bersikukuh untuk tetap pergi walaupun hanya sebentar. Sebenarnya tujuan awal kami, hanya untuk mengantarkan Lyra ke Ciwalk karena anak itu ingin membeli beberapa barang untuk acara nanti malam. Tapi entah kenapa, Aga justru menarik gue untuk memasuki salah satu coffeshop yang ada di sana.
"Lo berdua mau pesan apa?" tanya Lyra yang langsung duduk santai di salah satu kursi kosong.
"Gue mau cappucino."
"Nggak usah, gue mau pindah ke lantai atas."
Gue dan Aga berucap bersamaan dengan jawaban yang berbeda.
"Buruan Rhea, Bang Eza udah nunggu," ucapnya sembari menarik tangan gue agar segera berdiri.
"Lo mau gimana?"
"Tenang aja, ntar gue bisa balik naik gocar atau bareng Kak Eza sekalian," sahut Lyra tidak meyakinkan, karena yang gue tahu, Lyra tidak akan mungkin berani menemui kakaknya itu.
"Yakin lo mau bareng abang lo yang galak itu," gue bertanya dengan nada sinis sambil menatap ragu Lyra ketika ia mengatakan pulang dengan kakaknya.
"Iya Rhea, lo tenang aja." Lyra mengangguk kecil menanggapi ucapan gue, "Kalian langsung ke atas gih, keburu Kak Eza marah gara-gara kalian telat. Dia kan nggak suka kalau diskusinya ngaret," lanjutnya.
"Kita duluan."
Begitu mendapat persetujuan dari Lyra, tiba-tiba Aga langsung menyeret gue yang jelas-jelas sedang membereskan novel yang tadi sempat gue keluarkan dari tas. Hah, cowok itu benar-benar tak punya perasaan.
Setelah diseret dengan tidak elit oleh Aga, di sinilah gue sekarang di lantai atas untuk menemui Kak Eza yang ternyata sudah berada di sini sejak tadi. Begitu sampai, kami langsung disambut dengan berkas proposal yang sepertinya sedang diperiksa oleh Kak Eza.
"Udah nunggu lama Bang? Maaf kita agak telat." Aga bergegas duduk disalah satu kursi kosong.
"Lumayan, lain kali jangan telat lagi. Gue nggak suka nunggu, buang-buang waktu."
Gue hanya mendengus tak suka mendengar ucapan Kak Eza yang terkesan menyalahkan gue dan Aga yang datang terlambat.
"Apaan sih, sok banget. Padahal temen lo aja juga belum dateng."
Entah gue bersuara terlalu keras atau memang pendengaran mereka cukup peka, karena Kak Eza dan Aga langsung menatap gue dengan sorot mata yang berbeda.
Aga menggeleng pelan sambil berbisik, berusaha memperingatkan gue agar diam dan tidak berulah lagi.
"Rhea, nggak usah mulai."
"Bukan gue sok atau gimana, gue cuma nggak mau buang-buang waktu. Masih banyak hal penting yang bisa gue lakukan selain menunggu kalian," sahut Kak Eza tenang sambil tetap fokus pada proposal yang sedang dicek ulang.
"Ini proposal udah bagus, cuma perlu diperbaiki dikit bagian aggarannya. Kalau bisa dibuat lebih detail lagi."
"Ah, oke. Nanti biar gue sama Rhea benerin. Terus ini kan rencananya kita mau bikin perpustakaan di Rumah Belajar Aksara, kalau sekalian diadakan kelas menulis gimana? Nanti biar anak-anak Goresan Pena yang handle."
Sepertinya Aga tidak membiarkan gue kembali memprotes ucapan Kak Eza karena ia langsung menyahuti dan fokus diskusi tanpa menunggu Kak Bryan yang belum datang.
"Maaf saya terlambat, tadi ada insiden kecil di bawah."
Kak Bryan muncul tak lama setelah Kak Eza dan Aga berdiskusi tentang proyek perpustakaan di rumah belajar.
"Duduk Kak, ini Aga sama Kak Eza juga baru mulai kok diskusinya." Gue mempersilahkan Kak Bryan duduk di satu-satunya kursi kosong sebelah gue.
"Gimana? Masih ada yang perlu di perbaiki nggak?" Kak Bryan bertanya setelah membaca proposal dengan seksama.
"Tadi Bang Eza cuma minta proposalnya diperbaiki soal anggaran," sahut Aga sambil mencatat beberapa poin yang menurutnya penting.
"Sama tambahan usul dari Aga, soal bikin kelas menulis di Rumah Belajar
"Oke berarti udah clear ya ini. Tinggal bahas yang lain," ujar Kak Bryan memastikan lagi tentang proposal yang gue buat.
"Ini mau lanjut atau udahan?"
"Cukup dulu deh Bang, lanjut lagi kalau anggaran dananya udah fix," sahut Aga sambil membereskan beberapa berkasnya tercecer di meja.
"Kira-kira butuh waktu berapa hari kalian menyelesaikan revisi proposal? Dua hari cukup?"
Gue langsung mendelik begitu mendengar penuturan Kak Eza. Yang benar saja, merevisi anggaran dana sebanyak itu hanya dalam dua hari. Huh, ingin rasanya gue memprotes, tapi mengingat kalau itu akan membuat pertemuan ini semakin lama, gue memilih mengurungkan niat itu. Lagi pula Aga sudah menyanggupinya.
"Yaudah kami duluan ya Kak."
Gue langsung menyeret Aga untuk bergegas pergi dari sana, karena gue sudah malas melihat Kak Eza dan tingkahnya yang sangat menyebalkan itu.
Kalau bukan karena akan menemui Rhea dan Mei, gue nggak akan mungkin berada di kampus sepagi ini. Karena gue paling malas berada di kampus kalau tidak ada urusan penting. Tetapi pengecualian untuk permintaan kedua sahabat gue itu.
Gue tiba di kantin dan disambut dengan keributan yang dibuat Rhea yang memprotes Mei. Dan seperti yang sudah-sudah, gue harus menjadi penengah keduanya agar tidak ada perdebatan panjang diantara mereka.
"Kalian bedua diem bisa kan? Ribut mulu." Akhirnya gue melerai mereka, padahal tadinya gue akan membiarkan mereka ribut saja. Tapi sepertinya gue yang akan repot nanti.
Sudah hampir setengah jam kami bertiga hanya seperti ini, diam dan tidak melakukan apa-apa. Sebenarnya gue bosan, tapi mau bagaimana lagi. Tidak mungkin gue mengajak kedua orang yang masih bersitenggang ini untuk mengobrol. Sudah bagus mereka tidak melanjutkan berdebat.
Gue mencoba memulai obrolan, tapi Mei justru membereskan barang-barangnya setelah melihat jam di pergelangan tangan kirinya.
"Aku mau ke ruang musik dulu. Bentar lagi latihan musik di mulai," ucap Mei dan langsung beranjak dari duduknya.
Sedangkan Rhea sudah berlari keluar kantin meninggalkan gue sendirian. Terpaksa gue ikut berlari mengejarnya, awas saja dia karena sudah membuat gue berlari ketika mengenakan heels seperti ini.
"Rhea, tunggu gue!"
"Kenapa lari-lari segala sih Ra? Jalan aja kan bisa," ujar Rhea santai setelah gue berhasil menjajari langkahnya.
"Yee, lagian lo sih malah lari duluan." Gue menyahut sambil berusaha untuk menoyor kepala Rhea. Tapi belum juga niat baik itu terlaksana terdengar suara cowok yang menyerukan nama lengkap Rhea.
"Sorry Ra, bukannya mau ninggalin lo. Tapi nih si Aga udah nelponin mulu dari tadi," ucap Rhea dengan wajah sok merasa bersalah sambil menunjuk cowok yang saat ini sedang berdiri diam di samping mobilnya.
Gue mengenalnya, dia Kara sahabat dekat Rhea. Lelaki bernama lengkap Kara Erlangga Faresh danq Rhea lebih suka memanggilnya Aga.
"Lo ada janji sama Kara? Bukannya hari ini kita mau jalan buat sekalian ke supermarket, beli camilan buat nanti malam."
"Kayaknya sih emang ada janji sama Aga, tapi gue lupa janji tentang apaan." Rhea memandang gue bingung, sepertinya ia sedang mengingat janji yang dilupakannya itu.
Tak lama setelah itu, gue seperti orang asing diantara Rhea dan Kara yang sedang berdebat tentang janji yang seharusnya tidak dilupakan oleh Rhea. Karena sepertinya itu sangat penting.
"Lo mau gimana Ra, ini Rhea kudu ikut gue sekarang. Kita ada janji mau bahas proyek sama Kakak lo," ucap Kara.
"Eh iya, gue lupa. Kan hari ini ketemu sama Kak Bryan juga." Rhea menepuk dahinya sendiri dengan gemas, sepertinya ia baru saja mengingat apa yang ia lupakan.
Ah, setelah ini dia pasti menolak dan mau tak mau gue hanya akan berjalan-jalan sendiri.
"Maaf ya Ra, nggak bisa nemenin. Tapi tenang aja, gue sama Aga bakalan anterin lo."
Nah kan, benar apa yang gue pikirkan tadi, Rhea menolak ajakan gue. Tapi tak apa, setidaknya gue tidak perlu mengeluarkan uang untuk taxi karena Rhea berjanji akan mengantar, tidak buruk juga.
"Iya deh, kali ini gue maafin. Tapi temenin gue mampir supermarket bentar, beli camilan buat ntar malam."
Gue langsung menyeret Rhea kearah CR-V biru metalik yang terparkir di seberang kantin tanpa memperdulikan sang pemilik yang masih kaget dengan tingkah gue yang kadang lebih tidak jelas ketimbang Rhea.
Rhea melepaskan tangan gue yang sedari tadi menariknya dan berbalik untuk meneriaki Kara yang masih berdiri diam, "Aga, ayo anterin kita ke supermarket, masih ada waktu kan."
Namun Kara masih saja diam dan tidak merespon teriakan Rhea yang bisa di bilang cukup keras itu.
"KARA ERLANGGA FARESH." Rhea kembali meneriakan nama Kara, kali ini di sertai penekanan disetiap kata yang diucapkannya agar cowok itu segera menuruti permintaan kami atau lebih tepatnya permintaan gue.
"Ya udah ayo, keburu sore ini. Dan gue cuma punya waktu sekitar sejam."
Kara menyanggupi permintaan Rhea dan bergegas menyuruh kami memasuki CR-V birunya itu. Tanpa menunggu diperintah dua kali, gue dan Rhea segera masuk dan Kara langsung mengemudikan mobilnya begitu gue masuk dan mengunci pintu.
"Tapi janji bentar doang. Karna kita masih ada acara sama anak-anak. Kalau ngaret ntar lo ngga bisa nginep rumah Lyra."
Kami bertiga memutuskan untuk berbelanja di daerah Cihampelas, tepatnya Ciwalk. Tapi karena ulah Kara, kami berakhir duduk manis di salah satu meja di Coffeshop. Dan keributan kecil kembali terjadi, Kara memaksa Rhea untuk segara ikut dengannya menemui Kak Eza yang ternyata sudah menunggu di lantai dua.
Huh, sepertinya gue harus kembali menjadi penengah agar keributan ini segera berakhir. Mau tak mau gue mempersilakan mereka untuk pindah ke lantai atas. Karena gue tahu, Kak Eza itu orang yang paling tidak bisa menunggu, bisa-bisa mereka kena marah kalau membuat Kak Eza menunggu lama.
"Ra? Yakin nih nggak apa-apa abis ini gue tinggal?" Rhea bertanya, sepertinya ia tidak tega meninggalkan gue jalan-jalan sendirian di Ciwalk.
"Tenang aja, gue bisa pulang sendiri ntar atau bareng Kak Eza sekalian deh." Gue meyakinkan Rhea agar tidak khawatir, padahal gue sendiri sebenarnya masih tidak yakin akan meminta pulang bareng Kak Eza dengan belanjaan yang sebanyak ini.
"Yakin lo mau minta jemput abang lo yang galak itu dengan belanjaan lo sebanyak itu." ucap Rhea sinis menyuarakan keraguan yang terlintas dipikiran gue.
"Tenang aja sih, gih sana." Gue mengusir mereka secara halus agar segera menemui Kak Eza yang sudah menunggu.
Setelah kepergian Kara dan Rhea, gue masih duduk santai sambil menikmati Latte yang masih setengah sambil menatap keluar jendela, menikmati kesibukan orang-orang yang berlalulalang di factory outlet sepanjang jalan Cihampelas.
Setengah jam sudah berlalu dan gue masih betah berlama-lama duduk santai di tempat ini. Gue edarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, rupanya sekarang tempat ini sudah lebih ramai dibanding saat gue datang tadi.
Saat sedang fokus memindai seluruh ruangan, tiba-tiba mata gue terfokus pada mobil Mercedes Benz hitam yang terparkir tak jauh dari pintu masuk. Gue merasa familiar dengan mobil itu, seperti pernah melihatnya tapi entah dimana. Gue benar-benar penasaran dengan pengemudi mobil itu.
"Mbak, bisa agak cepet nggak? Saya buru-buru ini."
Gue yang baru saja hendak membayar tak sengaja mendengar percakapan cowok yang antri di depan gue. Sepertinya dia sedang diburu waktu, karena sejak tadi dia terus menerus protes pada penjaga kasir.
"Maaf Pak, credit card anda sepertinya trouble. Apa ada uang cash?" ucap penjaga kasir sambil mengembalikan credit card milik cowok itu.
Gue lihat cowok itu mengeluarkan dompetnya, tapi sepertinya ia tak memiliki uang cash sepeserpun.
Entah ada angin apa, tiba-tiba gue berinisiatif menolongnya. Gue kembali mengambil dompet yang sudah berada di dalam tas dan mengambil beberapa uang cash di dompet itu.
"Biar saya saja yang bayar mbak. Sekalian sama punya saya." Gue menyodorkan beberapa uang untuk membayar pesanan gue dan juga milik cowok yang saat ini memandang gue dengan heran.
"Makasih, lain kali saya ganti uang kamu. Saya duluan." Cowok itu bergegas pergi menuju lantai atas setelah gue membayarkan pesanannya.
"Maaf mbak, apa mbak mengenal bapak tadi. Ini sepertinya dompetnya tertinggal."
"Ah, saya tidak mengenalnya. Tapi mungkin bisa saya bantu untuk mengembalikannya. Kebetulan saya mau menemui teman saya yang juga berada di lantai atas, mungkin bisa sekalian saya kembalikan."
Entah kenapa gue justru menawarkan bantuan untuk mengembalikan dompetnya, padahal gue sendiri tak mengenal orang itu. Astaga, kenapa lo bodoh sekali Lyra.
Pada akhirnya mau tak mau gue menuju lantai atas, karena gue sudah menawarkan bantuan. Huh, bagaimana gue mengembalikannya, mengetahui namanya saja tidak.
Gue mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru lantai atas dan tanpa sengaja menemukan cowok itu duduk bersama dengan Kak Eza.
"Duh, kenapa dia bareng Kak Eza sih. Ini gimana gue balikinnya. Nggak tahu ah, gue bawa dulu aja nih dompet. Bodo amat kalau dia bingung nyariin."
Pada akhirnya gue mengurungkan niat untuk mengembalikan dompet dan justru membawa dompet itu pulang.
Setelah memastikan bahwa dompet cowok tadi sudah aman dalam tas. Gue bergegas keluar dari tempat ini untuk segera pulang. Karna gue nggak mau mengambil resiko Kak Eza memergoki gue berada di tempat yang sama dengannya.
...~~~~~...
Setelah selesai mengurus masalah jadwal kuliah, aku dan Rhea bergegas menuju kantin. Sebenarnya aku malas untuk ke kantin dan lebih senang untuk langsung pulang saja. Tapi karena hari ini UKM band akan mengadakan pertemuan, jadi mau tak mau aku harus tetap berada di kampus untuk sementara waktu.
Sejak tadi, aku hanya mendiamkan Rhea. Karena dia pun tidak berniat mengobrol denganku. Jadi aku lebih memilih menulis beberapa hal penting dalam notes yang aku bawa sampai Lyra datang menemui kami.
Tapi tetap saja tidak ada obrolan diantara kami bertiga. Hanya aku dan Rhea sempat sedikit berdebat tadi dan Lyra yang berusaha menjadi penengah kami. Walaupun aku rasa yang dilakukan Lyra tidak berguna sama sekali. Karena aku dan Rhea tetap kembali berdebat.
"Lo lama banget sih? Gue kayak anak ilang disini nungguin lo," ujar Rhea menyerukan protes pada Lyra yang datang terlambat.
"Kan ada Mei, lagian lo ngajak ketemu pagi banget." Lyra yang tidak mau disalahkan membantah ucapan Rhea.
"Apaan? Mei dari tadi diem mulu, kayaknya punya hobi baru dia, hobi ngelamun."
Rhea menyindirku, dia memang seperti itu. Kalau ngomong nggak pakai aturan, asal aja ngomongnya. Tapi anehnya, aku tetap mau berteman dengannya.
"Apaan sih, berisik." Aku sedikit sewot karna kelakuan Lyra dan Rhea yang kadang-kadang tidak jelas itu.
"Dih, gitu aja sewot." Rhea berujar santai dengan sedikit nada sinis dalam ucapannya, menyindir.
Seperti itulah Rhea dan aku memilih mengalah. Lagi pula, aku harus segera ke ruang UKM karena pertemuan perdana akan segera dimulai.
Aku melirik jam di pergelangan tangan kiriku, sepertinya waktu 30 menitku sudah terbuang sia-sia hanya untuk berdiam diri bersama kedua sahabatku seperti ini. Seharusnya tadi aku memilih untuk langsung ke ruang musik saja dan melatih vokalku disana sebelum latihan dimulai.
"Udah ah, aku mau ke ruang musik dulu. Bentar lagi latihan band mulai," ucapku sambil membereskan beberapa barangku yang tercecer di meja kantin dan bergegas menuju ruang musik.
"Iya, semangat latihan ya Mei. Gue sama Rhea juga mau jalan kok." Hanya Lyra yang menyahuti ucapanku, karena Rhea sudah pergi lebih dulu setelah ponselnya berdering.
Aku melangkah ke arah gedung seberang dengan langkah santai, karena ruang latihan musik berada di lantai dua gedung itu.
"Hah, sungguh melelahkan. Tapi tak apa, karena disana aku bisa bebas bernyanyi sesukaku sebelum latihan dimulai."
Kupercepat langkahku begitu memasukki gedung itu. Benar dugaanku, ruang latihan masih sepi dan aku lah orang pertama yang datang.
Aku meletakan tas dan buku yang ku bawa di kursi yang berada di pojok ruangan dan segera aku bernyanyi untuk melatih vokalku sebelum anak-anak band itu datang. Ya, aku memang tergabung dalam sebuah band dan aku adalah vokalis dalam band itu.
"Wih, baru datang langsung disambut nyanyian merdu cewek cakep euy."
Entah sejak kapan Zayn, cowok dalam satu band kami berdiri di ambang pintu sambil menatapku intens. Begitu menyadari kehadiran orang lain dalam ruangan ini, aku langsung menghentikan nyanyianku dan menatap Zayn datar.
"Kok berhenti Mei? Lanjut aja nggak apa-apa," ucapnya sambil berjalan ke arah alat musik yang tertata di sudut ruangan, tepatnya ke arah seperangkat drum dan menyetelnya.
Zayn Ivander Noah, dia seorang drumer dalam band kami dan dia juga orang yang bertugas untuk menyetel setiap alat musik yang akan digunakan untuk latihan.
Aku hanya diam sambil memandang Zayn yang sibuk dengan aktivitasnya tanpa berniat menjawab pertanyaaannya itu. Karena jika aku menjawab, pasti dia akan terus mengajakku berbicara dan aku tidak suka itu. Ah bukan, lebih tepatnya aku agak risih dengan hal itu. Mungkin karena ini pertama kalinya untukku, berbeda dengan Rhea yang memang sejak dulu sudah memiliki sahabat lelaki dan memang sangat dekat.
"Mei? Ayo kita mulai latihan."
Ucapan Zayn barusan sedikit membuatku kaget. Ah, sepertinya sedari tadi aku melamun. Sampai tidak sadar bahwa anggota band kami sudah lengkap.
Tanpa diminta dua kali aku langsung berdiri di posisi ku begitu juga dengan teman-teman yang lainnya dan latihan langsung dimulai. Kami berlatih cukup lama dan benar-benar fokus pada bagian masing-masing. Kami berlatih sampai sore menjelang. Tetapi sekalipun latihan sudah selesai, aku belum berniat untuk pulang.
"Kok belum pulang Mei?" lagi-lagi Zayn mengajakku berbicara, bahkan kini dia juga menatapku seakan menuntut jawaban.
Aku menghela napas pelan, kenapa aku bisa berurusan dengan lelaki seperti dia? Benar-benar tidak masuk akal. Tapi akhirnya aku menjawab pertanyaannya, "Aku masih menunggu Rhea, dia mau jemput."
"Mei, maaf ya telat jemputnya. Aga lama sih."
Tepat ketika aku selesai menjawab pertanyaan Zayn, Rhea muncul bersama seorang lelaki yang sepertinya tidak asing. Ah, ternyata Rhea datang menjemputku bersama dengan Kara, sahabat dekatnya. Aku bergegas melangkah ke arah Rhea yang berdiri didekat mobil milik Kara.
"Kamu kenal dia Mei?"
Rhea tiba-tiba bertanya sambil menatap Zayn penuh selidik. Entah apa yang ada di pikiran sahabatku ini. Tapi sepertinya dia penasaran dengan Zayn. Alih-alih aku menjawab pertanyaan Rhea, aku justru ikut menatap Zayn.
"Kalian mau sampai kapan diem dan natap tuh cowok?" Kara berujar pelan menegur kami yang sejak tadi masih terdiam menatap Zayn.
Aku yang langsung tersadar dengan teguran Kara bergegas masuk mobil, sedangkan Rhea yang masih terbuai dengan pikirannya sendiri tak menghiraukan teguran Kara. Sampai Kara menyeretnya untuk masuk mobil, baru ia tersadar.
"Aga! Lo apaan sih? Nggak usah nyeret kayak gini bisa kan?" Rhea berujar dengan nada marah yang sangat ketara. Tidak diragukan lagi, kini sahabatku itu sedang sangat kesal.
"Salah lo sendiri, kenapa malah bengong natap tuh cowok." Kara berujar dengan nada tak kalah sewot, sepertinya dia juga kesal dengan kelakuan Rhea yang tidak jelas itu.
Aku hanya menatap kedua orang yang duduk di kursi depan dengan malas. Karena aku tahu, sangat tahu kalau sebentar lagi keduanya pasti adu mulut. Hah, sepertinya hariku tidak akan pernah tenang bila berurusan dengan Rhea.
Aku membiarkan kedua anak itu kembali beradu mulut dan berniat hanya menjadi penonton saja. Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku teringat tentang Zayn. Aku merasa ada yang sesuatu yang janggal saat ia menatapku tadi. Dia menatapku penuh nafsu seolah-olah aku ini mangsa yang berharga dan harus ia dapatkan, tapi disaat yang bersamaan ada tatapan lembut di manik matanya walaupun samar.
"Apa yang sedang aku pikirkan, huh? Sejak kapan aku jadi sepeduli ini dengan orang lain." Aku seketika mengeleng-gelengkan kepalaku pelan merutuki kebodohanku yang tiba-tiba peduli dengan Zayn.
"Mei? Lo nggak mau turun? Ini udah sampai dari tadi lho," ujar Kara menyadarkanku, menarik ku kembali ke realitas saat ini. Sepertinya aku terlalu lama melamun, bahkan Rhea yang tadinya sibuk dengan ponsel ikut menatapku heran.
"Kamu pasti ngelamun lagi ya Mei?" Rhea melirik ku malas dan mencibir. Begitulah dia, dengan mudahnya menunjukan rasa tidak sukanya tanpa berusaha menyamarkannya sedikitpun.
"Okay, thanks ya udah mau jemput." Aku langsung keluar dari mobil Kara dan bergegas melangkah memasuki halaman rumahku yang cukup luas.
~
Hari berganti, sejak hari itu aku jadi makin dekat dengan Zayn, bahkan sering menghabiskan waktu berdua di ruang musik. Sama seperti kali ini, aku dan Zayn masih saja betah berlama-lama di ruang musik, padahal latihan sudah selesai setengah jam yang lalu.
"Mei? Lo di marahin nggak kalau pulangnya agak telat?" tiba-tiba Zayn bertanya padaku, entah apa maksud dari pertanyaannya itu.
"Em... nggak tahu," ucapku ragu sambil menatap Zayn.
"Gue mau ngajakin lo jalan, kira-kira lo mau nggak?" Zayn bertanya padaku dengan ragu-ragu.
Ah, sebenarnya aku penasaran bagaimana rasanya pergi berdua dengan seorang lelaki, tapi hari ini aku sudah berjanji akan menginap dirumah Lyra bersama Rhea, mengganti waktu menginap minggu lalu yang tertunda.
"Sorry, kayaknya nggak bisa, aku ada janji sama Lyra dan Rhea. Nggak enak kalau dibatalin."
"Okay, mungkin lain kali ya Mei. Gue duluan ya, lo hati-hati pulangnya." Zayn mengangguk paham dan bergegas melangkah menuju mobilnya.
"Iya, kamu hati-hati juga pulangnya," ujarku sambil terus menatap Zayn sampai lelaki itu tak terlihat lagi.
...~~~~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!