NovelToon NovelToon

The Last Sacriface

Bab 1 Batu Keramat

..."Mencintaimu merupakan awal rasa sakit yang tak berkesudahan. Mengikat dalam ketidakberdayaan. Meleburkan harapan dalam tipu fatamorgana kehidupan." ...

...****Prolog****...

Dahulu kala, di suatu desa yang masih menganut berbagai faham Dinamisme , ada sebuah benda sakral yang sangat terkenal. Benda tersebut berupa batu seukuran dua kepalan yang memiliki kekuatan sihir yang dahsyat. Batu tersebut muncul begitu saja dan menjadi benda yang di agungkan oleh para penduduk desa. Batu itu memiliki peran penting, tidak hanya sebagai benda yang memiliki nilai jual yang tinggi namun juga mempunyai fungsi sebagai penjaga keamanan desa. Batu kristal dengan bentuk unik itu yang bernama Batu Ruh Alam.

Konon, Batu Ruh Alam memiliki jiwa. Merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya sehingga diperlakukan lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya. Benda itupun merupakan alat penghubung desa dengan sebuah kerajaan yang tak kasat mata bernama Jayanegara. Kerajaan Jayanegara merupakan kerajaan gaib yang selalu berdampingan dengan desa tersebut. Tak jarang para penghuni Jayanegara akan menampakkan diri pada orang-orang desa yang beruntung. Tidak semua orang, hanya orang-orang terpilih. Bahkan tak jarang, beberapa penduduk desa setempat ada yang dibawa ke kerajaan gaib tersebut dan menjadi penghuni alam itu secara permanen.

Mereka yang tak ingin tinggal di tempat indah itu akan di kembalikan dengan membawa beberapa potongan emas seukuran ibu jari dan merekalah yang kelak akan menceritakan tentang keadaan kerajaan gaib itu pada penduduk desa lainnya. Mereka berkata bahwa kerajaan gaib itu dibatasi oleh suatu dinding yang serupa dengan riak air berwarna transparan yang terletak di tengah-tengah hutan Ambara. Para penduduk desa yang di pimpin oleh ketua adat di minta oleh Datok, sesepuh kerajaan Jayanegara, untuk menjaga hutan dari jangkauan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebagai imbalan dari kerjasama itu, pihak kerajaan akan menjaga desa dan sekitarnya, memperkaya perikanan dan pertanian mereka secara berkesinambungan. Sistem saling menjaga itu terjalin secara turun-temurun hingga sampai di suatu hari peristiwa besar terjadi tanpa bisa mereka prediksi.

***

"Lindungi batu Ruh Alam!"

Raung salah satu Bhayangkara (pelindung/penjaga) yang menjaga aula keabadian. Tawa keji terdengar bersamaan dengan kesiapan ratusan pelindung yang berdiri mengelilingi pusat penyimpanan benda keramat kerajaan Jayanegara. Senyum tipis dari sosok jahat yang membawa sepenggal kepala prajurit yang berlumuran darah itu begitu terlihat menakutkan. Ia melempar potongan kepala tersebut ke arah para Bhayangkara yang tersisa dengan seringai yang lebar.

Tubuhnya yang sudah penuh dengan lumuran darah tak juga bisa memberikan rasa puas di hatinya untuk kembali membantai manusia di sana. Dengan tarikan sihir kegelapan, sosok itu mampu menggapai tubuh salah satu penjaga yang berdiri di depannya dan kembali meremukkan tulang-tulang yang masih utuh itu dalam sekali remasan.

Tak hanya itu, kegilaan manusia jahat tersebut semakin meningkat begitu melihat adanya perlawanan dari beberapa prajurit yang tersisa. Tanpa banyak bicara, sosok yang haus darah itu kembali melakukan kebrutalan dengan aksi kejamnya. Ia membelah isi perut, mengoyak jantung dan mengeluarkan semua isi organ dalam lawannya seperti sebuah mainan kemudian melemparkannya ke udara.

Wajah para Bhayangkara yang tersisa seketika berubah seputih kapas. Mereka benar-benar dibuat terkejut atas perlakuan sadis dari orang yang mereka kenal. Mereka tidak percaya bahwa musuh tersembunyi yang selama ini mereka waspadai justru adalah orang terdekat mereka.

"Kenapa kalian harus melawan seperti ini? Bukankah jika kalian membiarkanku mengambilnya dengan cara yang baik, kalian tentu tidak perlu harus mengorbankan nyawa?" para pelindung itu terlihat tidak peduli. Dedikasi yang saat ini mereka berikan merupakan bentuk loyalitas terakhir kepada kerajaan. Meski mereka tau akan berakhir dengan kematian, tetap saja mereka urung untuk bekerjasama dengan penjahat yang berdiri di tengah-tengah mereka.

Sosok antagonis itu kembali menyeringai sambil memasang ancang-ancang. Tangannya memutar dan mengeluarkan asap hitam nan tebal. Tanpa banyak bicara, sosok jahat itu melancarkan sihir pemusnah yang menyelubungi para Bhayangkara. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang berusaha melindungi benda sakral di aula keabadian itu merasakan efek buruknya. Mereka berteriak kesakitan dengan panca indra yang mengeluarkan darah, seolah-olah meleleh hingga ke organ dalam mereka.

"Aku akan berbaik hati mempercepat kematian kalian," ucap sosok kejam tersebut dengan gaya arogan. Ia menutup matanya sejenak dan memainkan jari telunjuknya ke atas. Para pelindung yang tengah terluka parah itu terangkat ke udara dengan darah yang masih mengalir dari panca indra mereka. Dalam sekali entakkan, para petarung andal kerajaan itu terempas ke lantai dan meregang nyawa seketika.

Sekali lagi ia tertawa, begitu keras dan menggema. Menikmati kematian konyol para pelindung yang berusaha menghalanginya. Sosok kejam itu tahu bahwa dirinya bukanlah tandingan para abdi bodoh itu. Kekuatannya hampir mencapai tingkat tertinggi. Dengan batu Somo, maka pencapaian akhir yang memuaskan itu akan segera ia dapatkan. Akan tetapi impiannya itu seketika lenyap ketika iris hitamnya mendapati benda yang ia cari telah hilang dalam gumpalan asap. Batu Somo mendadak lenyap dan meninggalkan jagrak yang kosong.

Sosok itu naik pitam. Matanya berubah merah dengan luapan emosi yang tak terkendalikan. Ia meraung dan mengeluarkan tenaga internal yang begitu besar hingga menciptakan gelombang angin yang dahsyat. Ia begitu kesal dan tak terima bahwa benda yang sudah hampir ia dapatkan hilang di depan matanya. Suara dentuman yang memekakkan telinga terdengar menggelegar di langit jingga. Mengubah rona cakrawala seketika dalam kepekatan merah. Darah para Bhayangkara yang tewas di aula keabadian bersimbah dan menguap, menciptakan fatamorgana dan bau amis yang tidak berkesudahan.

Para tetua aula perbintangan yang di pimpin oleh Datok bergegas memeriksa keadaan. Tak hanya orang-orang dengan kemampuan sihir hebat tersebut, bahkan Maharaja beserta rombongan militer kerajaan ambil bagian. Mereka berpindah melewati portal dan berdiri tepat di tengah aula keabadian yang sudah porak-poranda. Mereka terkejut dengan wajah yang hampir menyerupai kapas tatkala menyadari bahwa segel jiwa batu Ruh Alam telah rusak. Benda paling penting yang menjadi pondasi kestabilan kerajaan lenyap tak berbekas. Menghilang tanpa meninggalkan jejak oleh sihir hitam yang melegenda.

Suara leguhan terdengar pelan dari mayat-mayat yang berserakan. Gerakan terhuyung dari seorang pria bersurai hitam panjang terikat itu mengalihkan fokus semua orang. "Sagara!" panggil Maharaja kepada pria tersebut sambil bergegas menghampiri. Pria itu berupaya bangkit untuk memberi salam namun kembali ambruk di atas lantai dengan darah yang menyembur dari kerongkongannya.

"Lakukan penyembuhan!" titah Datok pada para tetua. Seketika para ahli sihir di aula tersebut mengelilingi pria yang tengah terluka itu. Tangan mereka terhunus ke depan dan dalam sekejap mengeluarkan sinar putih yang terang.

Satu per satu tetua kehabisan tenaga dan terjatuh kelelahan. "Luka yang diderita Sagara begitu dalam. Kemampuan yang kami miliki hanya bisa mengobati sebagian luka dalamnya." Ucap salah satu tetua pada Datok dan Maharaja.

Kedua orang paling berpengaruh di kerajaan itu saling bertukar pandang. Seolah paham dengan perubahan rona wajah sesepuh Jayanegara, sang Maharaja pun memberi perintah, "Antar Sagara ke pusat medis kerajaan! Katakan pada seluruh tabib kerajaan untuk melakukan seluruh metode pengobatan. Aku tidak mau tau bagaimanapun caranya, Sagara harus kembali sehat seperti sedia kala!"

Seluruh tetua aula perbintangan patuh. Mereka menundukkan tubuh dan segera membuka portal menuju pusat medis kerajaan. Dalam sekejap orang-orang itu telah menghilang bersamaan dengan satu-satunya Bhayangkara yang tersisa.

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Datok?" tanya Maharaja yang tidak bisa menyembunyikan ketegangan dan ketakutannya di depan sesepuh kerajaan. Sang Datok terlihat lebih tenang darinya namun netra abu-abu itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang telah menyelimuti hatinya.

Datok menghela napas panjang dan bergumam, "saya akan mengunjungi alam fana terlebih dulu untuk memastikan apakah wujud batu Ruh Alam yang ada di sana masih di tempat semula atau tidak. Jika sampai benda itu pun menghilang, mau tidak mau kita harus melakukan ritual pemanggilan. Selama saya berada di sana, saya harap anda bisa mempersiapkan segala sesuatunya di sini. Entah kenapa perasaan saya kali ini benar-benar tidak nyaman." Sang Maharaja pun menganggukkan kepala tanpa memberikan sanggahan. Pemimpin kerajaan itu menurut dengan patuh apa yang di minta Datok kepadanya.

Di dunia nyata, desa Muara, beberapa fenomena aneh mulai terjadi. Tanaman para petani yang semula tumbuh begitu subur dan siap panen mendadak mati dalam kurun waktu sehari semalam. Keanehan itu membuat para penduduk terheran-heran dan menimbulkan tanda tanya besar dalam diri mereka. Tidak hanya itu, arus sungai Mahakam yang selalu tenang tiba-tiba beriak dan menyebabkan volume air meningkat secara ekstrem. Banjir melanda selama beberapa hari dan mengakibatkan aktifitas desa menjadi terhenti. Meski air sungai Mahakam kemudian surut, namun anehnya beberapa anak sungai menjadi abnormal. Air yang semula keruh kini menjadi coklat kehitaman hingga menyebabkan banyak ikan yang mati. Meski kondisi air bangar itu sering terjadi namun tidak sampai berlarut-larut seperti ini. Abnormalitas sungai terjadi lebih dari empat puluh hari dan tentu saja membuat para penduduk desa semakin merasa kewalahan.

Ketua adat desa yang di desak oleh para penduduk akhirnya pergi ke lokasi tempat batu Somo terakhir kali menampakkan diri. Tempat itu berada di dalam hutan yang cukup jauh dari pemukiman penduduk dan berjarak beberapa mil dari akses jalan utama desa. Di temani oleh beberapa para aparatur desa, sang ketua adat menyusuri jalan setapak di dalam hutan. Begitu sampai di tempat tujuan, mereka di kejutkan dengan pemandangan di depan mereka. Sebuah aktifitas penambangan batubara dari perusahaan batu bara telah menggarap habis hutan tersebut tanpa pernah memberitahu kepada pihak desa Muara. Lahan yang terbuka itu tampak sangat baru dengan beberapa alat berat yang belum aktif sepenuhnya di atas tanah bebatuan yang masih basah.

Kakek Upa memejamkan mata dan berusaha mencari keberadaan batu Ruh Alam dengan mata batinnya namun eksistensi dari benda keramat itu tak kunjung terdeteksi. Tampaknya batu Somo memang telah menghilang dari tempat itu. "Pantas saja situasi dan kondisi desa kita dalam beberapa bulan terakhir ini tidak begitu baik, ternyata batu Ruh Alam memang sudah tidak ada dari tempatnya."

Dua rekan paruh baya yang ada di samping Kakek Upa pun refleks menoleh. Mereka sama-sama menelan saliva dan terlihat gugup bersamaan. "Bagaimana selanjutnya? Apa kita tanya langsung pada pihak perusahaan? Mereka tidak tahu jika yang mereka lakukan saat ini merupakan hal terlarang di desa kita," ucap Pak Tatang selaku petinggi desa kepada Kakek Upa dan Pak Mahmud.

"Sebaiknya demikian, jika terus di biarkan saya khawatir apa yang selama ini saya duga akan menjadi kenyataan," jawab Kakek Upa tanpa melepaskan pandangan dari lokasi yang telah rata dengan tanah.

Pak Mahmud selaku Camat desa pun angkat bicara, "keterlaluan! Bisa-bisanya mereka tidak melaporkan lokasi penambangan baru ini secara detail kepada pihak Kecamatan. Saya sungguh tidak menyangka jika lokasi yang mereka garap kali ini merupakan tempat penyimpanan batu Somo. Saya benar-benar minta maaf kepada pihak desa. Kali ini saya telah teledor."

Kakek Upa menghela napas panjang dan menanggapi permintaan maaf pak Mahmud dengan bijaksana, "bukan sepenuhnya salah anda. Entah mengapa saya merasa jika hilangnya batu Somo kali ini berkaitan dengan alam sebelah. Begini saja, Pak Mahmud dan Pak Tatang silakan mengkoordinasikan urusan penambangan ini dengan pihak terkait. Sedangkan saya akan melakukan ritual untuk menghubungi pihak kerajaan gaib Jayanegara. Saya akan meminta penjelasan dan saran dari Datok terhadap masalah yang sedang kita hadapi ini."

Kedua pejabat desa itu pun setuju dan tidak menunda-nunda rencana. Mereka kembali dan melakukan apa yang menjadi tugas mereka masing-masing.

Bab 2 Misi Baru

“Tidaaaak!”

Teriakan seorang pria begitu keras ketika melihat sosok perempuan di depannya terkapar bersimbah darah. Pria itu terhuyung meraih tubuh perempuan yang di cintainya. Perempuan dengan senyum yang getir itu telah terbaring lemah tak berdaya.

“Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” ucap suara rendah yang terdengar bergetar sambil terus memberikan sihir penyembuh kepada gadis fana itu. Namun perempuan yang penuh luka dalam pelukannya tak bergeming. Bahkan netra merahnya semakin redup dan hampir tertutup.

“Jangan tidur! Ku mohon, bukalah matamu!” perintah pria bersurai hitam itu dengan guncangan lembut. Nahas, perempuan yang berada dalam dekapannya malah mengeluarkan darah segar. Bibir sang gadis semakin membiru dan hampir tidak terlihat jejak napas yang naik turun di dada yang penuh cairan merah itu.

“Ti-tidak, jiwana ku!” pemuda itu gelagapan. Tangannya gemetaran menggapai seluruh wajah sang kekasih yang semakin memucat.

“Ya Tuhan! Siapapun! Tolonglah jiwanaku!” pemuda itu mengiba dengan netra hijaunya yang telah basah. Meski pemandangan menyedihkan sekaligus mengerikan itu begitu menyayat hati, nyatanya tak ada seorangpun yang bisa membantu pria itu untuk mempertahankan hidup sang kekasih. Mereka semua hanya bisa memandang pilu teriakan menyayat hati dari sang pelindung.

Sagara membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Netranya terlihat mengeluarkan butiran bening yang tidak ia sangka. Mimpi yang baru saja ia alami tampak begitu nyata dan berhasil mengaduk emosinya yang selalu penuh ketenangan. Rasa sakit akan kepergian gadis yang tak ia kenal dalam mimpinya benar-benar berimbas hingga dirinya terjaga. Seolah-olah sosok perempuan itu sungguh ada bersamanya.

“Jiwana? aku bahkan memanggilnya dengan panggilan intim seperti itu? Konyol!” Sagara berdecih kegelian mengingat arti dari panggilan tersebut. Bisa-bisanya ia menyematkan kata jiwana yang berarti kehidupan pada perempuan yang sama sekali tidak nyata itu.

Dengan perasaan kesal, pemuda itu bangkit dari tempat tidur dan menyibak tirai jendela. Matahari telah muncul di ufuk timur bersama keindahan awan Cirrocumulus , memberikan kehangatan pada suasana pagi yang sedikit dingin kala itu. Pintu terketuk ketika Sagara telah selesai bersiap. Dua orang abdi setianya berdiri tepat di sisi pintu yang telah terbuka dan mengikuti langkah tuan mereka tanpa banyak bicara.

“Danar, apakah persiapan telah rampung?” Sagara bertanya dengan suara rendah kepada salah satu abdinya yang bernama Danar Diratama. Sang abdi yang bersurai abu kecoklatan dengan netra yang berwarna sama itu menjawab, “sudah tuan. Seluruh pasukan telah berkumpul di barak kemiliteran dan siap menerima instruksi selanjutnya.”

“Bagaimana dengan persenjataan dan lokasi peperangan?” susul Sagara pada abdi lainnya yang bernama Arga Caraka. Pemuda dengan surai panjang coklat bergelombang itu menjawab tegas, “persenjataan aman dan lengkap, tuan. Akses jalan pun masih dalam kendali. Lokasi puncak peperangan bisa dipastikan terjadi di perbatasan kerajaan. Pasukan kita telah bersiaga menyambut serangan tiba-tiba dari pasukan musuh.”

“Bagus! Untuk sementara keadaan di sana kuserahkan pada kalian berdua. Aku akan segera menyusul begitu prosesi pemanggilan sang terpilih telah selesai.” Ucap Sagara yang di iringi anggukan patuh kedua bawahannya. Pemuda berperawakan tinggi dengan tubuh atletis itu dengan luwes menaiki kuda hitamnya. Ia menderu cepat meninggalkan kediaman dan menuju aula perbintangan di istana suci kerajaan.

Suara tapak kaki yang berat terdengar dari kejauhan diiringi suara gaduh dari beberapa orang anggota LSM Pemerhati Satwa dan Lingkungan hidup di kota Buana. Karina Widyanata atau yang akrab di sapa Karin, terpaksa membuka mata dengan malas ketika Nathan, sang ketua, menggebrak meja dan mengumumkan informasi penting untuk mereka. Perempuan berambut hitam lurus, panjang, terikat ekor kuda itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, menyimak penjelasan dari pria jangkung berjambang tipis di depan ruang rapat. Alisnya yang tipis membingkai netra coklatnya yang seperti kacang almond, terlihat naik di sertai senyum tipis dari bibir kecilnya yang berwarna peach.

“Jadi misi kita kali ini adalah menyelesaikan permasalah pencemaran lingkungan yang terjadi di pedalaman Kutai Barat Desa Muara.” Tutur Nathan sambil membagikan fotocopy surat aduan dari lembaga adat masyarakat yang ada di desa tersebut.

Karin mengambil lembaran kertas itu dan membacanya dengan teliti. “Air sungai berubah menjadi hitam pekat? Banyak ikan yang mati mendadak? Bukanlah ini yang di sebut dengan bangar?” eja Karin acuh tak acuh. Air sungai Mahakam yang bangar memang kerap terjadi dan itu bukanlah hal yang aneh di daerah Karin. Fenomena alam itu biasanya berlangsung paling lama satu minggu dan akan kembali seperti kondisi awalnya. Tapi kali ini sedikit berbeda, air sungai di sekitar desa Muara tak kunjung membaik selama berbulan-bulan akibat limbah dari pertambangan.

“Padahal setahuku desa itu terkenal karena hasil perikanannya. Mayoritas masyarakat mengandalkan akses sungai Muara sebagai mata pencaharian utama.” Celetuk Dio yang sudah berada disamping Karin.

“Oh ya?” timpal gadis yang tidak menyukai makanan bertekstur kenyal tersebut.

“Iyalah! Apa kamu nggak baca materi yang dibagikan Nathan barusan?” balas Dio dengan alis yang naik. Pemuda berlesung pipi itu menatap Karin dengan sedikit pelik. Bisa-bisanya perempuan berwajah melayu yang duduk di sebelahnya itu tidak tahu informasi penting tersebut. Karin hanya menanggapi jawaban Dio dengan 'oh' ringan kemudian kembali menyimak penjelasan sang ketua.

“Karena ini urusan yang cukup mendesak, maka kita akan berangkat besok pagi. Pastikan semua alat dan keperluan yang kita butuhkan dengan lengkap karena di desa yang akan kita datangi sangat jauh dari kata modern!” jelas Nathan.

“Asik! Bisa sekalian liburan. Siapa tau bisa liat pesut Mahakam yang terkenal langka!” seru Edel dengan sumringah. Perempuan berperawakan cantik bak model itu membuat Ria berdecih pelan. Gadis berkacamata tebal di samping kiri Karib memang sangat tidak menyukai tingkah Edel yang begitu manja.

Wajar saja, Edel si cantik idola satu kampus swasta di kota mereka itu merupakan anak putri semata wayang pimpinan daerah mereka. Juga, pendonor dana terbesar untuk setiap kegiatan kampus dan LSM masyarakat di sana. Meski sering membuat jengah semua anggota LSM dengan sifat kekanak-kanakannya, namun semua anggota organisasi itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menelan ludah dan bersikap seolah-olah semua itu hal yang lumrah.

“Dari pada kegiatan kita nggak ada yang memberi sokongan, mending kita pura-pura nggak lihat aja.” Bisik Ria yang terlihat semakin mual melihat aksi Edel di depannya. Karin tak ikut-ikutan. Ia memang tidak begitu mengenal Shasi secara personal. Meski ia sudah menjadi anggota LSM selama satu tahun terakhir, nyatanya ia memang tidak begitu bisa bergaul dengan karakter ceria perempuan cantik itu.

Karin tidak membenci Edel. Ia bukan tipe orang yang suka memberikan penilaian sebelum benar-benar mengenal karakter orang lebih dalam. Baginya wajar saja sikap Edel seperti itu. Bukankah karakter manja Edel memang di bentuk oleh keadaan. Keluarga yang harmonis dengan keuangan yang mendukung. Jika Karin berada diposisi Edel, mungkin saja dia akan memiliki temperamen seperti perempuan berambut blonde itu.

Karin menghela napas, mengambil ranselnya dan menarik diri keluar ruangan begitu rapat dibubarkan. Menjauhi beberapa anggota lain yang masih berhimpun di tengah ruangan sembari membahas persiapan esok hari. Sudut matanya menangkap siluet Dio yang berjalan cepat mengikuti jejak kakinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan membalikkan badan, “Kau mengikutiku?”

Dio menyunggingkan senyum ramahnya, “kita satu arah, nggak pa-pa kan kalau skalian barengan?” Karin tak menggubris. Ia tetap berjalan kearah tempat parkir dengan wajah yang acuh tak acuh.

“Rin, apa kau perlu bantuanku untuk persiapan perjalanan kali ini?” kata Dio tatkala Karin sudah duduk di atas sepeda motornya yang cukup jadul. Karin mengernyitkan alis dan sedikit kebingungan dengan sikap friendly Dio kepadanya.

“Thanks. Aku bisa sendiri.”

Seolah tidak perduli akan tanggapan Karin yang dingin, Dio kembali berucap, “Besok aku jemput di panti, ya. Tunggu aku!” pria itu kemudian berlalu dengan tarikan gas di motor besarnya tanpa mendengarkan jawaban Karin sedikitpun. Karin kembali menghela napas. Mengatur emosinya yang hampir meledak gara-gara sikap Dio yang seenaknya. Gadis cuek itu menderu tanpa hambatan, menuju panti asuhan, tempat yang bisa dianggap sebagai rumah satu-satunya untuk Karin.

Ya, Karin yatim piatu. Sejak lahir hingga saat ini, ia tidak tau siapa orang tuanya dan dari mana asal usulnya. Ibu pemilik panti hanya menyebutkan bahwa gadis berwajah oval dengan hidung kecil itu telah diletakkan di depan pintu panti ketika hujan badai. Tak ada informasi tentang perempuan itu. Bahkan pihak kepolisian pun tak pernah menerima laporan kehilangan atau pencarian anak yang hilang. Mengingat kemalangan itu, Karin kecil di tempatkan di pantai asuhan tersebut dan mendapatkan perawatan hingga saat ini.

Karin tidak perduli. Ia bukan tipe perempuan yang suka mendramatisir keadaan. Ia cukup bersyukur dengan keadaannya. Tumbuh sehat dengan pendidikan cukup sudah membuat Reina bahagia. Apalagi Bunda Eria, ibu pemilik panti begitu menyayangi semua anak asuhnya tanpa sedikitpun memberikan pembedaan. Kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan dari orang tua kandungnya sudah dipenuhi oleh ibu angkatnya tersebut dan Karin sangat mencintai wanita paruh baya itu.

“Bun, besok Karin akan berangkat ke Desa Muara.” Ijin Karin pada bunda Eria saat mereka berada di dapur setelah selesai makan malam.

“Tugas LSM lagi ya, Rin?” tanya bunda Eria dengan kelembutannya.

“Iya, Bun. Paling lama satu minggu. Kata Nathan perjalanan kesana hampir dua belas jam jika menggunakan kapal motor. Kalau lewat jalur darat sekitar tiga jam perjalanan. Itupun harus menggunakan Ketinting selama satu jam melawati Danau Marua.” Jelas Karin sambil mengingat.

Bunda Eria mengelus surai panjang Karina, “perjalanannya cukup panjang ya, Rin. Berhati-hatilah! Jaga sikap. Di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Ingat selalu pesan Bunda.”

Karin mencium lembut pipi dan punggung tangan wanita tua itu, “Karin paham, Bun. Jangan khawatir, ya.”

Sang bunda hanya mengulas senyum tersirat. Meski memiliki sedikit keraguan namun wanita tua itu tetap memberikan dukungan pada putri angkatnya tersebut. Ia tahu bahwa Karin tidak akan membuat masalah. Anak itu selalu berperilaku baik. Selama ini, Karin selalu menjadi panutan para adik angkatnya di panti. Sejak kecil, Karinbselalu membuatnya bangga. Gadis itu berprestasi dan membuatnya selalu mendapatkan beasiswa. Bunda Eria hampir tidak pernah mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan Karin. Karin memang mandiri sedari kecil.

“Sudah malam, sebaiknya kamu cepat beristirahat. Besok pagi kan sudah mau berangkat.” Saran bunda. Karin menguap dan menggeliat, “iya Bun. aku duluan, ya. Capek banget hari ini.”

Karin kembali ke kamarnya. Menutup pintu dan berbaring nyaman di atas tempat tidur kapuknya. Matanya terpejam. Perlahan-lahan kesadarannya melayang dalam sebuah kegelapan yang tidak memiliki ujung.

“Kapan kau akan kembali?” tanya sebuah suara yang berasal dari satu titik cahaya di ujung penglihatannya. Sosok itu mengenakan jubah serba hitam dengan tudung yang hampir menutupi keseluruhan wajahnya. Dari suara rendah itu, Karinmeyakini bahwa yang ada di depannya adalah seorang laki-laki. Karib bergerak mendekat. Mencoba meraih sosok yang membelakanginya, “kau siapa? Kenapa kau terus menanyakan hal itu?”

Sosok itu berbalik dan mengunci Karin dalam kesunyiannya. Meski tidak terlihat jelas, ujung bibir tipis yang merah itu menyunggingkan senyum yang Karin asumsikan sebagai seringai. Dia tidak menjawab namun aura gelap yang keluar dari balik tubuhnya itu seakan menyatu dengan hitamnya atmosfer di sekitar. Napas Karin tercekat. Diamnya pria itu membuat bulu kuduk Karin meremang. Ia gelisah dan jujur, ketakutan. Ada perasaan intimidasi yang kuat dari sosok asing tersebut.

“Kenapa? Kau ketakutan?” tangan besar dan pucat itu meraih pipi Karin. Perempuan itu terkesiap karena sentuhan yang begitu dingin di kulitnya. Karin semakin gemetar. Wajahnya kini tidak ada bedanya dengan warna kulit pria misterius itu. Ia ingin menghindar, pergi menjauhkan diri dari pandangan menusuk di depannya. Namun ia tidak bisa. Seluruh tubuhnya membeku dan ia kehilangan kata-kata.

“Kembalilah secepatnya! Aku tidak memiliki kesabaran untuk selalu menunggumu dalam kegelapan ini.” Sosok itu berbisik dengan napasnya yang hangat. Sangat kontras dengan situasi dingin nan mencekam yang keluar dari aura hitamnya.

“Siapa kau?” desis Karin dengan suara bergetar, “Kenapa kau membuatku seperti ini? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud! Kau selalu mengatakan hal yang ambigu!”

Karin merasa ia telah berteriak sekencang mungkin, akan tetapi intonasi yang terputus-putus itu justru terdengar seperti alunan lembut sebuah lagu romantis yang keluar dari laring tenggorokannya. Mendayu dan erotis. Tak ada bedanya dengan desahan menggoda dari seorang perempuan cabul yang tidak mempunyai harga diri. Sungguh menjijikkan.

Karin mengatupkan bibir dan memalingkan wajah. Ia benar-benar dibuat bingung oleh pria misterius itu sejak lama. Mimpi yang berulang selalu ia alami bersama sosok di depannya. Mulai Karin berusia sepuluh tahun hingga diusianya dua puluh lima tahun ini, suara khas pria dengan wajah yang tidak jelas itu selalu membuatnya penasaran. Pada awalnya ia mengira bahwa mimpi itu hanya bunga tidur belaka namun spekulasi nya berubah setelah mimpi itu datang seolah membuat narasi sendiri dalam kegelapan alam bawah sadarnya.

“Kita adalah takdir yang tidak bisa terelakkan. Bagaimanapun kau berusaha untuk menghindar, aku akan tetap bisa menemukan dan membuatmu terikat selamanya bersamaku. Jadi, kembalilah secepatnya kekasihku.” Sosok itu pun menghilang dengan menyisakan kecupan hikmat dipuncak kepala Karin. Seketika Karin tersentak dan terduduk di atas tempat tidurnya. Dengan pikiran rancu, ia menata dirinya yang masih gemetaran dan menghapus sisa air mata ketakutan yang tertinggal di pipinya.

Cakrawala sudah menampakkan fajar di ufuk timurnya. Menandakan hari baru telah tiba seolah menyambut Karin dengan penuh semangat. Dengan langkah gontai serta pikiran yang belum normal, Karin pun bergegas mandi dan bersiap-siap.

“Kau nggak apa-apa, Nak?” tanya bunda Eria yang sudah menyiapkan bekal untuknya, “Apa kau bermimpi buruk lagi?”

Karin menggelengkan kepala, “nggak, Bun. Ini bawaan capek kemarin aja.” Sang bunda menatap curiga namun Karin berpura-pura tidak melihat. Ia duduk di meja makan lebih awal tanpa menunggu para adik-adiknya bergabung bersamanya. Gadis itu menyantap sarapannya tanpa bertukar cerita dengan sang bunda dan itu membuat kecurigaan tersendiri pada orang tua angkatnya itu.

Di depan pintu gerbang panti, mobil MPV hitam telah terparkir rapi. Dio segera membuka pintu mobilnya begitu melihat sosok Karin dan bunda Eria keluar dari balik pintu. “Ijin pamit ya, Bun. Mohon doanya.” Ucap Dio seraya mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

“Ya Nak, Dio. Saya titip Karin, ya. Tolong jaga dia.” Balas bunda Eria sambil menepuk pundak pria berkemeja abu di samping Reina. Dio menganggukkan kepala. Ia mengangkat koper milik Karin dan memasukkannya kedalam bagasi mobil.

“Karin berangkat ya, Bun. Jaga diri bunda. Jangan kecapean! Jangan overthinking! Doain Karin supaya selamat, ya.” Pesan Karin.

Sang bunda tersenyum lembut menanggapi amanat putri angkatnya. Ia melambaikan tangan, mengiringi kepergian Karin. “Semoga ini Cuma perasaan bunda yang berlebihan saja. Semoga Karin senantiasa selamat. Aamiin.”

Bab 3 Desa Muara

Kapal motor yang cukup besar dengan dua tingkatan telah berada di atas sungai Mahakam yang luas. Sungai dengan panjang 920 km itu akan menemani perjalanan lima orang anggota LSM yang berangkat dari pelabuhan Taruna ke Desa Muara hingga dua belas jam ke depan.

Nathan, Dio, Edel , Ria dan Karin yang sudah berada di dalam kapal motor itu tidak membuang kesempatan. Mereka berusaha menikmati tugas mereka kali ini. Petikan gitar yang Nathan bawa seolah membuat suasana semakin meriah. Edel tidak tinggal diam. Dia selalu mengabadikan momen dan membagikannya di akun media sosial miliknya. Sedangkan Dio, pria itu tengah sibuk mempersiapkan beberapa materi penelitian bersama Ria. Seolah cuek dengan sekitar. Fokus pada kertas dan benda-benda tulisnya, namun diam-diam ekor matanya selalu menangkap siluet perempuan dengan pakaian oversized sweatshirt di belakangnya.

Karin, perempuan kurus dengan gayanya yang santai, sengaja melarikan diri ke buritan kapal. Ia tak ingin ikut dalam kesibukan para rekan sejawatnya. Ia lebih suka menikmati keindahan sungai Mahakam dengan kesendirian. Sesekali ia memotret, sekedar menambah koleksi foto album landscape di laptop miliknya.

“Nggak tidur siang, Rin?” tanya Dio yang sudah berdiri di samping Karin. Ia membawa sebotol kopi instan dan menyodorkannya pada gadis bermanik coklat terang di depannya. Gadis itu hanya menghela napas kemudian kembali memotret pemandangan dengan kamera DSLR miliknya.

Dio menyentak tangannya kemudian bergumam lembut, “Rin, perjalanan kita masih panjang dan lama. Apa nggak sebaiknya kamu istirahat bareng Edel di atas?”

“Nggak perlu. Aku tau kapan tubuhku perlu istirahat.” Jawaban dingin Karin membuat Dio kehilangan kata-kata. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian pergi meninggalkan Karin sendirian.

Nathan yang tidak sengaja berpapasan dengan Dio menyeringai tajam, “gagal pedekate?”

“Bacot! Minggir sana!” jawab Dio dengan rasa jengkel sambil berlalu.

“Karin itu tipe cewek introvert. Salah treatment nggak bakalan dapet!”

Dio menghentikan langkah kemudian berbalik memandang ketua tim mereka, “urus aja masalah awak sorang!” (urus saja masalahmu sendiri!)

Nathan kembali terkekeh mendengar sindiran Dio dalam bahasa Kutai. Ia sangat tau tipikal anggota LSMnya masing-masing. Meski terkenal tenang, Dio ini cenderung akan bersikap arogan jika terus-terusan di provokasi dan Nathan tidak mau mengambil resiko merasakan bogem mentah Dio hanya karena gurauannya itu.

Dua belas jam berlalu, Karin dan rombongannya yang sudah berada di pelabuhan desa Muara telah disambut oleh Kepala Camat dan aparatur desa setempat. Orang-orang penting itu tampak ramah dan bersahaja, mereka tidak membuat batas layaknya orang yang baru saling mengenal.

Pak Camat yang bernama Mahmud itu menceritakan seluk beluk desa secara garis besar sembari sesekali tertawa untuk mencairkan suasana. Sambil terus bercerita, pria berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu membawa mereka menuju penginapan terdekat dan satu-satunya di daerah tersebut. Penginapan tersebut tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai tempat beristirahat para tamu dan pendatang. Lebih tepatnya, bisa dikatakan sebagai rumah kayu biasa. Hanya saja, rumah tua itu nampak elegan karena di bangun dengan kayu ulin yang terkenal mahal.

Pak Camat mengajak tamunya itu ke dalam penginapan. Di sana terdapat dua kamar tidur dengan fasilitas yang cukup lengkap. Ada dua sofa yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan meja di tengah-tengah ruangan. Serta sebuah televisi dan kipas angin di salah satu ruangan yang mereka yakini sebagai ruang keluarga. Pak camat berdeham. Dengan sedikit malu-malu, pria tua itu berkata, “mohon maaf atas semua fasilitas yang tidak memadai ini. Mas dan mbak pasti paham kondisi desa kami yang serba penuh keterbatasan.”

“Tidak masalah, Pak. Kami sudah terbiasa. Kami bahkan sudah pernah tidur beralaskan koran disalah satu desa di pelosok Taruna.” Jawab Nathan sembari menghibur hati orang tua di depannya itu.

“Benarkah? Wah kalau begitu saya jadi tenang. Silakan mas dan mbaknya beristirahat malam ini. Besok akan saya antar berkeliling sambil berkenalan dengan para petinggi dan kepala adat desa kami.”

“Oya, mas dan mbaknya cuman berlima di sini ya. Ini rumah pribadi Camat terdahulu yang sudah dihibahkan beliau untuk dijadikan tempat serbaguna masyarakat. Jadi tidak ada yang mengurus tempat ini sebelumnya, jadi mohon maaf jika masih ada banyak debu di beberapa tempat. Konsumsi sehari-hari untuk mas dan mbak akan kami antarkan setiap pagi, siang dan sore hari. Kalau malam hari semua toko disini sudah tutup jadi jika mas dan mbaknya ingin makan cemilan bisa langsung ke dapur belakang, ya.” Jelas pak Camat dengan sopan.

Nathan pun menjawab dengan sedikit menundukkan kepala, “baik, Pak. Terima kasih banyak atas sambutan dan fasilitasnya.”

“Kalau begitu kami permisi dulu. Kalau ada apa-apa, langsung saja cari saya. Rumah saya ada di ujung sana.” Pak Camat pun melangkah keluar penginapan dan menunjukkan rumahnya dengan jari jempol beliau. Nathan dan yang lainnya menganggukkan kepala tanda memahami maksud dari isyarat tangan yang pak tua itu berikan. Pak Camat itu pun meninggalkan lima orang asing di dalam penginapan tersebut.

“Kita bagi kamar!” celetuk Edeli, “kamar depan untuk kalian para pria dan kamar itu untuk kami, para wanita.” Karin melirik ke arah belakang yang barusan di tunjuk Edel dengan lantang. Cukup besar untuk menampung tiga orang perempuan macam kami. Pikir Karin dengan wajah yang santai.

“Terserah kalianlah. Yang penting besok jangan ada yang telat. Kita harus secepatnya menyelesaikan tugas ini.” Ujar Nathan masa bodoh.

“Oke deh. Aku duluan ya, bebs. Capek banget tubuhku. Kapalnya lama betul. Kalau tau, mending naik mobil aja tadi.” Keluh Edel sambil memberikan pijatan kecil di pundaknya.

“Tukang ngeluh tidur sana!” usir Ria yang memutar bola matanya.

“Aku juga duluan, ya.” Ucap Karin yang mengikuti langkah Edel dan Ria ke dalam kamar paling belakang. Sebelum Karin sempat melangkah, Dio lebih dulu menarik tangannya. “Rin, jika ada yang gak beres. Teriak aja, ya.”

Alis Karin saling bertaut. Ada sedikit perasaan risi jika rekannya itu memberikan perhatian lebih padanya. Ia tidak suka jika kelak dijadikan bahan gosip seantero kampus jika sampai ada yang melihat keuletan Dio mendekatinya. Alih-alih marah, Karin hanya mengangguk dan melepaskan belenggu pria itu di lengan kanannya. Ia berlalu tanpa kata. Membuat Dio kembali menelan senyum dengan muka masamnya.

Dio dan Nathan itu ibarat pinang dibelah dua. Meski berbeda sikap, namun satu kampus sudah mengenal bakat alami kedua buaya darat fakultas ilmu hukum itu. Mereka berdua terkenal dengan julukan arjuna penakluk wanita. Tak ada yang tidak kenal seorang Nathan dan Dio. Dua pemuda yang dikatakan tampan dan mapan oleh banyak perempuan itu tak pernah bertahan dengan satu orang perempuan.

Mengingat begitu banyaknya mantan pacar dan perempuan yang mengantri dalam daftar petualangan cinta mereka, Karin pun enggan menjadi salah satunya. Bukan apa-apa, tipikal rekan prianya itu bukan termasuk kriteria yang bisa diterima Karin dan prinsip hidupnya. Hanya mengandalkan tampang dan modal, takkan pernah bisa membobol benteng hati Karin yang sudah sekeras tembok besar China.

Di tengah malam, Karin kembali memimpikan sosok pria dengan jubah hitam itu lagi. Kali ini dengan inti cerita yang berbeda meski tetap dalam ruang lingkup yang sama. Serba gelap dan hanya memiliki setitik cahaya dari kejauhan.

"Jarak kita semakin dekat. Aku menyukainya!" pria misterius itu tersenyum lebar hingga memberikan efek tegang di sekujur tubuh Karin. Meski pria itu merasa senang, anggaplah demikian, namun Karin menyelami bahwasanya ada kekejian serta kekejaman yang tersimpan dalam tawa kecilnya itu. Karin bergidik. Ia mendekap tubuhnya dengan kedua tangan dan berusaha untuk memundurkan langkah. Tapi sia-sia! kedua kakinya seakan-akan telah di paku di tempat itu.

"Aku semakin tidak sabar untuk merayakan pertemuan kita!" gelak sosok itu dengan angkuhnya, "meski nanti kau tidak menyadari kehadiranku, namun kau perlu tau bahwa diriku yang lain akan selalu berada di sekitarmu."

Lagi-lagi sikap pria dengan aura kegelapan pekat itu bertindak seenaknya pada tubuh Karin yang terlanjur kaku dan tak bisa digerakkan. Dia dengan berani memeluk pinggang gadis itu dan berbisik pelan, "bersama denganku, kita bisa membalas mereka. Kita bisa menciptakan dunia yang adil untuk kita berdua."

Karin berkeringat dingin. Tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya ketika jemari yang sedingin es itu berada tepat di lehernya. "Patuhlah! Aku tidak mentolerir sebuah pengkhianatan meski dari perempuan yang kucintai sekalipun." Jemari pria itu memberi tekanan beberapa saat pada leher Karin hingga meninggalkan bekas merah yang samar di kulit gadis itu.

Begitu tangan itu terlepas, Karin kembali membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Ia refleks meraba lehernya dan menelan saliva beberapa kali agar tenggorokannya tidak lagi terasa kering. Karin melirik ke arah dua temannya yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Ia mendadak merasa lega begitu menyadari bahwa Edel dan Ria tidak bergeming walaupun gadis itu terbangun dengan gerakan yang cukup berisik.

Keesokan paginya, Karin sudah duduk dengan segelas kopi di tangannya. Nathan dan Dio yang baru bangun sempat terperanjat melihat perempuan itu memakai daster berwarna putih dengan lingkaran mata yang sedikit menghitam.

“Astaga, Karina! Ngapain subuh-subuh duduk di situ pake baju begituan? Bikin kaget aja. Jantungan aku!” tegur Nathan dengan memberikan elusan di dadanya.

Karin acuh tak acuh. Ia malah menyeruput kopinya tanpa rasa bersalah sedikitpun, “ini daster pemberian Ria dan aku sangat menyukainya. Daster ini nyaman. Oh ya, sekedar informasi aja kalau aku emang terbiasa bangun jam segini jadi selanjutnya kalian nggak perlu kaget lagi, okey?”

Ya, Karin memang terbiasa. Gara-gara makhluk aneh nan misterius itu yang selalu muncul dalam mimpinya, membuatnya tidak bisa lagi memejamkan mata. Rasa kantuknya seketika hilang begitu teringat bagaimana mengerikannya ancaman pria tersebut. Meski telah berada di alam nyata, tetap saja rasa sakit dari cengkraman tangan yang dingin itu masih terasa jelas di dirinya dan itu membuat Karin semakin merasa ketakutan.

Begitu keluar dari penginapan, mata Karin langsung dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah. Suasana desa identik dengan aktivitas sungainya. Aroma segar yang diciptakan oleh pohon-pohon Kuweni telah mendominasi rongga pernapasan gadis itu. Tak hanya itu, sepanjang jalan di jembatan ulin terdapat rumah kayu yang berjejer rapi. Beberapa penduduk tampak bersiap pergi ke ladang sedangkan beberapa lainnya tampak sibuk dengan pukat, jala serta alat-alat khusus lainnya untuk menangkap ikan.

Selain aktivitas orang tua, rutinitas anak-anak serta remaja pun mulai terlihat. Mereka tampak riang berangkat ke sekolah sembari bersenda gurau dengan teman sebaya. Ada yang bersepeda, ada pula yang masih berjalan kaki. Semua terlihat seperti desa pada umumnya, begitu asri dan penuh toleransi.

“Kamu nggak takut apa, Rin?” tanya Edel ketika mereka semua sudah berada di atas jalan menuju kantor kepala desa. Karin yang sejak tadi menikmati pemandangan kini menoleh dengan ekspresi bingung, “takut apaan?”

“Bangun subuh-subuh. Sendirian. Di tempat asing begini. Ditambah suasananya agak creepy. Sumpah! Ini ngingetin aku dengan filmnya Bunda Suzanna.”

Alis Karin mendadak naik disertai senyum jahil yang tersungging, “sundel bolong?”

“Jangan disebutin napa!” seru Edel sedikit ketakutan. Karin pun terkekeh, “Imajinasimu jauh banget Del, ini udah siang. Matahari udah terik. Nggak perlu ketakutan gitu!”

Edel mengulum senyum namun masih bergelayutan di lengan Karin, “Tapi aku masih merasa nggak nyaman loh, Rin.”

“Aku kok ada feeling yang nggak enak tentang tempat ini.” Imbuh perempuan cantik bermata abu itu.

Karin menelan saliva. Ia tidak bisa membantah bahwa apa yang Edel rasakan sudah lebih dulu ia rasakan. Sejak menginjakkan kaki ke desa itu, perasaan Karin sudah tidak nyaman. Entahlah, perasaan itu tidak memberikannya spesifikasi yang jelas. Terlebih melihat pandangan masyarakat yang terlihat aneh kepada mereka. Karin menyadari, sedari kelima anggota LSM itu memutuskan mulai mengitari lingkungan sekitar, beberapa kali Karin memergoki beberapa orang penduduk lokal mencuri lihat ke arah mereka kemudian berbisik-bisik dengan tatapan tajam.

“Perkenalkan Petinggi dan Kepala Adat Desa kami.” Ucap pak Mahmud, kepala camat, pada Karin dan teman-temannya ketika mereka sudah berada di dalam kantor petinggi desa. Dua orang pria berumur tersenyum dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.

“Saya Tatang, petinggi desa.” Tutur pria yang seumuran dengan pak Camat dengan kacamata tanpa framenya.

“Saya adalah kepala adat desa, panggil saja saja Kakek Upa.” Ujar pria tua yang rambutnya hampir putih keseluruhan.

“Salam kenal Bapak-bapak sekalian.” Balas Nathan dengan memberikan jabatan tangan kepada kedua pria tadi. “Kami dari LSM Pemerhati Satwa dan Lingkungan hidup di Kota Tenggarong. Saya adalah Nathan, ketua LSM dan dari ujung kanan itu adalah Ria, Dio, Edel dan terakhir Karin. Mereka semua anggota LSM terbaik yang saya bawa untuk membantu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat Muara saat ini.” Jelas Nathan sesopan mungkin.

Pak Tatang tersenyum, “baik, sebelum kita mulai silakan duduk dengan santai sambil menikmati teh yang ada.” Petinggi desa tersebut mempersilakan para tamunya untuk duduk di sofa yang sudah tersedia. Belum sempat mereka beranjak, suara teriakan memanggil nama Kakek Upa terdengar nyaring dari ujung jalan. Semua orang dengan sigap keluar dan melihat seorang perempuan sedang berlari dengan wajah pucat serta keringat yang mengucur deras. “Kesurupan massal! Kesurupan massal!” raungnya panik.

“Tenang! Atur napas dulu!” saran pak Camat dengan wajah yang bingung.

“Tidak ada waktu, Pak! Cepat ikut saya!” balas perempuan itu sambil berusaha menenangkan dirinya. Tatapan matanya pun beralih pada Kakek Upa, “Ayok Kek! Cepat! Jika semakin lama takutnya semakin banyak korban!”

“Sebaiknya kita tunda dulu rapat kita hari ini. Mas dan mbak LSM silakan kembali. Jangan ada yang berkeliaran sampai salah satu dari kami mengunjungi kalian di penginapan nanti." Walaupun tidak memahami makna tersirat dari perintah pak Tatang, Nathan dan rombongannya tetap menganggukkan kepala dan berusaha tidak melayangkan pertanyaan.

Begitu mereka berpamitan, Kakek Upa menepuk pundak Nathan dan memandang Karin dengan sorot mata yang kompleks, “Apapun informasi yang kalian dapat, jangan pernah berjalan melewati daerah itu!” Kakek Upa menunjuk dengan tegas ke arah kebun karet di ujung barat desa.

“Kenapa, Kek?” tanya Edel penasaran. Ketiga orang tua itu saling bertukar pandang kemudian saling memberikan isyarat. Pak Tatang dan Kakek Upa berjalan mengikuti langkah kaki perempuan tadi dan menghilang dalam hitungan menit.

“Um, jika boleh tau ada apa di kebun karet itu ya, pak?” celetuk Edel yang lagi-lagi masih tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ria menyikut lengan Edel dengan mata yang melotot tajam. Ia berdesis kesal, “bisa nggak sih nurut aja!”

“Aku kan Cuma pengen tau! Nggak ada salahnya jika kita tau alasan pelarangan itu.” Jawab Edel membela diri. Pak Mahmud tertawa santai, “tidak apa-apa mba Ria. Saya juga ingin bercerita. Di sana, di dalam kebun karet itu ada sebuah hutan terlarang. Kami menyebutnya hutan Sri Molo. Konon kata orang tua jaman dulu, di sana terdapat portal yang menghubungkan dunia lain dengan dunia kita saat ini. Jika sampai terjebak dalam dimensi itu, maka tidak akan ada kesempatan untuk kembali ke dunia nyata.”

Pak Mahmud kembali tertawa, “yaaaah, namanya juga cerita dari mulut ke mulut. Tentu ada yang pro dan kontra. Meski ada yang skeptis dan menganggap itu Cuma cerita yang dikarang untuk menakuti anak muda yang suka jahil, namun sampai saat ini tidak pernah ada yang berani memasuki kawasan terlarang itu.”

“Apakah pernah ada kejadian aneh di kawasan terlarang itu yang pernah Bapak saksikan langsung selama tinggal di desa ini?” ucap Dio yang memberikan umpan balik pada penuturan pak Mahmud barusan.

“Sejauh ini belum pernah ada. Hanya saja dulu ada salah satu pendatang dari luar negeri yang melakukan ekspedisi dan menghilang tanpa jejak. Itupun terjadi sebelum saya dipindah tugaskan di sini sebagai Camat.” Jawab pak Mahmud.

Ia kemudian menambahkan, “tapi keakuratan informasi itu tidak valid, mas. Tak ada catatan tertulis yang bisa memvalidasi cerita itu. Saya saja menganggap itu hanya rumor dari mulut ke mulut yang diciptakan oleh masyarakat desa untuk menambah kesan horor kawasan terlarang itu.” Rombongan tersebut terdiam. Tak lagi ingin melanjutkan pembahasan tentang cerita aneh desa itu. Mereka hanya saling bertukar pandang dan menarik diri dari situasi yang ada.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!