POV Mia.
"Mas mau nikah sama Sarah, Mia."
"Uhuk, apa?!" aku terkejut. Semudah itu kah suamiku meminta izin buat menikahi perempuan lain?
"Siapa Sarah, Mas?" aku berusaha bertanya, bersuara selembut mungkin berharap Mas Dimas tidak marah.
"Dia cinta pertamaku," jawab mas Dimas singkat.
Tiba-tiba hati ini sakit, "Cinta pertama?" tanya ku tidak percaya. "Bukan nya aku dan Audrey cinta pertama Mas?"
"Dia cinta mas yang sebenar nya," kata mas Dimas enteng.
Oh Tuhan … aku tidak percaya Mas Dimas mampu mengatakan hal itu semudah membalikkan telapak tangan!
Apa mas Dimas tidak memperhatikan perasaan ku yang selalu berusaha menjadi istri berbakti untuk nya?
"Aku punya kekurangan ya Mas?"
Dimas menggeleng, "Tidak. Kamu Mama yang baik untuk Audrey."
Mendengar kata mas Dimas aku mengoreksi kata 'Mama yang baik untuk Audrey'.
"Berarti aku kurang jadi istri yang baik untuk mas ya?" Hati ku mulai tidak nyaman. Ingin marah, tapi aku takut suami ku main tangan dan malah beneran meninggalkan rumah.
Mas Dimas menggeleng.
"Lalu?"
"Sarah sudah dicerai suami nya, karena Mas masih cinta sama Sarah, Mas mau nikah sama Sarah. Kamu mau kan Sarah jadi istri Mas?"
Aku tidak tahu Mas Dimas sedang meminta izin atau apa. "Jadi mas, mau minta izin sama aku biar bisa nikah sama Sarah?"
Lagi-lagi Mas Dimas menggeleng, yang membuat ku menggaruk kepala, antara bingung dan kesal dengan sikap yang di tunjukkan suami ku.
"Ayolah mas. Jangan mempermainkan perasaan ku. Atau mas lagi nge-prank, ya?"
Lagi-lagi mas Dimas menggeleng. Wajah nya yang datar tanpa ekspresi itu sangat mendukung jika saja dia sedang mempermainkan ku.
"Coba jelaskan, Mas. Mas mau apa?"
Mas Dimas tampak melirik ku sebentar. "Bukan nya Mas sudah bilang sama kamu, Mas mau nikah sama Sarah! Itu belum cukup?"
Aku tercengang mendengar jawabannya, "Tapi kenapa Mas? Aku ada salah, atau ada sedikit kelakuan ku yang membuat Mas kurang nyaman? Coba jelaskan, Mas! Aku menunggu, nih." aku mengulang pertanyaan. Mas Dimas sungguh membuat ku sedikit emosi.
"Maaf Mia. Tapi cinta di hati Mas tidak pernah ada untukmu."
Aku terdiam. Bingung, dan merasa aneh dengan keadaan. "Ga ada cinta di hati Mas untuk ku?"
"Ya. Jujur, Mas tidak pernah menaruh cinta untuk kamu di hati ini. Berat sekali memang, tapi Mas berusaha. Hanya saja, wajah Sarah semakin terbayang dalam setiap detik kedipan mata Mas."
Sesak, sedih, kecewa memang. Tapi aku bersyukur Mas Dimas sudah jujur.
"Jadi Mas mau mengakhiri semua sandiwara ini?" tanya ku memastikan.
Mas Dimas malah mengangguk. Sebuah ekspresi sungguh-sungguh yang dia tampilan di wajahnya membuat dada ku sakit.
"Tidak ada sedikit pun cinta mas untuk Mia, Mas?" aku bertanya padanya untuk kedua kali.
"Tidak. Tidak ada."
Berkali-kali kucoba bertanya hal sama, tapi jawaban nya tidak ada. Akhirnya aku yakin dia tidak memiliki cinta di hati nya untukku ketika ku coba menyentuh tangan nya dan melakukan beberapa sentuhan yang mengundang gairah, sekarang aku tahu dia hanya bernafsu pada-ku, bukan mencintai ku.
Tidak apaa
Aku berusaha tegar.
"Okelah kalau mas tidak mencintai ku, tapi apa mas tidak bahagia selama tujuh tahun hidup bersama ku dan adanya Audrey? Mas, tidak kasihan sama Audrey? Dia masih kecil loh, mas. Audrey perlu kamu dalam masa perkembangan nya."
Aku masih berusaha mempertahankan suami ku dari keputusan gila nya. Menikahi perempuan lain di saat kami tidak sedang berselisih bukankah hal yang aneh dan langka?
"Jadi kamu menolak niatan Mas dengan mengatasnamakan Audrey, begitu Mia?" suara Mas Dimas mulai meninggi.
"Bukan … bukan begitu, Mas. Mia hanya–"
"Hanya apa? Mas mau menikah ya terserah Mas, kalau mas tidak mau bisa saja mas nikah tanpa izin dari kamu. Sudah cukup semua sandiwara ini. Kita hanya pasangan yang terikat perjodohan, dan mas sama sekali tidak bahagia dengan pernikahan ini. Mas muak, Mia. Muak!"
Suara Mas Dimas terdengar begitu kecewa, aku cukup mengerti. Tujuh tahun lalu juga aku pernah merasakan nya.
Masa itu masih di minggu-minggu pertama pernikahan kami. Aku merasa sangat berbeda dan kurang nyaman berada dalam rumah orang lain. Tidak peduli jika orang lain itu adalah suami ku.
Tapi aku berusaha menenangkan diri dan menerima takdir. Berusaha melakukan pekerjaan sesuai kemampuan ku dan belajar mencintai suami ku. Kami memang tidak saling mengenal, karena pernikahan ini di mulai karena perjodohan. Dan sekarang, aku yang dahulu berusaha kini menuai hasil nya. Aku berhasil mencintai suami ku.
Tapi mengapa suamiku tidak dapat melakukan nya?
Walau sudah ku coba mempertahankan Mas Dimas dari keputusan gila nya, tetap saja itu tidak berhasil. Mas Dimas, tetap pada keinginan nya menikahi wanita yang mas Dimas akui sebagai cinta pertama nya itu.
Aku tidak masalah jika mas Dimas menikah lagi, tapi aku tidak ingin cinta ku terbagi, hem. Walau tahu mas Dimas tidak pernah mencintai ku.
Dalam kurang dari seminggu, mas Dimas berhasil menikahi Sarah si cinta pertama nya itu.
Aku akui Sarah sangat cantik. Dia bertubuh tinggi, berkulit putih dengan body yang cukup 'besar'. Hem, beberapa bagian sangat menonjol dan kini aku tau alasan mas Dimas mengaku Sarah selalu terbayang dalam tiap detik kedipan mata nya.
Gadis ku Audrey yang selalu berada dalam dekapan ku selalu bertanya-tanya. "Mama, kenapa Papa punya perempuan baru?"
"Mama, kenapa papa dan perempuan itu terus pelukan?"
"Mama, kenapa Papa dan perempuan itu terus di kamar yang sama sedangkan Mama tidak?"
Dan, banyak pertanyaan lagi.
Mia hanya menjawab semua pertanyaan itu dengan satu kalimat, "Papa sudah menikah dengan perempuan itu, sayang. Jadi sekarang, perempuan itu adalah Mama kamu juga."
"Tidak! Audrey hanya punya satu Mama. Yaitu Mama Mia. Bukan perempuan itu!" Audrey berteriak sambil menunjuk kesal ke arah Sarah. Yang kebetulan ada mas Dimas di sana.
"Apa itu Audrey?" suara Mas Dimas yang berbicara rada tidak suka bahkan tatapan nya seolah merendahkan ku.
"Ssstt, jangan bicara sembarangan seperti itu, Sayang," ucapku memperingatkan. Audrey mengangguk, segera ku gendong tubuh anak ku mendekat ke depan suami dan madu ku.
"Audrey, minta maaf sama Mama Sarah," kata ku memberi instruksi.
Mas Dimas memperhatikan, dan terlihat wajah sombong Sarah yang cukup menjengkelkan.
Dalam gendongan ku, ku arahkan tangan Audrey menyalim Sarah. Tapi Sarah nya sama yang tidak mau.
"Maaf ya Mama Sarah," aku berbicara mewakilkan anak ku. Tapi tidak ada respon dari Sarah. Dia menunjukkan tatapan sinis, seolah tak menyukai keberadaan kami berdua.
Akhirnya aku pergi dari hadapan mereka. Masuk ke dalam kamar, sembari berbisik pada Audrey, "Lain-kali jangan begitu ya, nak."
"Tapi kenapa Ma?"
Aku tidak tahu mau jawab apa dengan pertanyaan putri ku. Audrey memang masih kecil, dia masih penasaran dan ingin tahu segala hal.
"Kamu harus jadi sopan pada orang yang lebih tua," hanya itu yang bisa ku katakan.
Hari-hari berikut nya sama saja. Suami ku semakin menunjukkan ketidak pedulian nya, bahkan pada Audrey putri nya sendiri. Aku sakit hati. Tapi memilih bertahan karena anak ku masih memerlukan seorang ayah.
"Mama, kenapa Papa semakin cuek sama Audrey? Audrey ada salah ya? Kalau Audrey ada salah, kata Mama Audrey harus minta maaf. Tunggu sebentar ya, Audrey mau jumpai Papa."
Segera ku genggam tangan nya. "Kamu tidak bersalah sayang, Papa mungkin hanya sedikit lelah sepulang bekerja."
Anak ku tidak menjawab. Mata nya terpaku pada Mas Dimas yang mendekap, mencium mesra istri kedua nya. Segera ku alihkan pandangan Audrey dengan kata, "Kita selesaikan PR kamu dulu ya."
Kami masuk ke dalam kamar. Aku mengajari anakku berhitung sesuai PR yang di berikan gurunya.
Audrey masih TK, dia adalah anak yang aktif, selalu penuh semangat setiap hari nya. Tetapi setelah Papa nya menikah lagi,
Audrey jadi pribadi yang pendiam dan pemurung. Dia tidak seperti Audrey putri ku yang dulu. Sekarang aku tengah berusaha membuat nya
kembali menjadi anak yang ceria, dengan lebih sering mengajak nya berjalan-jalan dan bermain di luar rumah sementara Suami dan madu ku bermandi peluh setiap kami tidak ada di rumah.
"Ma," panggil Audrey.
Seketika kesadaranku kembali dan menatap Audrey dengan serius. "Kenapa Sayang?"
"Hem, besok … Audrey ada acara di sekolah."
"Terus?"
"Besok, ada hari Ayah, Mama. Jadi Audrey mau ajak Papa. Tapi, Audrey takut Papa marah dan semakin mencueki Audrey. Mama boleh bujuk Papa buat ikut temani Audrey?"
Aku paham.
"Nanti ya, Audrey, Mama usahakan."
Setelah ku pastikan anak ku tidur dengan pulas, Aku berusaha membujuk suami ku untuk datang ke acara sekolah Audrey.
"Ayo lah, Mas. Aku hanya minta Mas turuti satu! saja keinginan Audrey, bukan keinginan ku
Okelah kalau Mas tidak menyukai ku. Tapi ini Audrey loh. Permintaan nya tidak macam-macam kok. Aku rasa Audrey tidak akan mengganggu apapun. Mas hanya duduk, dan menyaksikan Audrey dan teman-teman nya mempersembahkan beberapa persembahan untuk memeriahkan suasana."
"Tanggal berapa?"
Aku senang suami ku menanyakan hal itu. "Besok Mas. Jam Delapan," jawab ku semangat.
Mas Dimas mengangguk, tapi wajah nya tampak kesal, "Akan ku usahakan."
Seketika aku tersenyum dan memeluk suami ku tanpa sadar.
"Eh, kenapa main peluk-peluk gitu?!"
Pandangan ku beralih, ada Sarah di sana. Dia menatap ku tidak suka, aku dan suami ku seperti pasangan tak sah yang di grebek.
"Kenapa memang nya?" tanyaku merasa aneh. "Mas Dimas kan Suami ku juga!"
Belum Sarah menjawab, mas Dimas langsung melepas pelukan kami. Dia menjauh dari ku, tapi malah mendekat ke Sarah.
"Jangan saling emosian, kalian berdua istri Mas, harus akur!"
Aku emosi. "Akur sih akur Mas. Tapi istri baru mu ini yang selalu ajak gelud! Mas juga Suami aku, tapi dia natap kita kayak pasangan kumpul kebo!"
"Sudah-sudah, jangan marah-marahan. Keluar dulu kamu dari sini Mia."
'Enak aja mas Dimas ngusir aku.'
"Mia mau di sini, Mas," kata ku kesal.
Terdengar helaan nafas Mas Dimas. Dia menatap ku dengan tatapan teduh, "Mia, bukan nya mas sudah turuti keinginan mu? Sekarang turuti keinginan mas 'ya?"
Akhir nya aku keluar dari kamar madu ku itu. Hampir saja aku melupakan permintaan Audrey.
Meskipun begitu tetap saja kekesalan ini muncul dalam hati, 'Istri muda!' gerutu ku.
Dahulu setelah Mas Dimas menikah, diri ini mengira, suami ku akan semakin mencintai ku setelah menuruti segala keinginan nya. Mulai meretui nya menikah lagi, sampai membiarkan istri baru mas Dimas tinggal se-rumah denganku.
Tapi aku salah, suami ku semakin menginginkan 'kepergian ku' dari hidup nya.
Lihat lah, Mas Dimas dan si Sarah kampret itu lagi-lagi memadu kasih, seolah dunia ini adalah milik berdua.
Yang lain? Hahaha, hanya menumpang!
Isssshhh, bagi ku yang mereka lakukan begitu menjijikkan! Itu sebab nya aku tidak mau bersentuhan dengan suami ku, hal itu selalu didukung oleh mas Dimas yang tidak meminta jatah nya pada ku.
...*******...
Pagi ini Aku menemani Audrey pergi ke sekolah.
Tapi anak ku terus bertanya seolah khawatir, "Ma, Papa tidak ikut bersama kita ya?"
Aku terdiam sejenak. Subuh tadi, Sarah si kampret itu menga ku sakit perut, jadi Mas Dimas membawa nya ke rumah sakit.
Tapi sampai sekarang, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, mas Dimas belum kunjung menampakkan batang hidung nya.
"Nanti Papa nyusul kata nya."
Audrey dengan wajah lesunya mengangguk. Aku paham apa yang tengah di rasakan anak ku ini. Dia pasti kecewa.
"Papa hanya sebentar kok, nak. Tadi mama Sarah sakit perut, jadi di antar ke rumah sakit." Akhir nya aku mengatakan yang sebenarnya.
Tapi raut sedih di wajah anak ku tak kunjung berubah.
*
Entah kesalahan apa yang sudah ku lakukan di hari lampau, sampai kesialan ini datang kepada ku.
Mas Dimas tidak datang! Tidak peduli jika acara sudah di mulai tepat pukul delapan. Aku berusaha menghubungi mas Dimas, tapi nomor nya tidak aktif.
"Ma, Papa kenapa tidak datang? Kata mama, Papa nyusul?"
Aku tidak tahu apa mas Dimas akan datang atau tidak. Tapi mulut ini berkata, "Tunggu lah sebentar."
Untung saja Audrey mengerti, di buktikan dengan anak ku yang terdiam meski aku cukup paham perasaan nya sangat kesal saat ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!