Katanya, keluarga adalah rumah tempatmu pulang. Mereka akan menyambutmu dengan tangan terbuka dan pelukan hangat, disertai sajian lezat mengenyangkan. Namun, mengapa tidak berlaku untuk Hara? Rumah itu bahkan enggan untuk ia singgahi. Meski bagian dalamnya terlihat mewah sekalipun, Hara tetap menolak dengan tegas. Yah, hidupnya memang tidak seberuntung mereka yang memiliki keluarga harmonis. Hara yakin, hunian mereka kerap dipenuhi obrolan hangat dan tawa riang. Tidak lupa meluangkan waktu untuk jalan-jalan rutin di akhir pekan, melakukan piknik di dekat sungai Han, ataupun hanya sekedar di depan televisi menonton film kesayangan. Jujur, Hara sangat iri.
Pun katanya, menginjak usia 22 tahun adalah masa transisi menuju kedewasaan. Dulu Hara tidak mengerti apa artinya dewasa. Yang ia tahu saat itu, menjadi dewasa yaitu melakukan tindakan tabu yang hanya bisa dilakukan orang-orang berusia 21 tahun ke atas; merokok, minum alkohol, berciuman, dan melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Ya, benar, itulah yang ia pikirkan. Memang bodoh dan sempit sekali pola pikirnya kala itu. Hingga akhirnya Hara mengalami sendiri fase yang diimpikan kebanyakan anak kecil. Aku ingin cepat besar. Aku ingin menjadi orang dewasa. Hey, Nak. Percayalah, kau akan menyesalinya nanti.
Di usia ini, kau tidak lagi mengalami permasalahan cinta ala anak remaja, bertengkar dengan teman karena tidak diajak main, atau uring-uringan karena tidak dibelikan barang yang kau inginkan pada orangtuamu. Oh, ayolah. Permasalahan yang akan kau hadapi jauh lebih besar dan lebih berat dari ini. Dan kau pasti akan menderita sakit yang disebut dengan Mental Illness. Tidak perlu heran jika dokter psikologis maupun psikiatri memberikan diagnosa depresi dengan bermacam istilah yang selalu diakhiri kata disorder.
Seiring berjalannya waktu, masalah lain akan bermunculan perlahan. Tidak peduli berapa besar beban yang harus kau genggam. Yah, mau bagaimana lagi, suka tidak suka harus dihadapi. Kehidupan ini akan terus bergerak maju, bukan? Pun, mau berkata belum siap juga tidak bisa. Lagipula, dirimulah yang setuju untuk lahir ke dunia ini setelah diperlihatkan bagaimana keadaan yang akan kau hadapi sebelum kau lahir. Walaupun terkadang orangtuamu sendiri tidak menginginkan keberadaanmu.
Seperti biasa, pagi ini ruang makan terlihat sepi. Tidak ada aktifitas bagi sosok seorang ibu di dapur yang biasanya membuat sarapan untuk anggota keluarga. Bahkan, tidak ada bekas piring kotor di westafel, atau suara tetesan air mengalir dari keran . Benar-benar sunyi. Seperti tidak ada tanda kehidupan di hunian berlantai dua yang berisikan empat orang di dalamnya.
Mungkin mereka belum bangun. Pikir Hara, mengingat jam masih menunjukkan pukul 06.00 KST. Yang artinya masih terlalu dini jika melakukan aktifitas di negara ginseng ini.
Gadis itu pun tidak ambil pusing. Tanpa berpamitan, ia bergegas keluar rumah meninggalkan suara derit pintu yang memecah keheningan, dan mulai menyusuri jalanan beraspal menuju halte bus terdekat.
Hara selalu berangkat kerja sepagi ini demi mengejar waktu, lantaran jarak dari rumah menuju jalan raya sangatlah jauh. Memakan waktu kurang lebih 20 menit jika berjalan santai---sekalian berolahraga menurutnya. Setelah itu, ia harus menunggu bus yang datang setiap 10 - 15 menit sekali. Kemudian disambung dengan naik kereta bawah tanah penuh sesak di jam kerja.
Sehari-hari Hara menggunakan transportasi umum sebagai sarana perjalanan. Yah, lagipula ia tidak mampu membeli kendaraan pribadi. Cukup memiliki tabungan saja sudah membuatnya bersyukur.
Total 2 jam perjalanan yang Hara habiskan untuk menuju tempat kerjanya. Sudah termasuk antrian panjang kereta bawah tanah, kemacetan di beberapa titik, dan adanya kecelakaan kecil di persimpangan lampu merah tadi---hingga menyebabkan arus lalu lintas sedikit terganggu.
Hara merenggangkan tubuhnya kuat-kuat ke udara, diakhiri hembusan napas panjang sebagai tanda frustrasi---menghadapi kenyataan di hari Senin ini, sebagai budak korporat di perusahaan ternama. Entah bagaimana ia bisa diterima bekerja di sana---di antara kualifikasi saingan yang lebih mumpuni. Namun yang pasti, ia percaya bahwa akan selalu ada setidaknya satu keberuntungan untuk hal yang tidak pernah disangka-sangka.
"Selamat pagi." sapa Hara pada sekuriti di lobi.
"Selamat pagi, nona Shin Hara." balasnya disertai senyum ramah.
Lantas gadis itu mulai menge-tap ID card yang mengalung di lehernya sebagai akses menuju lantai 23---lantai di mana ruang kerjanya berada.
Setelahnya, ia menuju lift yang tidak ada tombol sama sekali di sana. Cukup melakukan scan dengan ID card. Jujur saja, pertama kali bekerja di sana, Hara sangat terheran-heran dengan fasilitasnya. Kecanggihan teknologi yang digunakan tak henti-hentinya membuatnya berkata; Wah, keren. Seiring berjalannya 6 bulan, ia sudah mulai membiasakan diri. Walaupun terkadang masih suka bingung bagaimana cara menggunakan fasilitas tertentu.
Di sela-sela waktu menunggu pintu lift terbuka, terdengar hiruk pikuk karyawan wanita yang histeris menyambut kedatangan seorang pemuda di pintu lobi. Postur tubuh tinggi dibalut setelan jas mewah berwarna hitam, dengan beralaskan sepatu kulit mengkilap berwarna senada, dan yang paling mencolok adalah wajahnya yang sangat rupawan. Karena memang hanya ia yang memiliki rupa bak pangeran di antara karyawan pria di sini.
Pria bernama Nam Jungkook itu merupakan CEO sekaligus pewaris Nam Corp---perusahaan turun-temurun keluarga Nam yang memiliki ketinggian gedung hingga 38 lantai ini.
Tidak heran jika sekuriti dan orang-orang di sana membungkuk hormat padanya. Di samping itu, Jungkook baru kembali menginjakkan kaki di perusahaannya sendiri setelah 2 tahun tinggal di Amerika. Kehadirannya seakan membawa angin segar untuk membangkitkan semangat bekerja. Bagi kaum hawa tentunya.
Sejujurnya, Hara tidak mengenal Jungkook siapa. Ia pun baru bekerja selama 6 bulan di sana. Namun jika Hara perhatikan kembali, bukankah kehidupan Jungkook sangat sempurna di usianya yang ke 23 tahun? Memiliki rupa tampan, anak konglomerat, pewaris perusahaan, dan pastinya memiliki otak cerdas. Siapapun pendampingnya kelak, sudah pasti dari keluarga yang setara dengannya.
Lantaran terlalu asik mengagumi sang CEO muda, suara denting dari lift sampai membuat Hara tersentak. Ia lantas segera masuk ke dalam, menunggu lift mulai beranjak naik perlahan. Sementara Jungkook tengah berjalan menuju lift ditemani sekretarisnya yang merupakan seorang pria---mungkin seumuran dengannya. Entah lantai berapa yang akan ia tuju, lagipula gedung ini adalah miliknya sendiri. Ia tidak perlu memiliki kartu akses untuk pergi ke lantai manapun.
Setibanya di lantai atas, Hara meletakkan tas jinjingnya, dan mengeluarkan segulung kimbap yang ia beli di stasiun sebagai menu sarapan, sembari menunggu jam masuk kantor dimulai. Mereka lantas mengawali hari dengan melakukan meeting pagi terlebih dahulu. Tanpa ia sangka, meeting untuk divisi Strategi dan Pengembangan Operasi Layanan dipimpin langsung oleh Nam Jungkook. Sontak membuat wanita-wanita di ruangan berjingkrak kegirangan. Namun, tidak dengan Hara. Ia justru tengah sibuk memikirkan pekerjaan apa yang akan mereka berikan padanya. Mengingat statusnya masih anak baru.
"Selamat pagi, semua." vokal tenor dari sang CEO, sontak membuat semua mata tertuju padanya. Layaknya tengah dihipnotis, mereka---termasuk Hara---mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari pria begigi kelinci itu.
"Ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Sebagai pemimpin perusahaan, aku ingin tahu kendala apa saja yang dialami divisi Strategi dan Pengembangan Operasi Layanan bagian tim 2. Silahkan dari ketua tim dulu, tolong sampaikan."
"Baik, terima kasih tuan Nam, atas ketersediaannya meluangkan waktu untuk rapat hari ini." Ahn Hyoseop sebagai ketua tim, membuka suara. "Selama beberapa bulan ke belakang, kami menerima aduan dari klien yang komplain. Kata mereka, pelayanannya membosankan dan tidak membantu sama sekali. Maka dari itu kami melakukan pelatihan kembali untuk bagian customer service, dan mengajarkan metode layanan terbaru. Namun, kami masih menguji metode tersebut apakah dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau tidaknya." penjelasan Hyoseop ditanggapi anggukan mengerti dari Jungkook.
Di satu waktu, Hara menyadari bahwa pekerjaan menjadi CEO adalah yang terberat, lantaran harus memahami dan menguasai semua bidang di dalam perusahaannya. Yah, sebanding dengan gajinya juga, sih.
Tanpa terasa 2 jam telah berlalu, Jungkook mengakhiri rapat dengan meminta dikirimkan laporan hasil rapat hari ini. Tentu saja yang membuat laporan tersebut adalah Hara sang anak baru.
***
Di tengah sibuknya mengetik laporan, Hara menghentikan kegiatannya sejenak, lantaran jam sudah menunjukkan waktu makan siang. Ia mencoba mengajak Kim Yeji---rekan kerja yang berada di samping mejanya untuk makan siang bersama. Sayangnya Yeji menolak, lantaran harus menyelesaikan pekerjaannya segera. Tentu saja Hara tidak ingin mengganggunya.
Rooftop gedung menjadi lokasi makan siang Hara kala sendiri. Untungnya di sini sudah tersedia beberapa fasilitas bangku, meja, dan sunblock shade, membuatnya betah berlama-lama dimanjakan pemandangan langit tanpa harus takut kepanasan. Ia pun tetap harus berhati-hati berada di sini, meskipun di sekelilingnya diberikan pengaman. Sungguh, Hara tidak ingin mati sia-sia karena terjatuh dari lantai 38.
"Kita bertemu lagi." vokal dari sang pemilik menyapa indera pendengaran Hara dengan lembut.
Gadis itu memutar tubuhnya, mendapati seorang pria yang baru ia kenal beberapa jam terakhir tengah berdiri di sana, sembari menggenggam sebungkus sandwich dan sebotol kecil susu pisang.
Melihatnya, Hara sampai membatin; Serius, makanan seorang CEO seperti itu?
"Oh, kau di sini, Tuan Jungkook."
"Boleh aku bergabung?" kedua bola matanya mengarah pada bangku panjang yang Hara duduki.
"Ya, tentu saja. Lagipula gedung ini adalah milikmu. Kau tidak perlu izin apapun," Hara menggeser tubuhnya sedikit menjauh guna memberi ruang, meski ia tahu masih banyak ruang kosong untuk Jungkook duduki.
Setelahnya, mereka menyantap makanan masing-masing dalam hening. Sesekali Hara mencuri pandang pada pria di sebelahnya, memastikan kalau Jungkook memang manusia asli dan bukan hantu. Lantaran aneh saja kenapa seorang CEO tidak makan bersama kolega di restoran di jam makan siang ini.
"Ada yang ingin kau bicarakan padaku?"
Hara sontak berpaling, diselimuti rasa panik yang menyapa.
Ia tahu aku mencuri pandang padanya?
"Tidak ada. Hanya penasaran kenapa seorang CEO makan di sini, bukan di restoran dengan kolega." sahutnya cepat.
Samar-samar terdengar Jungkook tertawa kecil. "Kau bilang gedung ini milikku. Aku tidak butuh izin apapun untuk makan di manapun, bukan?"
Hara terdiam. Iya juga, sih.
Suasana canggung pun mulai menemani keheningan mereka setelah selesai menyantap menu makan siang masing-masing. Tidak ada satupun yang membuka suara, hingga Jungkook berucap, "Kau ingat aku?"
Hara sontak mengernyit heran. "Maksudmu?"
"Sudah lama, wajar kalau kau lupa." Jungkook melanjutkan ucapannya tanpa berniat memberi penjelasan pada gadis di sebelahnya.
"Namun ingatlah hal ini," lanjutnya sembari menatap Hara lekat.
"Kau adalah aku."
Hara termangu, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. Namun seberapa keras otaknya bekerja, gadis itu tetap tidak mengerti.
"Eh?!"
...To be continued.......
Malam itu, tepat di masa 2 tahun yang lalu, Jungkook tertunduk geram sembari mengepal kedua tangannya erat-erat menerima makian dari sang ayah. Bukan inginnya hanya diam tak melawan. Pun, tidak ada kekuatan untuk bersikap demikian. Seakan memang sudah nasibnya menjadi anak dari orangtua strict parents. Nam Jiwook beserta sang istri---Ahn Yena---menciptakan tempat bernanung mereka bak camp militer, dengan menerapkan pola asuh otoriter pada sang anak semata wayang.
"Bodoh! Apa hanya ini batas kemampuanmu? Bagaimana kau akan menjalani perusahaan dengan nilai sampah seperti ini?!" Jiwook melemparkan lembaran kertas hasil ujian kuliah Jungkook ke udara. Alih-alih mengatakan; "Tidak apa-apa, kau sudah bekerja keras. Nilaimu juga sudah bagus." ia justru menuntut lebih. Walau sejujurnya mendapatkan nilai B+ bukanlah hal yang memalukan untuk mata kuliah Etika Bisnis. Sebenarnya bisa saja Jungkook mendapat nilai A. Lagipula cukup mudah baginya untuk mendapat nilai sempurna tanpa memandang latar belakang keluarga. Hanya saja, mahasiswa semester 4 Manajemen Bisnis itu kerap absen di setiap mata kuliah tersebut, lantaran tidak suka dengan gaya mengajar sang dosen.
"Ingin sekali aku memberikan nilai F untukmu, tuan Nam Jungkook. Namun aku tetap harus objektif. Nilai absensi hanyalah 20% dari total penilaian."
"Aku salut denganmu, kau mampu menaklukkan tugas dan ujian dengan mendapat nilai tertinggi, meskipun tidak pernah hadir di kelasku."
Bahkan dosennya sendiri mengakui kecerdasan Jungkook yang di atas rata-rata itu.
"Setidaknya gunakanlah otakmu dengan baik," hinaan dari sang ayah masih berlanjut. Tidak ada yang berniat menghentikan sikap keterlaluan Jiwook, meski ada ibunda yang turut menyaksikan dalam diam seakan menonton hiburan.
"Ada alasan yang ingin kau sampaikan, Jungkook?"
Jungkook mengangkat kepalanya perlahan, menatap nanar Jiwook sesaat. Lantas menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak. Mau memberikan penjelasan pun percuma, kedua orangtuanya tidak akan mengerti, pun tidak mau tahu.
"Ini peringatan terakhirku, atau kau akan kukirim ke Amerika." Jiwook meninggalkan ruangan didampingi sang istri, usai mengucapkan kalimat bernada mengancam.
Di sisi lain, Jungkook hanya menghembuskan napas panjang mangamati lembaran kertas yang berserakan di lantai. Sikap Jiwook memang bukan pertama kalinya ketika Jungkook membuat salah di mata sang ayah. Meski sudah terbiasa, bukan berarti tidak meninggalkan luka batin di sana.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun tak ada rasa kantuk menyerang. Meski sudah bergerak tak karuan di atas kasur yang nyaman, Jungkook tetap kesulitan memejamkan matanya.
Rasa sesak dan pengap di dalam kamarnya yang luas, serta hawa panas---walau pendingin udara di sana berada dalam suhu 16 derajat celcius---telah berhasil mengganggu jadwal Jungkook untuk beristirahat malam ini.
Tak mampu lagi menahan, Jungkook memutuskan mencari udara segar dengan berjalan-jalan di sekitar taman kota---usai memarkirkan motor besarnya di pelataran parkir.
Jika pria di luar sana menjadikan alkohol sebagai pelarian, Jungkook memilih menghindarinya demi kesehatan ginjal dan lambungnya di masa depan. Sungguh pria idaman, bukan?
Sesekali Jungkook merapatkan jaket kulit biru dongker yang dipakainya, sebab hembusan angin dingin menyapa tubuhnya tanpa permisi. Ia tetap menyusuri jalan setapak tanpa bersuara meski tidak tahu tujuannya ke mana. Ingin menggunakan fasilitas bermain yang ada di sana pun tidak sesuai untuk usianya. Lantaran kebanyakan diperuntukkan hanya untuk anak kecil.
Di tengah langkah lebarnya, tiba-tiba saja Jungkook berhenti. Arah matanya menuju bangku panjang yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Menangkap siluet seorang gadis tengah menyembunyikan kepalanya di antara lutut.
Jungkook sempat bertanya-tanya, mengapa gadis itu ada di taman sendirian? Terlebih sudah larut malam. Apa yang terjadi padanya?
...To be continued.......
Namun yang pasti, Jungkook tahu gadis itu tidak terlihat baik-baik saja. Maka tanpa keraguan sedikitpun, Jungkook mengarahkan langkahnya menuju gadis tersebut.
Di sisi lain, Hara menyadari kehadiran Jungkook yang berdiri di hadapannya. Dengan perlahan, gadis itu sontak mendongak guna mencari tahu siapa sosok di hadapannya. Hara mengerjap beberapa kali mencoba mengenali rupa sang pria di bawah sinar bulan purnama. Gadis itu bahkan tidak menampakkan rasa takut sedikitpun, mengingat orang asing yang entah datang dari mana tiba-tiba saja mendekatinya. Bisa saja ada hal buruk yang akan menimpanya saat itu juga. Namun Hara percaya pada pria tersebut akan menjadi penolongnya.
Pun di waktu yang bersamaan, Jungkook yakin telah terjadi sesuatu pada gadis itu. Penampilan Hara terlihat sangat berantakan. Mata sembab, hidung merah, dan sisa air mata yang masih berjejak di pipinya. Entah sudah berapa lama gadis itu menangis. Hara bahkan tidak memikirkan untuk mengenakan jaket atau baju tebal, mengingat dinginnya hembusan angin malam. Gadis itu hanya dibalut kaos lengan pendek dan celana jeans selutut ala pakaian rumahan. Jungkook mengerti, tidak peduli akan penampilan yang tengah dikenakan, gadis itu hanyalah memikirkan cara untuk bisa kabur.
"Kau siapa?" suara serak Hara memecah keheningan di antara mereka.
Namun tanpa menjawab, tiba-tiba saja Jungkook mencondongkan tubuhnya pada Hara. Memberi pelukan hangat di sana. Meski tidak tahu apa yang terjadi pada Hara. Meski tidak perlu menunggu penjelasan yang keluar dari mulut gadis itu, Jungkook mengulurkan tangannya secara sukarela.
Jungkook seakan merasakan luka yang ada pada Hara saat ini. Bagaimana rasa sakit mencekik yang menimbulkan luka menganga, hingga menyesakkan dada.
Jungkook pun seakan mengingatkan dirinya sendiri pada gadis itu. Berada dalam kesendirian memeluk kehampaan. Hanya ditemani bayangan yang akan menghilang ditelan gelapnya malam. Bersembunyi di balik remang sinar bulan. Duduk tersudut memeluk lutut di ujung ruang. Berharap seseorang akan datang mengeluarkannya dari penderitaan.
Hara yang mendapat perlakuan tersebut dari orang asing tidak lantas marah atau menepis pelukan dari sang pria. Ia justru menemukan rasa aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan hangat dan nyaman, turut mengisi kekosongannya. Lantas tanpa sadar, Hara melingkarkan kedua tangannya pada tubuh berotot Jungkook, sembari meremat jari-jarinya pada jaket pria itu.
Hara pun menumpahkan kesedihannya tanpa permisi. Derasnya air mata yang mengalir menandakan besarnya rasa sakit yang ia tahan selama ini. Sesekali Hara terisak, hingga membuat dadanya terasa sesak.
Terkadang, seseorang tidak perlu menjelaskan kenapa untuk membuatnya baik-baik saja. Ataupun dijejal nasihat mengandung motivasi yang belum tentu bisa meringankan beban penderitaannya. Cukup tanpa bertanya, dan memberikan pelukan yang nyaman, sudah membantu meluruhkan sebagian besar perasaan sakit tak tertahan.
Jungkook melonggarkan pelukannya begitu menyadari Hara telah berhenti menangis. Dilihatnya gadis itu tengah mengusap air matanya dengan kaos yang dipakainya. Jungkook pun masih belum berkata sepatah kata. Ia lantas duduk di sebelahnya Hara sembari menunggu gadis itu sudah siap untuk bicara.
"Maaf, sudah lancang. Padahal aku tidak mengenalmu."
Jungkook menoleh. "Aku yang lancang, karena memelukmu begitu saja."
"Tapi pelukanmu membuatku nyaman." detik berikutnya Hara lantas memalingkan wajahnya. Ia terlalu malu dengan ucapannya sendiri yang refleks terucap. Pun, pria di sebelahnya pasti tengah menertawakannya saat ini.
"Sudah merasa lebih baik?"
Hara terperanjat. Entah mengapa, hal-hal sederhana yang Jungkook berikan padanya adalah pertama kali bagi gadis itu.
"Berkat dirimu ... terima kasih." Hara memberanikan menatap pria di sebelahnya, membuat pandangan mereka saling bertemu.
Mereka saling bertukar tatap tanpa suara untuk beberapa saat. Jungkook sebagai pribadi yang terlalu peka, menyadari ada segelintir pertanyaan yang ingin diajukan gadis itu. "Ada yang ingin kau tanyakan?"
Kedua bola mata Hara membesar bak orang gelagapan. Sungguh, Jungkook seakan tahu segalanya apa yang gadis itu inginkan.
Hara tertunduk menatap tanah. "Yah ... biasanya orang lain akan bertanya aku kenapa, meminta untuk bercerita, lalu pada akhirnya aku mendapat nasihat yang sulit untuk kuterima." Hara kembali menautkan pandangannya pada Jungkook. "Tapi kau berbeda. Kau tahu apa yang kuinginkan tanpa harus bicara panjang lebar. Bagaimana kau menjelaskan ini?"
Jungkook mengedikkan bahu. "Takdir? Anggap saja kehadiranku sebagai takdir untukmu."
Oh, sungguh. Pria di sebelahnya ini memang terlalu frontal atau bagaimana, sih? Ada saja hal-hal tak terduga membuat jantung Hara siap meledak, lantaran debaran yang bertalu hebat.
Seakan tidak merasa ada yang salah, Jungkook kembali melanjutkan afirmasinya. "Aku hanya merasa kita sangat mirip."
Perlahan, degup jantung Hara mulai berdetak normal. "Maksudmu?" desaknya tak sabar mendengar kalimat selanjutnya.
"Aku seakan memahami penderitaanmu saat ini. Sakitmu, aku merasakan hal yang sama. Dan lukamu, aku turut memilikinya. Aku seperti berkaca, melihat diriku dalam dirimu. Atau bisa kukatakan, kau adalah aku."
Hara tidak mengerti. Sulit baginya mencerna pernyataan yang diberikan pria itu. "Kau bahkan tidak tahu penyebab aku ada di sini," Hara meragukan penilaian Jungkook tentang apa yang ia alami. Baginya itu hanyalah kebetulan semata.
"Masalah keluarga." seakan panah yang menancap tepat sasaran, Hara kembali dibuat terdiam.
Sekali lagi, Hara menganggap ucapan benar Jungkook adalah kebetulan. Namun seketika keraguannya dipatahkan, kala Jungkook melanjutkan ucapannya.
"Untuk apa kau memilih tempat ini, jika memiliki rumah untuk berpulang?"
Hara diam membeku.
"Karena kau tidak bisa menjadikan tempat itu sebagai rumah, bukan? Melihatmu seperti ini, yang kau pikirkan hanyalah bisa kabur, walau tanpa persiapan. Kau hanya ingin lari dari tempat itu." jelas Jungkook lagi, membungkam keraguan Hara.
"Bisakah kita bertemu lagi?" Hara seakan mendapatkan kenyamanan. Ia tidak ingin kehilangan pria ini.
"Tentu. Di tempat dan jam yang sama." sama halnya dengan Jungkook, ia pun menginginkan hal serupa.
Di hari esoknya, keduanya benar-benar menepati janji. Mereka bertemu dengan membawa luka baru, lalu saling menyembuhkan setelahnya. Hingga tak terasa pertemuan mereka sudah 1 minggu.
Pada pertemuan ke 7, Jungkook hadir dengan kondisi tidak biasa pada wajahnya. Terdapat luka gores pada pipi kiri Jungkook, disertai sudut bibirnya terluka dan masih tersisa darah segar di sana.
"Wajahmu kenapa? Kemarin tidak ada."
"Biasa, pria." Jungkook tidak ingin mengatakan yang sebenarnya, bahwa luka itu baru saja didapatkan dari ayahnya satu jam yang lalu.
Di sisi lain, Hara tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ia memilih mempercayai ucapan bohong Jungkook. Bukan karena tidak peduli, baginya, memang benar hal tersebut biasa terjadi pada pria.
"Sepertinya ini akan menjadi pertemuan yang terakhir." tanpa basa-basi, Jungkook membuat pernyataan.
"Kenapa?"
"Aku akan tinggal di Amerika. Tidak tahu kapan kembali."
Hara kalut. Perasaan sedih, kecewa, marah, takut, serta segelintir pertanyaan yang memenuhi kepalanya bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu harus menunjukkan sikap yang mana. Mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa, teman pun rasanya bukan. Bahkan, hingga detik ini, mereka masih belum mengetahui nama masing-masing.
"Ah, begitu. Memang pada akhirnya, hanya diri sendirilah yang bisa aku andalkan." Hara tersenyum getir. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin mencegah Jungkook pergi. Namun apa haknya bersikap demikian.
"Bisakah kita bertemu untuk terakhir kalinya ... sebelum kau benar-benar pergi?" lanjutnya.
Jungkook memberi anggukan. "Besok di jam 6 pagi, kita bertemu di sini."
Hari berikutnya benar-benar menjadi pertemuan terakhir mereka. Hara menyerahkan sebuah paper bag, dan meminta Jungkook untuk tidak membukanya sekarang. Sementara Jungkook menerimanya dengan tidak enak hati. Jika tahu Hara akan memberikannya bingkisan, ia akan melakukan hal yang sama. Namun apa daya, desakan sang ayah membuat Jungkook tidak sempat mempersiapkan apapun untuk Hara.
"Anggap saja hadiah terima kasih."
"Baiklah, terima kasih. Maaf, aku tidak membawakan apa-apa."
Hara cepat-cepat menggelengkan kepala. "Tidak masalah, selama ini kau membantu banyak."
Jungkook mengangguk-angguk, sembari dilihatnya arloji pada pergelangan tangan kirinya---mencari tahu berapa lama lagi waktu yang ia miliki untuk Hara. Di saat yang bersamaan, Jungkook baru menyadari kaca arloji kesayangannya retak. Entah kapan retaknya, mungkin saat bertengkar dengan Jiwook.
"Maaf, aku harus pergi,"
"Baiklah. Selamat tinggal, jaga kesehatanmu."
"Kau juga, harus bahagia."
Mereka tidak saling berkata 'sampai bertemu lagi' lantaran tidak tahu kapan akan bertemu kembali. Bahkan keduanya tidak saling bertukar nomor telepon untuk tetap berkomunikasi. Takdir mereka seakan hanya pertemuan sesaat, yang akan dilupakan kapan saja. Mereka bertemu dan berpisah di tempat yang sama.
Selagi menunggu pesawat take off, Jungkook terdorong rasa penasaran untuk segera membuka isi paper bag pemberian Hara. Ia mendapati sebuah kotak berisi jam tangan. Sejujurnya gadis itu sudah menyadari arloji Jungkook retak pada pertemuan mereka kemarin, sebab itulah arloji menjadi hadiah terima kasih dari Hara.
Selain jam tangan, Jungkook turut mendapati sebuah surat dengan tulisan tangan, yang isinya:
Hei, terima kasih karena tidak bertanya.
Namun memberikan bahumu untuk kubersandar di sana.
Mengizinkanku meluapkan segala emosi yang dirasa.
Mengisi kedamaian sepanjang purnama.
Untukmu, yang membaca pesan ini tanpa suara.
Shin Hara - 2 Januari 2021
...To be continued.......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!