“Kau tahu siapa yang paling seksi di kampus kita?” Jiyya enggan menjawab, karena itu dia lebih memilih untuk menghembuskan napas berat alih-alih mau meladeni.
Bukan sekali dua kali sahabatnya akan mengangkat topik membosankan ini sebagai pembuka pembicaraan sebelum mengikuti mata kuliah yang memusingkan. Adalah Silvana, teman sejak kecilnya yang doyan sekali mengurutkan siapa orang yang paling seksi dilingkungan mereka dan yang paling mungkin menjadi deretan teratas pria yang ingin diajak tidur olehnya.
Tidak seperti Silvana, meski mereka lengket Jiyya
adalah si gadis konservatif yang masih mempertahankan bahwa **** harus dilakukan setelah menikah. Dia tidak bisa membayangkan dirinya berada dibawah seorang lelaki tidak dikenal demi memuaskan hasrat biologi dalam satu malam. Tidak! Jiyya bukan tipikal perempuan seperti itu.
“Ayo tebak!” Sekali lagi Silvana memaksanya.
“Louise?”
“Salah, jawabannya Sir Arthur!” sahut Silvana sambil tertawa ketika melihat Jiyya melonjak dengan ekspresi bodohnya.
“Silvana!” Jiyya menegurnya. “Jangan sekali-kali
berkata begitu didepan oranglain, atau orang-orang akan berpikir buruk tentangmu,” lanjut Jiyya sekali lagi.
“Kau harusnya lihat wajahmu sekarang, lucu sekali.” Sedetik kemudian Silvana berhenti tertawa kemudian menyeringai. “Lagipula siapa
yang akan berpikir, kan hanya ada kau dan aku disini,” tutup gadis itu tanpa dosa.
Jiyya hanya bisa mendesah lelah. Terkadang Silvana akan makin menjadi bila ditanggapi, dia tipe gadis yang terbilang provokatif dan
mampu berpikir hal-hal gila diluar nalarnya.
“Terserah, aku tidak mau ikut campur dalam pikiranmu yang diluar antariksa itu.”
“Hei, memangnya apa pula pikiran buruk yang muncul dibenakmu saat pertama kali dengar pendapatku mengenai Sir Arthur?” Lihat, dia
malah makin bersemangat. Dia tidak peduli pada Jiyya yang sudah menyerah lebih dulu karena sudah tahu perangai buruk sahabatnya yang satu ini.
“Dia dosen kita.”
“Memangnya kenapa? Toh memang Sir Arthur itu orangnya atraktif dia seksi dan menggoda.”
“Dia terlalu tua untukmu!” Jiyya memberenggut tidak setuju. Dia hanya punya kesan si perokok berat, dan janggut tipis dari Sir Arthur. Tidak lebih dari itu. Makanya Jiyya heran darimana sahabatnya ini mengkategorikan Sir Arthur dengan sebutan atraktif.
“Usia bukan halangan untuk cinta, sayangku.” Sekali lagi Jiyya melihat seringai tidak menyenangkan dari sahabatnya. “Laki-laki yang lebih tua itu lebih berpengalaman,” celetuknya lagi sambil dibumbui tawa. Jiyya menyerah dengan pemikiran liar sahabatnya.
“Laki-laki yang lebih dewasa lebih berpengalaman? Bagaimana kau tahu soal itu?” Jiyya memutar matanya, dia lebih memilih mencemooh kata-kata yang diucapkan Silvana yang menurutnya sangat amat ambigu.
Silvana hanya menggelengkan kepalanya sambil
menjulurkan lidah. “Kau tidak akan paham sampai kau melepaskan keperwananamu
itu. Terima saja kenyataannya kalau kau itu seorang perawan kesepian.”
Jiyya mendengus. “Menjadi perawan lebih baik daripada menjadi seorang pelacur,” jawab Jiyya sarkas.
“Oho! Apa itu?” sindir Silvana. “Mau berlagak jadi so suci didepan mukaku?”
“Kau kan tahu sendiri prinsip hidupku.”
Silvana memutar matanya, sambil mendecakan lidah. “Ya, aku tahu. Tapi aku hanya merasa hidupmu terasa begitu membosankan. Maksudku cobalah untuk bercinta dengan seseorang.”
“Ogah!”
“Bilang saja kau cuma mau melakukannya dengan si Bestian-mu. Itu kan maksud ogahmu?” Silvanna mencela lagi, membawa nama pria yang adalah cinta pertama sahabatnya yang masih menjadi pria pemegang tahta dihati Jiyya. Tapi setelah itu dia menyeringai jahil sambil mengangkat alisnya. “Tapi kau yakin tidak ingin menjadi berpengalaman untuk Bestian?”
Wajah Jiyya kontan memerah. “Hei, kau terlalu frontal! Gila ya!”
Silvanna terkekeh. “Well, begini-begini kau
sebenarnya bisa menjadikan aku gurumu. Aku kan gadis yang telah berhasil tidur dengan sebagian besar pemuda hot di kampus kita. Cara terbaiknya ya kau harus tidur dengan orang yang lebih tua untuk mendapatkan pengalaman yang lebih memuaskan dan tidak terlupakan.”
Jiyya mendongak, memberikan tatapan tak percaya terhadap Silvanna. Pria tukang angkut, petugas kebersihan kampus, tukang parkir, dan beberapa pedagang kaki lima langganan mereka, malah berenang dikepalanya sebagai gambaran. Jiyya bergidik ngeri, sementara Silvana yang
sudah paham mengenai isi otak sahabatnya cuma bisa menghela napas panjang.
“Jiyya, jelas aku sedang tidak membicarakan soal pria tua bangka atau kakek tua. Maksudku seseorang yang menarik, seseorang yang kau
kenal dan kau hormati. Biar aku coba bantu memberikan gambarannya untukmu.”
Silvana terlihat serius, tapi sebelum gadis itu mengatakan apa yang ada didalam kepalanya. Jiyya sudah lebih dulu tahu siapa yang dia maksudkan.
“Sir Joan!”
“Tidak!”
“Ya, dia sempurna.”
“Tidak!” Jiyya mengulang.
“Kenapa tidak?” tanya Silvana. “Kau harus memberikanku alasan yang bagus, kalau bisa kuterima aku akan diam.”
“Dia dosen kita.”
“Next.”
“Dia sudah tua.”
“Tua sama dengan berpengalaman.”
“Tidak selalu!”
Silvana mengangkat sebelah alisnya. “Apa kau sedang mencoba meyakinkanku bahwa Sir Joan belum pernah menjelajahi tubuh perempuan
dengan performanya yang segahar itu?”
“AH!” Jiyya menutup kedua telinganya dengan tangan. “Silvana!”
Silvana hanya tertawa sembari menyenggol bahu
sahabatnya lagi. “Ada alasan lain? atau kau sudah menyerah?”
“Sudahlah!” Jiyya protes, dia tidak mau mengalah tapi dia memang kehilangan alasan yang bagus untuk menolak fakta itu.
“Nah, sekarang kau punya alasan untuk mencari tahu. Anggap saja sebagai sebuah percobaan.”
Jiyya menggeleng tegas. “Aku tidak peduli tentang apa yang kau katakan. Intinya aku tidak akan mengejar Sir Joan!”
“Mengejar saya? Apa ini Jiyya? Kamu punya rencana apa sampai mau mengejar saya?”
Mampus! Tepat ketika Jiyya mendengar suara halus dibelakang punggungnya, gadis itu langsung menegang. Bahkan Silvana si kompor
juga tidak mengira akan mendapati Sir Joan langsung saat mereka sibuk menggunjing soal dosen tampan mereka.
Mereka berdua kini berbalik untuk menyaksikan sosok pria itu secara utuh. Mata Sir Joan benar-benar hanya tertuju pada Jiyya saat ini.
Wajah Jiyya kontan merah padam, dia tidak tahu harus berkata apa. Sehingga sebagai gantinya Jiyya meminta pada Silvana untuk membantunya.
“Bantu aku,” bisiknya putus asa. Tapi Silvana seolah acuh tak acuh. Membuat Jiyya harus angkat bicara untuk menyelamatkan reputasinya sendiri.
“Uh, saya tidak akan mengejar Sir Joan sampai ke toilet meski saya butuh tanda tangan Anda?” Silvana tidak bisa menahan diri mendengar Jiyya yang sedang membuat alasan pada Sir Joan. Gadis itu berusaha keras untuk tidak tertawa, tapi dia gagal. Jiyya berharap dia bisa menggali lubang ke dasar tanah karena ini benar-benar sangat memalukan. Apalagi ketika mereka berdua melihat Sir Joan hanya mengangkat alisnya.
“Begitukah?” tutur pria itu halus. “Jiyya, bisakah
saya bertanya kenapa kamu harus membicarakan tentang perumpaan yang seburuk itu?” Jiyya membeku, melihat sahabatnya hampir mati karena dipojokan oleh dosen tampan mereka.
Silvana yang sudah bisa menguasai dirinya,
kembali mencoba untuk mencairkan suasana yang terlanjur jadi canggung. “Maaf Sir Joan, tapi Jiyya adalah seorang wanita dewasa. Sangat tidak sopan untuk bertanya soal hal personal padanya, lagipula dia tidak berkewajiban untuk bicara terus terang tentang apapun yang ada didalam benaknya pada anda meskipun anda sangat penasaran tentang itu.” Sebelum Sir Joan mencoba untuk buka suara, Silvana cepat-cepat mengganti topik dengan sangat smooth. Mengalihkan pembicaraan juga adalah sisi baik dari gadis itu. “Dan apa yang sedang Sir Joan lakukan? Anda baru datang ?”
“Ya, begitulah. Tapi ada barang saya yang ketinggalan jadi saya bermaksud mengambilnya lagi di mobil saya.” Sungguh, saat Sir Joan bicara. Jiyya diam-diam memperhatikannya.
Dosen-nya itu punya tubuh yang tegap dan tinggi ketika sedang berdiri dihadapan mereka sekarang. Terlepas dari kenyataan bahwa saat ini pria itu mengenakan masker yang menutupi sebagian dari wajahnya. Tapi, cukup jelas bagi Jiyya untuk mengkategorikan bahwa rahang pria itu begitu kuat tegas. Begitu pula lehernya, lengannya, dan tubuhnya yang terisi dengan otot-otot sempurna yang sedikit tercetak dibalik kemeja berwarna hitam yang dia kenakan.
Wajah Jiyya mendadak merah apalagi menyadari saat rambut pria itu sedikit acak-acakan pagi ini. Sebuah visualisasi dalam imaji penuh kekurang ajaran langsung terlintas didalam pikirannya. Tapi Jiyya yang waras kontan menepisnya cepat-cepat. Dia tidak boleh memikirkan wajah dosen tampannya ini dalam keadaan ‘itu’.
“Jiyya?”
“Ah ya Sir?”
“Saya dengar dari Dean dia ingin mengundang kita untuk makan malam bersama. Saya harap kamu bisa datang.”
Ah? Dia tahu? Meski bertanya-tanya darimana dosennya ini tahu soal itu. Jiyya hanya menganggukan kepalanya. “Saya akan usahakan.”
Sir Joan menelengkan kepala seraya memejamkan matanya setelah itu dia kemudian pamit dan kemudian meninggalkan mereka berdua.
Silvana menunggu beberapa saat sampai dia memastikan Sir Joan berajak agak jauh dari mereka berdua. Dia tidak mau kedapatan sedang
menggosip lagi, walaupun tentunya bukan hal yang penting bagi seorang dosen yang punya urusan lebih penting dibandingkan mendengarkan gosip diantara para gadis. Tapi setidaknya ini untuk meminimalisir kejadian yang baru saja menimpa mereka.
“Sialan kau Silvana!” Jiyya mengumpat, tapi Silvana malah tersenyum lebar.
“Hei, rambutnya Sir Joan terlihat berantakan ya.” Dia mulai cekikikan. Membuat Jiyya teringat kembali atas visualisasi kotornya beberapa saat yang lalu. “Sepertinya Sir Joan terlihat seperti habis melakukan itu, dia juga terlihat lebih cerah dan tampan hari ini. Wah… aku jadi ingin tahu siapa wanita yang beruntung merasakan kehangatan tubuhnya semalam.”
Jiyya kontan menjerit memukul lengan Silvana dengan buku tebalnya. “Diam! Jangan ajak aku bicara lagi. Dasar perempuan mesum!” Jiyya mendengking, namun tanpa dia sadari lirikan matanya justru malah mengarah pada sang dosen yang kini sudah memasuki bangunan kampus.
Yeah, siapa kira-kira wanita yangberuntung itu?pikir Jiyya.
Namun sebelum dia menghayal lebih jauh lagi. Satu tamparan Jiyya berikan pada dirinya sendiri. Hebat. Baru beberapa menit bicara dengan Silvana dia sudah tertular kemesuman temannya. Silvana berhasil mempengaruhi akal sehatnya.
“Hei kenapa kau menampar wajahmu sendiri?”
“Supaya tetap waras.”
Silvana sudah menyimpan ketertarikan pada Sir Arthur, dosen tampan mereka semenjak semester pertama. Tidak mengherankan gadis itu terus saja memasukan nama pria itu dalam daftar kelas yang dia hadari sepanjang semesternya. Tentu saja Sir Arthur akan membantu siapapun yang membutuhkan
dirinya, tapi dalam segi romansa Sir Arthur jelas jenis pria yang sulit untuk dicapai. Cukup sulit bagi Silvana untuk melakukan pendekatan padanya, terlebih pria itu selalu saja memiliki cara terbaik dalam membuat sebuah batasan jelas antara dirinya dengan para mahasiswi yang memiliki niatan yang sama dengan Silvana. Karena alasan itulah Silvana menyimpan ketertarikan itu hanya sebatas kekaguman semata, tidak lebih. Tapi bila dia punya kesempatan untuk tidur di ranjang si dosen muda, kenapa tidak?
Pagi ini saja saat dia menggoda Jiyya, gadis itu malah mendapatkan peluang lebih dekat dengan dosen mereka yang satu lagi. Orang dengan predikat nomor dua sebagai primadona pria dewasa di kampus menurut Silvana, Sir Joan. Pria itu memang menarik tapi jujur saja bukan tipe-nya. Dia tidak cemburu, bukan itu masalah utamanya. Namun yang membuatnya terganggu
diatas segalanya adalah jika sahabatnya punya peluang sebagus itu, lantas kapan
gilirannya dengan Sir Arthur?
Dia mengutuk situasi romantik yang selalu saja tidak bagus untuknya.
Apalagi situasinya sekarang, Silvana sedang berjalan sendirian tanpa Jiyya disisinya. Gadis itu memang baru saja menyelesaikan beberapa tugasnya hingga larut malam setelah bersenang-senang dengan temannya yang lain karena Jiyya pergi dengan Sir Joan dan teman satu clubnya.
Silvana tidak yakin jam berapa saat itu, tapi yang
pasti sudah masuk tengah malam nampaknya. Silvana merasa kelelahan, kakinya bahkan terasa seperti jelly yang menumpu pada jalanan aspal yang dia tapaki saat dirinya berjalan pulang menuju ke rumah.
Dia sebenarnya sudah tidak sabar untuk segera pindah dari kediaman orangtuanya. Tapi orangtuanya yang tahu bagaimana kelakuannya,
tidak memberikan izin bagi Silvana untuk hidup sendiri. Mereka tidak percaya bahwa Silvana bisa menjaga diri. Dan insting orangtuanya memang benar. Dia sudah sangat liar bahkan sejak SMA. Dia ingin keluar dari rumah itu tujuannya memang supaya bebas melakukan apapun yang dia inginkan, tanpa harus mendapatkan omelan dan rasa malu keesokan harinya.
Saat dia sibuk dengan tempat tinggal dan romansa impiannya bila terpisah dari orangtuanya, tiba-tiba Silvana mendengar suara
yang datang dari arah kanannya. Kedengaran seperti napas berat. Dengan lugu, Silvana berpikir bahwa barangkali itu adalah suara orang yang terluka. Sebab suara itu terdengar seperti seseorang yang berjuang melawan rasa sakit.
Sampai tiba-tiba suara itu berubah menjadi erangan keras. Kaget, wajah Silvana jelas langsung memerah. Dia tidak bodoh, dia cukup
tahu tentang hubungan pria dan wanita sehingga mudah baginya untuk menebak suara apa itu.
Tanpa dia sadar, tubuhnya malah mendekat kearah sumber suara. Di sebelah kanannya memang kebetulan ada bar. Bar yang sebelumnya tidak pernah menarik perhatiannya sama sekali. Tapi suara itu justru berasal dari
arah gang sempit diantara bangunan bar dengan pertokoan yang sudah tutup malam itu. Suara erangannya makin mengecil, dan terdengar seperti suara seorang wanita. Rasa penasaran menguasai dirinya, seberapa bagusnya permainan si pria sampai bisa mampu membuat suara erangan seperti itu?
Silvana tahu bahwa dia sudah melakukan hal yang tidak terlalu bagus sekarang. Dia yang mengendap dan merayap mendekati gang tersebut dan mengintipnya adalah hal random yang seumur hidup tidak pernah dia pikirkan.
Dan dia melihatnya, dua siluet yang terkena cahaya bulan. Bersandar pada dinding dan mereka terlihat begitu liar.
Si wanita terlihat makin merapat ke dinding, napas mereka memburu, erangan si wanita semakin keras lagi namun bibir wanita itu
ditutup rapat oleh satu tangan si pria. Meredam suaranya agar tidak terdengar, tapi mereka tidak tahu bahwa aksi keduanya telah disaksikan oleh Silvana.
“Fuck…” suara baritone si pria mengerang.
Silvana kontan merasa menggigil, rasanya suara itu seperti merayap naik dan juga turun dari sekitar tulang punggungnya. Dia mengenal suara
itu.
Wanita yang sibuk dia gagahi terus mendesis, tapi Silvana tidak peduli sedikitpun padanya. Dia lebih tertarik memastikan pria yang membuat tubuhnya terasa membeku ditempat. Gadis itu merayap lebih dekat, sedekat yang memungkinkan untuk tidak dapat disadari kedua orang itu, namun cukup untuk menuntaskan kecurigaannya. Pria itu punya kulit sewarna perunggu dengan kedua kakinya yang berotot. Silvana melihat tas selempang yang terlempar
dibawah kakinya, itu milik Sir Arthur. Seratus persen Silvana bisa memastikannya karena dia selalu memperhatikan dosen tampannya itu dan
menganalisa penampilannya setiap hari.
Ini tidak benar! Seorang pria yang terhormat di kampus mereka sebagai seorang pengajar melakukan hal seperti ini di muka umum. Dia
bertaruh bahkan bila dia menceritakannya pada Jiyya gadis itu pasti akan memukulnya dibandingkan mau percaya. Ini moment pribadi, dia harusnya segera pergi sekarang sebelum mereka berdua tahu bahwa ada seorang gadis muda menonton kegiatan mereka seperti ini. Tapi meski punya pikiran sewaras itu, Silvana
malah tidak bisa beranjak dari sana.
Sebaliknya, gadis itu malah meneliti tubuh sang dosen saat dia sibuk dengan wanita-nya malam ini. Silvana tertegun akan setiap lekukan ototnya yang tidak terhalang kemeja sialan yang dia kenakan setiap kali mengajar. Khusus malam itu Sir Arthur menggulung kemejanya hingga ke siku dan tidak dia duga bahwa ada bekas luka yang tersebar disana, anehnya itu malah membuat
pria itu tambah terlihat seksi. Silvana terpesona, dan tergelitik untuk tahu lebih banyak. Sebab meski pasangannya sudah berantakan, Sir Arthur masih tetap berpakaian utuh kecuali bagian celananya yang sedikit melorot.
Sensasi aneh muncul diperut Silvana. Rasa panas malah menjalar kebagian bawah tubuhnya. Sial, dia malah terbawa suasana. Ini menjijikan, pikirnya. Gadis itu memutuskan untuk beranjak darisana. Tapi baru beberapa langkah dia malah mendengar suara tubuh yang melekat dan saling
menampar, menggema di udara.
“Kau begitu panas,”
Wajah Silvana merah padam mendengar suara Sir Arthur dari balik gang sempit itu. Lagi, dia malah melakukan kesalahan dengan berbalik
menyaksikan mereka berdua disana. Suara Sir Arthur seolah menyuruhnya untuk tetap berada disana dan menyaksikan semuanya hingga tuntas.
“Kau sempurna, aku tahu sejak aku melihatmu. Ah!” Wanita itu berteriak, Silvana tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya tapi yang jelas gesture tubuh wanita itu benar-benar menandakan bahwa dia telah dimabuk oleh
kenikmatan. Mereka terlihat saling terpuaskan satu sama lain dalam puncak gelombang yang diraih bersamaan.
Seluruh tubuh Silvana tergelitik lagi melihat adegan panas itu. Silvana tidak tahu siapa perempuan itu, tapi gadis itu iri mengingat
betapa beruntungnya dia mendapatkan Sir Arthur pada dirinya.
Sebelumnya Silvana memang tertarik pada dosennya dan sempat mengubur keinginannya mendekati pria yang lebih dewasa darinya itu. Tapi setelah ini sepertinya dia harus menarik kembali ucapannya untuk melupakan Sir Arthur.
Bahkan detik ini juga, Silvana merasakan adanya gelombang kecemburuan yang menerpa dirinya.
“Sangat hebat,” komentar si wanita. Ada sedikit
******* yang dibuat-buat disana.
“Aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan,” balas Sir Arthur. Suaranya lebih serak daripada biasanya, sekali lagi Silvana
merasa perutnya melilit.
Silvana masih mengamati mereka, terutama Sir Arthur yang kini sudah merayap mengambil sesuatu dari tas selempangnya yang ada dibawah kakinya. Mengeluarkan sebatang rokok dan juga pematiknya sekaligus.
Pria itu menyalakan rokoknya. Wajah wanita yang
menjadi teman mainnya sedikit buram karena penerangan yang minim. Tapi Silvana optimis bahwa wanita itu tidak lebih cantik darinya. Kenapa harus dia yang punya kesempatan seperti itu dengan Sir Arthur yang dia kagumi?
Tapi perhatiannya teralihkan pada Sir Arthur yang
sedang mengulum rokoknya. Lalu menggerakan tangannya untuk mengambil rokok yang dia hisap dari mulutnya. Anehnya pergerakan kasual itu jadi terlihat sensual sekarang. Kenapa Silvana baru menyadari semua itu sekarang?
Belum lama kekaguman merajai, rasa panas oleh amarah mematiknya lagi. Terjadi tepat ketika Sir Arthur dengan lembut meletakan rokok bekas mulutnya kepada wanita itu sembari menepuk kepalanya dengan penuh sayang. Seperti perlakuan yang pernah Sir Arthur lakukan pada Silvana saat dia berhasil mendapatkan nilai sempurna dalam ujiannya yang super sulit.
“Kita akan bertemu lagi?” Wanita itu bertanya penuh harap, menghisap rokok yang diberikan oleh Sir Arthur seolah takut rokok itu akan diambil kembali olehnya.
“Entahlah,” balas Sir Arthur, pria itu menyelempangkan tasnya lagi ketubuh tegapnya dan kemudian berjalan kearah sebaliknya. Meninggalkan si wanita begitu saja. Silvana cukup beruntung dosen tampannya itu tidak mengambil jalan menuju kearahnya.
Tapi selepas dia pergi dan melihat wanita itu terkulai di gang sempit sambil menghisap rokok bekas Sir Arthur membuat Silvana marah padanya tanpa alasan.
Dia merasa punya dorongan gila untuk mencabut rokok itu dari si wanita asing tersebut. Namun dia tahu, dia tidak mungkin melakukannya. Setelah semua adegan itu berakhir, pada akhirnya dia benar-benar memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya yang tertunda.
Ini hari yang gila. Meski kakinya melangkah menuju kerumah, tapi pikirannya masih tetap berkelana pada setiap adegan yang dia lihat. Bahkan pada saat dia sampai didepan pintu rumahnya, masuk kedalam kamarnya. Gadis itu malah membayangkan dirinya yang ada diposisi wanita itu dan melakukannya dengan sang dosen.
Silvana sudah tidak waras, dia tahu. Baru siang tadi dia bilang bahwa Sir Arthur menarik, malamnya dia malah mendapatkan pembuktian
konkret. Padahal pagi tadi dia hanya senang membercandai Jiyya, dengan mengatakan pria yang lebih dewasa lebih berpengalaman. Pendapatnya tidak salah.
“Dia benar-benar sangat hebat, tidak salah kalau aku tertarik padanya sejak pertama kali bertemu.”
Canggung sekali. Joan merasa tidak tahu harus berbuat apa sekarang dan yang membuat perasaan itu kian memberat adalah fakta bahwa
barangkali hanya dia yang merasa demikian diantara Dean yang duduk disebelahnya (yang sepertinya pemuda bobrok itu tidak memahami situasi sama sekali) dan Jiyya yang duduk disebelah Dean. Gadis itu tidak banyak bicara dan hanya mengaduk-ngaduk kuah ramen menggunakan sumpit di mangkuknya. Seolah tidak menikmati suguhan yang menurut Dean adalah santapan surgawi. Jiyya bahkan belum
memasukan mie dengan tekstur kenyal tersebut kemulutnya. Namun herannya lagi sesekali Jiyya melemparkan tatapan bersalah kearahnya, seakan dia baru saja melakukan hal yang paling tercela terhadap Joan. Tapi apa?
“Kau tahu kan kalau si bedebah sialan itu terus memaksaku untuk mengikuti keinginan bodohnya, jadinya aku—”
Ya, dan Dean terus saja mencerocos soal pengalamannya bersama dengan Sir Yoga. Joan tentu mengenal orang yang di maksud sebab bisa dibilang pria itu memang menjadi guru pribadi dari Dean dan punya ambisi untuk mengajari pemuda itu menjadi seseorang yang lebih hebat darinya.
Terlebih sebelum menjadi dosen bagi kedua anak ini, mereka sudah cukup saling mengenal di masa lalu. Joan sendiri sebenarnya tidak begitu peduli dengan cerita itu, tapi akan lebih baik bila dia membiarkan Dean terus bercokol dengan kisah-kisahnya supaya bisa membantunya keluar dari situasi dimana dia terlalu peka untuk paham bahwa sejak tadi Jiyya terus saja melemparkan pandangan tak biasa. Pandangan yang membuat Joan merasa ada yang salah pada dirinya sendiri. Bukan seperti ‘apa ada yang salah dengan wajahku?’ tapi lebih pada ‘Kenapa seorang gadis yang notabene adalah mahasiswinya sendiri terus terusan memandanginya dengan penuh motif seperti itu?’
Bahkan setelah Joan perhatikan, Jiyya terus saja
mencoba menembakan sebuah pandangan yang penuh dengan selidik dari matanya yang penuh dengan binar cerah. Alis Joan berkerut, mata mereka bertemu tapi secepat kilat air muka gadis itu berubah memerah. Tak sampai disitu Jiyya bahkan mengalihkan pandangannya dengan cepat kearah mangkuk ramennya lagi.
Sebagai pria yang sudah matang, jelas Joan menyadari apa yang barus saja terjadi dengan lebih jelas. Joan sudah memiliki banyak pengalaman mengajar sejak dia berusia dua puluhan, dan meskipun sikapnya acuh tak acuh tapi bukan berarti dia tidak punya pengalaman serupa dengan kasus seperti ini. Sudah jelas Jiyya tertarik padanya. Itu dia.
Tapi cepat-cepat pria itu membuang spekulasinya itu jauh-jauh. Kenapa dia harus menduga hal itu? Semua orang dikampus sudah tahu, bila Joan tidak akan pernah masuk dalam perhitungan sebagai seorang laki-laki yang akan Jiyya sukai. Dari rumor yang dia dengar mahasiswi pintar yang dekat dengannya saat ini sangat terobsesi dengan Bestian.
Usia Joan juga menjadi salah satu faktor, Jian tidak pernah berpikir bahwa dia akan mendapati seorang gadis yang baru awal masuk dua puluhan memiliki ketertarikan dalam hal nafsu terhadapnya. Jujur saja Joan lebih sering menghabiskan malam yang panas dengan yang lebih tua. Sebab dengan yang lebih tua Joan lebih bisa mengatasi nafsu mereka. Tapi dengan yang lebih muda? Tentu saja yang lebih muda tidak cukup tahu banyak tentang hubungan pria dan wanita di ranjang dan memerlukan sedikit ‘pelatihan’. Ya, lagipula Joan juga tidak tertarik pada gadis belia.
Sekarang, gara-gara pemikiran bodohnya itu Joan malah jadi sibuk sendiri menilai soal Jiyya. Joan tidak mengelak bahwa dia adalah seorang gadis yang cantik, sebentar lagi dia bahkan dia bertaruh dia akan menjadi seorang wanita matang yang mempesona dalam beberapa tahun kedepan.
Sorot matanya yang penuh kebijaksanaan dan perhitungan, bersanding dalam sebuah emosi yang begitu seimbang. Joan tahu lebih dari siapapun bahwa gadis itu selalu berjuang tanpa pernah menyerah. Dan itu adalah sisi yang paling
mengesankan darinya.
Diantara kedua matanya, Jiyya punya hidung yang manis tidak terlalu besar ataupun kecil. Bangir? Barangkali itu penggambaran paling mendekati, pipinya terlihat begitu lembut dan menggemaskan, pun pindah ke bibirnya terlihat penuh dan menggoda…
Sampai disitu Joan tahu bahwa dia harus berhenti untuk memikirkan soal Jiyya. Mau bagaimanapun dia tetap adalah mahasiswi yang belajar dibawah bimbingannya. Joan punya tugas untuk membantunya meraih masa depan yang
lebih gemilang. Alih-alih menatapnya dengan tatapan mesum dan menatapnya dari sudut pandang kurang ajarnya seperti ini. Tapi sisi liar dari Joan justru malah berbisik nakal bahwa dia bisa membantu Jiyya dengan cara yang lebih
menyenangkan.
Matanya berpindah pada dada Jiyya, asset yang
terkadang sering kali Joan dengar bagian yang paling membuat gadis itu kerap menyesali dirinya. Joan harus mengakui bahwa ya, dada gadis itu memang lebih kecil daripada segelintir mahasiswi yang pernah kedapatan menggodanya. Tapi ketidaksempurnaan itu tidak mengurangi nilai Jiyya di mata Joan. Kemudian mata Joan kembali menelisik, dan tanpa sengaja kini mata mereka bertemu lagi. Jiyya bersemu merah, dia menyembunyikan lagi wajahnya.
“Jiyya?” Dean tiba-tiba memotong ceritnya di tengah jalan kemudian memandangi gadis yang duduk disebelahnya dengan pandangan khawatir. “Ada apa?”
Jiyya tidak langsung bereaksi. Tapi melihat itu Joan justru suka dengan efek ini terhadap gadis itu. Joan tidak tahu bahwa ini malah jadi semakin menarik saja.
“Saya mau pulang.” Gadis itu memutar kursinya dan berdiri. Sebelum Joan maupun Dean sempat berkata apapun gadis itu sudah pergi.
Dean memandangi kepergian Jiyya dengan ekspresi yang sangat bingung. “Sir Joan, apa yang baru saja terjadi? Apa kita melakukan kesalahan?”
Joan menundukan kepalanya sebelum dengan perlaahan bangun dari kursinya juga. “Kamu akan membayar seluruh pesanannya kan? dompet
saya ketinggalan.”
Dean kini sekarang terlihat sangat kebingungan dengan kedua orang yang dia panggil untuk acara reuni kecil-kecilan mereka. “Tapi bagaimana dengan bagianmu? Kamu mau pergi begitu saja tanpa memakannya dulu?” tanyanya hampir mengiba.
“Untuk urusan itu saya serahkan padamu. Kamu bisa menyelesaikannya bahkan lebih baik dari saya kan, Dean?"
Hening sejenak, tapi kemudian Dean malah menyeringai senang. “Kau bisa percayakan soal perut padaku. Sir Joan.” Dean mengangkat jempolnya kemudian mulai sibuk menerjang mangkuk ramen milik Joan yang belum tersentuh sama sekali.
Setelahnya Joan mulai keluar dari kedai tersebut,
sembari menatap jalanan. Meskipun Jiyya keluar dengan cepat, tapi gadis itu punya sesuatu yang mudah untuk dikenali, rambutnya yang pendek sebahu dan hoodie kebesaran yang selalu menjadi pakaian andalannya adalah ciri khas gadis itu. Maka dengan cepat Joan dapat menemukan keberadaannya.
Dengan langkah santai pria yang lebih tua dari Jiyya itu mulai mengikuti langkah Jiyya yang tergesa. Sejujurnya Joan sendiri tidak yakin dengan langkah apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Tapi paling tidak dia ingin meluruskan tingkah laku Jiyya yang membuatnya penasaran sejak tadi pagi.
Baru saja Jiyya berbelok dan berdiri didepan pintu rumahnya, gadis itu terlihat menyilangkan tangannya didepan dada. Wajahnya masih bersemu merah seperti di kedai tadi. Matanya menatap kearah tanah yang dia pijak. Dan saat itulah Joan memutuskan untuk menampakan kehadirannya didepan gadis itu.
“Yo, Jiyya.”
Gadis itu terlonjak hampir sepuluh kaki ke udara,
matanya melebar. Nampaknya dia benar-benar tidak menyadari bahwa sejak tadi dia dibuntuti.
“Ap-apa yang kau lakukan disini Sir Joan?” desak Jiyya.
Joan sedikit merendahkan kepalanya. “Kamu ingin saya pergi?”
Jiyya kini malah balik bingung. Tapi Joan sebaliknya, dia malah menyukai ekspresi Jiyya saat ini. Joan tidak tahu setan apa yang sedang merasukinya sekarang, tapi yang jelas saat dia bersama Jiyya seperti ini mau tidak mau dia malah tergoda untuk sedikit mempermainkan gadis ini.
“Saya, tidak… maksudku…” Jiyya terlihat kesulitan
mengatakan apa yang ada dibenaknya. “Tentu saja tidak Sir Joan, maaf,” ujarnya kikuk.
Joan tersenyum padanya. “Tidak perlu minta maaf, kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Hanya saja kamu tiba-tiba keluar, Dean terlihat khawatir, begitu juga saya. Makanya saya putuskan untuk menyusul kamu. Kami cemas kalau ada sesuatu yang salah.”
Jiyya memandang kesamping, terlihat tidak percaya dengan alasan sang dosen muda. “Ya, saya yakin Dean lebih mengkhawatirkan mangkuk ramennya dibandingkan saya, sebetulnya.”
Joan tertawa kecil menanggapi perkataan Jiyya.
“Begitukah? Kalau begitu saya yang khawatir sekarang.”
Jiyya kontan langsung tersentak kecil, pipinya sekali lagi memerah dengan cara menggemaskan. Sekali lagi gadis itu memandang kearah Joan. Jiyya benar-benar sangat tidak ahli menyembunyikan perasaannya itulah kesimpulan yang Joan dapatkan dari Jiyya. Joan malah memandang Jiyya tanpa sedikitpun memperlihatkan betapa senangnya dia tatakala melihat pipi mahasiswinya memerah malu seperti itu.
“Apa yang sebenarnya membuatmu kabur begitu? Apa kamu sakit?”
Jiyya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Kamu yakin?” Joan bergerak mendekat dan menempelkan tangannya ke dahi Jiyya.
Saat tangan itu menyentuhnya, tubuh Jiyya berubah kaku. Kedua tangannya mengepal, dengan kedua matanya yang langsung membulat menatap langsung kearah Joan. Tapi Joan malah semakin ingin melsayakan hal yang lebih, dia menyukai keadaan Jiyya saat ini. Joan tahu bahwa dia ini benar-benar sudah kelewat mesum dengan isi otaknya.
“Hm…” Tanpa sepengetahuan gadis itu, Joan tersenyum licik dibalik masker hitam yang dikenakannya. “Sebenarnya menurutku suhu
tubuhmu sedikit panas. Dan lihat—” Dia menarik tangannya dari dahi Jiyya menunjuk tepat ke pipi gadis itu. “—pipimu juga memerah,” tutupnya.
Sudah jelas Jiyya sekarang sudah terlalu pasrah untuk dapat menutupi apa yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya. Joan bersiul pelan.
“Mungkin sebaiknya kamu beristirahat dan tidur saja. Seharusnya kalau kamu tidak enak badan kamu bisa menolak ajakan Dean sejak awal. Lagipula besok kamu sedang tidak ada kelas kan?”
Jiyya menggelengkan kepalanya, dia masih belum bisa untuk berkata-kata. Angin dingin yang tiba-tiba melewati mereka berdua malah kontan membuat gadis itu menggigil.
“Mung—ehm…” Suara Jiyya terdengar agak serak dia berdehem dan mencoba lagi merangkai kata-kata yang ingin dia sampaikan dengan
lebih normal. “Mungkin kau benar Sir Joan, saya akan… saya akan beristirahat dan tidur. Ini pasti gara-gara saya tidak tidur dengan benar semalam.”
“Ah begitu ya?” Joan menganggukan kepalanya mengerti. “Saya juga sama.”
Jiyya tiba-tiba saja tersipu dan Joan malah makin
menyeringai menyadari bahwa barangkali mahasiswinya ini membayangkan hal nakal
dikepalanya.
“Saya… uh… saya demam Sir!” Jiyya tiba-tiba saja
memekik. “Itulah kenapa saya tidak bisa tidur! bukan karena hal lain. Umm… selamat tinggal Sir Joan, saya pulang dulu!” gadis itu menggumamkan kata-katanya dengan cepat dan meninggalkan Joan sembari masuk kedalam rumahnya dengan sedikit brutal.
“Mimpi indah Jiyya.” Joan berujar diluar sana.
Jiyya hanya bisa merosot dibalik pintu ketika dia
berhasil lolos dari Sir Joan. Punggungnya bersandar sepenuhnya pada pintu yang
telah tertutup rapat. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Silvana benar-benar sudah mempengaruhi dia. Sekarang segala sesuatu yang Sir Joan katakan malah dimaknai sebagai hal yang nakal olehnya.
Gadis itu menepuk jidatnya sendiri, mengerang sebelum akhirnya dia menarik wajahnya sendiri dengan gemas. Dia merasa bahwa dia sudah
tidak waras karena memikirkan dosen mudanya itu dengan cara tidak wajar lagi.
Dari gerak-geriknya tadi sepertinya Sir Joan sudah tahu bahwa dia telah memandanginya. Tapi apakah dia juga tahu bahwa Jiyya juga
memikirkannya? Kenapa Jiyya harus terus memikirkan pria yang lebih tua darinya saat hatinya masih tertambat pada cinta pertama sekaligus orang yang tidak akan
pernah dia lepaskan cintanya?
Semua ini gara-gara Silvana! Iya! Gara-gara sahabat gilanya itu sekarang Jiyya tidak lagi bisa jadi mahasiswi yang dapat menghadapi Sir Joan dengan cara normal. Jiyya mengutuk sahabatnya yang bodoh serta ide konyolnya.
Setelah puas mengutuki Silvana, si gadis konservatif itu kemudian akhirnya memutuskan untuk bergerak dan merebahkan dirinya diatas
tempat tidur. Itu bukan karena dia lelah atau sakit, namun dia membutuhkan hal lain.
Ya, Jiyya mungkin memang masih perawan. Tapi bukan berarti dia tidak tahu cara menyenangkan dirinya sendiri.
“What the hell?” Jiyya menyentuh sisi kepalanya dan berdiri dari sana. “Apa yang baru saja aku perbuat? Ya Tuhan! Ya Tuhan!” Jiya berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, wajahnya begitu horror tatkala dia memandangi cermin dikamarnya.
Apa yang baru saja dilakukannya adalah hal illegal. Dia tidak boleh berimajinasi nakal tentang seseorang yang dia lihat setiap hari. Terutama dia adalah sosok tenaga pengajar dikampus!
“Silvana sialan!”
“Argh! Bego… bego… aku bodoh sekali!” Jiyya
menghempaskan tubuhnya kembali ketempat tidur.
Apa yang akan Sir Joan pikirkan dan lakukan kalau Jiyya kedapatan melakukan hal kotor ini dengan mengimajinasikan dirinya?
Ah, dia butuh air dingin. Dia butuh kesegaran untuk menutupi seluruh dosa yang baru saja dia perbuat. Dia harus mandi untuk menjaga kewarasan dan kemudian dia akan memenggal kepala Silvana setelanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!