Aku sempat mempercayaimu, sampai akhirnya kaulah yang menghancurkan kepercayaan yang telah aku berikan penuh kepadamu. Hingga sebuah cinta yang awalnya utuh, kini berubah menjadi butiran debu yang berhamburan tertiup angin seakan tidak tahu kemana harus pergi ...
...***...
Di sore yang cerah itu, Allea terlihat sibuk memilah gaun yang cocok untuk dipakai kencan bersama Rangga si sang kekasih hati. Semua baju di dalam lemari sudah dibongkar hingga membuat kasurnya dipenuhi oleh semua pakaian Allea yang tidak masuk dalam kategori pemilihan gaun yang cocok untuk dikenakan.
Tiga puluh menit terlewati sudah, dan akhirnya Allea mendapati gaun yang sangat cocok untuk dikenakannya. Ia segera mempersiap dan menghias dirinya secantik mungkin, agar sang kekasih pun terlihat terpesona akan kecantikannya.
Siap sudah Allea mempercantik dirinya. Ia terlihat cantik dengan gaun berwarna hitam dengan panjang di bawah lutut dan lengan baju yang sedikit mengembang menghiasi lengannya. Kemudian, heels setinggi lima centimeter menopang kaki jenjangnya, memperlihatkan kakinya yang bertambah indah.
Allea pergi di antar oleh supir pribadinya yang memang dipekerjakan oleh kedua orang tuanya khusus untuk mengantarnya kemana saja. Allea menikmati perjalanannya ke Luctur Resto and coffe. Wajahnya begitu semringah dan tidak sabar ingin bertemu Rangga.
"Non, kita sudah sampai," Kata Pak Raden memberi tahu Allea.
"Pak, nanti saya pulang naik taxi online saja. Bapak pulang saja dan tidak perlu jemput saya."
"Baik, Non," jawab Pak Raden.
Allea pun turun dari mobil Pajero hitam itu. Kemudian, dengan senyum yang terlukis indah di bibirnya, ia memasuki dan menempati meja yang sudah di reservasi atas nama Rangga yang sudah lebih dulu dipesan oleh sang kekasih.
Allea duduk manis di sana, ia duduk menunggu Rangga tidak sabar. Kedua matanya terus saja melihat ke arah luar. Sesekali ia juga melihat ponsel untuk memastikan pesan masuk dari Rangga dan jam yang ada di dalamnya.
Tidak lama kemudian, kedatangan seseorang yang ditunggu Allea pun tiba. Ia menyambut kedatangan kekasihnya dengan sangat bahagia.
"Kamu sudah dari tadi di sini?" tanya Rangga.
"Aku baru sampai sepuluh menit lalu."
Allea dan Rangga pun memesan makanan favorit mereka. Namun, disaat mereka menunggu pesanannya, dering handphone Rangga pun terdengar. Pemuda itu meraih ponselnya, lalu mengangkatnya.
"Oke, aku segera jemput." Rangga hanya mengatakan itu, lalu mematikan teleponnya.
"Siapa, Rangga?" tanya Allea penasaran.
"Nyokap. Kayaknya aku enggak bisa lanjutin kencan kita hari ini. Mama minta aku temani dia ke rumah Tante. Kamu enggak apa-apa 'kan kalau kita cancel dulu? Nanti kita cari waktu yang pas buat ngerancang kencan baru lagi."
"Tapi, makanan yang sudah dipesan gimana?"
"Kalau memang kamu enggak mau makan di sini, bisa kamu take away saja. Ini uang buat bayar makanan kita tadi. Aku pergi dulu, ya. Buru-buru banget," ucap Rangga langsung meninggalkannya begitu saja dengan sejumlah uang yang ditinggalkannya di atas meja.
"Tapi, Rangga ..." Baru saja Allea mau berbicara, tapi Rangga tidak memberikannya waktu luang walau sedetik. Padahal Rangga baru saja datang dan Allea belum sempat bercengkerama dengan sang kekasih, tapi Rangga harus pergi meninggalkannya seorang diri.
Setelah kepergian Rangga, makanan yang dipesan pun datang. Bagaimana lagi, mau tidak mau ia harus me time sendiri menikmati makanan yang sudah dipesan lebih dulu.
Allea pun menyantap makanannya perlahan sambil mengotak-ngatik handphone. Ia membuka akun instagram untuk mengisi kekosongan dikala itu. Ternyata, hal itu tidak dapat membuat kesendiriannya menjadi lebih terisi. Justru, tetap sama. Semua terasa kosong, berbeda sekali jika ada Rangga bersamanya.
Tidak terasa, Allea sudah melalui waktu yang banyak duduk di Luctur resto and coffe tersebut sambil menghabiskan makan dan minumnya.
Handphone Allea berdering, ia menoleh ke arah ponselnya yang ada di atas meja. Tepatnya berada di sebelah gelas bening berisi jus stroberi miliknya. Allea melihat kalau telepon itu berasal dari mama Rangga, membuatnya bertanya-tanya perihal panggilan telepon tersebut.
Allea pun meraih ponselnya, kemudian menggeser panah hijau yang ada di layar ponselnya itu. Ia pun menjawab telepon dari Sarah sebagai mama Rangga. Namun, betapa kagetnya Allea saat Sarah menanyakan keberadaan Rangga yang sedari tadi sudah tidak bersamanya. Bahkan, satu jam waktu berlalu setelah peninggalan Rangga.
"Bukannya tadi Tante nelepon dan minta Rangga pulang karena mau nemeni Tante ke rumah saudara? Soalnya, Rangga sudah pulang dari satu jam tadi, Tan. Ini Allea malah sendirian," ucap Allea sambil mengernyit.
"Tapi, Rangga belum ada pulang. Harusnya kalau memang benar Rangga pulang, pasti dia sudah sampai di rumah sejak setengah jam lalu." Allea berpikir, apa yang dikatakan Sarah benar adanya karena rumah Rangga tidak begitu jauh dari tempat yang semestinya menjadi tempat kencan Allea dan Rangga.
Allea dan Sarah mengakhiri telepon mereka. Namun, Allea masih di tempatnya sambil bertanya-tanya. Isi kepalanya penuh dengan tanda tanya yang mengisi ruang kepalanya.
Kalau memang bukan Sarah yang menghubunginya tadi, lantas siapa yang ada di dalam telepon tadi? Dan, kemana sebenarnya kepergian Rangga sampai dengan teganya membuat alibi seakan benar kalau Sarahlah yang telah menghubunginya dan membuatnya mengakhiri kencan mereka.
Rasa penasaran gadis itu semakin membesar. Perasaannya mulai gelisah tak karuan, seperti orang yang sedang kehilangan induk. Allea pun segera menghubungi Rangga, namun tidak sama sekali ia mendapati jawaban dari sang kekasih.
Allea tidak menyerah, ia mencoba menghubungi Rangga beberapa kali lagi. Tapi sayangnya yang Allea dapati hasilnya sama. Ia tetap tidak mendapati jawaban apa-apa dari Rangga. Bahkan, sekedar mengangkat telepon darinya saja tidak. Padahal telepon yang ia hubungi ke Rangga menyambung.
"Tenang, Allea. Kamu harus tenang dan coba berpikir positif. Bisa jadi kalau Rangga terjebak macat yang sangat lama, sehingga membuatnya belum juga sampai di rumah," batin Allea.
Gadis itu mencoba tenang. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghelakannya perlahan. Allea menyeruput jus stroberinya hingga habis tak tersisa, dan itu pun belum membuatnya merasa tenang.
Allea kembali duduk diam dan menunggu sebentar lagi. Ia yakin, mana tahu sebentar lagi Rangga sudah bisa mengangkat teleponnya. Wajar saja kalau sedang di jalan tidak bisa mengakat telepon akibat sibuk berkendara dan menghindari kecelakaan lalu lintas.
Dua puluh menit Allea menunggu dengan sabar, dan ia kembali menghubungi kekasihnya kembali. Tapi, kini berbeda. Yang ia dapati bukan sebuah sambungan dari seberang sana, tapi jawaban dari sang operator.
Benar sekali, telepon Rangga tidak bisa dihubungi sama sekali, alias tidak aktif. Itu membuat perasaan Allea gundah semakin tak karuan. Pikiran kotornya mulai menghujami ruang kepalanya. Namun, apalah daya kalau bisa saja semua hanya kebetulan. Hingga akhirnya, lagi dan lagi Allea mengontrol perasaan dan pikirannya untuk tetap jernih.
"Tenang, Allea. Kamu harus tenang dan buang jauh semua pikiran kotor itu. Rangga tidak mungkin mengkhianati kamu dan dia pemuda yang setia ..."
Kala angin berhembus, aku pun hanya bisa merasakan tiupannya yang begitu lembut mengenai kulitku. Lalu, bagaimana dengan kenyataan pahit yang harus bisa aku terima. Seakan dunia yang aku rancang sebahagia mungkin, kini dengan sekejab berubah semenyedihkan itu.
...***...
Sepeninggalan Rangga, Allea sempat berpikir merasa bosan hanya menghabiskan waktu seorang diri duduk di Luctur Resto and coffe, tempat yang seharusnya menjadi tempat kencannya bersama Rangga si sang kekasih.
Akhirnya, Allea memutuskan untuk menghubungi Rhea yang statusnya adalah sahabatnya. Demi menghabiskan waktu berdua bersama Rhea.
Allea mencari nama Rhea di kontak handphone, namun sayangnya Rhea menolak ketika diajak Allea me time bersama dengan alasan akan pergi bersama sepupu.
Memang beberapa hari belakangan ini, seringkali Rhea begitu sulit diajak pergi bersama. Ia selalu saja beralasan apa saja. Hanya saja kali ini berbeda dan membuat Allea curiga. Kenapa harus kebutulan di balik Rangga membatalkan kencannya dan belum sampai di rumah, kini Rhea malah tidak bisa menemani Allea. Padahal selama ini ia selalu saja bisa diajak bepergian oleh Allea.
Pikiran Allea yang tadinya sempat positif, justru kini berubah menjadi negatif. Isi kepalanya penuh dengan tanda tanya kemana Rangga? Kemana Rhea? Benarkah kekasih dan sahabatnya tidak pergi bersama setelah seringkali melihat mereka lebih akrab dari hari-hari sebelumnya?
Perasaan Allea semakin gelisah dan tidak baik-baik saja. Entah kenapa ia semakin tidak karuan setelah mendapati penolakan dari sahabatnya.
Tidak sengaja sebuah gelas jatuh akibat tidak sengaja tersenggol tangan Allea sendiri. Membuat semua pasang mata tertuju kepada dirinya. Allea pun kaget, matanya memperhatikan beling yang berserak di atas lantai dekat kakinya.
"Ya ampun, apa yang sedang terjadi, ya? Kenapa perasaan aku makin tidak karuan gini?" batin Allea dengan pikiran yang masih sama memikirkan Rangga dan Rhea.
Allea pun kembali tenang. Ia mencoba beranjak dari tempatnya dan mencari tempat ternyaman untuk sekedar menanangkan pikiran dan perasaannya demi menghindari pikiran kotor tentang kekasih dan sahabatnya. Sebab, meskipun perasaannya tak karuan, namun ia yakin keduanya tidak akan mengkhianatinya.
Allea segera memesan taxi online dengan tujuan ke mall, tempat yang menjadi ia dan Rhea biasa pergi. Tidak lama kemudian, taxi online pesanan Allea pun tiba, ia pun mendatanginya.
"Atas nama Allea, Mas?" tanya Allea setelah membuka pintu mobil belakang.
Allea pun naik dan duduk di kursi belakang setelah benar bahwa itu taxi pesanannya. Sepanjang jalan, matanya fokus menatap ke jalanan. Ia sangat iri melihat sepasang muda-mudi yang begitu mesranya menghabiskan waktu berdua, dan harusnya ia pun persis seperti itu.
"Kita sudah sampai, Neng."
Gadis itu memberikan sejumlah uang kepada supir taxi, lalu ia turun dan memasuki gedung besar berupa mall yang dikenal paling ramai di kota Jakarta.
Allea mengelilingi setiap sudut bangunan, ia memasuki setiap toko untuk membuang kebosanan. Selama ini Allea selalu jalan berdua dengan Rhea ke mall tersebut, tapi kali ini ia harus menginjakan kaki ke tempat yang sama hanya seorang diri. Tidak ada teman yang menemaninya.
Allea melangkah membeli es krim setelah keluar dari toko boneka. Di sana, ia memesan es krim kesukaannya lalu menikmatinya. Setelah menghabiskannya, perasaan Allea masih sama. Ia masih terasa bosan. Bahkan, ia masih memikirkan Rangga dan Rhea. Ternyata, Allea tidak sama sekali menikmati perjalanannya.
Ia sempat berpikir, mau pergi kemana lagi untuk menghabiskan sisa waktu yang masih sangat panjang. Hari dan waktu yang seharusnya menjadi kebahagiaan untuknya, justru malah menjadi hari dan waktu yang membosankan buat Allea.
Allea teringat tempat yang menjadi tempat favoritnya dan Rangga. Tempat yang pertama kali menjadi tempat berkencan bersama pria yang menjadi kekasihnya. Bahkan, tempat itu Ranggalah yang mengenalinya kepada Allea. Sehingga, mereka sering pergi ke sana menikmati suasana indahnya. Tempat itu adalah taman bunga di tengah ibu kota yang begitu indah.
Namun, sebelum kepergiannya Allea mengingat Rangga. Ia mencoba menghubungi Rangga lagi, memastikan keberadaan sang kekasih. Namun, telepon Rangga belum kunjung aktif. Masih operatorlah yang menjawabnya.
Allea memasuki kembali ponselnya ke dalam tas selempangnya dalam keadaan kecewa, kemudian ia menaiki salah satu taxi yang sedang berjejer menunggu penumpang di setiap tepi jalan dekat mall yang saat itu sedang didatanginya. Tujuan gadis itu menuju taman yang ingin ia datangi.
Jujur saja, Allea sangat kangen dengan Rangga setelah beberapa kali tidak pernah bisa bertemu dan jalan berdua akibat Rangga yang selalu sibuk. Namun, disaat hampir saja bisa menghabiskan waktu berdua bersama Rangga, malah Rangga membatalkan dengan alasan yang tidak diketahui kebenarannya.
Allea benar-benar ingin sekali mengetahui keberadaan Rangga, sampai akhirnya ia memutuskan menghubungi Sarah dan menanyakan keberadaannya.
"Halo, Tante. Apa Rangganya sudah sampai di rumah? Soalnya, Allea sudah coba menghubunginya, tapi tidak terhubung."
"Tante juga bingung Rangga kemana, soalnya sampai jam segini dia juga belum pulang." Suara Sarah terdengar dari seberang sana.
"Apa Rangga ada memberi kabar ke Tante?" Sayangnya, Sarah tidak mendapatkan kabar apa-apa dari Rangga. Artinya, Sarah juga tidak tahu di mana anaknya saat itu berada.
"Kemana sebenarnya kamu, Rangga? Bahkan, handphone kamu tidak aktif," batin Allea bertanya-tanya. "Apa kamu memang pergi dengan Rhea tanpa sepengetahuan aku?"
Sungguh Allea tidak ingin berburuk sangka, namun keadaan dan perasaannya memaksa dirinya. Ia hanya tidak ingin menyesal akibat menduga-duga yang akibatnya salah sudah menuduh Rangga dan Rhea. Tapi di sisi lain, ia juga ragu untuk mempercayai Rangga dan Rhea dengan kedekatan mereka yang sering dipergoki semakin hari semakin menjadi-jadi.
Kedekatan Rangga dan Rhea memang seperti tidak menghargai Allea, hanya saja ia mencoba berbesar hati lebih dulu.
Tidak disadari, Allea pun sampai di tujuan. Ia turun dari taxi itu, lalu melangkah masuk ke taman. Suasana sore itu benar-benar sejuk dengan angin yang berseliweran mengenai setiap kulit. Kemudian, ia duduk tepat di bawah pohon rindang. Melihat muda-mudi yang berpasang-pasangan atau ditemani oleh sahabatnya berkunjung ke tempat tersebut.
Tampaknya memang hanya Allea yang datang sendiri tanpa teman yang menemani. Allea tetap menikmati suasana, kedatangannya meskipun sendiri memang untuk menghabiskan waktu dan menikmati harinya saat itu.
Allea bangkit dari duduknya, ia mampir ke penjual minuman yang biasa ia dan Rangga beli jika bersama mendatangi tempat tersebut. Kemudian, ia menyeruputnya perlahan. Hari ini, ia mendatangi tempat-tempat yang sering dilaluinya bersama Rangga maupun Rhea.
Setelah menghabiskan setengah dari minumannya, Allea melangkahkan kakinya santai berkeliling mengitari setiap jalan taman. Ia melihat ke kiri dan ke kanan menikmati suasana dengan udara sejuk, pohon rindang yang daunnya masih begitu hijau dan asri. Burung-burung yang berkeliaran ke sana dan kemari.
Allea juga mendatangi tempat di mana ia dan Rangga sering duduk berdua saat bersama, menghabiskan waktu berdua saja. Namun, saat sampai di tempat, manik matanya membulat sempurna melihat dua orang yang tidak asing lagi baginya. Wajahnya saat itu benar-benar menunjukan ketidakpercayaannya bahwa apa yang dilihatnya itu adalah nyata dan benar terjadi.
Bersamaan dengan sebuah kebahagiaan, aku memberikan cinta yang nyata. Namun, ternyata kau memberikan aku sebuah luka yang bersamaan dengan perasaan pilu menggores sanubari paling dalam. Padahal dulu kau pernah berjanji untuk tak mengingkari, tapi barangkali kau lupa untuk menepati.
...***...
Kedua mata Allea fokus memperhatikan kedua orang yang ada di sana, di tempat yang biasanya menjadi tempatnya dan Rangga selalu duduk berdua. Ternyata yang ia lihat adalah kekasih dan sahabatnya sendiri. Terlihat begitu mesra, seakan tidak merasa bersalah melakukan hal itu di belakang Allea.
Allea pun melangkah menghampiri Rangga dan Rhea, ia memberanikan diri untuk memergoki kekasih dan sahabatnya.
"Jadi, ini yang kamu bilang mau nemani mama kamu, Rangga?"
Rangga dan Rhea mendengar suara yang tidak asing bagi mereka berdua, membuat keduanya menoleh ke arah Allea. Sejenak Rangga dan Rhea kaget melihat sosok Allea berdiri di belakangnya. Tidak pernah menyangka kalau ternyata Allea akan mendatangi tempat itu sendiri tanpa ditemani Rangga.
"Allea," sebut Rangga dan Rhea secara bersamaan.
"Kamu juga, Rhe. Jadi, sepupu kamu adalah Rangga? Selama kita bersahabat dari kecil sampai sekarang, aku tidak pernah tahu kalau kamu mempunyai sepupu bernama Rangga," kata Allea sambil menatap ke arah Rangga saat ia menyebut namanya.
"Pantas saja tadi mama kamu nelepon aku dan nyariin kamu ke aku, Rangga. Ternyata kamu bukan nerima telepon dari Tante Sarah, tapi nerima telepon dari Rhea. Sudah berapa lama hubungan kamu dan dia berjalan?" tanya Allea.
"Allea, aku bisa ..."
"Diam kamu, Rhea. Aku nanya Rangga bukan nanya kamu." Allea pun memotong pembicaraan Rhea ketika ia akan menjelaskan kepada Allea. "Kenapa kamu tega khianati aku? Kalau memang kamu tidak menginginkan aku atau bosan, harusnya kamu bisa jelasin apa saja yang kurang dari aku. Bukan malah selingkuh, bahkan dengan sahabat aku sendiri."
Betapa hancurnya perasaan Allea ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri perihal perselingkuhan kekasih dan sahabatnya sendiri. Teganya mereka mengkhianati Allea. Padahal selama ini Allea sangat mempercayai Rangga dan Rhea yang tidak mungkin akan mengkhianati dirinya.
Tapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Dan, ini lebih sakit dari apapun karena dikhianati oleh orang-orang yang paling Allea percayai. Bagaikan ditusuk dengan pisau belati, hatinya teriris begitu sakit.
"Jawab aku, Rangga. Kenapa kamu tega menyakiti aku seperti ini? Kenapa kamu mengkhianati aku?" tanya Allea dengan napas tersengal-sengal dan isak tangisnya yang begitu sangat jelas terdengar. Dadanya terasa sesak akibat begitu sakit yang ia rasakan, sedangkan Rhea hanya diam membisu tanpa suara setelah dibentak oleh Allea.
Kedua mata Allea pun berpindah ke arah Rhea. Ia menatap dengan mata membesar seperti mata singa yang siap menerkam mangsanya hingga mati tak berdaya. Seperti itulah yang ada di dalam benak pikiran Allea.
"Kamu juga, Rhea. Kamu sahabat aku dari kecil, tapi kenapa kamu tega mengkhianati aku? Bahkan, kamu tahu sendiri kalau Rangga adalah pacar aku dan aku mencintainya. Tapi kenapa, Rhea? Kenapa kamu tega nyeleweng di belakang aku dan memacari pacar aku sendiri? Di mana akal dan hati nurani kamu? Begitu banyaknya laki-laki di dunia ini, kenapa harus Rangga?"
Kini Allea pun mulai murka kepada Rhea, namun hanya ucapan kata 'maaf' yang bisa diucapkan Rhea. Bahkan, Rhea bingung harus menjelaskan apa.
"Kata maaf saja tidak cukup mengobati luka atas perbuatan kalian berdua. Karena seorang pengkhianat akan tetap pengkhianat yang kotor. Bagaikan sampah yang bau busuk dan menjijikan."
"Allea! Kamu tidak harus bicara seperti itu. Aku dan Rhea bisa menjelaskan sama kamu. Menjelaskan semuanya," ucap Rangga. Allea pun tertawa melihat Rangga dan Rhea.
"Enggak perlu, Rangga. Aku memang butuh penjelasan kalian berdua, tapi aku baru sadar kalau ternyata sampah tetaplah sampah dan aku tidak perlu menerima penjelasan apa-apa dari kalian berdua," jelas Allea berubah pikiran. "Kalian lanjuti saja kisah kalian, karena aku tidak akan pernah mengusik kalian."
Allea pergi meninggalkan Rangga dan Rhea, namun dengan cepat Rangga menarik tangan Allea. Ia masih ingin berusaha menjelaskan kepadanya, begitu juga dengan Rhea yang tidak ingin persahabatan yang sudah dibina sejak kecil dengan Allea hancur seketika. Sayangnya, Allea sudah terlancur kecewa beribu kali lipat dan membuatnya tidak ingin lagi mendengar alasan apapun itu.
"Lepasin aku, Rangga." Allea pun menghempas genggaman Rangga dari tangannya. Ia tidak sudi disentuh lagi oleh pria yang ia cintai, namun tega mengkhianatinya.
Allea segera memesan taxi online setelah sampai di depan pasar besar. Tidak lama kemudian, taxinya datang karena memang letak taxi itu tidak jauh dari tempat Allea berada.
"Allea, dengarin aku dulu. Kita sahabatan, 'kan? Kamu harus dengari aku dan jangan pergi," mohon Rhea dengan menjegat kepergian Allea ketika hampir Allea hampir masuk ke dalam taxi.
"Buat aku, kamu bukan sahabat aku lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Buang jauh-jauh kenangan kecil kita, dan sekarang kita hanya menjadi dua orang asing sampai seterusnya," ucap Allea kepada Rhea. "Begitu juga dengan kita, Rangga. Lanjuti hubungan kamu dengan perempuan sok suci ini. Mulai sekarang, kita tidak ada hubungan apa-apa lagi."
Allea memasuki taxi yang sudah dipesannya. Derai air matanya menetes deras membasahi kedua pipinya. Ia menahan suara yang akan keluar dan terdengar oleh supir taxi tersebut.
Allea terus saja meneteskan air matanya. Semakin sedihnya, ia sampai tidak sadar kalau dirinya sudah sampai di depan rumah.
"Neng, kita sudah sampai di rumahnya." Allea menyeka air matanya, kemudian mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, lalu diberikannya kepada lelaki paruh baya itu.
"Kembaliannya, Neng," kata lelaki paruh baya itu ketika Allea akan keluar.
"Ambil saja buat Bapak." Allea segera keluar, ia menerobos masuk begitu saja ke dalam rumahnya. Sampai-sampai tidak mempedulikan tamu yang ada di ruang tamu bersama Vena.
"Allea, kamu kenapa?" Vena pun bingung dengan kepulangan Allea yang sedang tidak baik-baik saja, begitu juga dengan teman dan anak teman Vena yang ikut berkunjung.
"Sebentar ya, Jeng. Saya ke kemar Allea dulu." Mau tidak mau Vena meninggalkan temannya sebentar, lalu mendatangi Allea. Gadis itu menutup pintu dan menguncinya agar tidak ada yang bisa masuk. Ia menangis sesenggukan di atas kasurnya.
"Rangga, Rhea, kenapa kalian tega mengkhianati aku? Kenapa tidak bicara dari awal kalau nyatanya di antara kalian berdua memang saling suka dan mencintai?" gerutu Allea dengan isaknya.
Vena datang dan berdiri di depan kamar Allea, lalu mencoba membuka pintu kamar itu tapi tidak berhasil terbuka. Wanita paruh baya itu menyadari kalau Allea telah mengunci pintu kamarnya demi menghindari siapa saja yang akan masuk ke kamarnya.
"Allea, buka pintunya, Sayang. Kamu kenapa pulang-pulang nangis dan buat Mama khawatir?" tanya Vena panik.
"Lebih baik Mama pergi dari depan kamar aku. Aku enggak mau ketemu dan bicara sama siapa-siapa." Isak tangis Allea terdengar lirih di telinga Vena. Ia semakin takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh putrinya itu.
Sekali lagi, Vena mencoba meminta Allea membuka pintunya. Tapi, lagi-lagi Allea mengusirnya. Ia benar-benar patah hati dan tidak ingin bertatap wajah sama siapa pun, sekalipun dengan mama ataupun papanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!