Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, Deswita Adriana mencoba untuk berlapang hati menerima ketuk palu pengadilan. Perceraian yang selama ini tidak pernah terbayang bagi wanita yang berusia tiga puluh tahun itu, akhirnya sudah disahkan oleh hakim.
Tak ada lagi kebersamaan, tak ada lagi canda tawa dan pengabdian. Hidup yang selama ini serba mewah, nyatanya harus berakhir saat ini juga.
Tok Tok Tok ....
Suara ketukan palu sebanyak tiga kali, sekali lagi telah mempertegas semuanya. Cintanya, masa depannya, dan juga kebahagiaannya telah kandas, di renggut paksa oleh perempuan muda yang bernama Amira Widani.
Pasca tragedi kabar kehamilan Amira, yang mengandung darah daging Andika Sudarma, suami Deswita, Deswita harus berlapang hati, menerima keadaan. Tak ada pilihan baginya selain mundur dari pernikahan. Rumah tangga yang telah terjalin selama delapan tahun, nyatanya harus kandas sebab orang ketiga yang hadir mewarnai hidup Andika.
Tak terasa, air mata Deswita jatuh, membasahi pipi wanita itu. Kepala yang menunduk, disertai tangan yang sesekali menyentuh matanya, menjadi pertanda bahwa Deswita tengah menangis.
Andika menatap penuh penyesalan, pada wanita yang sudah menemani dirinya selama delapan tahun terakhir. Istri yang dulu ia dapatkan mati-matian, harus menyerah dan mundur dari tahtanya sebagai permaisuri.
"Harusnya kamu nggak usah meminta cerai, Wita. Kita bisa hidup bersama dan menunggu sampai anak Amira lahir. Setelahnya, kita bisa tetap hidup bersama. Kalau kamu nggak suka sama Amira, aku akan meninggalkannya untukmu," ungkap Andika tanpa perasaan. Hati wanita mana yang tak perih?
Kini, keduanya sudah berada di depan gedung, tempat dimana perceraian telah di sahkan. Wita memilih untuk menjaga jarak, sebab ia sudah bukan lagi istri dari Andika.
"Kamu menyakiti aku dan Amira jika begitu, Mas. Pulanglah, aku nggak mau berdebat apalagi membahas rumah tangga yang sudah kandas ini," jawab Amira kemudian.
"Deswita, tunggu," panggil Andika, mencoba untuk meraih tangan mantan istrinya itu. Sayangnya, Wita berusaha menghindar, seraya menghempas tangan Andika.
"Jangan sentuh aku lagi, Mas. Aku nggak mau istrimu di rumah cemburu buta, dan menuduh aku menggoda suaminya, meski sebenarnya dia yang lebih dulu menjadi duri dalam rumah tangga kita. alangkah baiknya kita menjauh saja, saling jaga jarak dan jangan sampai menumbuhkan fitnah," ujar Deswita pelan, namun penuh penyesalan.
Meski berusaha untuk tersenyum, namun, mata wanita itu tetap berkaca-kaca. Hati Andika kian resah sebab rasa bersalah.
"Biar aku antar. Tolong jangan nolak. Anggap aja ini yang terakhir kali. Jangan lupa, ada Kelan Sudarma yang menjadi pewarisku satu-satunya," timpal Andika.
"Saat ini memang iya, tetapi sebentar lagi, anakmu dari Amira akan lahir. Jadi, Kelan bukan satu-satunya anakmu, Mas," Wita menatap sendu Andika, sebelum akhirnya ia berbalik pergi, meninggalkan Andika yang tak lagi mengejar dirinya.
Penyesalan Andika, kini sudah tak ada gunanya lagi. Lelaki itu meratapi kebodohannya yang mudah terjerat pada bunga liar di luar, padahal ia sudah memiliki bunga suci di rumahnya.
Di dalam mobil, Deswita duduk di belakang kemudi taksi online yang ia pesan. Tatapan wanita itu terbuang ke luar jendela mobil, memandang jalanan yang mulai turun gerimis. Entahlah, perasaan gundahnya hari ini, rasanya sangat menyakitkan.
Setibanya di rumah yang ia tempati selama lebih dari dua bulan, Andika sudah menunggunya. Rumah minimalis yang menurut Andika terlalu kecil, menjadi tempat tinggal Wita untuk kedepannya bersama Kelan Sudarma, putranya yang berusia enam tahun.
Andika berdiri di teras, dengan Kelan yang masih mengenakan seragam taman kanak-kanak. Wajah anak itu berbinar, berteriak, "Mama," pada Deswita.
Sungguh teriris rasanya hati, saat Wita melihat anaknya yang masih sangat butuh kasih sayang Papanya. Kelan tidak tahu apapun, tetapi harus menerima imbas dari ketamakan Andika atas perempuan.
"Kelan, pulang sama Papa?" tanya Wita, menghampiri Kelan dan Kelan mencium tangannya penuh takzim. Sebisa mungkin, Wita berusaha menampilkan senyum di depan Kelan, agar anaknya tidak curiga dan banyak tanya padanya.
"Iya, Ma. Mama kok lama sih? Katanya Kelan suruh nunggu di rumah Tante Manda, tapi keburu Papa jemput," Kelan nyerocos, seolah tak peduli pada perasaan kedua orang tuanya.
"Maaf, Mama ada urusan sebentar. Mama janji deh, besok nggak telat lagi jemput," jawab Wita seraya mengulas senyum. Ada banyak hal yang coba Wita pendam, namun Andika tahu persis bagaimana perasaan Wita saat ini.
"Ayo, masuk. Kelan harus mandi dan berganti pakaian. Nanti selepas makan siang, Kelan harus tidur karena Mama harus kerja," ujar Wita kemudian, "Kelan akan sama Mama disini, karena Papa harus pulang. Ada Tante Amira yang nungguin Papa di rumahnya," sambung Wita, melirik Andika.
"Wita, aku masih ingin di .... " Andika tak melanjutkan kalimatnya, ketika Wita menyela dengan cepat. Tatapan wanita itu juga tajam.
"Mas, tolong. Jangan memberi banyak harapan pada anak ini. Ketika kamu memberinya harapan seolah kita masih bisa bersama, maka sama saja kamu menyakiti hatinya lebih dalam," ujar Wita. Wanita itu lantas menatap Kelan, "ayo, Kelan, masuk dulu, Mama ingin bicara sama Papa," ujar Wita pada Kelan.
Bocah lelaki itu lantas masuk, setelah Wita membukakan pintu. Anak itu sedikit curiga, dan serba ingin tahu dengan apa yang akan diperbincangkan orang dewasa.
Selepas Kelan berlalu, Wita mempersilahkan Andika, mantan suaminya itu untuk duduk. Suasana berubah hening, menyisakan gejolak batin di masing-masing dua orang itu. Tak ada lagi senyum, tak ada lagi kehangatan diantara keduanya. Hanya kebisuan panjang yang mendominasi, menjadi sebuah hal yang sangat Andika sesali.
"Deswita, maaf," ungkap Andika dengan tulus. Netranya fokus menatap Wita yang duduk di hadapannya.
"Aku udah maafin, Mas. Sebaiknya kamu pulang daripada harus minta maaf berulang kali. Memaafkan bukan berarti aku mau di duakan. Antara kita udah selesai. Dan ini adalah konsekuensi dari perbuatan kamu sendiri," jawab Wita.
"Aku akan sering-sering datang kemari, Wita. Aku memang bukan suami kamu lagi, tapi kamu harus tahu, cintaku ke kamu nggak berubah," Ungkap Andika, dengan tulusnya. Sayang, Wita sudah tidak tertarik lagi mendengar ocehan Lelaki itu.
Cinta? Cinta nggak akan berubah, kalau nggak mengkhianati. Dasar laki-laki bajingan!
Batin Wita berteriak.
"Aku pamit pulang, jaga diri baik-baik. Kamu boleh marah sama aku, tapi jangan lupa, Ada Kelan yang masa depannya harus kita pikirkan," tambah Andika lagi.
"Aku Ibunya. Aku tentunya lebih tahu mana yang baik dan enggak untuk anakku, termasuk jika harus tinggal satu rumah dengan istri muda kamu. Itulah sebabnya aku memilih mundur, Mas. Aku jauh lebih sayang pada mental Kelan. Pergilah sana, aku mau istirahat," usir Wita, tanpa menoleh sedikitpun pada Andika.
**
Deswita duduk seorang diri di dalam kamarnya. Malam telah larut, dengan rembulan yang bersinar tanpa bintang yang mengelilingi. Jendela kamar Wita terbuka, membiarkan angin malam masuk menabrak wajah dan dadanya secara berkala. Rambut wanita itu diikat diatas kepala, menyisakan beberapa surai anak rambut menjuntai manja di sisi kanan dan kiri wajahnya.
Tatapan wanita itu terus tertuju pada rembulan yang tegak seorang diri, tanpa topangan dari apapun. Maha besar Tuhan yang telah menciptakan segala keindahan semesta.
Sampai saat ini, Wita seolah tak percaya dengan apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Rasanya benar-benar menyakitkan, saat mendapati kenyataan bahwa Andika telah mengkhianati dirinya sekian lama.
Kemunculan Amira Widani, wanita muda yang berusia dua puluh tiga tahun itu menjadi sebuah tragedi dalam rumah tangganya, yang tak terelakkan lagi. Rasanya hancur, tak ada lagi yang tersisa dari hidup Wita selain Kelan. Kelan satu-satunya belahan jiwanya sekarang.
Saya janji, akan membahagiakan Wita hingga kami menua bersama, Pak, Bu. Tolong beri saya izin membawa Deswita ke kota asal saya, setelah saya menghalalkannya nanti.
Wita masih ingat betul akan kalimat Andika kala itu, saat dirinya belum dipinang oleh Andika. Kedua orang tua Wita yang kala itu masih ada, tentu saja memberi izin, sebab Wita bahagia bersama Andika. Apa lagi memangnya yang bisa orang tua lakukan, selain memikirkan kebahagiaan dan kebahagian anaknya.
Kini, Wita akhirnya terluka karena harus menyingkirkan diri dari hidup Andika. Mungkin, setelah Amira melahirkan, Andika tak akan mengingat Kelan lagi. Itulah bayangan dalam otak wanita itu.
Mendapati fakta ini, hati Deswita serasa dihujam oleh bambu runcing tak kasat mata.
Pintu di ketuk dari luar, selarut ini ada seseorang yang datang mengunjunginya. Satu-satunya orang yang ada dalam perkiraan Wita, pasti dia adalah Andika. Tidak salah lagi. Lelaki itu tak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang ia mau.
Wita lelah. Harusnya Andika memberi jeda dirinya untuk beristirahat. Alih-alih istirahat, Andika justru datang dan terus menerus membuat kekacauan dalam hidup Wita.
Ingin rasanya Wita mengabaikan suara ketukan pintu, jika saja ketukan pintu itu berhenti. Sayangnya, suara ketukan pintu terus terdengar di telinga Wita, hingga membuat Wita risih sendiri dibuatnya.
Tak ingin berlama-lama menunggu, Wita memutuskan untuk membuka pintu, dan menerima saja siapa tamu yang datang mengganggunya di malam yang telah larut ini.
"Ngapain kamu masih disini, Mas? Bukannya harusnya kamu tidur di rumahmu?" tanya Wita dengan tatapan matanya yang tajam, ketika ia membuka pintu, "kamu nggak lihat, malam udah larut? Aku nggak mau ada tetangga yang tau dan menimbulkan fitnah."
"Aku nggak bisa tidur, Wita," jawab Andika dengan suara santai.
"Terus, aku harus nina bobo kamu, gitu? Pulanglah, Mas. Kalau terjadi sesuatu, ada Amira yang bisa kamu mintai tolong. Tanggung jawab mengurus kamu dan ketololan kamu, sudah menjadi beban Amira," jawab Wita dengan suara sarkas. Amira hanya tidak mau, semua akhirnya berantakan sebab kebodohan Andika.
"Kamu nggak tahu gimana perasaanku, Wita. Kamu masih marah, it's okay, aku nggak masalah. Beri aku hukuman, tapi tolong jangan begini. Aku khilaf di masa lalu, tolong beri aku kesempatan sekali lagi setelah ini, setidaknya setelah Amira melahirkan," jawab Andika dengan tidak tahu malu.
"Nggak ada yang bisa menandingi kebodohan kamu saat ini, Mas. Aku pikir semakin bertambahnya usia, kamu akan semakin ngerti dan bertanggung jawab. Nyatanya, kamu semakin bodoh. Nasi udah menjadi bubur, aku nggak bisa menerima kamu lagi. Mari hidup masing-masing dan jangan mengganggu aku lagi," ujar Wita kemudian.
"Aku masuk," balas Andika seraya menerobos masuk dan menabrak bahu Deswita. Mendapati fakta ini, Deswita mendengus kesal.
"Kamu nggak ada bosan-bosannya ya, Mas, menyakiti hati aku?" tanya Wita kemudian, dengan nada getir, "Kamu janji ke Bapak dan Ibu di kampungku, kalau kamu bakalan bahagiakan aku. Tapi nyatanya? Bahkan perceraian ini pun, aku Nggak memiliki nyali untuk jujur sama Bapak dan Ibu," sambung Wita.
"Tolong jangan katakan apapun lagi," spontan Andika mengunci tubuh Deswita dalam pelukan. Pintu masih terbuka, dan Wita cemas ada siapapun yang melihatnya hingga menimbulkan fitnah. Tidak, jelas Wita tidak mau.
"Lepas!" pinta Wita dengan nada marah. Sayangnya, Deswita tak berdaya sebab tenaga Andika jauh lebih kuat dari tenaganya. Sekuat apapun dirinya meronta, tetap tidak akan bisa mengalahkan Andika.
"Aku minta maaf, Wita. Maaf. Tolong beri aku kesempatan aku untuk memperbaiki semuanya. Beri aku hukuman, asal jangan menuntut perpisahan. Aku nggak bisa kalau harus jauh dari kamu, aku nggak bisa," lirih Andika tak berdaya.
Sejenak, Wita terpaku, mendengar nada suara mantan suaminya yang terdengar lirih dan penuh keputusasaan.
"Apa kurangnya aku ke kamu, Mas? Setiap hari mempercantik diri, merawat kamu dan Kelan dengan baik, bahkan aku sedang dalam proses program untuk hamil adik Kelan. Tapi semua yang aku perkirakan salah besar. Kamu justru menghamili wanita lain dan nggak mikir efeknya bisa sedahsyat ini. Kamu memang nggak ada otak!" umpat Deswita seraya memecahkan tangisnya.
Andika kian tidak tega, dan memeluk Wita dengan erat. Hati lelaki itu juga sakit, melihat Wita yang demikian rapuh dalam pelukannya. Bahkan kaos Andika yang berwarna putih, telah basah oleh air mata wanita yang sangat ia cintai itu.
Papa Kelan itu diam, tak menyahut sama sekali dan terdiam menerima umpatan kasar mantan istrinya. Hanya kata maaf yang bisa ia ucapkan berkali-kali, pada wanita yang sangat ia cintai itu.
Jika boleh jujur, cinta yang sesungguhnya di miliki oleh Andika, hanyalah untuk Deswita. Dari dulu hingga sekarang, dan pasti hingga nanti di masa tuanya. Skandal bersama Amira, hanyalah didasari oleh nafsu semata. Wanita muda itulah yang terlalu terbawa perasaan oleh rayuan asal-asalan yang dilontarkan oleh Andika.
Andika pun terhanyut, bermaksud hanya sekadar bermain-main saja tanpa serius. Siapa sangka, akhirnya Amira hamil? Dasar bodoh. Bahkan Andika ingat betul, jika saat itu Amira mengatakan bahwa ia memakai alat kontrasepsi. Andika di jebak.
"Aku mencintai kamu sampai kapanpun, Deswita. Tolong maafkan aku. Aku janji, aku akan memperbaiki semuanya. Amira nggak mungkin ada disisiku selamanya. Cintaku dari dulu sampai nanti, cuman buat kamu. Aku bersumpah. Aku bersumpah," lirih Andika.
Hingga kemudian tanpa senagaja, netra Andika menangkap sosok istri mudanya tengah berdiri di ambang pintu, menatap ke arah dirinya dan Wita yang tengah berpelukan. Amira juga tahu, bahwa Wita menangis. Wanita hamil muda itu juga tahu, ungkapan hati dan umpatan kasar Wita baru saja, serta isi hati Andika yang Andika ucapkan.
"Maafin Amira, mbak Wita," lirih Amira yang ikut menangis, sebab digulung rasa penyesalan.
**
"Maafin Amira, mbak Wita."
Amira Widani, istri muda Andika Sudarma yang masih berusia dua puluh tiga tahun itu, mencicit lirih dengan suara yang seolah tercekat di tenggorokan. Wanita itu gemetar dengan wajah yang nampak pucat. Tak ada polesan make up sedikitpun. Tak ada aura cerah yang sedikitpun terlihat di mata Deswita.
Entah sejak kapan Amira berdiri di ambang pintu, menyaksikan drama pemaksaan Andika pada Wita untuk tetap menerima cintanya. Hati wanita yang tengah hamil muda itu terasa nyeri seketika. Jujur saja, sebenarnya Amira tidak berhak terluka, sebab dirinya lah yang menjadi sumber luka bagi semua orang.
"Amira, ngapain kamu membuntuti saya? Kamu sengaja, ya?" tanya Andika kemudian, tanpa berniat melepaskan Wita untuk jauh darinya. Lelaki itu seolah sengaja menggenggam erat tangan Wita, agar Amira tahu bagaimana perasaan lelaki itu.
"Aku, aku takut sendirian di rumah," jawab Amira seraya menunduk, tak berani menatap Andika sedikitpun.
"Takut di rumah, tapi keluyuran di luar tengah malam," timpal Andika dengan nada sarkas.
"Kamu sendiri keluar tengah malam demi ketemu sama perempuan yang bukan istri kamu. Kamu sadar nggak sih, Mas? Aku hamil dan kamu selalu menyalahkan aku," Amira mencoba untuk berani.
Andika maju empat langkah, menghampiri Amira dengan tatapan matanya yang tajam seraya berkata, "karena dari awal pernikahan ini udah salah, Amira. Kamu tahu dan saya sudah gamblang mengatakan, kalau saya udah beristri. Tapi kamu membohongi saya!" seru Andika.
"Membohongi bagaimana, Mas? Aku nggak pernah membohongi kamu," jawab Amira gemetar, sebab menangis.
"Kamu bilang kamu pakai kontrasepsi, tapi nyatanya tidak, kan? Dasar pembohong," jawab Andika.
"Tapi kamu menikmatinya," ujar Amira, dengan nada bicara yang meninggi.
"Dan saya hanya bermain dengan kamu. Sayangnya, saya terjebak oleh wanita murahan seperti kamu. Saya memang salah sudah mengkhianati Deswita, tapi saya tidak pernah memiliki niatan untuk berpisah darinya. Ingat satu hal untuk saat ini, Amira, cinta saya, hanya untuk Deswita, bukan kamu," tegas Andika, membuat hati Amira merasakan nyeri luar biasa.
Beginikah rasanya menjadi istri kedua? Amira pikir, dirinya bisa menjadi ratu di rumah Andika yang super besar itu. Tetapi sayangnya, dirinya tak lebih dari sekadar pesakitan yang penuh dengan derita. Tidak dianggap dan dinikahi sekedar formalitas belaka.
"Lebih baik kalian pulang dan selesaikan urusan kalian di rumah kalian. Ini sudah tengah malam. Kelan juga pasti terganggu tidurnya jika kalian berdebat di sini," usir Deswita pada sepasang suami istri di depannya itu.
Andika sendiri menatap tajam Amira, membuat Amira berbalik dan pergi tanpa pamit pada pemilik rumah. Deswita menatap punggung wanita yang tengah hamil enam bulan itu.
"Kamu nggak punya rasa tanggung jawab, Mas. Gimana pun juga, Amira itu istri kamu, dia mengandung anak kamu," ujar Wita, selepas Amira benar-benar telah pergi dari rumahnya.
"Tapi saya nggak mencintainya, Wita. Kamu harus tahu ini," sanggah Andika yang memang tidak mau disalahkan, "lagipula gimana bisa kamu mengatakan saya nggak tanggung jawab? Dia sudah saya nikahi, saya penuhi kebutuhannya."
"Ini bukan perihal tanggung jawab materi semata, tetapi juga kasih sayang kamu dan perhatian kamu, pasti Amira membutuhkannya," sahut Wita, menatap tajam mantan suaminya itu.
Wanita itu tidak habis pikir dengan sikap Andika yang dingin pada Amira. Tak dipungkiri, Wita sangat kecewa pada Andika, dan sedikit banyak benci pada Amira yang telah merebut suaminya dari dirinya dan Kelan. Tetapi terlepas itu semua, Amira juga wanita, sama seperti Wita. Wita tak sampai hati melihat Amira diperlakukan demikian oleh Andika.
"Jangan membela dia, Wita. Suatu saat kamu akan mengerti, bagaimana perasaan saya ke kamu," ujar Andika lirih, berbalik pergi.
Dengan cepat, Wita menutup pintu, dan menguncinya dari dalam. Malam ini yang tadinya Wita nikmati dengan kesendirian, kini terpaksa harus diwarnai dengan cekcok mantan suami dan istrinya itu.
**
Di dalam kamar tamu yang ditempati oleh Amira, Amira duduk termenung seorang diri. Ada banyak hal yang beberapa hari ini menjadi beban pikiran wanita muda itu.
Pertemuan tak sengaja dengan Andika Sudarma, pria kaya raya yang menjadi incarannya, membuat Amira merasa seperti kejatuhan durian nomplok. Ada kasus yang Amira tutupi, hingga ia tak memiliki pilihan lain selain menyerahkan diri pada Andika, dan menggadaikan masa depan demi sebuah keamanan dirinya secara pribadi.
Jujur saja, Amira mulai tertekan setelah Andika berpisah tempat tinggal dengan Deswita, mantan istrinya itu. Awal ia menjadi istri kedua Andika, semua masih dalam kendali dan baik-baik saja.
Puncaknya ketika seminggu sebelum Andika resmi bercerai, tepatnya sembilan hari lalu. Andika marah-marah pada Amira, dan menyumpah istri mudanya itu dengan kata-kata kasar.
Amira harus bertahan, demi kebaikan dirinya dan anaknya, meski ia bisa dikatakan egois, sebab harus mengorbankan Deswita dan Kelan di sini.
Andika?
Dia juga korban Amira sebenarnya.
"Jangan ulangi kebodohanmu dengan datang ke rumah Deswita lagi, Amira. Saya tidak segan-segan untuk menceraikan kamu, dan mengambil alih pengasuhan anak itu sebelum saya benar-benar membuang kamu. Kalau kamu nurut, kamu akan selamat. Tetapi jika kamu mengulang kesalahan yang sama, kamu tentunya mengenal siapa saya. Saya tidak suka bermain kata yang sama untuk yang ke dua kalinya!" Seru Andika dengan suara yang khas dan dalam.
"Mas, kamu nggak kasihan sama aku?" tanya Amira lirih, berusaha meraih iba suaminya.
"Kamu pikir kalau saya nggak kasihan sama kamu, saya akan menggeser Wita dengan kamu di rumah ini. Ingat, posisi kamu hanyalah tamu sementara di rumah ini. Selebihnya, pemilik rumah ini adalah Deswita dan Kelan," tumpal Andika dengan cepat.
"Tapi aku juga mengandung anak kamu, Mas. Kamu nggak bisa membeda-bedakan Kelan dan anak ini," bantah Amira dengan cepat.
"Kamu berani membantah saya? Jangan berulah. Sedikit demi sedikit, tabir kebohongan dan apa yang kamu sembunyikan dari saya, akan terungkap perlahan. Tinggal menunggu waktu sampai semua hal yang kamu sembunyikan dari saya, terungkap," ujar Andika dengan menatap tajam Amira.
Jantung Amira terasa di hentak seketika. Wanita itu takut setengah mati. Tanpa sadar, wajahnya sudah seputih kertas. Pucat dan mengisyaratkan ketakutan yang nyata.
"Mas, ap, apa yang kamu ... katakan?" tanya Amira dengan gugup.
"Kamu pikir kamu bisa menipu saya? Dengarkan ini baik-baik. Kamu salah memilih laki-laki untuk bisa kamu bodohi. Camkan itu. Nggak salah kalau pada akhirnya, saya meletakan kamu di kamar tamu. Kamar utama terlalu suci untuk wanita ular seperti kamu!" seru Andikaa sebelum berlalu pergi, meninggalkan Amira yang membeku di tempatnya.
Amira ketakutan, takut jika kebohongan dirinya terungkap dengan cepat.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!