Saat mereka datang untuk memberitahuku, aku sedang berada di salah satu taman bersama Devan, berusaha memahami sebuah peta lahan istana berusia tiga ratus tahun. Kami duduk di sebuah bangku batu,gulungan kain rapuh itu tergeletak di antara kami. Namun, alih-alih menikmati pemandangan taman, kami duduk menghadap benteng kelabu yang memisahkan ujung utara lahan istana dengan jalanan Vivaskari.
“ Tak mungkin ada di sana,” ujar Devan.
“ Lihatlah, Diana.”
Aku mendongakkan kepala dari peta & mengikuti arah jari Devan yang menunjuk dinding luas di hadapan kami. Setelah mendapat perhatianku, Devan berdiri dari bangku & berjalan menghampiri dinding. Dia menghantam dinding dengan kepalan tangannya, lalu meringis jenaka. Aku memutar bola mata.
“ Kau lihat?” ujarnya.
Di sini tak ada apa-apa. Apa kamu yakin, Tuan putri yang bijak & keras kepala, sudah membacanya dengan benar?”
Aku mendesah Frustrasi. Devan benar. Kami sudah memeriksa bagian benteng ini selama lebih dari satu jam, mencari celah atau lekukan apa pun yang mungkin menandakan kehadiran sebuah pintu rahasia, tanpa membuahkan hasil.
“ Menurut peta, kita sudah berada di tempat yang benar. Setidaknya, menurut bagian yang kupahami.”
Aku menyisir rambut dengan tangan, menarik beberapa helai rambut cokelatku yang terlepas hingga tergerai di leher.
“ Huruf-huruf yang ada di bagian bawah itu. Aku sudah mencari ke sana kemari, tapi aku tak bisa menemukan apa pun yang memyerupainya. Itu bukan bahasa modern yang kukenal, atau bahasa kuno.
“ Dan itu benar-benar mengesalkan, karena aku menguasai empat bahasa modern dengan sangat baik, sedikit-sedikit mengenal enam bahasa lainnya, Dan cukup banyak bahasa kuno yang setidaknya bisa kukenali saat membacanya. Namun huruf… rune ini, aku tidak bisa memikirkan kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan tulisan acak-acakan itu, benar-benar membingungkan.
Namun, aku memang belum menanyakannya pada orang lain, bahkan para pustakawan yang seharusnya menyimpan peta. Ini sebuah misteri, yang kutemukan bersama Devan, dan kami bertekad untuk mencari tahu sendiri jawabnya.
“ Artinya bisa macam-macam,” lanjutku.
” Bisa saja artinya, kebalikan dari semua yang baru kamu baca. Lagi pula, lokasi pintu Raja Ardan memang seharusnya rahasia.”
Kami sudah berusaha menemukan pintu Raja Ardan sejak badai salju yang terjadi pada musim dingin kemarin & memerangkap seisi kota di dalam rumah selama berhari-hari. Meskipun aku tidak keberatan untuk duduk-duduk di depan perapian salah satu aula istana sambil membaca buku, Devan tidak tahan terkurung di dalam. Dan karena aku sahabatnya, maka tugaskulah untuk membantu Devan menghabiskan energinya yang tidak terbatas.
Jadi kami menghabiskan sebagian besar dari empat hari terkurung salju itu dengan menjelajahi istana yang, karena berusia lebih dari enam ratus tahun, memiliki cukup banyak tempat menarik untuk menyibukkan kami selama empat puluh hari. Tempat yang paling disukai Devan adalah ruang senjata, tempat dia bisa mengamati senjata para raja & ratu yang sudah wafat, dan tempat kami menemukan sebuah ceruk kecil yang tersembunyi di balik perisai milik kakek. Di dalam ceruk itu terdapat sebuah belati, panjangnya tidak lebih dari pergelangan tangan hingga ujung kuku jariku. Belatinya polos dan, karena kami beranggapan tidak ada seorang pun yang kehilangannya selama beberapa ratus tahun terakhir, Devan mengambilnya.
Namun, penemuan yang paling menarik kami dapatkan saat berada di perpustakaan. Setelah menjelajahinya selama dua hari, aku merasakan keinginan yang sangat kuat & nyaris tak terbendung untuk membaca sesuatu, apa pun, dan aku sudah bertekad untuk menghabiskan setidaknya satu jam di perpustakaan istana. Devan, meskipun cukup mampu dalam urusan pembukuan & belajar.
Assalamualaikum.. maaf akun author g bisa di buka, jadi putri palsu aku pindah ke akun ini…Smg suka, jangan lupa di like & beri masukan yah🙏🥰🌹
Devan Memiliki kesabaran yang sangat rendah untuk duduk sambil membaca. Meskipun begitu dia tetap mengikutiku, seraya protes sepanjang waktu. Saat kuberitahu dia tidak perlu ikut, Devan hanya mengedikkan bahu & tetap mengikutiku. Namun itu tidak aneh kami bersahabat, kami melakukan semuanya bersama-sama. Devan menyeretku ke dalam hal-hal yang tidak kulakukan tanpanya, mengeluarkanku dari cangkanku yang pemalu & tertutup, & aku memastikan dia membaca buku sesekali.
Aku ingin membaca sebuah buku yang membahas tentang sejarah sihir bangsa thorvaldor. Jilid yang kuinginkan yang membahas sejarah selama rentang waktu lima ratus tahunan tapi berisi teori-teori sihir yang sekarang di anggap ketinggalan zaman, berada di atas rak sebuah ruang kecil di bagian paling belakang perpustakaan, tersimpan di atara koleksi gulungan & peta usang meskipun aku tidak punya sihir apa pun selama empat ratus tahun tidak ada seorang anggota keluarga kerajaan pun yang memiliki sihir aku tetap takjub dibuatnya. Bukan berarti aku punya cukup banyak waktu untuk mengabdikan diri dalam urusan itu, selalu banyak urusan yang lebih mendesak untuk dipelajari seorang putri. Namun, aku membaca apa pun yang bisa kubaca, bahkan saat aku tidak memahami semua isinya.
Aku sedang duduk di depan meja rendah yang di letakkan di bawah jendela, berusaha memahami kalimat-kalimat misterius, saat tiba-tiba mendengar sebuah benturan & mendongak tepat saat hujan abu melayang dari ruang kecil tempat aku menemukan buku. Aku melirik sekeliling, yakin akan melihat seorang pustakawan yang bergegas datang untuk menyelidikinya, tapi tidak ada. Jadi aku cepat-cepat masuk ke ruang itu & melihat Devan berdiri di dalam tumpukan gulungan dokumen & buku setinggi lutut.
“ Aku hanya melihat-lihat,” protes Devan sebelum aku sempat mengatakan apa pun.
“ Bukunya jatuh sendiri! “
Sambil cemberut padanya, aku menunjuk tumpukan buku. “ Bantu aku membersihkan semua ini sebelum Leonas datang.” Leonas adalah kepala pustakawan istana, & seorang pria yang memiliki pendapat tersendiri mengenai cara memperlakukan buku, bahkan buku-buku yang tidak pernah disentuh siapa pun selama bertahun-tahun.
Kami bekerja dengan cepat, sambil terus mengawasi pintu, & hanya tersisa tiga buku untuk dikembalikan saat aku tiba-tiba terdiam. Salah satu gulungan jatuh dalam keadaan terbuka, benang rapu. Yang mengikatnya putus saat menghantam lantai, & memperlihatkan gambar lahan istana. Awalnya, aku hanya melihat tulisan di sekeliling gambar, tapi ada sesuatu yang menarik mataku, & saat melihat lebih dekat, aku harus menelan ludah agar tidak terkesiap.
“ Kembalikan buku-buku itu ke raknya,” aku memerintahkan.
Devan, yang menggenggam dua buku terakhir, menyimpannya ke atas rak “ Apa itu?”
“ Nanti kuberitahu,” gumamku. Kakiku terasa gemetar akibat penemuan ini, & kuharap aku bisa keluar dari perpustakaan tanpa terjatuh atau tersandung sesuatu.
“ Cepatlah.” Kemudian, aku mengepit peta yang digambar di atas sebuah gulungan yang lebih menyerupai kain daripada kertas, & keluar dari ruangan kecil itu.
“ Apa kau takkan mengembalikannya?” Devan bertanya saat kami melewati meja yang tadi kupakai untuk membaca, bukuku masih tergeletak di sana, tapi dia terdiam saat aku memelototinya. Kami berhenti sejenak di balik sebuah rak dekat pintu masuk menunggu seorang pustakawan berlalu, lalu menyelinap keluar. Tatapan Devan tidak pernah berpaling dariku, berbeda denganku, Devan nyaris tidak perlu berkonsentrasi untuk berjalan tanpa menarik perhatian, mengingat berbagai trik yang digunakannya. Akhirnya, saat kami sudah melintasi tiga koridor, Devan merasa geli.
“ Kudengar bahkan para putri pun tidak di izinkan untuk mengambil buku dari perpustakaan tanpa seizin Leonidas.”
“ Apa kamu sungguh-sungguh ingin menceramahiku soal melanggar aturan?” tanyaku. Jantungku berdebar kencang, karena serunya penemuanku & karena tindakan nekadku. Namun Devan benar, aku belum pernah melakukan hal semacam ini. Selama ini, Devan yang menyeretku ke dalam kenakalan. Sebelumnya aku gadis yang baik, pendiam, & taat pada aturan.
Sang putri yang sempurna, kecuali sifat canggung & pemalu yang terkadang keterlaluan.
Devan menyeringai, matanya berbinar.
“ Jadi Apa itu?”
Aku tidak sanggup mencegah seringai serupa yang mencengkeram wajahku sendiri.
“ Kurasa ini pintu ke kerajaan Raja Ardan.”
Pencarian pun dimulai. Raja Ardan, aku menjelaskan pada Devan, memerintah selama masa bergejolak dalam sejarah Thorvaldor, sebuah era saat berbagai rencana jahat untuk menggulingkan pemerintahannya tumbuh subur, oleh karena itu, beliau memerintahkan penyihir terbaiknya untuk menciptakan sebuah pintu sihir rahasia pada dinding luar istana agar dia bisa melarikan diri saat di serang. Namun, menurut tulisan misterius karya sang penyihir, keadaan sudah damai saat pintunya selesai dibangun & tidak pernah digunakan. Meskipun begitu, Raja Ardan tetap seorang pria yang penuh rasa curiga, & dia hanya menceritakan pintu ini pada beberapa orang saja. Setelah kematiannya, lokasi pintu rahasia terlupakan.
Nah, peta itu, yang selama berabad-abad juga terlupakan di dalam tumpukan bacaan yang tidak diinginkan, membuatku sakit kepala. Aku memejamkan mata untuk menghalau teriknya matahari.
“ Ini rahasia yang benar-benar hebat,” gumanku.
“ Tak heran Raja Ardan tidak keberatan salah seorang penyihirnya membuat peta, itu pun jika mengetahuinya. Tak ada yang bisa membacanya, jadi apa salahnya?”
“ Mungkin itu sebuah kode. Atau sebuah bahasa sihir,”
Devan memberi sebuah masukan sambil mencabut sehelai daun muda yang menghijau & memutirnya diantara jemari. Dengan cuek dia bersandar pada batang pohon berukuran raksasa yang menaungi kami, rambut pirang gelapnya tergerai ke wajahnya, gambaran sempurna seorang bangsawan santai.
“ Mungkin,” kuakui.
Devan menggembungkan pipi sambil mengembuskan napas, “ Kau yakin kita ada di tempat yang benar? Karena di sisi lain dinding ini hanya ada jalan kota. Apa untungnya membuat sebuah rute pelarian sihir kalau kau tetap berada di dalam kota setelah melewatinya?”
” Yah, kota ini berukuran lebih kecil saat Ardan bertahta sebagai raja. Dulu ada hutan terbuka di sisi lain dinding ini. Tapi ada usaha pelebaran besar-besaran selama kepemimpinannya”
Aku pasti akan melanjutkannya, tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya lebih lanjut, karena suara kaki menginjak bebatuan kecil di atas salah satu jalan setapak taman menarik perhatianku.
Saat melirik ke balik pundak aku melihat paman Ronald kepala rumah tangga kerajaan, melintasi taman untuk menghampiri kami. Paman Ronald seorang pria tua, rambut kelabunya dipangkas hingga menyapu pundak dengan gaya kuno. Dia sudah menjadi kepala rumah tangga kerajaan sejak era nenekku, lalu ayahku. Pria itu selalu bersikap baik padaku, & salah satu kenangan pertamaku bersamanya adalah saat dia menyelundupkan permen sambil mengedipkan sebelah mata padaku dalam sebuah seremoni yang sangat membosankan.
“ Selamat pagi, yang mulia,” paman Ronald berkata resmi saat tiba di depan kami.
Aku tersenyum padanya. Senyuman kecil, bibirku tetap rapat, bukan karena aku tidak menyukai paman Ronald, tapi karena hanya sedikit orang selain Devan yang sanggup membuatku tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi. “ Selamat pagi, paman Ronald.” Sambil bicara, dengan santai aku menyelipkan peta sampai tersembunyi di belakang tubuhku agar Ronald tidak melihat isinya. Lagi pula, ini rahasia kami, rahasiaku dengan Devan.
“ Orangtuamu menunggu kehadiranmu di Aula Thorvaldor,” lanjut paman Ronald.
“ Mereka memintamu datang secepatnya.”
Keningku berkerut, tatapanku beralih ke pangkuan. Matahari terasa hangat di pundakku, aku mengingatnya di kemudian hari, & bangku batu terasa keras di bawah tubuhku.
Seekor serangga belang-belang merangkak di atas rumput, berhenti karena kebingungan saat mendapati jalannya terhalangi oleh kaki kiriku.
Aneh sekali, batinku, orangtuaku ingin menemuiku di Aula Thorvaldor sebelum tengah hari, & aneh sekali mereka mengutus Ronald untuk mencariku. Biasanya orangtuaku sangat sibuk hingga kadang-kadang aku tidak bertemu mereka selama berhari-hari.
Jika ada salah ketik atau typo, author mohon maaf sebesar- besarnya🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!