Siang yang terik ini menjadi saksi perjuangan Diana mencari pekerjaan namun dia tak kunjung menemukannya. Diana yang hanya tamatan SMA tak bisa berharap banyak untuk mendapatkan pekerjaan enak, dari satu toko ke toko lain dia menawarkan diri agar bisa diterima bekerja, tapi semua nihil.
Dengan lelah gadis berambut panjang itu duduk di halte bus, peluh menetes di sekitar pelipis dan lehernya. Dia tak boleh menyerah, dia harus mendapatkan pekerjaan agar bisa menyambung hidup dan mengobati ibunya yang sedang sakit parah.
"Aku harus mencari pekerjaan di mana lagi?" keluh Diana sembari mengusap keringat di dahinya, tenggorokannya terasa kering sebab panas dan berkeringat membuatnya sedikit dehidrasi.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan Diana, kemudian seorang wanita berpakaian seksi dengan dandanan sedikit menor keluar dari mobil tersebut.
"Hai, Diana!" sapa wanita itu.
Diana memicingkan matanya memperhatikan wanita itu, namun kemudian membelalak kala mengingat siapa seseorang yang sedang berdiri di hadapannya saat ini.
"Miranti?" Diana sontak beranjak dari duduknya.
Wanita bernama Miranti yang merupakan teman SMA Diana itu tersenyum lebar saat dia dikenalin.
"Wah, kamu beda banget! Aku sampai pangling dan enggak mengenalimu!" Miranda memeluk temannya itu.
Miranti balas memeluk Diana, "Pantas kamu kayak orang bingung gitu waktu aku tegur."
Keduanya mengurai pelukan dan Diana mengamati Miranti dari bawah sampai atas, "Kamu cantik banget sekarang, kerja apa?"
"Aku penyalur tenaga kerja, Di," jawab Miranti.
Diana terkesiap, "Oh iya? Kerja apa? Kebetulan aku lagi mencari pekerjaan, Mir."
"Kerja di hotel."
"Sebagai apa? Aku cuma tamatan SMA, paling bisa jadi cleaning servis dong!"
"Iya, gitu lah. Antara cleaning servis atau house keeping, deh!"
"Kalau begitu bantu aku, ya? Aku lagi butuh pekerjaan banget!" rengek Diana memohon.
Miranti bergeming sembari memperhatikan Diana dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Mir, gimana?"
"Baiklah, kalau kamu mau pekerjaan. Nanti malam pukul tujuh datang aja ke hotel Grand Luxury, tapi kamu harus berdandan yang cantik dan pakai pakaian yang bagus! Soalnya kita mau bertemu seseorang yang akan memberimu pekerjaan, nanti kita bertemu di sana," ujar Miranti.
"Kenapa bertemunya harus malam, Mir?"
"Karena dia bisanya malam, kalau siang dia ada pekerjaan lain," dalih Miranti.
"Baiklah, aku akan datang. Kalau gitu aku minta nomor telepon kamu, ya?"
Miranti mengangguk kemudian menyebutkan satu per satu nomor dan Diana buru-buru mencatatnya.
"Sampai bertemu nanti malam, ya. Aku masih ada urusan lagi," ucap Miranti.
"Iya, Mir. Terima kasih, ya!"
Miranti tersenyum dan bergegas masuk ke dalam mobilnya, kemudian melesat pergi.
"Akhirnya aku akan mendapatkan pekerjaan!" Diana tertawa senang.
***
Malam harinya, Diana sudah tiba di hotel yang Miranti maksud, dia berdandan cantik dan mengenakan stelan kemeja putih lengan pendek serta rok hitam sebatas lutut. Diana merasa penampilannya ini sudah cukup bagus dan rapi.
Dari kejauhan Miranti berjalan menghampiri Diana, "Hai, Di. Kamu kok pakai baju gini?"
"Kan mau interview, jadi aku pakai pakaian yang rapi seperti ini," jawab Diana polos.
"Enggak usah! Pakai baju biasa aja, ini bukan interview kerja yang formal, kok. Kamu jadi seperti anak magang kalau gini."
Diana mengernyit heran,"Aku kirain ini interview kerja seperti biasanya. Jadi gimana, dong!"
"Kebetulan aku ada bawa baju ganti di mobil, kamu pakai itu aja."
Diana mengangguk, "Ya sudah, deh!"
"Tunggu sebentar!" Miranti kembali ke mobilnya dan mengambil pakaian yang akan dia pinjamkan ke Diana.
Keduanya pun lantas masuk ke dalam hotel berbintang itu dan menuju kamar mandi.
Setengah jam kemudian, Diana sudah berdiri di depan cermin wastafel dengan wajah masam. Dia sudah mengenakan pakaian yang Miranti pinjamkan, namun dia sangat merasa tak nyaman. Bagaimana tidak, pakaian itu sangat terbuka, dia merasa risih sendiri.
"Apa enggak ada baju lain, Mir? Ini terlalu seksi, aku enggak pede!"
"Enggak ada, Di. Tapi kamu cocok pakai ini, cantik banget malah," puji Miranti.
Diana mengamati pantulan dirinya di cermin, dress dengan kerah Sabrina yang memamerkan pundak serta sebagian dadanya memang sangat cantik, tapi dia tak terbiasa memakai pakaian seperti ini.
"Sudah, jangan banyak mikir! Kita harus cepat menemui orang itu, nanti kamu bisa kehilangan pekerjaan kalau kelamaan," desak Miranti.
"Iya-iya, deh!" Diana pasrah.
"Eh, tunggu! Biar enggak gugup, kamu minum dulu!" Miranti mengeluarkan sebotol minuman rasa stroberi dan memberikannya pada Diana.
"Apa ini, Mir?" selidik Diana.
"Cuma minuman soda, sudah cepat minum!"
Diana pun menenggak minuman itu, Miranti menyeringai licik.
"Sekarang kita pergi! Yuk!" ajak Miranti.
Keduanya meninggal toilet dan buru-buru naik lift menuju lantai atas.
***
Diana dan Miranti tiba di depan pintu salah satu kamar hotel, tak lama kemudian pintu itu terbuka setelah Miranti mengetuknya beberapa kali.
Seorang pria berwajah cukup ganteng yang mengenakan kemeja hitam menatap mereka dari balik pintu.
"Hem, Tuan. Ini Diana, yang tadi saya ceritakan," ujar Miranti.
"Silakan masuk!" pinta pria itu.
"Kamu masuk sana! Ingat ya, lakukan apa yang dia suruh, jangan melawan. Nanti kamu akan mendapatkan banyak uang dari dia," bisik Miranti.
"Maksudnya aku langsung kerja?" tanya Diana bingung.
"Iyalah, sudah cepat masuk!" Miranti mendorong pundak Diana.
"Tapi, Mir. Kamu ...." Diana mulai bimbang.
"Mari masuk!" Pria itu kembali bersuara.
Dengan ragu Diana melangkah masuk, dia masih berusaha berpikir positif meskipun perasaannya mulai tidak enak. Entah mengapa dia merasa gelisah, jantungnya berdebar kencang seperti ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya.
"Nama kamu siapa?" tanya pria itu seraya mengunci pintu kamar.
"Diana, Pak."
"Jangan panggil bapak, aku rasa kita seumuran. Panggil Revan aja," pinta pria bernama Revan itu sembari berjalan mendekati Diana.
"I-iya." Diana mundur, perasaannya semakin tak enak, dia kian merasa tak nyaman dan gelisah.
"Malam ini kita akan bersenang-senang, cantik." Revan hendak meraih tangan Diana, tapi dengan cepat gadis itu mengelak dan menghindar.
"Maaf, saya .... ah ...." Diana ingin pergi dari kamar itu, tapi langkahnya terhenti karena mendadak kepalanya terasa pusing dan pandangannya mengabur.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Revan, dia memeluk Diana dari belakang dan menempel dagunya di pundak gadis itu.
Diana merasa sesuatu mulai terpancing, dia merinding tapi masih berusaha melepaskan diri dari pelukan Revan. Namun tentu Revan tak ingin melepaskannya begitu saja, dia semakin mengeratkan pelukannya dan menciumi leher Diana, sehingga membuat gadis itu mendesah sambil memejamkan matanya.
Diana heran kenapa tubuhnya bereaksi aneh saat mendapatkan sentuhan dari Revan, dia seolah ingin meminta lebih padahal hati kecilnya menolak.
Revan semakin melancarkan aksinya, dia mencumbui Diana sampai gadis itu tak bisa menahan diri lagi.
Akhirnya malam itu mereka mengarungi surga dunia dalam kenikmatan, Revan merenggut kehormatan Diana tanpa ada perlawanan yang berarti dari gadis malang itu, karena dia juga sedang dikendalikan oleh hasrat yang memuncak.
Sementara itu di lobi hotel, Miranti tersenyum senang melihat jumlah uang yang tadi siang Revan transfer ke rekeningnya.
"Maafkan aku, Diana! Kamu butuh uang, aku juga," gumam Miranti sinis, Diana tak tahu jika tadi dia sudah mencampurkan obat perangsang ke dalam minuman yang gadis itu minum.
***
Empat tahun kemudian ....
Diana selesai melipat baju terakhir yang dia setrika hari ini dan menyimpannya di dalam keranjang. Dia bergegas meletakkan keranjang itu di sudut ruangan dan beranjak ke depan.
"Bu El, aku sudah selesai. Kalau begitu aku pulang dulu, ya?" ujar Diana sembari mengambil Tote bag nya lalu mencangklong nya di pundak.
"Iya, Di. Besok kalau bisa datang lebih awal, ya! Soalnya ini ada cucian dari customer lagi dan dia minta yang ekspres," sahut Eliana, wanita paruh baya yang merupakan pemilik laundry tempat Diana bekerja.
"Oke, Bu. Sampai jumpa besok." Diana segera meninggalkan laundry yang sudah hampir dua tahun ini menjadi tempat dia mencari nafkah.
Diana berjalan dengan cepat agar bisa segera tiba di rumah yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat dia bekerja. Iya, saat ini dia tinggal di rumah tantenya yang bernama Siska, sejak Om nya meninggal, Tante Diana itu memutuskan untuk kembali ke Indonesia bersama sang putri.
Tak butuh waktu lama, Diana tiba di rumah yang cukup besar dan rimbun, dia membuka gerbang dan melangkah masuk. Tiba-tiba pintu rumah terbuka, seorang balita laki-laki berpipi chubby sontak berlari ke arahnya.
"Bunda!" seru bocah itu girang saat melihat Diana pulang.
"Jangan lari, Dafa! Nanti kamu jatuh!" teriak Siska khawatir, dia berjalan cepat menyusul bocah bernama Dafa tersebut.
"Hai, anak Bunda sayang." Diana berjongkok lalu merentangkan tangan, dan Dafa langsung memeluknya.
"Bunda kenapa lama?" tanya Dafa dengan suara sedikit cadel.
"Tadi Bunda banyak kerjaan, sayang. Kamu nakal enggak hari ini?" Diana balik bertanya.
"Enggak, tanya deh sama Oma." Dafa melepaskan pelukannya dan berbalik menunjuk Siska.
"Hari ini Dafa baik budi, kok. Tadi bahkan dia bantuin Tante buat kue, loh," terang Siska.
Diana menatap Dafa dan pura-pura terkejut, "Oh iya? Kamu bisa buat kue?"
Dafa mengangguk dengan antusias.
"Kalau gitu sekarang kita masuk, yuk! Nanti kita makan kue sama-sama," sela Siska.
"Iya, yuk!" Diana pun menggendong Dafa dan membawa putranya itu masuk ke dalam rumah.
"Sofia sudah pulang, Tan?" tanya Diana saat berjalan bersama Siska.
"Belum, katanya ada pemotretan untuk cover acara yang akan dia pandu. Mungkin pulangnya agak malam," sahut Siska.
Mereka pun masuk ke dalam rumah, dan segera menikmati kue buatan Siska juga Dafa.
"Hem, kue nya enak sekali!" puji Diana ketika Dafa menyuapkan sepotong kue coklat ke dalam mulutnya.
Dafa tertawa girang dan bangga karena sang bunda menyukai kue itu, dia pun ikut memakan kue tersebut dengan lahap.
"Di, kamu benar-benar enggak terpikir untuk menikah dan mencarikan ayah untuk Dafa? Anak kamu juga butuh sosok seorang ayah, kasihan dia." Siska tiba-tiba buka suara.
Wajah cantik Diana berubah murung, dia sedih bercampur kesal setiap kali Siska menanyakan hal ini.
"Aku belum terpikir, Tan. Lagi pula aku enggak yakin ada pria yang mau menikahi wanita seperti aku," balas Diana sedikit mengeluh.
"Memangnya kenapa? Kamu masih muda dan cantik, pasti ada kok pria yang mau menikah denganmu."
"Tapi aku takut dia enggak bisa menerima dan menyayangi anak ku."
"Kamu cari yang baik, dong! Atau kamu mau Tante carikan?"
Diana menatap Siska, membuat wanita paruh baya itu mendadak canggung dan tak enak hati.
"Hem, maaf. Tante enggak ada maksud apa-apa! Tante hanya kasihan pada Dafa, dia butuh seorang ayah."
Diana tersenyum, "Saat ini aku masih ingin sendiri, Tan. Aku ingin menikmati saat-saat bersama Dafa."
"Ya sudah, terserah kamu saja! Tante cuma mengingatkan agar kamu dan Dafa punya keluarga yang utuh, kamu tahu kan gimana rasanya hidup tanpa orang tua yang lengkap?"
Diana mengangguk lesu, "Iya, Tante. Tapi aku pastikan Dafa enggak akan kekurangan kasih sayang."
Sejak kecil Diana hanya tinggal berdua dengan ibunya, sementara ayahnya entah pergi ke mana. Dia bahkan tak tahu seperti apa wujud sang ayah dan di mana rimba nya saat ini, apakah masih ada atau sudah tiada. Tak ada foto atau sekedar informasi yang lengkap, dia benar-benar tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Saat ini dia hanya memiliki Dafa, Siska dan Sofia. Tak ada keluarga lain, sedangkan sang ibu telah menghadap sang pencipta hampir empat tahun yang lalu karena sakit parah.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana cukup sunyi. Diana berbaring menghadap Dafa yang sudah terlelap dari satu jam yang lalu.
Diana mengelus pipi gembul bocah berumur tiga tahun lebih itu, dia memang tak pernah mengharapkan kehadiran Dafa dalam hidupnya, putranya itu ada akibat kesalahan satu malam yang dilakukan pria asing yang sama sekali tak dia kenal. Tapi dia tetap menyayangi darah dagingnya itu melebihi apa pun, karena dia sadar Dafa tidak salah dan merupakan anugerah dari Tuhan yang harus dia jaga.
Diana menghela napas, selama empat tahun ini hidupnya cukup berat. Dia harus berjuang seorang diri demi mempertahankan dan menghidupi Dafa, dia harus menahan sakit atas cemoohan dan hinaan orang karena dia hamil tanpa suami, bahkan dia dianggap wanita ****** pembawa sial dan dikucilkan sampai sang ibu meninggal dunia dan akhirnya dia ditampung oleh Siska.
Namun meskipun dia menyayangi Dafa, tapi dia sangat membenci pria bernama Revan dan juga Miranti yang telah menghancurkan hidup serta masa depannya. Seumur hidup dia tak ingin melihat dua manusia menjijikkan itu lagi.
Tring.
Diana tersentak saat ponselnya tiba-tiba berdering, dia buru-buru meraih benda pipih yang tergeletak di meja nakas itu dan langsung menjawabnya sebelum Dafa terbangun.
"Halo, Mas Raka," sapa Diana.
"Kamu sudah tidur, Di? Aku ganggu enggak?"
"Enggak, Mas. Memangnya ada apa?" tanya Diana heran sebab anak bos nya itu menghubunginya malam-malam begini.
"Besok malam kamu ada acara enggak?"
"Enggak ada. Memangnya kenapa, Mas?"
"Aku mau ajak kamu makan malam, mau kan?"
Diana terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Kayaknya aku enggak bisa, Mas. Anak aku enggak ada yang jaga."
Diana tak mungkin meninggalkan Dafa pada Siska lagi, dia tak ingin terus-terusan merepotkan tantenya itu. Karena dia tahu Siska pasti sudah lelah menjaga Dafa selama dia bekerja.
"Kita bisa ajak dia juga, kok!"
Diana kembali terdiam menimbang-nimbang ajakan dari Raka.
"Ayolah, Di! Besok kan weekend, kita bisa sekalian ajak anak kamu bermain, biar dia enggak jenuh di rumah terus."
Raka tahu jika selama ini Diana dan anaknya tak pernah liburan ke mana pun atau sekedar jalan-jalan ke tempat bermain, sebab Diana sangat sibuk bekerja dari pagi hingga petang.
"Baiklah, Mas. Tapi ajak Bu Eliana juga, ya?" cetus Diana, sebab dia tak mau orang lain berpikiran macam-macam jika mengetahui dia pergi dengan anak atasannya itu.
"Kenapa harus ajak Mama?"
"Biar enggak jadi fitnah kalau kita cuma pergi bertiga," dalih Diana.
"Ya sudah, deh! Nanti aku ajak Mama juga. Kalau begitu aku tutup dulu, ya. Selamat malam dan selamat beristirahat."
"Iya, selamat malam dan selamat beristirahat juga, Mas."
Diana menghela napas setelah panggilan dari Raka terputus. Dia tahu pria itu menyukainya, tapi dia tak ingin memberi harapan, dia juga tak ingin menimbulkan fitnah dan orang-orang akan berpikir negatif tentangnya.
***
Diana, dan Siska sedang sarapan, sementara Dafa masih tertidur pulas di kamar.
"Kamu pagi-pagi sekali perginya, Di?"
"Ada pakaian pelanggan ekspres yang harus aku cuci dan setrika, Tan," sahut Diana dengan mulut yang penuh dengan roti.
"Kamu jangan terlalu lelah, nanti kalau kamu sakit, kasihan Dafa." Siska memperingatkan.
"Iya, Tan."
"Selamat pagi!" Sofia melangkah menuju meja makan dengan riang.
"Selamat pagi," balas Diana dan Siska bersamaan.
"Kayaknya hari ini kamu bahagia banget, ada apa? Kamu dapat tawaran iklan lagi, ya?" tebak Siska.
"Ini lebih dari sekedar tawaran iklan, Ma," sahut Sofia sumringah.
"Oh iya? Terus apa, dong?" Siska penasaran, sedangkan Diana hanya diam menyimak.
"Aku baru jadian dengan produser film yang baru aja mengontrak aku, Ma," beber Sofia penuh semangat.
Siska mengernyit, "Produser film? Sudah tua?"
"Enggak, Ma. Dia masih muda, ganteng dan kaya. Kalau aku sampai bisa menikah dengannya, hidup aku bisa enak."
"Pastikan dulu dia baik atau enggak, Sof. Kaya tapi kalau sifatnya jelek, hidup kamu juga enggak akan bahagia," sela Diana.
Sofia sontak menatap Diana dengan sinis, "He, kamu tahu apa tentang kebahagiaan? Sampai sekarang saja hidup kamu masih enggak bahagia! Punya anak tapi enggak jelas siapa ayahnya!"
"Sofi!" bentak Siska.
Sedangkan Diana sontak terdiam sedih, hatinya tersinggung mendengar cibiran dari sepupunya itu.
"Habis dia sok tahu, Ma. Hidupnya saja masih berantakan, dia berlagak mau nasehati orang lain!" gerutu Sofia.
"Yang dibilang Diana itu benar, kamu harus kenali dulu tabiat pria itu, jangan sampai nanti menyesal!" lanjut Siska.
Sofia tak menjawab, dia memilih untuk diam dan menyantap sarapannya. Sejak dulu Sofia memang tidak menyukai Diana sebab dia kalah cantik dari sepupunya tersebut, apalagi saat dia tahu jika pria yang dia taksir justru menyukai Diana. Ia semakin membenci ibu satu anak itu.
"Tan, kalau begitu aku berangkat dulu. Aku titip Dafa, ya." Diana beranjak dari duduknya.
"Iya, kamu hati-hati," balas Siska.
Diana mengangguk dan bergegas pergi dengan menahan air matanya.
"Sofia, lain kali jangan bicara seperti itu lagi! Kasihan Diana!" Siska memarahi putrinya itu setelah Diana menghilang di balik pintu.
"Kenapa sih Mama selalu membela dia? Terus mau-maunya lagi jagain anak haram itu! Memangnya Mama dapat apa?"
"Sofi! Kamu jangan keterlaluan kalau bicara!"
"Ma, anak yang lahir di luar nikah itu apa namanya kalau bukan anak haram?" kecam Sofia sinis, kemudian beranjak ke kamarnya.
"Ini anak sudah banget dinasehati!" gerutu Siska kesal melihat sikap kasar dan keras kepala putrinya itu.
Sementara itu di perjalanan menuju tempatnya bekerja, Diana berjalan sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh menetes. Kata-kata Sofia tadi begitu menusuk hingga ke relung hatinya.
Diana mengembuskan napas untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. Dia terluka dan sakit hati, tapi dia sadar apa yang Sofia katakan itu benar adanya, dia tak tahu bagaimana rasanya bahagia, kerena sejak kecil dia selalu merasakan kepahitan hidup. Terlebih sampai saat ini dia juga tak tahu siapa ayah dari sang putra, dia hanya mengingat wajah dan namanya saja.
Tak butuh waktu lama, Diana tiba di tempat dia bekerja, Eliana yang melihatnya langsung menyapa dengan ramah.
"Selamat pagi, Di."
"Selamat pagi, Bu El," balas Diana.
Eliana mengerutkan keningnya memperhatikan mata Diana yang basah dan merah, "Mata kamu kenapa, Di? Kamu habis nangis, ya?"
Diana mendadak gugup, "Enggak, kok, Bu. Tadi mata aku kelilipan debu pas di jalan, jadi aku kucek, makanya berair dan merah."
"Ya ampun, jangan dikucek! Cuci pakai air."
"Ini udah enggak apa-apa, Bu," bantah Diana yang berbohong.
"Syukurlah! Oh iya, kata Raka nanti malam kalian mau makan di luar sekalian bawa anak kamu jalan-jalan, ya?"
Diana mengangguk dengan canggung, "Iya, Bu."
"Tapi kenapa harus ajak ibu?"
"Enggak apa-apa, Bu. Biar enggak jadi fitnah kalau kami cuma pergi bertiga," dalih Diana.
"Kalau begitu kalian menikah saja, biar jadi satu keluarga dan enggak menimbulkan fitnah kalau pergi bertiga," sambung Eliana enteng.
"Ibu ini bisa aja!"
"Di, kamu tahu kan Raka itu naksir sama kamu. Dia pasti bisa jadi ayah sambung yang baik untuk anak kamu."
"Tapi saya belum terpikir untuk menikah, Bu."
"Kenapa? Kamu masih muda dan cantik, mau nunggu apa lagi? Kalau kelamaan, entar keburu tua."
Diana hanya tersenyum menanggapi ucapan Eliana, dia tak yakin wanita itu dan Raka masih mau menerimanya dan Dafa jika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Malam pun tiba, Diana sedang merapikan kemeja biru yang Dafa pakai.
"Kita mau ke mana, Bunda?" tanya Dafa yang penasaran.
"Ada teman bunda yang mau ajak kamu makan dan bermain," jawab Diana.
"Asyik!" Dafa melompat kegirangan.
Diana tersenyum dan mengusap kepala Dafa dengan penuh kasih sayang, "Tapi nanti kamu jangan nakal, ya?"
"Iya, Bunda. Aku enggak akan nakal, kok! Tapi Oma ikut, kan?"
"Enggak, sayang. Tapi nanti ada Oma yang lain, kamu harus sopan padanya."
Dafa mengangguk patuh.
"Kalau begitu, yuk kita tunggu teman Bunda di bawah!" ajak Diana sembari menggandeng lengan kecil Dafa.
Ibu dan anak itu melangkah keluar kamar, keduanya tampak kompak dengan balutan baju dengan warna biru cerah.
"Kalian mau ke mana?" tanya Siska begitu melihat Diana dan Dafa.
"Diundang makan malam dengan Bu Eliana dan anaknya," sahut Diana sedikit berbohong, dia tak ingin Siska juga berpikir macam-macam.
"Tumben? Dalam rangka apa?"
"Enggak ada, katanya cuma makan malam biasa aja, kok!"
"Jangan-jangan Bu Eliana mau jodohkan kamu dengan anaknya!" tebak Siska.
Diana tersipu, "Ah, Tante bisa aja!"
"Loh, siapa tahu dia suka sama kamu dan ingin kamu jadi menantunya.
Diana tertawa, dia heran karena tebakan Siska bisa tepat. Dia memang tak pernah cerita ke tantenya itu tentang perasaan Raka padanya dan keinginan Eliana agar dia menikah dengan sang putra.
Tok ... tok ... tok.
Diana dan Siska menoleh bersamaan ke arah sumber suara saat mendengar seseorang mengetuk pintu dari luar.
"Ada yang datang," ujar Siska.
"Mungkin itu anaknya Bu Eliana, biar aku buka, Tan." Diana buru-buru melangkah ke arah pintu.
Diana membuka pintu dan terkejut setengah mati saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Seorang pria cukup tampan dengan postur tubuh tinggi dan berkulit putih bersih, pria yang telah merenggut kehormatan di malam kelam itu. Diana ternganga dengan mata melotot.
Sama dengan Diana, pria yang tak lain adalah Revan juga tak kalah terkejutnya melihat satu-satunya wanita perawan yang pernah dia tiduri itu. Dia masih ingat betul wanita itu dan tak bisa melupakan apa yang telah terjadi meski sudah empat tahun berlalu.
Dari belakang Diana, Sofia muncul dan langsung bergelayut di lengan Revan, "Hai, sayang. Kamu udah datang rupanya!"
Tapi Revan tak melepaskan pandangannya dari Diana, dia bahkan tak menggubris Sofia.
Diana seperti disambar petir saat tahu ternyata Revan dan Sofia memiliki hubungan.
"Yuk kita berangkat!" ajak Sofia.
Revan tersentak dan sontak menatap Sofia gugup, "I-iya."
Keduanya pun bergegas pergi dari hadapan Diana tanpa menegur wanita itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!