..."Mencintaimu merupakan awal rasa sakit yang tak berkesudahan. Mengikat dalam ketidakberdayaan. Meleburkan harapan dalam tipu fatamorgana kehidupan." ...
...Peta wilayah kerajaan Swastamita...
...Lambang kerajaan Swastamita...
...Pengenalan tokoh utama...
...****Prolog****...
Dahulu kala, di suatu desa yang masih menganut berbagai faham Dinamisme , ada sebuah benda sakral yang sangat terkenal. Benda tersebut berupa batu seukuran dua kepalan yang memiliki kekuatan sihir yang dahsyat. Batu tersebut muncul begitu saja dan menjadi benda yang di agungkan oleh para penduduk desa. Batu itu memiliki peran penting, tidak hanya sebagai benda yang memiliki nilai jual yang tinggi namun juga mempunyai fungsi sebagai penjaga keamanan desa. Batu kristal dengan bentuk unik itu yang bernama batu Somo.
Konon, batu Somo memiliki jiwa. Merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya sehingga diperlakukan lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya. Benda itupun merupakan alat penghubung desa dengan sebuah kerajaan yang tak kasat mata bernama Swastamita. Kerajaan Swastamita merupakan kerajaan gaib yang selalu berdampingan dengan desa tersebut. Tak jarang para penghuni Swastamita akan menampakkan diri pada orang-orang desa yang beruntung. Tidak semua orang, hanya orang-orang terpilih. Bahkan tak jarang, beberapa penduduk desa setempat ada yang dibawa ke kerajaan gaib tersebut dan menjadi penghuni alam itu secara permanen.
Mereka yang tak ingin tinggal di tempat indah itu akan di kembalikan dengan membawa beberapa potongan emas seukuran ibu jari dan merekalah yang kelak akan menceritakan tentang keadaan kerajaan gaib itu pada penduduk desa lainnya. Mereka berkata bahwa kerajaan gaib itu dibatasi oleh suatu dinding yang serupa dengan riak air berwarna transparan yang terletak di tengah-tengah hutan Sri Molo. Para penduduk desa yang di pimpin oleh ketua adat di minta oleh Datok, sesepuh kerajaan Swastamita, untuk menjaga hutan dari jangkauan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebagai imbalan dari kerjasama itu, pihak kerajaan akan menjaga desa dan sekitarnya, memperkaya perikanan dan pertanian mereka secara berkesinambungan. Sistem saling menjaga itu terjalin secara turun-temurun hingga sampai di suatu hari peristiwa besar terjadi tanpa bisa mereka prediksi.
***
"Lindungi batu Somo!"
Raung salah satu Bhayangkara (pelindung/penjaga) yang menjaga aula keabadian. Tawa keji terdengar bersamaan dengan kesiapan ratusan pelindung yang berdiri mengelilingi pusat penyimpanan benda keramat kerajaan Swastamita. Senyum tipis dari sosok jahat yang membawa sepenggal kepala prajurit yang berlumuran darah itu begitu terlihat menakutkan. Ia melempar potongan kepala tersebut ke arah para Bhayangkara yang tersisa dengan seringai yang lebar.
Tubuhnya yang sudah penuh dengan lumuran darah tak juga bisa memberikan rasa puas di hatinya untuk kembali membantai manusia di sana. Dengan tarikan sihir kegelapan, sosok itu mampu menggapai tubuh salah satu penjaga yang berdiri di depannya dan kembali meremukkan tulang-tulang yang masih utuh itu dalam sekali remasan.
Tak hanya itu, kegilaan manusia jahat tersebut semakin meningkat begitu melihat adanya perlawanan dari beberapa prajurit yang tersisa. Tanpa banyak bicara, sosok yang haus darah itu kembali melakukan kebrutalan dengan aksi kejamnya. Ia membelah isi perut, mengoyak jantung dan mengeluarkan semua isi organ dalam lawannya seperti sebuah mainan kemudian melemparkannya ke udara.
Wajah para Bhayangkara yang tersisa seketika berubah seputih kapas. Mereka benar-benar dibuat terkejut atas perlakuan sadis dari orang yang mereka kenal. Mereka tidak percaya bahwa musuh tersembunyi yang selama ini mereka waspadai justru adalah orang terdekat mereka.
"Kenapa kalian harus melawan seperti ini? Bukankah jika kalian membiarkanku mengambilnya dengan cara yang baik, kalian tentu tidak perlu harus mengorbankan nyawa?" para pelindung itu terlihat tidak peduli. Dedikasi yang saat ini mereka berikan merupakan bentuk loyalitas terakhir kepada kerajaan. Meski mereka tau akan berakhir dengan kematian, tetap saja mereka urung untuk bekerjasama dengan penjahat yang berdiri di tengah-tengah mereka.
Sosok antagonis itu kembali menyeringai sambil memasang ancang-ancang. Tangannya memutar dan mengeluarkan asap hitam nan tebal. Tanpa banyak bicara, sosok jahat itu melancarkan sihir pemusnah yang menyelubungi para Bhayangkara. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang berusaha melindungi benda sakral di aula keabadian itu merasakan efek buruknya. Mereka berteriak kesakitan dengan panca indra yang mengeluarkan darah, seolah-olah meleleh hingga ke organ dalam mereka.
"Aku akan berbaik hati mempercepat kematian kalian," ucap sosok kejam tersebut dengan gaya arogan. Ia menutup matanya sejenak dan memainkan jari telunjuknya ke atas. Para pelindung yang tengah terluka parah itu terangkat ke udara dengan darah yang masih mengalir dari panca indra mereka. Dalam sekali entakkan, para petarung andal kerajaan itu terhempas ke lantai dan meregang nyawa seketika.
Sekali lagi ia tertawa, begitu keras dan menggema. Menikmati kematian konyol para pelindung yang berusaha menghalanginya. Sosok kejam itu tahu bahwa dirinya bukanlah tandingan para abdi bodoh itu. Kekuatannya hampir mencapai tingkat tertinggi. Dengan batu Somo, maka pencapaian akhir yang memuaskan itu akan segera ia dapatkan. Akan tetapi impiannya itu seketika lenyap ketika iris hitamnya mendapati benda yang ia cari telah hilang dalam gumpalan asap. Batu Somo mendadak lenyap dan meninggalkan jagrak yang kosong.
Sosok itu naik pitam. Matanya berubah merah dengan luapan emosi yang tak terkendalikan. Ia meraung dan mengeluarkan tenaga internal yang begitu besar hingga menciptakan gelombang angin yang dahsyat. Ia begitu kesal dan tak terima bahwa benda yang sudah hampir ia dapatkan hilang di depan matanya. Suara dentuman yang memekakkan telinga terdengar menggelegar di langit jingga. Mengubah rona cakrawala seketika dalam kepekatan merah. Darah para Bhayangkara yang tewas di aula keabadian bersimbah dan menguap, menciptakan fatamorgana dan bau amis yang tidak berkesudahan.
Para tetua aula perbintangan yang di pimpin oleh Datok bergegas memeriksa keadaan. Tak hanya orang-orang dengan kemampuan sihir hebat tersebut, bahkan Maharaja beserta rombongan militer kerajaan ambil bagian. Mereka berpindah melewati portal dan berdiri tepat di tengah aula keabadian yang sudah porak-poranda. Mereka terkejut dengan wajah yang hampir menyerupai kapas tatkala menyadari bahwa segel jiwa batu Somo telah rusak. Benda paling penting yang menjadi pondasi kestabilan kerajaan lenyap tak berbekas. Menghilang tanpa meninggalkan jejak oleh sihir hitam yang melegenda.
Suara lenguhan terdengar pelan dari mayat-mayat yang berserakan. Gerakan terhuyung dari seorang pria bersurai hitam panjang terikat itu mengalihkan fokus semua orang. "Bhirendra!" panggil Maharaja kepada pria tersebut sambil bergegas menghampiri. Pria itu berupaya bangkit untuk memberi salam namun kembali ambruk di atas lantai dengan darah yang menyembur dari kerongkongannya.
"Lakukan penyembuhan!" titah Datok pada para tetua. Seketika para ahli sihir di aula tersebut mengelilingi pria yang tengah terluka itu. Tangan mereka terhunus ke depan dan dalam sekejap mengeluarkan sinar putih yang terang.
Satu per satu tetua kehabisan tenaga dan terjatuh kelelahan. "Luka yang diderita Bhayangkara Danadyaksa begitu dalam. Kemampuan yang kami miliki hanya bisa mengobati sebagian luka dalamnya." Ucap salah satu tetua pada Datok dan Maharaja.
Kedua orang paling berpengaruh di kerajaan itu saling bertukar pandang. Seolah paham dengan perubahan rona wajah sesepuh Swastamita, sang Maharaja pun memberi perintah, "Antar Bhirendra ke pusat medis kerajaan! Katakan pada seluruh tabib kerajaan untuk melakukan seluruh metode pengobatan. Aku tidak mau tau bagaimanapun caranya, Bhirendra harus kembali sehat seperti sedia kala!"
Seluruh tetua aula perbintangan patuh. Mereka menundukkan tubuh dan segera membuka portal menuju pusat medis kerajaan. Dalam sekejap orang-orang itu telah menghilang bersamaan dengan satu-satunya Bhayangkara yang tersisa.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Datok?" tanya Maharaja yang tidak bisa menyembunyikan ketegangan dan ketakutannya di depan sesepuh kerajaan. Sang Datok terlihat lebih tenang darinya namun netra abu-abu itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang telah menyelimuti hatinya.
Datok menghela napas panjang dan bergumam, "saya akan mengunjungi alam fana terlebih dulu untuk memastikan apakah wujud batu Somo yang ada di sana masih di tempat semula atau tidak. Jika sampai benda itu pun menghilang, mau tidak mau kita harus melakukan ritual pemanggilan. Selama saya berada di sana, saya harap anda bisa mempersiapkan segala sesuatunya di sini. Entah kenapa perasaan saya kali ini benar-benar tidak nyaman." Sang Maharaja pun menganggukkan kepala tanpa memberikan sanggahan. Pemimpin kerajaan itu menurut dengan patuh apa yang di minta Datok kepadanya.
Di dunia nyata, desa Penyinggahan, beberapa fenomena aneh mulai terjadi. Tanaman para petani yang semula tumbuh begitu subur dan siap panen mendadak mati dalam kurun waktu sehari semalam. Keanehan itu membuat para penduduk terheran-heran dan menimbulkan tanda tanya besar dalam diri mereka. Tidak hanya itu, arus sungai Mahakam yang selalu tenang tiba-tiba beriak dan menyebabkan volume air meningkat secara ekstrem. Banjir melanda selama beberapa hari dan mengakibatkan aktifitas desa menjadi terhenti. Meski air sungai Mahakam kemudian surut, namun anehnya beberapa anak sungai menjadi abnormal. Air yang semula keruh kini menjadi coklat kehitaman hingga menyebabkan banyak ikan yang mati. Meski kondisi air bangar itu sering terjadi namun tidak sampai berlarut-larut seperti ini. Abnormalitas sungai terjadi lebih dari empat puluh hari dan tentu saja membuat para penduduk desa semakin merasa kewalahan.
Ketua adat desa yang di desak oleh para penduduk akhirnya pergi ke lokasi tempat batu Somo terakhir kali menampakkan diri. Tempat itu berada di dalam hutan yang cukup jauh dari pemukiman penduduk dan berjarak beberapa mil dari akses jalan utama desa. Di temani oleh beberapa para aparatur desa, sang ketua adat menyusuri jalan setapak di dalam hutan. Begitu sampai di tempat tujuan, mereka di kejutkan dengan pemandangan di depan mereka. Sebuah aktifitas penambangan batubara dari perusahaan Jaya Coal telah menggarap habis hutan tersebut tanpa pernah memberitahu kepada pihak desa Penyinggahan. Lahan yang terbuka itu tampak sangat baru dengan beberapa alat berat yang belum aktif sepenuhnya di atas tanah bebatuan yang masih basah.
Kakek Upa memejamkan mata dan berusaha mencari keberadaan batu Somo dengan mata batinnya namun eksistensi dari benda keramat itu tak kunjung terdeteksi. Tampaknya batu Somo memang telah menghilang dari tempat itu. "Pantas saja situasi dan kondisi desa kita dalam beberapa bulan terakhir ini tidak begitu baik, ternyata batu Somo memang sudah tidak ada dari tempatnya."
Dua rekan paruh baya yang ada di samping Kakek Upa pun refleks menoleh. Mereka sama-sama menelan saliva dan terlihat gugup bersamaan. "Bagaimana selanjutnya? Apa kita tanya langsung pada pihak perusahaan? Mereka tidak tahu jika yang mereka lakukan saat ini merupakan hal terlarang di desa kita," ucap Pak Tatang selaku petinggi desa kepada Kakek Upa dan Pak Mahmud.
"Sebaiknya demikian, jika terus di biarkan saya khawatir apa yang selama ini saya duga akan menjadi kenyataan," jawab Kakek Upa tanpa melepaskan pandangan dari lokasi yang telah rata dengan tanah.
Pak Mahmud selaku Camat desa pun angkat bicara, "keterlaluan! Bisa-bisanya mereka tidak melaporkan lokasi penambangan baru ini secara detail kepada pihak Kecamatan. Saya sungguh tidak menyangka jika lokasi yang mereka garap kali ini merupakan tempat penyimpanan batu Somo. Saya benar-benar minta maaf kepada pihak desa. Kali ini saya telah teledor."
Kakek Upa menghela napas panjang dan menanggapi permintaan maaf pak Mahmud dengan bijaksana, "bukan sepenuhnya salah anda. Entah mengapa saya merasa jika hilangnya batu Somo kali ini berkaitan dengan alam sebelah. Begini saja, Pak Mahmud dan Pak Tatang silakan mengkoordinasikan urusan penambangan ini dengan pihak terkait. Sedangkan saya akan melakukan ritual untuk menghubungi pihak kerajaan gaib Swastamita. Saya akan meminta penjelasan dan saran dari Datok terhadap masalah yang sedang kita hadapi ini."
Kedua pejabat desa itu pun setuju dan tidak menunda-nunda rencana. Mereka kembali dan melakukan apa yang menjadi tugas mereka masing-masing.
“Tidaaaak!”
Teriakan seorang pria begitu keras ketika melihat sosok perempuan di depannya terkapar bersimbah darah. Pria itu terhuyung meraih tubuh perempuan yang di cintainya. Perempuan dengan senyum yang getir itu telah terbaring lemah tak berdaya.
“Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” ucap suara rendah yang terdengar bergetar sambil terus memberikan sihir penyembuh kepada gadis fana itu. Namun perempuan yang penuh luka dalam pelukannya tak bergeming. Bahkan netra merahnya semakin redup dan hampir tertutup.
“Jangan tidur! Ku mohon, bukalah matamu!” perintah pria bersurai hitam itu dengan guncangan lembut. Nahas, perempuan yang berada dalam dekapannya malah mengeluarkan darah segar. Bibir sang gadis semakin membiru dan hampir tidak terlihat jejak napas yang naik turun di dada yang penuh cairan merah itu.
“Ti-tidak, jiwana ku!” pemuda itu gelagapan. Tangannya gemetaran menggapai seluruh wajah sang kekasih yang semakin memucat.
“Ya Tuhan! Siapapun! Tolonglah jiwanaku!” pemuda itu mengiba dengan netra hijaunya yang telah basah. Meski pemandangan menyedihkan sekaligus mengerikan itu begitu menyayat hati, nyatanya tak ada seorangpun yang bisa membantu pria itu untuk mempertahankan hidup sang kekasih. Mereka semua hanya bisa memandang pilu teriakan menyayat hati dari sang pelindung.
Bhirendra membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Netra emeraldnya terlihat mengeluarkan butiran bening yang tidak ia sangka. Mimpi yang baru saja ia alami tampak begitu nyata dan berhasil mengaduk emosinya yang selalu penuh ketenangan. Rasa sakit akan kepergian gadis yang tak ia kenal dalam mimpinya benar-benar berimbas hingga dirinya terjaga. Seolah-olah sosok perempuan itu sungguh ada bersamanya.
“Jiwana? aku bahkan memanggilnya dengan panggilan intim seperti itu? Konyol!” Bhirendra berdecih kegelian mengingat arti dari panggilan tersebut. Bisa-bisanya ia menyematkan kata jiwana yang berarti kehidupan pada perempuan yang sama sekali tidak nyata itu.
Dengan perasaan kesal, pemuda itu bangkit dari tempat tidur dan menyibak tirai jendela. Matahari telah muncul di ufuk timur bersama keindahan awan Cirrocumulus , memberikan kehangatan pada suasana pagi yang sedikit dingin kala itu. Pintu terketuk ketika Bhirendra telah selesai bersiap. Dua orang abdi setianya berdiri tepat di sisi pintu yang telah terbuka dan mengikuti langkah tuan mereka tanpa banyak bicara.
“Danar, apakah persiapan telah rampung?” Bhirendra bertanya dengan suara rendah kepada salah satu abdinya yang bernama Danar Diratama. Sang abdi yang bersurai abu kecoklatan dengan netra yang berwarna sama itu menjawab, “sudah tuan. Seluruh pasukan telah berkumpul di barak kemiliteran dan siap menerima instruksi selanjutnya.”
“Bagaimana dengan persenjataan dan lokasi peperangan?” susul Bhirendra pada abdi lainnya yang bernama Arga Caraka. Pemuda dengan surai panjang coklat bergelombang itu menjawab tegas, “persenjataan aman dan lengkap, tuan. Akses jalan pun masih dalam kendali. Lokasi puncak peperangan bisa dipastikan terjadi di perbatasan kerajaan. Pasukan kita telah bersiaga menyambut serangan tiba-tiba dari pasukan musuh.”
“Bagus! Untuk sementara keadaan di sana kuserahkan pada kalian berdua. Aku akan segera menyusul begitu prosesi pemanggilan sang terpilih telah selesai.” Ucap Bhirendra yang di iringi anggukan patuh kedua bawahannya. Pemuda berperawakan tinggi dengan tubuh atletis itu dengan luwes menaiki kuda hitamnya. Ia menderu cepat meninggalkan kediaman dan menuju aula perbintangan di istana suci kerajaan.
Suara tapak kaki yang berat terdengar dari kejauhan diiringi suara gaduh dari beberapa orang anggota LSM Pemerhati Satwa dan Lingkungan hidup di kota Tenggarong. Reina Dharma Nirmala atau yang akrab di sapa Reina, terpaksa membuka mata dengan malas ketika Rico, sang ketua, menggebrak meja dan mengumumkan informasi penting untuk mereka. Perempuan berambut hitam lurus, panjang, terikat ekor kuda itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, menyimak penjelasan dari pria jangkung berjambang tipis di depan ruang rapat. Alisnya yang tipis membingkai netra coklatnya yang seperti kacang almond, terlihat naik di sertai senyum tipis dari bibir kecilnya yang berwarna peach.
“Jadi misi kita kali ini adalah menyelesaikan permasalah pencemaran lingkungan yang terjadi di pedalaman Kutai Barat Desa Penyinggahan.” Tutur Rico sambil membagikan fotocopy surat aduan dari lembaga adat masyarakat yang ada di desa tersebut.
Reina mengambil lembaran kertas itu dan membacanya dengan teliti. “Air sungai berubah menjadi hitam pekat? Banyak ikan yang mati mendadak? Bukanlah ini yang di sebut dengan bangar?” eja Reina acuh tak acuh. Air sungai Mahakam yang bangar memang kerap terjadi dan itu bukanlah hal yang aneh di daerah Reina. Fenomena alam itu biasanya berlangsung paling lama satu minggu dan akan kembali seperti kondisi awalnya. Tapi kali ini sedikit berbeda, air sungai di sekitar desa Penyinggahan tak kunjung membaik selama berbulan-bulan akibat limbah dari pertambangan.
“Padahal setahuku desa itu terkenal karena hasil perikanannya. Mayoritas masyarakat mengandalkan akses sungai Mahakam sebagai mata pencaharian utama.” Celetuk Adit yang sudah berada disamping Reina.
“Oh ya?” timpal gadis yang tidak menyukai makanan bertekstur kenyal tersebut.
“Iyalah! Apa kamu nggak baca materi yang dibagikan Rico barusan?” balas Adit dengan alis yang naik. Pemuda berlesung pipi itu menatap Reina dengan sedikit pelik. Bisa-bisanya perempuan berwajah melayu yang duduk di sebelahnya itu tidak tahu informasi penting tersebut. Reina hanya menanggapi jawaban Adit dengan 'oh' ringan kemudian kembali menyimak penjelasan sang ketua.
“Karena ini urusan yang cukup mendesak, maka kita akan berangkat besok pagi. Pastikan semua alat dan keperluan yang kita butuhkan dengan lengkap karena di desa yang akan kita datangi sangat jauh dari kata modern!” jelas Rico.
“Asik! Bisa sekalian liburan. Siapa tau bisa liat pesut Mahakam yang terkenal langka!” seru Shasi dengan sumringah. Perempuan berperawakan cantik bak model itu membuat Ria berdecih pelan. Gadis berkacamata tebal di samping kiri Reina memang sangat tidak menyukai tingkah Shasi yang begitu manja.
Wajar saja, Shasi si cantik idola satu kampus swasta di kota mereka itu merupakan anak putri semata wayang pimpinan daerah mereka. Juga, pendonor dana terbesar untuk setiap kegiatan kampus dan LSM masyarakat di sana. Meski sering membuat jengah semua anggota LSM dengan sifat kekanak-kanakannya, namun semua anggota organisasi itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menelan ludah dan bersikap seolah-olah semua itu hal yang lumrah.
“Dari pada kegiatan kita nggak ada yang memberi sokongan, mending kita pura-pura nggak lihat aja.” Bisik Ria yang terlihat semakin mual melihat aksi Shasi di depannya. Reina tak ikut-ikutan. Ia memang tidak begitu mengenal Shasi secara personal. Meski ia sudah menjadi anggota LSM selama satu tahun terakhir, nyatanya ia memang tidak begitu bisa bergaul dengan karakter ceria perempuan cantik itu.
Reina tidak membenci Shasi. Ia bukan tipe orang yang suka memberikan penilaian sebelum benar-benar mengenal karakter orang lebih dalam. Baginya wajar saja sikap Shasi seperti itu. Bukankah karakter manja Shasi memang di bentuk oleh keadaan. Keluarga yang harmonis dengan keuangan yang mendukung. Jika Reina berada diposisi Shasi, mungkin saja dia akan memiliki temperamen seperti perempuan berambut blonde itu.
Reina menghela napas, mengambil ranselnya dan menarik diri keluar ruangan begitu rapat dibubarkan. Menjauhi beberapa anggota lain yang masih berhimpun di tengah ruangan sembari membahas persiapan esok hari. Sudut matanya menangkap siluet Adit yang berjalan cepat mengikuti jejak kakinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan membalikkan badan, “Kau mengikutiku?”
Adit menyunggingkan senyum ramahnya, “kita satu arah, nggak pa-pa kan kalau skalian barengan?” Reina tak menggubris. Ia tetap berjalan kearah tempat parkir dengan wajah yang acuh tak acuh.
“Re, apa kau perlu bantuanku untuk persiapan perjalanan kali ini?” kata Adit tatkala Reina sudah duduk di atas sepeda motornya yang cukup jadul. Reina mengernyitkan alis dan sedikit kebingungan dengan sikap friendly Adit kepadanya.
“Thanks. Aku bisa sendiri.”
Seolah tidak perduli akan tanggapan Reina yang dingin, Adit kembali berucap, “Besok aku jemput di panti, ya. Tunggu aku!” pria itu kemudian berlalu dengan tarikan gas di motor besarnya tanpa mendengarkan jawaban Reina sedikitpun. Reina kembali menghela napas. Mengatur emosinya yang hampir meledak gara-gara sikap Adit yang seenaknya. Gadis cuek itu menderu tanpa hambatan, menuju panti asuhan, tempat yang bisa dianggap sebagai rumah satu-satunya untuk Reina.
Ya, Reina yatim piatu. Sejak lahir hingga saat ini, ia tidak tau siapa orang tuanya dan dari mana asal usulnya. Ibu pemilik panti hanya menyebutkan bahwa gadis berwajah oval dengan hidung kecil itu telah diletakkan di depan pintu panti ketika hujan badai. Tak ada informasi tentang perempuan itu. Bahkan pihak kepolisian pun tak pernah menerima laporan kehilangan atau pencarian anak yang hilang. Mengingat kemalangan itu, Reina kecil di tempatkan di pantai asuhan tersebut dan mendapatkan perawatan hingga saat ini.
Reina tidak perduli. Ia bukan tipe perempuan yang suka mendramatisir keadaan. Ia cukup bersyukur dengan keadaannya. Tumbuh sehat dengan pendidikan cukup sudah membuat Reina bahagia. Apalagi Bunda Dhea, ibu pemilik panti begitu menyayangi semua anak asuhnya tanpa sedikitpun memberikan pembedaan. Kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan dari orang tua kandungnya sudah dipenuhi oleh ibu angkatnya tersebut dan Reina sangat mencintai wanita paruh baya itu.
“Bun, besok Reina akan berangkat ke pedalaman Kutai Barat.” Ijin Reina pada bunda Dhea saat mereka berada di dapur setelah selesai makan malam.
“Tugas LSM lagi ya, Re?” tanya bunda Dhea dengan kelembutannya.
“Iya, Bun. Paling lama satu minggu. Kata Rico perjalanan kesana hampir dua belas jam jika menggunakan kapal motor. Kalau lewat jalur darat sekitar tiga jam perjalanan. Itupun harus menggunakan Ketinting selama satu jam melawati Danau Jempang .” Jelas Reina sambil mengingat.
Bunda Dhea mengelus surai panjang Reina, “perjalanannya cukup panjang ya, Re. Berhati-hatilah! Jaga sikap. Di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Ingat selalu pesan Bunda.”
Reina mencium lembut pipi dan punggung tangan wanita tua itu, “Reina paham, Bun. Jangan khawatir, ya.”
Sang bunda hanya mengulas senyum tersirat. Meski memiliki sedikit keraguan namun wanita tua itu tetap memberikan dukungan pada putri angkatnya tersebut. Ia tahu bahwa Reina tidak akan membuat masalah. Anak itu selalu berperilaku baik. Selama ini, Reina selalu menjadi panutan para adik angkatnya di panti. Sejak kecil, Reina selalu membuatnya bangga. Gadis itu berprestasi dan membuatnya selalu mendapatkan beasiswa. Bunda Dhea hampir tidak pernah mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan Reina. Reina memang mandiri sedari kecil.
“Sudah malam, sebaiknya kamu cepat beristirahat. Besok pagi kan sudah mau berangkat.” Saran bunda. Reina menguap dan menggeliat, “iya Bun. Reina duluan, ya. Capek banget hari ini.”
Reina kembali ke kamarnya. Menutup pintu dan berbaring nyaman di atas tempat tidur kapuknya. Matanya terpejam. Perlahan-lahan kesadarannya melayang dalam sebuah kegelapan yang tidak memiliki ujung.
“Kapan kau akan kembali?” tanya sebuah suara yang berasal dari satu titik cahaya di ujung penglihatannya. Sosok itu mengenakan jubah serba hitam dengan tudung yang hampir menutupi keseluruhan wajahnya. Dari suara rendah itu, Reina meyakini bahwa yang ada di depannya adalah seorang laki-laki. Reina bergerak mendekat. Mencoba meraih sosok yang membelakanginya, “kau siapa? Kenapa kau terus menanyakan hal itu?”
Sosok itu berbalik dan mengunci Reina dalam kesunyiannya. Meski tidak terlihat jelas, ujung bibir tipis yang merah itu menyunggingkan senyum yang Reina asumsikan sebagai seringai. Dia tidak menjawab namun aura gelap yang keluar dari balik tubuhnya itu seakan menyatu dengan hitamnya atmosfer di sekitar. Napas Reina tercekat. Diamnya pria itu membuat bulu kuduk Reina meremang. Ia gelisah dan jujur, ketakutan. Ada perasaan intimidasi yang kuat dari sosok asing tersebut.
“Kenapa? Kau ketakutan?” tangan besar dan pucat itu meraih pipi Reina. Perempuan itu terkesiap karena sentuhan yang begitu dingin di kulitnya. Reina semakin gemetar. Wajahnya kini tidak ada bedanya dengan warna kulit pria misterius itu. Ia ingin menghindar, pergi menjauhkan diri dari pandangan menusuk di depannya. Namun ia tidak bisa. Seluruh tubuhnya membeku dan ia kehilangan kata-kata.
“Kembalilah secepatnya! Aku tidak memiliki kesabaran untuk selalu menunggumu dalam kegelapan ini.” Sosok itu berbisik dengan napasnya yang hangat. Sangat kontras dengan situasi dingin nan mencekam yang keluar dari aura hitamnya.
“Siapa kau?” desis Reina dengan suara bergetar, “Kenapa kau membuatku seperti ini? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud! Kau selalu mengatakan hal yang ambigu!”
Reina merasa ia telah berteriak sekencang mungkin, akan tetapi intonasi yang terputus-putus itu justru terdengar seperti alunan lembut sebuah lagu romantis yang keluar dari laring tenggorokannya. Mendayu dan erotis. Tak ada bedanya dengan ******* menggoda dari seorang perempuan cabul yang tidak mempunyai harga diri. Sungguh menjijikkan.
Reina mengatupkan bibir dan memalingkan wajah. Ia benar-benar dibuat bingung oleh pria misterius itu sejak lama. Mimpi yang berulang selalu ia alami bersama sosok di depannya. Mulai Reina berusia sepuluh tahun hingga diusianya dua puluh lima tahun ini, suara khas pria dengan wajah yang tidak jelas itu selalu membuatnya penasaran. Pada awalnya ia mengira bahwa mimpi itu hanya bunga tidur belaka namun spekulasi nya berubah setelah mimpi itu datang seolah membuat narasi sendiri dalam kegelapan alam bawah sadarnya.
“Kita adalah takdir yang tidak bisa terelakkan. Bagaimanapun kau berusaha untuk menghindar, aku akan tetap bisa menemukan dan membuatmu terikat selamanya bersamaku. Jadi, kembalilah secepatnya kekasihku.” Sosok itu pun menghilang dengan menyisakan kecupan hikmat dipuncak kepala Reina. Seketika Reina tersentak dan terduduk di atas tempat tidurnya. Dengan pikiran rancu, ia menata dirinya yang masih gemetaran dan menghapus sisa air mata ketakutan yang tertinggal di pipinya.
Cakrawala sudah menampakkan fajar di ufuk timurnya. Menandakan hari baru telah tiba seolah menyambut Reina dengan penuh semangat. Dengan langkah gontai serta pikiran yang belum normal, Reina pun bergegas mandi dan bersiap-siap.
“Kau nggak apa-apa, Nak?” tanya bunda Dhea yang sudah menyiapkan bekal untuknya, “Apa kau bermimpi buruk lagi?”
Reina menggelengkan kepala, “nggak, Bun. Ini bawaan capek kemarin aja.” Sang bunda menatap curiga namun Reina berpura-pura tidak melihat. Ia duduk di meja makan lebih awal tanpa menunggu para adik-adiknya bergabung bersamanya. Gadis itu menyantap sarapannya tanpa bertukar cerita dengan sang bunda dan itu membuat kecurigaan tersendiri pada orang tua angkatnya itu.
Di depan pintu gerbang panti, mobil MPV hitam telah terparkir rapi. Adit segera membuka pintu mobilnya begitu melihat sosok Reina dan bunda Dhea keluar dari balik pintu. “Ijin pamit ya, Bun. Mohon doanya.” Ucap Adit seraya mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
“Ya Nak, Adit. Saya titip Reina, ya. Tolong jaga dia.” Balas bunda Dhea sambil menepuk pundak pria berkemeja abu di samping Reina. Adit menganggukkan kepala. Ia mengangkat koper milik Reina dan memasukkannya kedalam bagasi mobil.
“Reina berangkat ya, Bun. Jaga diri bunda. Jangan kecapean! Jangan overthinking! Doain Reina supaya selamat, ya.” Pesan Reina.
Sang bunda tersenyum lembut menanggapi amanat putri angkatnya. Ia melambaikan tangan, mengiringi kepergian Reina. “Semoga ini Cuma perasaan bunda yang berlebihan saja. Semoga Reina senantiasa selamat. Aamiin.”
Kapal motor yang cukup besar dengan dua tingkatan telah berada di atas sungai Mahakam yang luas. Sungai dengan panjang 920 km itu akan menemani perjalanan lima orang anggota LSM yang berangkat dari pelabuhan Tenggarong ke Desa Penyinggahan hingga dua belas jam ke depan.
Rico, Adit, Shasi, Ria dan Reina yang sudah berada di dalam kapal motor itu tidak membuang kesempatan. Mereka berusaha menikmati tugas mereka kali ini. Petikan gitar yang Rico bawa seolah membuat suasana semakin meriah. Shasi tidak tinggal diam. Dia selalu mengabadikan momen dan membagikannya di akun media sosial miliknya. Sedangkan Adit, pria itu tengah sibuk mempersiapkan beberapa materi penelitian bersama Ria. Seolah cuek dengan sekitar. Fokus pada kertas dan benda-benda tulisnya, namun diam-diam ekor matanya selalu menangkap siluet perempuan dengan pakaian oversized sweatshirt di belakangnya.
Reina, perempuan kurus dengan gayanya yang santai, sengaja melarikan diri ke buritan kapal. Ia tak ingin ikut dalam kesibukan para rekan sejawatnya. Ia lebih suka menikmati keindahan sungai Mahakam dengan kesendirian. Sesekali ia memotret, sekedar menambah koleksi foto album landscape di laptop miliknya.
“Nggak tidur siang, Re?” tanya Adit yang sudah berdiri di samping Reina. Ia membawa sebotol kopi instan dan menyodorkannya pada gadis bermanik coklat terang di depannya. Gadis itu hanya menghela napas kemudian kembali memotret pemandangan dengan kamera DSLR miliknya.
Adit menyentak tangannya kemudian bergumam lembut, “Re, perjalanan kita masih panjang dan lama. Apa nggak sebaiknya kamu istirahat bareng Shasi di atas?”
“Nggak perlu. Aku tau kapan tubuhku perlu istirahat.” Jawaban dingin Reina membuat Adit kehilangan kata-kata. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian pergi meninggalkan Reina sendirian.
Rico yang tidak sengaja berpapasan dengan Adit menyeringai tajam, “gagal pedekate?”
“Bacot! Minggir sana!” jawab Adit dengan rasa jengkel sambil berlalu.
“Reina itu tipe cewek introvert. Salah treatment nggak bakalan dapet!”
Adit menghentikan langkah kemudian berbalik memandang ketua tim mereka, “urus aja masalah awak sorang!” (urus saja masalahmu sendiri!)
Rico kembali terkekeh mendengar sindiran Adit dalam bahasa Kutai. Ia sangat tau tipikal anggota LSMnya masing-masing. Meski terkenal tenang, Adit ini cenderung akan bersikap arogan jika terus-terusan di provokasi dan Rico tidak mau mengambil resiko merasakan bogem mentah Adit hanya karena gurauannya itu.
Dua belas jam berlalu, Reina dan rombongannya yang sudah berada di pelabuhan desa Penyinggahan telah disambut oleh Kepala Camat dan aparatur desa setempat. Orang-orang penting itu tampak ramah dan bersahaja, mereka tidak membuat batas layaknya orang yang baru saling mengenal.
Pak Camat yang bernama Mahmud itu menceritakan seluk beluk desa secara garis besar sembari sesekali tertawa untuk mencairkan suasana. Sambil terus bercerita, pria berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu membawa mereka menuju penginapan terdekat dan satu-satunya di daerah tersebut. Penginapan tersebut tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai tempat beristirahat para tamu dan pendatang. Lebih tepatnya, bisa dikatakan sebagai rumah kayu biasa. Hanya saja, rumah tua itu nampak elegan karena di bangun dengan kayu ulin yang terkenal mahal.
Pak Camat mengajak tamunya itu ke dalam penginapan. Di sana terdapat dua kamar tidur dengan fasilitas yang cukup langkap. Ada dua sofa yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan meja di tengah-tengah ruangan. Serta sebuah televisi dan kipas angin di salah satu ruangan yang mereka yakini sebagai ruang keluarga. Pak camat berdeham. Dengan sedikit malu-malu, pria tua itu berkata, “mohon maaf atas semua fasilitas yang tidak memadai ini. Mas dan mbak pasti faham kondisi desa kami yang serba penuh keterbatasan.”
“Tidak masalah, Pak. Kami sudah terbiasa. Kami bahkan sudah pernah tidur beralaskan koran disalah satu desa di pelosok Tenggarong.” Jawab Rico sembari menghibur hati orang tua di depannya itu.
“Benarkah? Wah kalau begitu saya jadi tenang. Silakan mas dan mbaknya beristirahat malam ini. Besok akan saya antar berkeliling sambil berkenalan dengan para petinggi dan kepala adat desa kami.”
“Oya, mas dan mbaknya cuman berlima di sini ya. Ini rumah pribadi Camat terdahulu yang sudah dihibahkan beliau untuk dijadikan tempat serbaguna masyarakat. Jadi tidak ada yang mengurus tempat ini sebelumnya, jadi mohon maaf jika masih ada banyak debu dibeberapa tempat. Konsumsi sehari-hari untuk mas dan mbak akan kami antarkan setiap pagi, siang dan sore hari. Kalau malam hari semua toko disini sudah tutup jadi jika mas dan mbaknya ingin makan cemilan bisa langsung ke dapur belakang, ya.” Jelas pak Camat dengan sopan.
Rico pun menjawab dengan sedikit menundukkan kepala, “baik, Pak. Terima kasih banyak atas sambutan dan fasilitasnya.”
“Kalau begitu kami permisi dulu. Kalau ada apa-apa, langsung saja cari saya. Rumah saya ada di ujung sana.” Pak Camat pun melangkah keluar penginapan dan menunjukkan rumahnya dengan jari jempol beliau. Rico dan yang lainnya menganggukkan kepala tanda memahami maksud dari isyarat tangan yang pak tua itu berikan. Pak Camat itu pun meninggalkan lima orang asing di dalam penginapan tersebut.
“Kita bagi kamar!” celetuk Shasi, “kamar depan untuk kalian para pria dan kamar itu untuk kami, para wanita.” Reina melirik ke arah belakang yang barusan di tunjuk Shasi dengan lantang. Cukup besar untuk menampung tiga orang perempuan macam kami. Pikir Reina dengan wajah yang santai.
“Terserah kalianlah. Yang penting besok jangan ada yang telat. Kita harus secepatnya menyelesaikan tugas ini.” Ujar Rico masa bodoh.
“Oke deh. Aku duluan ya, bebs. Capek banget tubuhku. Kapalnya lama betul. Kalau tau, mending naik mobil aja tadi.” Keluh Shasi sambil memberikan pijatan kecil di pundaknya.
“Tukang ngeluh tidur sana!” usir Ria yang memutar bola matanya.
“Aku juga duluan, ya.” Ucap Reina yang mengikuti langkah Shasi dan Ria ke dalam kamar paling belakang. Sebelum Reina sempat melangkah, Adit lebih dulu menarik tangannya. “Re, jika ada yang gak beres. Teriak aja, ya.”
Alis Reina saling bertaut. Ada sedikit perasaan risi jika rekannya itu memberikan perhatian lebih padanya. Ia tidak suka jika kelak dijadikan bahan gosip seantero kampus jika sampai ada yang melihat keuletan Adit mendekatinya. Alih-alih marah, Reina hanya mengangguk dan melepaskan belenggu pria itu di lengan kanannya. Ia berlalu tanpa kata. Membuat Adit kembali menelan senyum dengan muka masamnya.
Adit dan Rico itu ibarat pinang dibelah dua. Meski berbeda sikap, namun satu kampus sudah mengenal bakat alami kedua buaya darat fakultas ilmu hukum itu. Mereka berdua terkenal dengan julukan arjuna penakluk wanita. Tak ada yang tidak kenal seorang Rico Sanjaya dan Aditya Rahman. Dua pemuda yang dikatakan tampan dan mapan oleh banyak perempuan itu tak pernah bertahan dengan satu orang perempuan.
Mengingat begitu banyaknya mantan pacar dan perempuan yang mengantri dalam daftar petualangan cinta mereka, Reina pun enggan menjadi salah satunya. Bukan apa-apa, tipikal rekan prianya itu bukan termasuk kriteria yang bisa diterima Reina dan prinsip hidupnya. Hanya mengandalkan tampang dan modal, takkan pernah bisa membobol benteng hati Reina yang sudah sekeras tembok besar China.
Di tengah malam, Reina kembali memimpikan sosok pria dengan jubah hitam itu lagi. Kali ini dengan inti cerita yang berbeda meski tetap dalam ruang lingkup yang sama. Serba gelap dan hanya memiliki setitik cahaya dari kejauhan.
"Jarak kita semakin dekat. Aku menyukainya!" pria misterius itu tersenyum lebar hingga memberikan efek tegang di sekujur tubuh Reina. Meski pria itu merasa senang, anggaplah demikian, namun Reina menyelami bahwasanya ada kekejian serta kekejaman yang tersimpan dalam tawa kecilnya itu. Reina bergidik. Ia mendekap tubuhnya dengan kedua tangan dan berusaha untuk memundurkan langkah. Tapi sia-sia! kedua kakinya seakan-akan telah di paku di tempat itu.
"Aku semakin tidak sabar untuk merayakan pertemuan kita!" gelak sosok itu dengan angkuhnya, "meski nanti kau tidak menyadari kehadiranku, namun kau perlu tau bahwa diriku yang lain akan selalu berada di sekitarmu."
Lagi-lagi sikap pria dengan aura kegelapan pekat itu bertindak seenaknya pada tubuh Reina yang terlanjur kaku dan tak bisa digerakkan. Dia dengan berani memeluk pinggang gadis itu dan berbisik pelan, "bersama denganku, kita bisa membalas mereka. Kita bisa menciptakan dunia yang adil untuk kita berdua."
Reina berkeringat dingin. Tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya ketika jemari yang sedingin es itu berada tepat di lehernya. "Patuhlah! Aku tidak mentolerir sebuah pengkhianatan meski dari perempuan yang kucintai sekalipun." Jemari pria itu memberi tekanan beberapa saat pada leher Reina hingga meninggalkan bekas merah yang samar di kulit gadis itu.
Begitu tangan itu terlepas, Reina kembali membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Ia refleks meraba lehernya dan menelan saliva beberapa kali agar tenggorokannya tidak lagi terasa kering. Reina melirik ke arah dua temannya yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Ia mendadak merasa lega begitu menyadari bahwa Shasi dan Ria tidak bergeming walaupun gadis itu terbangun dengan gerakan yang cukup berisik.
Keesokan paginya, Reina sudah duduk dengan segelas kopi di tangannya. Rico dan Adit yang baru bangun sempat terperanjat melihat perempuan itu memakai daster berwarna putih dengan lingkaran mata yang sedikit menghitam.
“Astaga, Reina! Ngapain subuh-subuh duduk di situ pake baju begituan? Bikin kaget aja. Jantungan aku!” tegur Rico dengan memberikan elusan di dadanya.
Reina acuh tak acuh. Ia malah menyeruput kopinya tanpa rasa bersalah sedikitpun, “ini daster pemberian Ria dan aku sangat menyukainya. Daster ini nyaman. Oh ya, sekedar informasi aja kalau aku emang terbiasa bangun jam segini jadi selanjutnya kalian nggak perlu kaget lagi, okey?”
Ya, Reina memang terbiasa. Gara-gara makhluk aneh nan misterius itu yang selalu muncul dalam mimpinya, membuatnya tidak bisa lagi memejamkan mata. Rasa kantuknya seketika hilang begitu teringat bagaimana mengerikannya ancaman pria tersebut. Meski telah berada di alam nyata, tetap saja rasa sakit dari cengkraman tangan yang dingin itu masih terasa jelas di dirinya dan itu membuat Reina semakin merasa ketakutan.
Begitu keluar dari penginapan, mata Reina langsung di manjakan dengan pemandangan alam yang indah. Suasana desa identik dengan aktivitas sungainya. Aroma segar yang diciptakan oleh pohon-pohon Kuweni telah mendominasi rongga pernapasan gadis itu. Tak hanya itu, sepanjang jalan di jembatan ulin terdapat rumah kayu yang berjejer rapi. Beberapa penduduk tampak bersiap pergi ke ladang sedangkan beberapa lainnya tampak sibuk dengan pukat, jala serta alat-alat khusus lainnya untuk menangkap ikan.
Selain aktivitas orang tua, rutinitas anak-anak serta remaja pun mulai terlihat. Mereka tampak riang berangkat ke sekolah sembari bersenda gurau dengan teman sebaya. Ada yang bersepeda, ada pula yang masih berjalan kaki. Semua terlihat seperti desa pada umumnya, begitu asri dan penuh toleransi.
“Kamu nggak takut apa, Re?” tanya Shasi ketika mereka semua sudah berada di atas jalan menuju kantor kepala desa. Reina yang sejak tadi menikmati pemandangan kini menoleh dengan ekspresi bingung, “takut apaan?”
“Bangun subuh-subuh. Sendirian. Di tempat asing begini. Ditambah suasananya agak creepy. Sumpah! Ini ngingetin aku dengan filmnya Bunda Suzanna.”
Alis Reina mendadak naik di sertai senyum jahil yang tersungging, “sundel bolong?”
“Jangan disebutin napa!” seru Shasi sedikit ketakutan. Reina pun terkekeh, “Imajinasimu jauh banget Shas, ini udah siang. Matahari udah terik. Nggak perlu ketakutan gitu!”
Shasi mengulum senyum namun masih bergelayutan di lengan Reina, “Tapi aku masih merasa nggak nyaman loh, Re.”
“Aku kok ada feeling yang nggak enak tentang tempat ini.” Imbuh perempuan cantik bermata abu itu.
Reina menelan saliva. Ia tidak bisa membantah bahwa apa yang Shasi rasakan sudah lebih dulu ia rasakan. Sejak menginjakkan kaki ke desa itu, perasaan Reina sudah tidak nyaman. Entahlah, perasaan itu tidak memberikannya spesifikasi yang jelas. Terlebih melihat pandangan masyarakat yang terlihat aneh kepada mereka. Reina menyadari, sedari ke lima anggota LSM itu memutuskan mulai mengitari lingkungan sekitar, beberapa kali Reina memergoki beberapa orang penduduk lokal mencuri lihat ke arah mereka kemudian berbisik-bisik dengan tatapan tajam.
“Perkenalkan Petinggi dan Kepala Adat Desa kami.” Ucap pak Mahmud, kepala camat, pada Reina dan teman-temannya ketika mereka sudah berada di dalam kantor petinggi desa. Dua orang pria berumur tersenyum dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
“Saya Tatang, petinggi desa.” Tutur pria yang seumuran dengan pak Camat dengan kacamata tanpa framenya.
“Saya adalah kepala adat desa, panggil saja saja Kakek Upa.” Ujar pria tua yang rambutnya hampir putih keseluruhan.
“Salam kenal Bapak-bapak sekalian.” Balas Rico dengan memberikan jabatan tangan kepada kedua pria tadi. “Kami dari LSM Pemerhati Satwa dan Lingkungan hidup di Kota Tenggarong. Saya adalah Rico, ketua LSM dan dari ujung kanan itu adalah Ria, Adit, Shasi dan terakhir Reina. Mereka semua anggota LSM terbaik yang saya bawa untuk membantu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat Penyinggahan saat ini.” Jelas Rico sesopan mungkin.
Pak Tatang tersenyum, “baik, sebelum kita mulai silakan duduk dengan santai sambil menikmati teh yang ada.” Petinggi desa tersebut mempersilakan para tamunya untuk duduk di sofa yang sudah tersedia. Belum sempat mereka beranjak, suara teriakan memanggil nama Kakek Upa terdengar nyaring dari ujung jalan. Semua orang dengan sigap keluar dan melihat seorang perempuan sedang berlari dengan wajah pucat serta keringat yang mengucur deras. “Kesurupan massal! Kesurupan massal!” raungnya panik.
“Tenang! Atur napas dulu!” saran pak Camat dengan wajah yang bingung.
“Tidak ada waktu, Pak! Cepat ikut saya!” balas perempuan itu sambil berusaha menenangkan dirinya. Tatapan matanya pun beralih pada Kakek Upa, “Ayok Kek! Cepat! Jika semakin lama takutnya semakin banyak korban!”
“Sebaiknya kita tunda dulu rapat kita hari ini. Mas dan mbak LSM silakan kembali. Jangan ada yang berkeliaran sampai salah satu dari kami mengunjungi kalian di penginapan nanti." Walaupun tidak memahami makna tersirat dari perintah pak Tatang, Rico dan rombongannya tetap menganggukkan kepala dan berusaha tidak melayangkan pertanyaan.
Begitu mereka berpamitan, Kakek Upa menepuk pundak Rico dan memandang Reina dengan sorot mata yang kompleks, “Apapun informasi yang kalian dapat, jangan pernah berjalan melewati daerah itu!” Kakek Upa menunjuk dengan tegas ke arah kebun karet di ujung barat desa.
“Kenapa, Kek?” tanya Shasi penasaran. Ketiga orang tua itu saling bertukar pandang kemudian saling memberikan isyarat. Pak Tatang dan Kakek Upa berjalan mengikuti langkah kaki perempuan tadi dan menghilang dalam hitungan menit.
“Um, jika boleh tau ada apa di kebun karet itu ya, pak?” celetuk Shasi yang lagi-lagi masih tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ria menyikut lengan Shasi dengan mata yang melotot tajam. Ia berdesis kesal, “bisa nggak sih nurut aja!”
“Aku kan Cuma pengen tau! Nggak ada salahnya jika kita tau alasan pelarangan itu.” Jawab Shasi membela diri. Pak Mahmud tertawa santai, “tidak apa-apa mba Ria. Saya juga ingin bercerita. Di sana, di dalam kebun karet itu ada sebuah hutan terlarang. Kami menyebutnya hutan Sri Molo. Konon kata orang tua jaman dulu, di sana terdapat portal yang menghubungkan dunia lain dengan dunia kita saat ini. Jika sampai terjebak dalam dimensi itu, maka tidak akan ada kesempatan untuk kembali ke dunia nyata.”
Pak Mahmud kembali tertawa, “yaaaah, namanya juga cerita dari mulut ke mulut. Tentu ada yang pro dan kontra. Meski ada yang skeptis dan menganggap itu Cuma cerita yang dikarang untuk menakuti anak muda yang suka jahil, namun sampai saat ini tidak pernah ada yang berani memasuki kawasan terlarang itu.”
“Apakah pernah ada kejadian aneh di kawasan terlarang itu yang pernah Bapak saksikan langsung selama tinggal di desa ini?” ucap Adit yang memberikan umpan balik pada penuturan pak Mahmud barusan.
“Sejauh ini belum pernah ada. Hanya saja dulu ada salah satu pendatang dari luar negeri yang melakukan ekspedisi dan menghilang tanpa jejak. Itupun terjadi sebelum saya dipindahtugaskan di sini sebagai Camat.” Jawab pak Mahmud.
Ia kemudian menambahkan, “tapi keakuratan informasi itu tidak valid, mas. Tak ada catatan tertulis yang bisa memvalidasi cerita itu. Saya saja menganggap itu hanya rumor dari mulut ke mulut yang diciptakan oleh masyarakat desa untuk menambah kesan horor kawasan terlarang itu.” Rombongan tersebut terdiam. Tak lagi ingin melanjutkan pembahasan tentang cerita aneh desa itu. Mereka hanya saling bertukar pandang dan menarik diri dari situasi yang ada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!