"Sayang.. Mama berangkat dulu ya.. kamu baik-baik ya di rumah. Okey?" Pamit Lea pada putri semata wayang nya, Hani.
"Mama pulang nya sore kan, Ma? Gak malam-malam, hari ini?" Tanya Hani meyakinkan.
Remaja berusia sebelas tahun itu mengingatkan sang Mama untuk tidak pulang larut malam (lagi).
"Iya, Sayang. Mama janji, Mama akan pulang sore untuk temani kamu makan malam. Wish you all the best, dear.. mmuahh!" Pamit Lea kembali dan menuju mobil Mercedes merah milik nya.
Azalea pun melanjutkan acara sarapan nya lagi. Ia memandang sedih pada roti tawar yang berada di tangan nya kini. Menyesalkan karena sang Mama lagi-lagi pergi kerja dengan terburu-buru. Hingga ia tak sempat sarapan pagi dengan putrinya itu.
Tak berselang lama, Erik, ayah Hani, sekaligus juga suami dari Mama Lea turun dari anak tangga. Ia sedang mengancingkan lengan baju nya sambil berjalan terburu-buru pula menuju meja makan, tempat Hani kini duduk melihat gerak-gerik nya.
Erik lalu menyapa Hani, menyambar roti tawar, lalu melumuri nya dengan selai kacang. Aksi nya pun dinilai terburu-buru. Karena sama dengan sang istri, Erik pun hendak pergi menuju kantor.
"Papa gak duduk dulu? Temani Hani sarapan?" Tanya Hani penuh harap.
Erik menghadiahi Hani senyuman menyesal. Dan selanjutnya ia berkata dengan gaya seorang diplomat. Profesi yang memang telah dan masih ia geluti selama enam tahun terakhir ini.
"Terima kasih, Sayang. Papa harus ke kantor pagi-pagi sekali. Kamu nanti gak apa-apa kan berangkat diantar sama Pak Wahyu?" Tutur Erik sambil memberi Hani pandangan meminta maaf lagi.
"Ta..tapi Papa kan sudah janji mau antar Hani berangkat ke sekolah pagi ini!" Hani begitu vokal menyuarakan protes nya.
Erik segera menghadiahi kecu pan di pucuk kepala putri nya itu. Lalu menambahkan.
"Maaf, Sayang. Papa akan mengantarkan mu lain kali. Hari ini, Papa benar-benar dalam kondisi darurat sekali," imbuh Erik.
Lelaki itu lalu melayangkan pandangan nya sekilas ke sekitar.
"Mama mu sudah berangkat?" Tanya Erik sambil mengambil koper yang sudah dibawakan oleh salah satu asisten rumah tangga nya, Mia.
"Sudah, Pa.." jawab Hani dengan wajah murung.
Erik melihat ekspresi di wajah putri nya itu. Namun ia memilih untuk berpura-pura tak melihat nya.
Ada surat yang harus ia baca dan pelajari pagi ini di kantor. Ada surat yang juga perlu untuk ia tanda tangani, pagi ini. Ada banyak hal yang membuat nya sangat sibuk dan harus bergegas pergi sekarang juga.
Jadilah akhirnya ia harus mengorbankan wajah ceria Hani, dengan mengingkari janji nya untuk mengantarkan putrinya itu berangkat ke sekolah hari ini.
"Begini saja, Papa akan menjemput mu siang nanti. Kita setuju?" Tanya Erik akhirnya membuat janji yang baru.
Mendengar janji itu, Hani pun seketika menegakkan pandangannya lagi untuk menatap sang Papa.
"Sungguh, Pa?! Janji ya Pa! Jangan lupa lagi ya!" Tegur Hani mengingatkan Erik berkali-kali.
Bukannya kenapa. Tapi Erik telah sering kali membuat janji serupa. Namun ia sering pula melupakan janjinya itu. Pada akhirnya Hani akan merasa kecewa di penghujung hari nanti, karena menunggu kedatangan Papa nya yang ternyata lupa dengan janji untuk menjemputnya.
"Iya.. Papa janji. Papa akan menjemput mu. Nah. I have to go now, fella..love you!" Ucap Erik sambil mengusap sayang kepala Hani, sebelum akhirnya berlalu pergi menaiki mobil volvo hitam miliknya.
Hani kembali memperhatikan sosok Papanya yang pergi menghilang di balik pintu. Setelah itu, gadis itu berhenti mengunyah sisa roti dalam mulut nya selama beberapa saat.
Ia meratapi kesedihannya karena sering ditinggal sendirian di meja makan saat pagi, siang dan juga sore.
Mau bagaimana lagi?
Hania dalah putri tunggal dari pasangan Erik dan juga Azalea. Dan dengan kedua orang tua yang sama-sama sibuk berkarir, gadis itu tentu sering merasa ditinggalkan sendirian di rumah megah dua lantai milik nya itu.
Sejujurnya, jika bisa meminta. Hani lebih senang bila kedua orang tuanya tak terlalu gigih bekerja. Namun mereka memiliki waktu untuk menemaninya makan. Seperti ayah dan ibu nya Nuri.
Hani pernah berkunjung ke rumah Nuri, sahabat nya, dan mendapati kehangatan yang membuat nya iri dari keluarga sahabatnya itu.
Hani ingin bisa berbagi cerita dengan Mama.. atau menonton TV bersama dengan Papa.. ia ingin belajar memasak atau menjahit dengan Mama.. atau bisa juga ikut pergi memancing bersama Papa.
Hani begitu menginginkan kebersamaan dengan Mama Papa nya. Karena jujur saja. Di umur nya yang akan menginjak usia 12 tahun beberapa bulan lagi, remaja putri itu merasa hidup nya sungguh sepi.
Hani merasa kesepian sekali..
***
"Bibi Mia, Hani berangkat dulu ya.." pamit Hani pada salah satu asisten di rumah nya.
Usia Bibi Mia sendiri sebenarnya masih terbilang muda. Mungkin sedikit di atas usia Erik dan juga Azalea.
Aneh nya, Hani lebih merasa dekat dengan pembantu nya itu, dibanding dengan kedua orang tuanya. Mungkin karena segala kebutuhan harian Hani selalu disediakan oleh pembantu nya itu. Sehingga setiap harinya, Mia lah yamg sering bertukar kata dengannya.
"Baik, Non. Semangat belajar di sekolah ya, Non. Oh, ini bekal untuk makan siang nanti. Ada salad sama pizza sosis kesukaan Non Hani," tutur Bik Mia yang buru-buru menyodorkan tas bekal ke tangan Hani.
Hani melihat kotak bekal yang disodorkan oleh Bik Mia. Ia lalu mengambilnya dan segera pergi begitu saja, tanpa mengucapkan apa-apa.
Mia sendiri telah terbiasa untuk tak menerima meski hanya sekedar ucapan terima kasih dari majikan muda nya itu. Dan ia memaklumi nya, karena bagaimanapun juga statusnya di rumah ini hanya sebagai pembantu.
Mia pun membereskan sisa piring kotor bekas sarapan majikan muda nya tadi. Sementara itu Hani langsung masuk ke dalam mobil Mazda yang pintunya sudah dibuka oleh Pak Wahyu.
Hani tak perlu -sibuk menutup pintu mobil, karena Pak Wahyu, sopir pribadi nya lah yang kemudian menutup pintu nya.
Brak.
Hani langsung merebahkan punggung nya ke sandaran jok. Sementara pandangan nya kosong menatap pemandangan di luar jendela kaca mobil nya.
Perlahan, mobil yang Hani tumpangi pun melaju langsung menuju sekolah nya.
***
Di perjalanan, mobil yang membawa Hani ke sekolah sempat mampir ke pom bensin. Sambil menunggu mobilnya diisi bahan bakar, Hani membuka jendela di samping nya dan menatap keramaian di pom bensin sana.
Tak lama kemudian, seorang pengemis kakek-kakek yang sudah renta muncul di luar jendela Hani. Penampilan Kakek itu terlihat sangat kumuh dan juga lusuh. Hani bahkan sempat mencium aroma tak sedap dari tubuh kakek tersebut.
Remaja putri itu pun hendak menutup jendela mobil nya, namun sang kakek refleks menahan kaca jendela dengan tangan nya. Alhasil, Hani pun segera melepaskan tombol penutup kaca yang ia pegang.
"Cucu.. tolong lah Kakek, Cu.. kakek belum makan dua hari ini. Perut Kakek lapar sekali.. barangkali Cucu hendak berbagi sedikit saja rejeki kepada kakek..?" Mohon sang kakek begitu mengiba-iba.
Benak Hani langsung terbetik oleh rasa iba saat mendengar permohonan dari kakek tersebut. Sehingga tanpa pikir panjang, remaja itu pun menyerahkan selembar uang berwarna merah yang ada pada saku baju nya kepada sang kakek.
Gadis itu langsung memberikannya tanpa berkata apa-apa lagi.
Kakek tersebut lalu melihat uang seratus ribu yang baru saja ia terima dari gadis manis yang sepertinya adalah anak orang kaya itu. Wajah sang kakek langsung sumringah setelah nya. Dan ia langsung mengucapkan terima kasih berulang-ulang kepada Hani.
"Terima kasih, Cu.. terima kasih.. tapi bagaimana dengan Cucu nanti? Apa tidak apa-apa Kakek menerima uang Cucu sebesar ini?" Tanya Kakek itu kembali.
"Ambil saja, Kek. Hani bawa bekal makanan kok," jawab Hani sambil tersenyum tipis.
Wajah sang kakek pun kembali sumringah setelahnya.
"Kalau begitu.. ini.. tolong terima ini, Cu.. "
Sang kakek tiba-tiba saja menyodorkan sebuah pensil berukuran panjang, hampir 1,5 kali lipat ukuran panjangnya dari pensil 2B yang biasa, kepada Hani. Gadis itu tanpa pikir panjang langsung menolaknya.
"Gak apa-apa, Kek. Hani sudah punya pensil kok.." tolak Hani beralasan.
Kakek tersebut lalu, tiba-tiba saja mendekatkan wajah nya ke jendela kaca Hani. Dan entah kenapa, itu membuat Hani sedikit menjauhkan kepala nya dari jendela. Wajah sang kakek benar-benar terlihat lusuh sekali bila dilihat dari jarak dekat.
"Terima lah ini, Cu. Ini bukan pensil biasa. Ini adalah pensil ajaib! Dengan ini, Cucu akan mendapatkan banyak hal menarik yang Cucu inginkan! Tapi..sst... Rahasiakan ini dari siapa pun, ya Cu. Demi kebaikan cucu sendiri.." bisik sang Kakek kepada Hani.
Hani pun terperangah dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia lalu memandang pensil yang tadi diletakkan oleh sang kakek ke tangan nya.
'Pensil ajaib? Yang benar saja..' pikir Hani tak percaya.
"Makasih, Kek. Tapi..???"
Hani celingukan mencari sang kakek. Yang entah sejak kapan, telah pergi menghilang dari tempat di luar jendela mobilnya.
Hani lalu menanyakan kepergian kakek tadi kepada Pak Wahyu.
"Pak Wahyu lihat kakek tadi pergi ke mana?" Tanya Hani saat sopirnya itu kembali masuk ke dalam mobil usai membayar biaya bensin.
"Kakek? Saya gak lihat ada kakek-kakek, Non.. kita berangkat ke sekolah sekarang ya. Non?" Ajak Pak Wahyu kemudian.
Sementara itu, Hani menahan diri untuk bertanya kembali. Tahu kalau ia tak boleh mengganggu konsentrasi Pak Wahyu saat berkendara. Karena itu hal yang membahayakan nyawa mereka.
Akhirnya, Hani memutuskan untuk melupakan kemunculan Kakek yang telah memberikannya sebuah pensil tadi. Dengan asal, ia memasukkan pensil itu ke dalam tas ransel nya. Dan gadis itu kembali menutup jendela kaca mobil nya.
Ccccttt..
"Pensil ajaib? Heh.. seperti cerita yang ada di film saja!" Gumam Hani dengan suara pelan.
***
"Jadi, sampai di sini dulu pembelajaran hari ini. Ingat untuk menyelesaikan esai kalian. Ibu tunggu sampai Jumat depan ya!" Tutur Bu Lilis, guru IPS di kelas Hani.
"Iya, Bu!" Koor Hani bersama semua teman satu kelas nya.
Setelah itu, Bu Lilis pun berlalu pergi keluar kelas. Sementara Hani dan kawan sekelasnya masih sibuk membereskan perlengkapan belajar mereka. Hampir semuanya bergegas untuk segera pulang ke rumah masing-masing.
"Besok latihan Pramuka katanya libur dulu, Han. Kamu mau main ke rumah ku?" Tanya Nuri, sahabat, sekaligus juga teman sebangkunya Hani.
"Aku tanya Mama dulu ya, Nur. Tapi kayaknya sih boleh. Nanti aku kabarin deh ya!" Jawab Hani sambil tersenyum tipis.
"Iya. Nanti kabarin aja. Kamu jadi dijemput sama Papa kamu, Han?" Tanya Nuri kembali.
Kini keduanya sedang berjalan menuju gerbang sekolah.
"Gak tahu juga deh, Nur. Papa sih bilangnya mau jemput. Tapi yang udah-udah kan seringnya.. hh.." Hani menghela napas kesal.
Remaja putri itu teringat dengan pengalamannya yang cukup sering diberi janji palsu oleh Papa dan juga Mama nya. Dan siang ini, Hani pun tak cukup yakin kalau Papa nya itu akan ingat dengan janji nya lagi untuk menjemputnya.
"Eh! Itu bukannya mobil Papa kamu kan, Han?" Tunjuk Nuri ke depan jalan.
Pandangan Hani pun langsung mengikuti arah telunjuk Nuri. Dan ia dibuat gembira saat melihat penampakan mobil volvo hitam milik Erik, Papa nya.
"Iya!" Jawab Hani dengan gembira.
Kedua remaja itu lalu mempercepat langkah mereka menuju mobil volvo hitam yang terparkir di depan gerbang sekolah.
Tak lama kemudian, kaca jendela mobil pun perlahan terbuka. Dan tampaklah wajah Erik yang tersenyum hangat pada putri semata wayangnya itu.
"Hay, Sayang! Papa datang jemput kamu!" Sapa Erik sambil tetap duduk di depan kemudi mobil.
"Papa!" Seru Hani begitu gembira.
Bagaimana tak gembira. Karena kedatangan Erik ke sekolah untuk menjemputnya bisa dihitung oleh jari. Yang artinya, sangat jarang terjadi.
"Ayo kita pulang sekarang! Perut Papa sudah lapar nih, Han!" Ajak Papa sambil memasang wajah nelangsa kelaparan.
Hani pun terkekeh lepas. Sebelum masuk ke dalam mobil. Ia sempat berpamitan kepada Nuri.
"Nur, aku gak apa-apa duluan pulang?" Pamit Hani.
"Iya. Gak apa-apa. Sebentar lagi juga Ayah ku jemput kok!" Sahut Nuri sambil tersenyum manis.
"Gak pulang sekalian sama Hani, temannya Hani?" Tanya Erik, menyapa Nuri.
"Makasih, Om. Tapi rumah Nuri ngelawan arah dari rumah Hani.." jawab Nuri dengan sopan.
"Ooh.."
"Nur! Nanti aku kabarin via WA ya soal besok!" Pamit Hani, sebelum mobil yang ia naiki melaju pergi.
Dan Nuri menjawab dengan anggukan singkat, sambil melambaikan tangan.
***
Malam harinya, Hani, Lea dan juga Erik akhirnya duduk bersama di meja makan. Ketiganya menikmati makan malam bersama setelah lama tak melakukannya. Ini menghangatkan hati Hani. Ia berharap, ia bisa sering makan bersama seperti ini bersama Mama dan Papa nya lagi nanti.
"Ma, Hani besok ijin main ke rumah Nuri, boleh?" Tanya Hani tiba-tiba.
"Yah.. padahal besok Mama Papa mau ajak kamu ke Dufan. Tapi terserah kamu juga sih, Sayang.." jawab Mama Lea.
"Dufan?!! Hani mau! Hani mau Ma! Serius ke Dufan kan? Sama Mama Papa?!" Seru Hani yang langsung melonjak berdiri dan memeluk leher sang Mama.
"Hahaha.. iya, Sayang. Mama kan udah janji sama kamu untuk ngajak ke Dufan kalau Mama libur. Kebetulan besok Mama bisa libur. Papa juga. Iya, kan, Pa?" Tanya Mama Lea melirik Papa Erik.
"Mm.. Papa kabari besok ya, Ma. Soalnya Papa belum bisa mastiin bisa gak nya. Takutnya klien ngajak meeting besok, jadi.."
Erik menghentikan ucapannya saat ia menerima isyarat mata dari sang istri. Ia lalu melihat ke arah Hani yang tampak murung usai mendengar ucapannya tadi. Dan itu membuatnya merasa bersalah.
Dengan terburu-buru, Erik pun menambahkan.
"Tapi Papa akan usahakan untuk bisa ikut ke Dufan besok, oke Sayang?" Tutur Erik membujuk Hani.
Hani akhirnya bisa kembali tersenyum. Meski tak se ceria seperti sebelumnya. Lea yang tahu kalau mood putri nya itu menurun pun ikut menyemangati Hani.
"Yang semangat dong, Sayang! Walaupun semisal Papa besok gak bisa datang kan, yang penting Mama bisa. Kita nanti have fun bareng-bareng ya, Sayang! Besok, kamu mau naik wahana apa aja?" Tanya Lea mengalihkan perhatian Hani.
Dan akhirnya, acara makan malam itu bisa diakhiri dengan kondisi damai. Karena Hani sibuk berceloteh tentang berbagai wahana yang ingin dinaikinya besok.
***
Keesokan harinya...
Tok. Tok. Tok!
"Masuk, Ma! Hani lagi siapin ransel sama barang yang mau Hani bawa ke Dufan, Ma!" Teriak Hani dari dalam kamar.
Cklek..
Lea masuk ke kamar Hani. Langkahnya terasa berat saat ia mendekati putrinya itu.
Hani saat ini sedang memasukkan minyak kayu putih dan juga hand sanitizer ke dalam tas nya. Melihat itu, Lea jadi urung untuk melangkah lebih dekat lagi. Akan tetapi, ada yang harus ia katakan saat ini juga ke putrinya itu.
"Sayang.."
"Ya, Ma?"
"Bisa duduk sebentar? Ada yang mau Mama omongin.." ucap Lea dengan raut sungkan.
Hani menurut perintah Lea. Ia lalu duduk di samping Mama nya itu.
"Ada apa, Ma? Kayaknya serius banget?" Hani berkomentar.
"Jadi begini, Han.. Tadi Bos Mama telepon.. katanya Mama harus cek barang di gudang sekarang juga. Soalnya ada laporan kalau.."
Hani langsung memotong ucapan Lea.
"Jadi maksud Mama, Mama gak bisa ke Dufan sama Hani hari ini?! Terus.. Papa gimana?" Cecar Hani yang mulai dikuasai rasa kesal di hati nya.
"Papa.. sayangnya, barusan Papa juga harus pergi ke kantor nya, Sayang.. tapi, kami janji, kami bakal ajak kamu ke Dufan lain kali!" Imbuh Lea terburu-buru. Mencoba bernegosiasi dengan putrinya itu.
"Bohong! Janji! Janji! Janji! Mama Papa selalu aja ingkari janji kalian! Kalian sering ninggalin Hani sendiri di rumah! Kalian terlalu sibuk sama pekerjaan kalian! Hani benci Papa Mama! Hani minta Mama keluar! Keluar!" Amuk Hani sambil mendorong Mama nya keluar kamar.
"Sayang.. Maafin Mama, Han.. Mama juga gak mau ingkar janji. Tapi.."
"Hani gak mau dengar omongan Mama lagi! Hani mau tidur aja di kamar! Mama pergi aja sana! Kerja! Kerja! Kerja terus sana! Hiks..hiks.. huuuu..."
Hani pun terisak-isak di belakang pintu, yang tadi berhasil dibantingnya hingga menutup rapat. Hatinya sungguh merasa sedih. Liburan bersama Mama Papa yang sudah ia nanti-nantikan sejak lama, pada akhirnya harus tertunda lagi.
***
Setengah jam lama nya Hani menangis dan mengurung diri di dalam kamar. Lelah usai menangis, ia lalu tidur telentang di atas kasur nya yang empuk.
"Kenapa sih, Mama dan Papa sibuk terus? Kenapa sih mereka sibuk kerja terus? Apa mereka gak sayang sama Hani? Hani pingin main bareng sama Papa dan Mama.. Hani pingin jalan-jalan sama Papa dan Mama.." gumam Hani sambil menatap kosong ke atap kamar nya yang berwarna baby pink.
"Hh.. bete. Ngegambar aja deh!"
Hani lalu bangkit dan mengambil buku sketsa di atas meja belajar nya. Itu adalah satu-satunya hobi Hani yang paling sering menemaninya dalam menghabiskan waktu sendirian.
Gadis itu memang memiliki bakat menggambar. Itu sudah ditunjukkannya sedari kecil. Objek gambar nya biasanya adalah pemandangan. Ia belum mahir melukis profil wajah manusia.
Setelah mendapatkan buku sketsa nya, Hani meraih ke dalam tas nya. Ia hendak mengambil pensil untuk menggambar. Namun kemudian mata nya tertarik pada pensil pemberian kakek pengemis kemarin lalu.
"Hmm.. cobain pakai pensil ini aja deh. Ukurannya panjang banget. Kakek nya beli pensil sepanjang ini di mana ya?" Gumam Hani sambil mulai mencoret di atas lembaran putih buku sketsa nya.
Srat..sret.. srat.. sret..
Selama setengah jam berikutnya, Hani fokus menggambar sketsa pemandangan hutan dan pepohonan. Saat menggambar itu, Hani memikirkan saat liburannya terakhir kali ke puncak bersama dengan Mama dan Papa.
Srat.. sret.. srat.. sret..
Tok. Tok. Tok!
"Non Hani.. ini Bik Mia, Non.. Bibi bawain susu dan roti buat Non.." ucap suara Bik Mia dari luar pintu kamar Hani.
Hani berhenti menggambar. Ia tercenung sebentar.
Setelah beberapa lama, Hani lalu meletakkan buku sketsa nya ke atas kasur. Lalu ia bangkit berdiri dan berjalan mendekati pintu.
Tadi ia memang sengaja mengunci pintu kamar nya agar Mama tak bisa masuk. Ia masih merasa kesal pada Mama nya itu.
Saat sudah berdiri di depan pintu, Hani lalu bertanya dengan suara pelan.
"Mama udah berangkat, Bik?" Tanya Hani.
"..sudah, Non.." jawab Bik Mia.
Pundak Hani pun langsung lesu. Ia tadi sempat berharap kalau Mama nya masih ada di rumah. Nyatanya Lea malah buru-buru pergi memenuhi panggilan kerja dari bos nya itu.
"Huuh!" Keluh Hani, seraya membukakan pintu kamar nya.
Cklek.
Pintu terbuka, dan tampaklah wajah Bik Mia yang tersenyum hangat kepadanya. Sebuah nampan berisi segelas susu dan roti lapis kini dibawa oleh asisten di rumah Hani itu.
"Roti nya Bibi taruh di atas meja ya, Non.. Non lagi menggambar?" Tanya Bik Mia sambil meletakkan nampan tersebut ke atas meja belajar Hani.
"Iya, Bi. Hani bete sama Mama dan Papa. Mereka ingkar janji lagi aja! Bilangnya mau jalan-jalan ke Dufan. Tapi malah gak jadi lagi! Tahu gitu kan Hani mending main aja ke rumah Nuri!" Dumel Hani yang kembali duduk menyender ke headboard kasur nya.
Gadis itu meraih kembali buku sketsa serta pensilnya. Ia mulai lanjut menggores kembali di atas buku sketsa nya.
Mendengar keluhan dari Hani, Mia pun segera duduk di pinggiran kasur. Wanita itu lalu melirik sebentar ke sketsa pepohonan yang belum rampung digambar oleg Hani.
Selanjutnya, Mia mengabaikan keluhan gadis itu tadi. Lalu mengomentari sketsa buatan Hani.
"Gambarnya bagus, Non," komentar Bik Mia.
Bibir Hani masih juga mengerucut oleh rasa kesal yang ia rasakan. Agaknya pujian Mia tadi belum memberikan efek berarti bagi suasana hatinya yang mendung gulita.
Menyadari kalau usahanya untuk mengalihkan perhatian anak majikannya itu tak berhasil, Mia lalu meraih buku sketsa yang menganggur di pangkuan Hani. Dan kemudian ia menatap gambar yang ia pegang itu dengan seksama.
"Bibi selalu iri sama Non Hani," lanjut Bik Mia berkomentar.
"Iri kenapa, Bi?" Tanya Hani mulai teralihkan.
"Ya iri aja. Non Hani tuh udah cantik, baik, pintar menggambar pula!" Puji Bik Mia dengan jujur.
Mendengar pujian itu, Hani pun tertunduk malu.
"Bik Mia apaan sih!" Elak Hani dengan wajah tersipu-sipu.
"Iya, Non. Memang benar begitu. Kalau Non suruh Bibi menggambar. Pasti nanti Non bakal ngetawain gambar buatan Bibi!" Seloroh Bik Mia dengan raut bersungguh-sungguh.
"Kenapa begitu, Bi?" Tanya Hani penasaran.
"Soalnya, gambar bebek aja, Bibi gak bisa! Tangan nya suka gemetaran gitu, Non! Bawaannya udah kayak lagi ujian aja!" Imbuh Bik Mia.
"Hihihi! Masa iya, Bibi sampai gemetaran?" Tanya Hani tak percaya.
"Iya, Non! Serius! Nih, bibi buktiin ya! Boleh Bibi coba menggambar di buku nya, Non Hani?" Tanya Bik Mia meminta ijin.
Hani sigap mengangguk lalu memberikan pensil dari kakek pengemis ke tangan Bik Mia.
Detik berikutnya, tangan Mia memang benar-benar terlihat gemetaran saat ia menggambar. Objek gambar wanita itu adalah sebuah matahari yang memiliki garis wajah tersenyum. Lengkap dengan awan-awan di bawah nya.
Hani tak kuasa langsung tertawa usia melihat hasil gambar dari asisten rumah tangga nya itu.
"Hihihi! Ini gambar matahari ya. bi? Kok bentuknya lonjong gitu sih? Udah gitu keriting lagi! Bik Mia gak asal kan menggambar nya?!" Tanya Hani sambil terkekeh.
Mia tampak malu dengan gambar hasil ciptaan nya itu. Ia pun bergegas mengembalikan buku sketsa serta pensil di tangannya kembali kepada Hani.
"Bibi serius ini menggambarnya, Non. Bibi bilang juga apa, Kan? Bibi tuh payah banget kalau disuruh menggambar," imbuh Mia menegaskan kepayahannya itu..
"Hihihi.. iya. Payah banget! Hehehe.. maaf ya, Bi.." imbuh Hani terburu-buru. Khawatir bila pembantu nya yang baik hati itu akan marah karena ia tertawakan.
"Iya. Gak apa-apa, Non."
Melihat Hani yang sudah bisa kembali tertawa, Mia pun lalu lanjut berkata lagi.
"Dan Non tahu, Gak? Bibi juga iri banget sama Non Hani. Karena Non Hani masih punya Mama dan Papa yang sayang banget sama Non Hani.." ucap Bik Mia.
Mendengar itu, wajah Hani seketika kembali mengerucut sedih.
"Mama dan Papa gak sayang sama Hani, Bik. Mereka lebih sayang sama pekerjaan mereka!" Omel Hani dengan pandangan tertunduk.
"Gak benar itu, Non. Menurut Bibi, Mama dan Papa Non tuh sayang banget lho sama Non Hani. Buktinya, mereka bekerja sungguh-sungguh demi bisa membelikan semua yang Non Hani perlukan. Buktinya, sekarang Non bisa tinggal di rumah yang besar dan juga nyaman. Non Hani juga bisa bebas pilih-pilih makanan kan? Duh.. kalau ingat waktu bibi masih kecil dulu, rasanya malah jadi pingin nangis deh, Non.." tutur Bik Mia panjang kali lebar.
"Kenapa pingin nangis, Bik?"
"Ya sedih lah Non.. soalnya Bibi sering banget kelaparan karena gak ada makanan yang bisa dimakan. Soalnya Bapak nya Bibi kan udah meninggal sejak Bibi masih bayi. Jadi ibunya Bibi pontang-panting kesusahan nyari makanan buat Bibi dan juga ketiga saudara bibi lainnya.."
Hani langsung memasang wajah iba usai mendengar kisah dari Bik Mia. Ia pun tercenung lama.
"Maka dari itu, Non. Semestinya Non Hani bisa lebih bersyukur. Karena Non bisa punya rumah uang bagus, baju-baju yang bagus, dan juga makan makanan yang enak. Yang paling utama, Non harus bersyukur karena Non masih punya Mama dan Papa yang lengkap," lanjut Bik Mia menasihati.
Hani makin tertunduk lesu. Melihat itu, Bik Mia pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan anak majikannya itu sendiri untuk berpikir.
"Kalau gitu. Sekarang bibi tinggal dulu ya, Non. Bibi mau masak.. diminum susu nya, Non. Mumpung masih hangat!" Imbuh Bik Mia mengingatkan.
Hani mengangguk kaku. Sementara mata nya mengikuti kepergian sosok Bik Mia hingga keluar dari kamar nya lagi.
Merasa sedih dan juga bingung dengan perasaannya sendiri, Hani akhirnya memutuskan untuk lanjut menggambar lagi. Namun sebelumnya ia menenggak susu buatan Bik Mia hingga habis separoh nya.
Dan, selama satu jam berikutnya, gadis itu akhirnya berhasil menyelesaikan gambar pepohonan hutan yang lebat tempat ia pernah camping dulu bersama Mama dan juga Papa.
"Akhirnya selesai juga.." gumam Hani sambil menatap lekat gambar ciptaannya.
Akan tetapi, sesuatu yang ajaib terjadi tepat di depan mata kepala Hani. Tepat setelah ia selesai berkata, gambar buatannya tiba-tiba saja berkilau seperti mengeluarkan pendar cahaya hijau keemasan.
Dan, gambar yang tadinya hanya berupa sketsa pepohonan tanpa warna pun tiba-tiba saja telah berubah menjadi lukisan penuh warna hijau dan juga keemasan. Warna emas nya berasal dari gambar matahari yang memang Hani gambar di ujung halaman sketsa nya itu.
"A.. apa yang terjadi?!" Pekik Hani begitu terkejut.
Keterkejutannya tak berhenti sampai di situ saja. Karena begitu Hani menyentuh gambar yang kini penuh warna itu, tiba-tiba saja gadis itu merasakan tarikan kencang di bagian telunjuk tangannya. Tarikan yang selanjutnya menarik sosok Hani ke arah gambar yang sedang ia pegang saat ini.
Dan, sedetik kemudian, sosok Hani yang tadi duduk di atas kasur kamarnya itu pun menghilang tiba-tiba.
Tring. Hilang begitu saja. Meninggalkan kesenyapan di ruangan kamar beraksen warna baby pink milik gadis itu.
Hanya saj, buku sketsa Hani tiba-tiba terjatuh pelan di atas kasur. Dan tampak di bagian gambar jalanan yang tadinya kosong, kini terdapat gambar sosok gadis kecil yang berdiri sendirian di jalanan sana.
Jika dilihat lebih seksama, pakaian yang dipakai oleh gadis dalam gambar tersebut, serupa seperti pakaian yang dikenakan oleh Hani sesaat tadi.
Ya. Entah dengan cara bagaimana, Hani terjebak dalam gambar yang dibuatnya sendiri!
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!