NovelToon NovelToon

Until I Love You

Terlahir Ke Dunia

Yang telah lama dinanti akan segera hadir.

Napas yang terus memburu adalah harapan untuknya

Bibir tak berhenti menyebut nama-Mu

Mengejan sekuat-kuatnya agar kau bisa selamat keluar dari sana tuk menyapa dunia.

Detik-detik mencekam, waktu yang panjang telah berhasil dilalui dengan mengucap syukur pada Sang Ilahi

Pecah tangis pertamamu, menjadi penenang hati.

Tangan mungil yang mengepal kelak dewasa senantiasa menggandeng dalam suka maupun lara.

****

"Jeje, apa Bunda boleh masuk?"ucap Bu Widya di depan pintu kamar Jeje.

Jeje yang tengah duduk bersimpuh saat itu di lantai kamarnya, langsung beranjak sambil mengusap air matanya di pipi, lalu membukakan pintu untuk Bundanya. Bu Widya terus menggelengkan kepalanya, dia tahu bahwa putrinya itu sedang rapuh. Jeje pun menangis di hadapan Bundanya.

"Menangis lah, bila membuat perasaan kamu lebih baik,,"ucap Bundanya sambil memeluk Jeje.

Perlahan Jeje melepaskan pelukannya, Sang Bunda mengusap air mata yang membasahi wajah putrinya. Tiba-tiba saja Khalisa muncul di tengah-tengah mereka. Khalisa Putri, anak dari Jeje dan mendiang suaminya, dia lahir stelah 40 hari kematian Sang Ayah.

Khalisa memandangi satu persatu wajah kedua orang tua di hadapannya itu. Tanpa mencurigainya, ia meminta Bunda dan Neneknya menemaninya bermain di teras rumah.

Sebelumnya, setiap hari selepas pulang sekolah Khalisa tak pernah merasa sendirian. Karena ada Kakek dari Bundanya yang selalu menemaninya bermain. Kini jadi terasa sepi setelah Kakeknya pamit pergi untuk mengunjungi SMA Al-Fattaah.

Keduanya tentu menuruti kemauan Khalisa, menemaninya bermain di teras rumah. Beberapa menit kemudian, dering telepon rumah berbunyi. Jeje pun pergi untuk mengangkat telepon tersebut.

Rupanya telepon itu dari Ayahnya, ia meminta Jeje, Bu Widya, dan Khalisa untuk menyusul ke Jakarta. Karena akan ada acara peresmian Bank Mini di SMA Al-Fattaah.

Mendengar hal itu, Khalisa begitu bersemangat. Sebab rindunya sudah menggunung pada Sang Kakek.

Tanpa berpikir panjang lagi, Jeje dan Bu Widya menyetujuinya.

Sore itu juga mereka berangkat ke Jakarta.

Selama di perjalanan Khalisa tertidur di pangkuan Jeje dengan posisi kepala di atas paha. Sementara Jeje sulit memejamkan matanya, karena suara gaduh dalam pikirannya.

Hampir 3 jam lamanya bersama kemacetan di jalan, mereka pun sampai di hotel tempat Sang Ayah menginap. Mengetahui cucu kesayangannya tertidur pulas, Sang Kakek ternyata harus sabar menunggu esok untuk memeluknya.

Pagi harinya, udara terasa segar. Mereka semua melakukan joging bersama di sekitar hotel, sebelum berangkat ke acara peresmian Bank Mini di sekolah.

Badan sudah bersih, perut kenyang, dan berangkat.

Dari hotel ke SMA Al-Fattaah hanya memakan waktu 20 menit. Sampai di sana, memori masa sekolah melintas di benak Jeje.

3 tahun dia belajar di sekolah ini, banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang hebat dalam kehidupannya sekarang.

Taman sederhana yang berada di tengah, depan kantin dan musholla menjadi tempat kedua matanya dan mendiang Sang Suami berbicara. Seorang laki-laki berseragam SMA Tritadarma berdiri di luar gerbang sekolah dengan senyum tipis yang terus terlukis di wajahnya sebelum Jeje masuk ke dalam kelas. Sekarang hanya tinggal kenangan, dia tak akan bisa mengulang adegan yang sama lagi seperti dulu saat masih bersama.

****

Sebuah mobil Fortuner berwarna hitam baru saja tiba, dia adalah rekan kerja dari ayah Jeje, yang datang sebagai tamu undangan dalam peresmian Bank Mini SMA Al-Fattaah. Dia tak datang sendiri, ada anaknya yang selalu menjadi pendampingnya.

Gagah dan tampan mewarisi dirinya, dia bernama Roudullah Khalil. Seorang CEO di perusahaan Khalil Group.

Dia berjalan menapaki jalan menuju ke ke halaman sekolah. Tempat di mana ia dulu dihukum karena masalah sepele.

Acara peresmian pun segera dimulai, semua para tamu undangan yang hadir menduduki tempat yang telah disediakan.

Saat acara berlangsung, dari dalam saku jasnya terlihat bergetar, dia pun merogohnya, matanya melebar seketika melihat layar handphone. Dia meminta izin pada ayahnya untuk pulang lebih dulu, karena ada urusan yang sangat mendadak.

Selesai acara, Pak Budi ayah dari Roudullah Khalil menghampiri dan menjabat tangan Pak Aman selaku Ketua Yayasan SMA Al-Fattaah, dan ayah dari Jejak Kirana sebagai ucapan selamat padanya.

Sementara Jejak, Bu Widya dan Khalisa pergi ke luar. Pak Budi mengajak Pak Aman duduk untuk berbincang-bincang sejenak. Keduanya sudah lama saling mengenal semenjak putra dan putrinya duduk di bangku SMA. Pak Budi juga salah satu dari donatur di SMA Al-Fattah. Tak heran mereka begitu sangat dekat.

Pak Budi menceritakan tentang putranya yang masih melajang sampai saat ini, sedangkan ia ingin sekali segera menimang seorang cucu.

"Maaf Pak, saya jadi curhat masalah pribadi,"ucapnya sambil meringis.

"Mungkin belum waktunya saja, Pak."sahut Pak Aman, "Saya juga demikian, sedang mencarikan jodoh untuk putri saya."

Keduanya senasib, sedang mencari jodoh untuk anak-anaknya. Akhirnya mereka setuju untuk menjodohkan putra dan putrinya.

"Tapi Pak, anak saya sudah pernah menikah sebelumnya, dan memiliki seorang putri dari pernikahannya,"jelas Pak Aman membuat Pak Budi terdiam sesaat.

"Itu bukanlah masalah yang besar Pak. Mau gadis atau janda yang penting ia bersedia menikah dengan putra saya,"tegas Pak Aman.

Tak harus menunggu lama lagi, malam ini juga kedua ayah itu mengajak keluarganya ke sebuah restoran untuk membahas masalah perjodohan putra dan putrinya.

Jeje tak tahu maksud hati Sang Ayah yang mengajaknya makan malam bersama di luar rumah, sementara ayahnya gundah gulana, takut keinginannya itu ditolak oleh putra sahabatnya.

"Kamu mau ke mana?"tanya seorang wanita, teman Roudullah.

Roudullah terlihat tergesa-gesa setelah mendapat pesan dari ayahnya.

Saat itu dia berada di sebuah cafe bersama seorang teman wanitanya.

"Aku harus pergi,"

"Pergi? Kamu sadar nggak sih, kita berdua baru aja sampai di tempat ini dan kamu seenaknya mau ninggalin aku?"

"Oke, 15 menit lagi aku pergi,"

Pak Budi dan istrinya pun tiba di Endeus Resto. Kedua keluarga itu saling berjabat tangan, lalu duduk di kursi masing-masing. Pak Aman kebingungan, karena Pak Budi hanya datang bersama istrinya saja.

"Maaf sebelumnya, harus membuat Bapak dan Ibu menunggu kedatangan putra kami,"ucap Pak Budi, "Bagaimana kalau kita pesan makanannya dulu?"

Semuanya mengangguk setuju. Sajian makanan sudah tersedia di atas meja bundar. Namun Roudullah tak kunjung datang. Pak Budi semakin dibuat geram.

Jam menunjukkan pukul 8 lewat 15 menit. Pak Aman memutuskan untuk pulang, karena Khalisa harus beristirahat.

"Pak Aman, saya benar-benar minta maaf atas yang terjadi pada malam hari ini. Saya sendiri juga tidak tahu, mengapa ia tidak datang kemari,"ucap Pak Budi lirih.

"Tidak apa-apa Pak, mungkin kita bisa membicarakan hal ini dilain waktu,"sahut Pak Aman sambil menjabat tangan Pak Budi dan istrinya.

Di rumah Pak Budi dan istrinya masih menanti kedatangan putranya meski jam sudah lewat pukul 9 malam.

Dari luar rumah, terdengar suara mobil berhenti. Roudullah keluar dari mobil dan berlari menemui ayahnya.

"Ngapain kamu pulang?"tanya Papanya.

"Tadi habis dari resto, karena Papa dan Mama nggak ada di sana akhirnya aku memutuskan untuk pulang,"jawab Roudullah dengan santai.

"Kalau kamu masih bersikap seperti ini, lebih baik nggak usah pulang. Jalani saja kehidupanmu yang ada di luar sana,”jelas Papanya, "Bikin malu saja!"

"Maaf Pa, aku mengaku salah. Tapi kalau boleh tahu, ada apa Papa memintaku pergi ke resto itu?"tanya Roudullah.

"Papa dan Pak Arman telah sepakat mau menjodohkan kamu dengan putrinya,"jawab Ayahnya.

...[BERSAMBUNG]...

Demi Kamu

Tubuhnya terpaku di tempat, mencoba mencerna ucapan dari Sang Ayah beberapa detik lalu.

Pak Budi berjalan menghampiri Roudullah sambil menepuk pundaknya pelan, "Sudah saatnya kamu berkeluarga, sempurnakanlah ibadahmu, anakku,"

Saat ayahnya hendak berbalik badan, Roudullah mulai mengangkat bibirnya.

"Maaf Yah, tapi aku hanya akan menikahi wanita yang aku cintai!"tegas Roudullah mengentikan langkah ayahnya.

Roudullah pun pergi dari hadapan ayahnya, dan menuju ke kamarnya. Sementara Bu Ilhama, Ibundanya yang baru saja keluar dari kamar, menyusulnya. 

Roudullah duduk di atas ranjang dengan kedua tangan mengepal bak petinju, yang tak bisa melayangkan  kenyataan tersebut.

Ibundanya perlahan melangkahkan kaki ke kamarnya, lalu duduk di sampingnya.

"Bunda dan ayah sudah lama sekali menunggu kamu datang ke rumah ini bersama calon istrimu. Tapi kenyataannya apa, kamu nggak pernah mau menceritakan semuanya pada Bunda,"ucap Bundanya, "Kamu harus membuat keputusan yang matang, agar kamu tidak menyesalinya suatu hari nanti,"

Pagi harinya, Roudullah terlihat menuju ke arah garasi, beberapa menit kemudian ia keluar bersama mobilnya.

Arah laju mobilnya ke timur, berarti tidak pergi ke kantor.

Pak Budi duduk bersantai di halaman rumahnya, di sana terdapat sebuah gazebo kecil dikelilingi tumbuhan yang rindang, tak lupa ditemani secangkir kopi jahe buatan Bu Ilhama.

Ia mengajak istrinya ikut duduk di dekatnya.

"Semoga Allah meluluhkan hatinya ya Bun,"ucap Pak Budi sambil menyeruput kopi jahe.

Roudullah sampai di sebuah Renjana Cafe, tempat dia dan kekasihnya kerap menghabiskan waktu bersama.

Dia berjalan menuju ke arah wanita yang duduk sambil meneguk segelas ice lemon tea. Pipinya berubah merah muda sebelumnya biru membeku.

Roudullah masih terdiam, dengan telapak tangan yang mulai berkeringat.

"Ayah ingin aku segera menikah,"ucap Roudullah membuat wanita itu melotot.

Dalam perjalanan menuju ke Bandung, Pak Aman tampak berwajah muram, membuat Jeje bertanya-tanya, hal apakah yang menyebabkan ayahnya itu terus membungkam mulut sepanjang jalan.

Sampai di rumah, ayahnya pun masih enggan berbicara. Bahkan, Ibundanya tak dihiraukannya.

Khalisa sendiri tengah sibuk mengerjakan tugas prakarya, yaitu membuat anyaman dari kertas buffalo.

Tahu bahwa Kakeknya begitu mahir dalam membuat karya seni. Dia pergi meminta bantuan pada kakeknya.

Sang Kakek yang saat itu duduk di sofa sambil membaca buku, tak sadar ditemani oleh cucunya.

Dia pun langsung meletakkan bukunya, dan mengajak Khalisa ikut duduk di sampingnya.

"Kakek sibuk ya?"tanya Khalisa.

"Kebetulan kakek sudah selesai membaca bukunya, apa Khalisa butuh sesuatu?"

Khalisa mengangguk cepat. "Ada tugas prakarya, tapi Khalisa bingung sekali buatnya Kek,"

Khalisa pun memperlihatkan tugas prakarya nya pada Sang Kakek, dan mengerjakannya bersama, lalu Jeje datang membawa 2 secangkir teh hangat beserta pisang bolen sebagai penggugah semangat.

15 menit berlalu, prakarya anyaman dari kertas buffalo sudah selesai beserta mewarnainya.

Khalisa begitu menyukai hasil karya tangan kakeknya itu, lalu pergi ke kamarnya untuk menyimpannya di tas sekolah.

Tinggallah Jeje dan ayahnya di ruang tamu, Sang Ayah asyik melahap pisang bolen dan menyisakannya satu buah untuk putri semata wayangnya itu.

Tangan ayahnya yang membawa satu pisang bolen mendarat ke wilayah mulutnya, Jeje pun menganga lebar.

***

Wanita itu memberi senyum miring setelah mendengar ucapan dari Roudullah.

"Ayah kamu itu aneh ya, dulu aja nolak ajakan kamu untuk nikah muda. Sekarang malah seenaknya nyuruh kamu buat nikah,"ucapnya geram.

"Tapi kamu setuju kan, kita segera menikah?"tanya Roudullah membuatnya melongo.

"Sorry, aku nggak bisa,"jawabnya dengan cepat, "Kamu tahu kan, karir aku sekarang ini lagi meroket, jadi tunggu aku siap dulu ya,"

Roudullah geleng-geleng kepala melihat sikap kekasihnya yang tiba-tiba berubah. Sebelumnya dia begitu ngotot sekali ingin segera menikah.

"Jadi kamu pilih untuk melepaskan aku?"tanya Roudullah.

Wanita itu memilih membungkam mulutnya.

Roudullah tiba di rumah, kedua orang tuanya sudah lama menantinya pulang.

Sang Ayah begitu tak sabar menunggu jawaban.

Dengan berat hati, memberikan setengah senyum bibirnya berucap setuju.

Pak Aman mulai menceritakan tentang keinginannya pada Jeje. Dia tak ingin, putri semata wayangnya itu terpaksa karena menikah, bukan atas kemauannya sendiri.

"Je, Ayah dan Bundamu kini sudah tidak muda lagi. Ayah ingin, ada seseorang yang bisa menjaga dan menyayangi kamu dan Khalisa setiap saat,"ucap Ayahnya membuat matanya membulat.

"Maksud Ayah, apakah Ayah ingin aku menikah lagi?"tanya Jeje.

"Iya nggak ada salahnya, kan?  Biar Khalisa ada yang bantuin tugas prakarya nya!"jawab Ayahnya.

Sepanjang malam dia terbangun hanya untuk memastikan akan impian Sang Ayah urung. Betapa dia terjaga dari angan-angan yang semu.

Terik matahari pagi menyengat agah diiringi sarayu yang mengayun-ayun kalbu. Dia melangkahkan kaki ke Bandung.

Di Bandung, Roudullah dan kedua orang tuanya hendak mengunjungi sebuah villa yang akan dijadikan sebagai villa pribadi. Tepatnya di Villa Arunika, yang berada di tengah kompleks perumahan elite.

Di sana juga ada Pak Aman yang sedang berkunjung ke rumah saudaranya di perumahan elite tersebut. Pak Budi pun mengajaknya singgah sejenak di villanya.

Dengan senang hati, Pak Aman menerimanya. Tak lupa Pak Budi memperkenalkan Roudullah pada sahabatnya itu.

Langit sudah semakin gelap, Pak Aman memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Sebelum pergi, Pak Aman membisikkan sesuatu ke telinga Roudullah.

"Rumah kami akan selalu terbuka untuk kamu,"ucap Pak Aman lirih.

Bu Widya terlihat cemas di teras rumah, menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. Jeje meminta Ibunya agar tetap tenang.

Tidak lama kemudian, terdengar suara mobil berhenti di depan pagar rumahnya, akhirnya mereka bisa bernapas lega setelah melihat orang terkasihnya itu tiba di rumah.

"Assalamualaikum, maaf ayah sudah membuat kalian menunggu,"ucap Pak Aman dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya.

"Kita di sini cemas loh Yah, tapi kenapa wajah Ayah keliatan senang sekali?"tanya Bu Widya.

"Lebih baik kita masuk rumah dulu, ayah ceritakan nanti,"jawab Pak Aman.

Jeje menutup pintu rumah, sedangkan

Ayah dan Bundanya duduk di sofa ruang tamu, menceritakan perjalanan laki-laki paruh baya itu.

"Ibu tahu nggak, Ayah tidak pernah menyangka hari ini akan bertemu  mereka di perumahan elite itu!"ucap Pak Aman sumringah.

"Memang Ayah bertemu dengan siapa?"tanya Bu Widya.

"Siapa lagi kalau bukan calon besan dan anak mantu kita, Bu,"jawab Pak Aman membuat Jeje ikut berbaur dan menyimaknya.

Matahari setinggi tombak, Roudullah berada di Dihyan Furniture. Perusahaan di bidang produksi mebel minimalis yang menjual jasa pembuatan berbagai produk kitchen set, meja kantor, front office, dan sebagainya.

Dihyan Furniture menjual berbagai macam interior dengan mengusung sistem Made To Order.

Perusahaan tersebut didirikan oleh mendiang Sang Kakek, yang saat itu membuka usaha mebel kecil-kecilan di kota kelahirannya, Solo. Saat ini, perusahaan tersebut dipegang oleh ayahnya, Roudullah sendiri di sana sebagai CEO.

"Dul, ini ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera,"ucap seorang laki-laki pada Roudullah.

Putra Syahreza, dia merupakan sekretaris kepercayaan Roudullah. Masih betah menjomblo.

Dul, panggilan kesayangan darinya untuk Roudullah sejak masih duduk di bangku kuliah.

Roudullah hanya menganggukkan kepala, biasanya dia selalu bersemangat. Hari ini, dia menjadi poker face.

Putra tentu tak ingin melewatkan momen ini.

"Tumben hari ini kau absen telepon kekasihmu itu. Sudah bosan kah, dia"?cetusnya membuat Roudullah menengok ke arahnya.

"Kamu jangan asal tuduh ya! Ia nggak akan pernah melakukan itu padaku,"tegas Roudullah.

"Oke, terus kapan rencana kalian mau menikah?"tanya Putra mengheningkan suasana di dalam ruangan.

Roudullah pun pergi mengajak Putra ke luar kantor, untuk membicarakan soal perjodohannya.

Keduanya mampir ke cafe sebelah kantornya.

"Ada apa sih?"tanya Putra.

"Aku akan dijodohkan dengan perempuan lain,"jawab Roudullah membuat Putra melotot.

"Kenapa? Maksudnya kenapa bukan kekasihmu yang menikah denganmu?"

Roudullah menghela napas berat. "Karena ia menolak ajakanku untuk menikah!"

***

Di depan gerbang Sekolah Dasar Langki, kaki berdiri menatap daun pintu kelas 7 terbuka. Bel pulang  berbunyi, melihat permata hidup berlari ke arahku.

Meski setiap waktu tak pernah luput,  peluk cium aromanya, rindu selalu mengikuti ketika dirimu pergi.

Khalisa mempersembahkan setangkai bunga mawar dari kertas untuknya, sebagai ucapan terima kasih.

Tiba di rumah, Khalisa menunjukkan pada Sang Kakek hasil penilaian dari tugas prakarya nya. Dia telah mendapatkan nilai A. Mereka semua begitu bangga padanya.

Seperti biasa, Khalisa bermain di kamar dengan keluarga boneka Barbie nya yang ia dapatkan dari Kakeknya saat ulang tahun ke 6 .

Keluarga itu ada dirinya, Bundanya, Kakek dan Nenek, namun sosok Sang Ayah telah dia sisihkan. Karena tahu, ayahnya sudah lama meninggal bahkan sebelum dia dilahirkan ke dunia ini.

Hati seorang ibu mana yang tak sakit, melihat putrinya sedih karena keluarga yang tak lengkap.

Jeje pun pergi menemui Ayah dan Bundanya yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Jeje ingin bicara jujur sama ayah dan bunda,"ucap Jeje, "Perkataan ayah kemarin sore membuat Jeje terjaga semalaman. Paginya makan terasa tak enak, di jalan juga terus kepikiran,"

Jeje menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Jeje rasa akan menerima permintaan ayah, dan siap untuk menikah lagi,"sambung Jeje membuat Ayah dan Bundanya tersenyum lega.

Es batu mulai mencair dalam kedua gelas orange juice. Putra terlihat sedang memikirkan nasib sahabatnya itu.

Dia meminta Roudullah supaya tidak mengambil keputusan yang nantinya akan merugikan diri sendiri.

"Tapi kau tahu kan, aku setuju karena ayahku yang meminta. Bukan karena aku mau,"jelas Roudullah.

Putra sedikit mendekatkan wajahnya pada Roudullah. "Kalau menurut aku, jalani aja dulu, jangan buru-buru memikirkan bagaimana endingnya nanti. Memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi pada diri kita sangat tidak baik."

“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (Q.S. At Taubah: 51).

Hasrat ingin mencari jalur yang mudah untuk di tuju, pupus.

Karena yang didapatkan adalah jalan tengah.

Hari ini, sebelum lembayung senja menggulung merah jingganya.

Roudullah kali pertamanya mengucap janji suci untuk seumur hidupnya. Di Masjid Al-Hikmah, menjadi saksi hidup dilangsungkannya akad nikah.

Dia hadir di dampingi kedua orang tuanya, dan sahabatnya. Mengenakan mantel, topi putih dengan ikat pinggang putih, kain batik untuk bagian bawah, penutup kepala, dan selop yang berwarna putih. Dia juga mengenakan hiasan, berupa kalung panjang melati dan keris yang dipakai sebagai senjata tradisional.

Sedangkan untuk mempelai wanita, Jeje. Bagian atasnya berupa kebaya putih, bagian kepalanya dibalut kerudung putih, sementara bagian bawah berupa kain, ikat pinggang emas, dan sandal putih, dia juga mengenakan perhiasan yang mencolok di bagian bahu, kalung panjang, gelang, bros, anting, dan cincin.

Ketika kaki akan melangkah menuju ke meja akad nikah, tertahan sesaat menatap sekilas wajah laki-laki yang akan menjadi suamiku.

Dia juga menatapku balik, sama sekali tidak asing dalam benak masing-masing.

Keduanya pun duduk berdampingan.

Ayah Jeje pun meraih tangan calon mantunya itu.

"Bismillahirrahmanirrahim, Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Jeje Kirana alal mahri uang tunai senilai 117.200. rupiah, hallan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq,"ucapnya dengan lantang.

"Alhamdulillah,"ucap para saksi.

Tabuhan rebana iringi langkah pengantin beserta keluarga menuju ke teras masjid. Sebelum akhirnya menuju ke rumah mempelai pria.

"Selamat kawan, semoga Allah selalu merahmati pernikahan kalian berdua,"ucap Putra memeluk Roudullah.

Roudullah mengajak istrinya untuk singgah di Villa, jika harus pulang ke Jakarta hari ini juga takut kelelahan di jalan.

...[BERSAMBUNG]...

Noda Malam Pertama

Jeje duduk manis di atas ranjang pengantin, bertebaran kelopak bunga mawar, cahaya lampu yang sedikit remang, sesekali sambil menatap langit-langit kamar.

Sang Suami pun masuk, dan mengunci rapat pintu kamarnya.

Hatinya seketika bergemuruh, mendengar setiap langkah kaki suaminya itu yang semakin mendekat ke arahnya.

Pengenalan mulai jelas di wajahnya.

"Jeje Kirana. Siswi paling angkuh di kelas bahasa,"ucap Roudullah, "Apakah kamu masih menuntut dendam pada saya?"

Wajahnya berkerut mendengar ucapan dari suaminya.

"Saya jadi takut mengatakan yang sejujurnya padamu, nanti dendammu semakin menjadi-jadi,"sambung Roudullah, "Tapi saya tidak ingin kamu berekspektasi lebih dalam pernikahan ini. Karena yang harus kamu ketahui, saya mencintai wanita lain, dan itu bukan kamu."

Seperti diiris sembilu, kata yang keluar dari mulutmu di malam pertama yang telah dijahitnya indah bersama harsa, berubah menjadi teman mimpi buruk ku di sepanjang malam, sepanjang hidup.

Jeje tidur di atas ranjang seorang diri, sedangkan Roudullah di sofa panjang dekat lemari pakaian.

Dulu saat di sekolah, penggaris kayu menjadi pemisah di antara keduanya, kini masalah hati yang tak bisa di negosiasi.

Suara burung gereja di pagi hari, senandungnya yang merdu memberi kenyamanan pada hati yang sendu karena sisa pilu semalam. Jeje pun mulai menyiapkan makanan di meja makan untuk sarapan pagi bersama suami dan mertuanya. Pak Budi dan Bu Ilhama mengambil posisi duduk. Roudullah juga keluar dari kamar, lalu ikut duduk di samping Sang Bunda.

"Kamu sekarang ini bukan anak kecil lagi, kenapa masih suka duduk dekat Bundamu,"ucap Ayahnya membuat Sang Istri meringis, "Duduklah dekat istrimu,"

Roudullah menuruti perintah Ayahnya. Langkahnya masih malu-malu untuk duduk di samping Jeje.

"Eum, rasanya nikmat sekali makanan ini. Ingin rasanya Ayah menghabiskan semuanya!"seru Pak Budi.

"Iya Yah, makanan yang ada di hadapan kita ini seperti makanan yang ada di hotel bintang 5,"sahut Bu Ilhama, "Mantu kita ini memang sangat pandai memasak ya, cocok sekali dengan Roudullah yang doyan makan,"

"Ayah, Bunda, hari ini aku mau pergi ke kantor,"ucap Roudullah.

"Ajak istrimu juga ya, biar tahu bagaimana suasana kota Jakarta,"cetus Ayahnya.

"Tapi Ayah, hari ini aku ada meeting. Kasihan kalau Jeje harus menunggu terlalu lama di sana,"sahut Roudullah membuat Jeje memalingkan muka.

Selesai sarapan pagi, Roudullah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor,

Saat hendak masuk ke mobil, Jeje mengehentikan langkahnya.

Dia meraih punggung tangan suaminya itu untuk dikecupnya.

Tanpa sepatah katapun, Roudullah melajukan mobilnya.

Roudullah Khalil adalah teman satu SMA nya, satu kelas juga. Yang tak menyangka bakal jadi suaminya dalam pernikahan yang kedua ini. Roudullah sendiri mengira bahwa Jeje menikahi dirinya untuk membalas dendam. Karena kisah di masa lalu.

Ketika dia dan Jeje harus duduk satu meja, lantaran stok meja sekolah di kelasnya yang saat itu terbatas. Tak bisa dipungkiri lagi, keduanya tiada hari tanpa baku hantam.

Roudullah dulu selalu mengajaknya beradu mulut

Sampai Malaikat pun turun tangan, memberinya ilham untuk mengakhiri pertikaian ini.

Lembaran-lembaran soal berhitung, membuat Roudullah tersungkur.

Dia memang tak pandai mencerna rumus-rumus matematika, fisika,  namun begitu menyukai sebuah karya sastra berupa puisi.

Hatinya bergerak ke arah yang tak ingin dia lalui, kecemasan meluluhkan keangkuhan dari dalam dirinya.

Dia tetaplah manusia biasa yang selalu membutuhkan bantuan orang lain.

Jarum jam berjalan semakin cepat, Roudullah tak punya banyak waktu lagi. Tak pantang menyerah, tak juga goyah iman di hatinya. Tetapi usahanya hanya sia-sia saja, berharap pada wanita arogan di sampingnya itu, yang sama sekali tak menggubrisnya. Sampai suara langkah kaki Sang Guru yang harus menghentikannya.

Sehari setelah kejadian di hari itu. Esoknya. Lagi, pupil mata Roudullah berkobar, otot di rahangnya pun bergerak-gerak. Ketika melihat penggaris panjang kayu berada di atas meja. Setelah ditelusuri, penggaris kayu itu berasal dari Jeje, yang memang sengaja ditujukan untuk menjadi penengah antara mereka.

Diam-diam Roudullah juga sengaja mengusiknya, dengan melakukan pelanggaran, yaitu melewati batas wilayah yang telah Jeje tentukan. Perang dunia ketiga pun dimulai.

Tak ada yang bersimbah darah,

Tetapi penggaris kayu itu telah terbagi dua.

Karena ulahnya, dua anak manusia itu harus berdiri di halaman sekolah, bersiram peluh di bawah panas terik siang matahari.

Baling-baling kipas angin terus berputar, namun hatinya tak kunjung pintar. Tiupan angin juga tak mampu memberi kesejukan dalam kalbu.

Sebuah pulpen digenggamnya erat, sebelum menggoresnya di selembar kertas putih lalu menuangkan seuntai sajak hirap.

Suatu barang yang hilang dari pandangan, genggaman. Ketika tangan kita menengadah, cepat atau lambat akan berjumpa.

Namun jika barang itu sudah menjadi hak milik orang lain, apakah bisa kembali lagi?

Jangan menangisi susu yang sudah tumpah. Kau tak kan bisa merubah, dan takdir Tuhan tidak bisa dirubah.

***

Jeje pergi ke sekolah Sang Putri untuk menjemputnya.

Di rumah, Ayah dan Ibundanya tengah duduk di kursi kayu teras menunggu kepulangan cucu kesayangannya. Mulut keduanya ternganga dan langsung beranjak dari tempat duduknya melihat Khalisa pulang bersama Ibundanya.

Lantaran Pak Aman sudah meminta sopir pribadinya yang menjemput Sang Cucu.

"Assalamualaikum, Ayah, Bunda,"ucap salam Jeje sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

"Waalaikumussalam, kamu kemari bersama suamimu juga?"cetus Ayahnya.

Jeje hanya menggelengkan kepala, lalu dia meminta Khalisa untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah.

Bu Widya terus memandang wajah putri semata wayangnya itu yang perlahan senyumnya terlepas.

Dia duduk di kursi teras, sedang Sang Ibunda di sampingnya. Sementara Ayahnya berdiri di sisi pintu rumah.

Dalam benaknya ingin sekali menyatakan kebenaran tentang Sang Suami pada kedua orang tuanya, namun hati kecilnya memberontak. Seakan telah mengetahui lebih dulu bencana yang akan datang nanti, karena pasti menjadi peristiwa paling pedih.

"Kalau boleh, Ayah dan Ibu  mengizinkan Jeje untuk antar jemput Khalisa ke sekolah,"ucap Jeje membuat Ayah dan Ibunya mengembuskan napas lega.

"Bagaimana dengan suami, dan ibu, bapak mertua kamu, apa mereka setuju?"tanya Ayahnya.

Pak Budi sebelumnya tak mempermasalahkan soal status dari Jeje, menantunya. Namun jika putri dari hasil pernikahan pertamanya tinggal serumah dengan mereka, apakah akan setuju atau justru berubah pikiran.

Sementara, Jeje juga belum membicarakan hal ini pada Roudullah.

Roudullah duduk melamun di dalam ruang kerjanya, Putra pun datang dan mengajaknya makan bersama di luar kantor. Melihat keadaan sahabatnya yang terus melipat wajahnya itu, jadi segan untuk menyapa.

"Temenin makan siang yuk!"ajak Putra.

Roudullah menghela napas berat. "Kebetulan aku udah kenyang,"

Dia menaruh pulpen yang ada di genggamannya ke pen holder berwana hitam.

Putra pun duduk menghadap ke arah Roudullah.

"Ada apa lagi? Mau minta uang jajan juga ke aku, iya?"tanya Roudullah melihat Putra yang masih ada di hadapannya sambil tersenyum tipis.

"Tahu aja nih, tapi bukan soal itu,"jawab Putra, "Mau heran tapi kayak udah kebiasaan deh, sesudah dan sebelum punya istri, kamu sama aja!"

Tak bisa dipungkiri lagi, kenyataannya memang Roudullah tidak menikmati statusnya yang kini sebagai seorang suami. Mimik wajahnya selalu dapat dibaca oleh sahabatnya itu. Namun dia tidak ingin terlihat lemah menghadapi masalah hidupnya saat ini.

"Bukankah aku sebelumnya sudah mengatakan ini padamu, jika aku sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan ini!"jelas Roudullah.

"Dan bukankah aku juga sudah bilang untuk jalani aja dulu."sahut Putra membuat Roudullah terdiam sesaat.

...[BERSAMBUNG]...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!