Namanya Alena Bramasta. Usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun bulan ini. Dia putri kedua dari pasangan Yoga Bramasta dan Yulia Fransisca. Memiliki seorang kakak pria yang bernama Aldrian Bramasta, seorang pengusaha muda yang tersohor baru-baru ini.
Ayahnya adalah pengusaha sukses nomor satu di Indonesia, memiliki perusahaan besar yang bergerak di bidang Perindustrian. Sedangkan ibunya adalah Desainer ternama yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan di dalam maupun luar negri.
Dengan latar belakang yang super kaya, Alena pun tumbuh menjadi anak manja. Tapi, dia tak sombong dan memiliki banyak teman.
Alena memiliki empat sahabat dekat, mungkin sudah kenal sejak orok. Secara, orang tua mereka berlima itu dulunya tinggal bertetanggaan. Maklum, teman kuliah juga.
Oh ya. Alena juga memiliki kakak ipar cantik yang bernama Aisyah Putri, dan satu keponakan tampan bernama Reihan Bramasta.
Mereka hidup rukun, walaupun terkadang suka ribut sedikit. Pokoknya sedikit lah. Hahaha.
Seperti kejadian pagi ini yang membuat Alena kesal kepada kakak tersayangnya.
•
"Pagi semua!" dengan suara cemprengnya, Alena menuruni anak tangga. "Loh! Ngapain pagi-pagi kalian sudah ada di sini?" tanyanya kepada tiga orang tambahan yang duduk di meja makan.
Aldrian dengan santainya memasukan roti sandwich buatan Ibu negara kedalam mulutnya. Sedangkan istri dan anaknya cuma bisa nyengir. "Kita lagi sarapan lah!"
Alena mendelik. "Maksud aku, ngapain kalian sarapan di sini? Kayak gak punya rumah aja, numpang sarapan mulu!" ketusnya sambil duduk di sebelah ibunya.
Aldrian kembali menjawab. "Ya elah dek, kali-kali napa. Seharusnya kamu itu bersyukur kita mampir dan sarapan disini. Iya gak, Mom?" melirik sang ibu meminta dukungannya.
Mata Alena melotot. "Kali-kali? Bersyukur? Yang ada rugi kali, tiap hari kalian numpang sarapan di sini mulu. Pelayan sudah bosen nyiapin sarapan buat kalian," cibirnya sebal.
"Mom and Daddy biasa aja. Kok kamu yang sewot?!" Aldrian berucap tanpa menoleh.
"Ya iya lah sewot. Setiap kali kakak mampir, mesti ada sesuatu. Iya, kan?" Alena menyelidik. "Lagian, kakak itu CEO. Kenapa gak nyari pembantu lain aja sih kalau pelayan di rumah kakak pulang kampung!" selorohnya lagi.
"Apa hubungannya coba, CEO sama pembantu yang pulang kampung?" Aldrian meneguk jus jeruk sampai tandas setelah berucap.
"Ya ada lah, kan kakak banyak duitnya. Jadi bisa cari lagi pelayan yang baru, bahkan tiga sekaligus." cerocos sang adik dengan kesal.
"Ah, terlalu banyak bikin sesek. Rumah kakak kan kecil," jawabnya dengan mengedipkan sebelah mata.
"What? Kecil katanya? Rumah udah kaya lapangan bola masih di bilang kecil? Apa kabar rumahnya Mpok Halimeh yang cuma ada satu kamar tidurnya!" Ia jadi sewot dengan jawaban kakaknya.
"Itu sih laen lagi!" cicitnya sebelum melanjutkan perkataan lagi. "Oh iya, Dek. Pagi ini kakak ada meeting, sedangkan kak Aisyah ada pesanan yang akan diambil oleh pemiliknya. Jadi ..." Ia cuma memberikan kode yang pasti bisa ditebak oleh adiknya.
'Tuh kan, udah curiga gue mah. Pasti ada udang di balik bakwan. Kalo mampir, mesti nyuruh mulu!' batin Alena.
"Maaf, aku sibuk! Hari ini ada janji dengan teman-temanku!" Alena langsung menolak karena mengerti maksud kakaknya.
Yulia melirik putrinya. "Memangnya kamu punya rencana apa sama mereka? Bukannya mereka juga sibuk bekerja?!"
"Mm, Enggak kok! Cuma Iren yang sibuk, yang lain free." sahutnya.
"Tapi, bisa kan anterin Rei dulu. Sebentar aja Dek. Ya ... ya ... ya!" Aldrian berusaha merayu sang adik dengan merengek manja.
Menyebalkan.
"Gak bisa! Kalian aja yang anter. Dia kan anak kakak, bukan anak aku." tolaknya dengan wajah berpaling.
"Sebentar aja, sayang!" kini Ibu negara yang bicara.
"Tapi, Mom!" Ia malah mendapat tatapan mematikan sehingga tak bisa melawan. "Hemh, ya udah deh!" percuma melawan, toh tetep kalah kalo urusan dengan ibu negara.
"Yeeaahh!" seru kak Al layaknya anak kecil. Dia menoleh ke arah putranya. "Rei dianter aunty, ya. Mama sama Papa ada pekerjaan. Jadi, kami harus berangkat duluan. Rei gak apa-apa kan?" tanya kak Al pada putranya itu.
"Iya, gak apa-apa kok!" jawab Reihan.
Kini wajah kak Al menghadap ayahnya dan bertanya. "Daddy mau bareng kita, apa dianter supir?"
"Daddy diantar supir aja, Kak! Udah sana, kalian berangkat saja. Bukannya ada kerjaan penting? Nanti takutnya telat," ujar ayahnya.
Al dan Aisyah pun beranjak dari duduknya. "Ya sudah, kami berangkat." mencium pipi dan kepala anaknya. "Mom, Dad, kita pamit duluan. Nanti titip Rei lagi ya, Mom!" mencium punggung tangan dan pipi keduanya.
"Ya sudah, kalian hati-hati di jalan! Jangan ngebut kalo bawa mobil," peringat sang Mommy.
Melihat kakaknya berlalu, Alena pun meledeknya. "Lupa sama yang dititipin?!"
Mendengar cibiran dari adiknya, Al pun menoleh sambil cengengesan. "Eh iya, hehehe!" berbalik dan memberikan uang bergambar Bapak Presiden dan Wakilnya itu sebanyak lima lembar. "Cukup?" tanyanya kemudian.
Alena bergegas mengambil walaupun sambil menggerutu. "Kurang! Aku harus pergi ke luar kota hari ini. Jadi, ini cuma buat bensin doang!" kata Alena menawar sambil menengadahkan tangannya lagi.
Sontak mata Aldrian membulat. "Matre amat, lu. Cuma ongkos nganter doang dikasih segitu nawar. Lagian, yang mau pergi siapa yang ngongkosin siapa? Huuuh!" menoyor kepala adiknya, namun tak lupa menambah tiga lembar lagi. "Cukup!" tegasnya tak mau ditawar lagi.
"Oke lah, lumayan buat makan sendiri!" Alena menerimanya, kemudian menoleh ke arah lain. "Daddy!" menengadahkan tangan ke arah ayahnya.
Ayahnya melirik sekilas. "Apa maksudnya?" Pura-pura tak mengerti.
"Tambahin ongkos!" pintanya.
"Aduh, Mom! Kayaknya udah telat deh! Daddy berangkat ya," buru-buru berdiri dan mencium pipi istrinya.
Melihat ayahnya pergi, Alena merengek manja. "Iiiiihhh ... Daddy nyebelin!" memanyunkan bibir yang untungnya seksi.
Ayahnya kembali berbalik karena rengekan putri bungsunya. "Makanya, kerja dong! Belajar cari uang sendiri. Bukan cuma minta aja!" ledek ayahnya sambil memberikan lembaran uang.
Alena pun tersenyum. "Makasih, Daddy. Kan ada Daddy dan kak Al yang kerja. Jadi, aku cuma bagian bendahara nya aja. Iya kan, Mom!" ujarnya seraya menaik turunkan alis.
Yoga menggelengkan kepala. "Daddy sudah tua, sayang. Seharusnya, kamu yang gantiin di kantor dong! Semua yang dimiliki kita ini kan besok dikelola kamu sama kakakmu. Jadi, kamu harus belajar ngurus perusahaan!" nasihat ayahnya.
Mendengar ayahnya memberi wejangan, Alena segera memilih beranjak dari duduknya. "Aduh Rei, udah telat. Yuk, kita berangkat!" berusaha mengalihkan pembicaraan. "Jangan lupa, salim dulu sama Oma dan Opa!" lanjutnya setelah mencium keduanya. "Dah, Daddy and Mommy!" Ucapnya kemudian.
Kedua orang tuanya hanya menatap kepergian putri bungsu dan cucu mereka dengan gelengan kepala. Tingkah laku Alena memang seperti itu. Ia tak mau disuruh untuk melakukan apa yang tak sesuai dengan hatinya.
"Hemh, dasar anak itu!" ucap keduanya bersamaan.
...Bersambung ......
Sebuah mobil sport berwarna merah berhenti di pelataran sebuah Sekolah Taman Kanak-kanak ternama. "Dah sampai Rei, ayo turun!" Kaki jenjangnya menjulur keluar dari mobilnya, kemudian berjalan masuk ke halaman sekolah.
Alena menuntun tangan kecil keponakannya itu untuk masuk kedalam kelas.
Karena tadi ada drama kecil di rumah, jadi Rei pun harus ketinggalan pelajaran. Saat ini, semua murid dipanggil satu persatu untuk menebak bunyi hewan dan menyebutkan hewan apa itu.
Tok tok tok
Semua pasang mata yang berada dalam ruangan kelas itupun serempak menoleh.
Alena masuk sembari tersenyum manis. "Permisi, Bu! Maaf sebelumnya karena Reihan terlambat. Tadi jalanan sedikit macet," alibinya sambil tersenyum ke arah Bu Guru.
Bu Guru lekas mengangguk sambil membalas senyum Alena. "Oh, Reihan baru nyampe. Masuk, sayang. Silahkan duduk dan menunggu giliran ya," Bu guru mempersilahkan mereka masuk dengan mengulurkan tangan di depan.
Semua mata tertuju pada gadis muda yang menuntun keponakannya untuk masuk.
Alena menunduk sedikit kepada Guru Reihan, sebelum ia berkata lagi. "Maaf, Bu Guru! Sepertinya saya tidak bisa berlama-lama di sini, soalnya ada pekerjaan yang harus segera dilaksanakan. Saya titip keponakan saya sampai pulang nanti dijemput sama kakak saya." ucapnya sembari tersenyum manis.
"Oh, tidak apa-apa, Mbak! Jika belum ada yang jemput Rei, saya tidak akan menyuruhnya pulang." Ucap Bu Guru Imelda lembut.
Mendengar tantenya di panggil Mbak, Reihan protes. "Bu Guru. Yang cantik ini aunty-nya Rei, namanya aunty Alle, bukan Mbak-Mbak tau!" ucapnya dengan polos.
Alena tersenyum pelik karena perkataan keponakannya. "Rei. Maksud Bu Guru bukan Mbak-Mbak pengasuh. Tapi panggilan buat perempuan yang muda atau yang lebih tua darinya, gitu." jelas Alena.
"Oh, maksudnya orang yang baru kenal gitu, ya aunty?" Otak cerdas Rei mencerna penjelasan tantenya.
"Nah, kaya gitu maksudnya. Ya sudah, Bu! Saya pamit dulu dan terimakasih!" ucapnya sambil melangkah pergi. "Jangan nakal ya, Rei?" lanjutnya sebelum keluar dari ruang kelas dan ber-dadah ria pada ponakannya itu.
Sepeninggalan Alena, pelajaran pun di lanjutkan kembali. Kini Bu Guru memanggil Reihan. "Baiklah Rei, sekarang giliran kamu ke depan ya! Kita sedang bermain tebak suara dan memperagakannya. Kalau bisa jawab, dikasih bintang." jelas bu Guru.
"Baik, Bu!" Rei berjalan ke depan.
"Coba tebak suara ini! Petok..petok..?(sambil memeragakannya).
"Ayam, Bu!" Jawab Rei.
"Bagus. Kalau ini, guk ... guk?"
"Anjing, Bu." (Maaf bukan kata kasar ya, tapi ini nama hewan)
Kembali bu Guru mengangguk dan melanjutkannya. "kalau, harghh ... haargghh?"
"Harimau, Bu." Rei dengan mudah menjawabnya.
Bu guru tersenyum. "Pinter ya. Eemmhhh, kalau ini ... Emmooohhh?"
"Ya elah, gampang bener Bu. Ya Sapi, dong!" jawab Reihan.
Bu guru lagi-lagi tersenyum "Gampang ya. Kalau ini, meong ... meong?"
"Ih, masa itu aja gak tau. Itu sih, suaranya si wicky bu." jawab Reihan dengan santai.
"Hah, si Wicky. Siapa itu?" tanya bu Guru penasaran.
"Si wicky itu, kucing kesayangan Rei." sahutnya dan disambut gelak tawa oleh teman-temannya.
Bu Guru ikut tertawa dan berkata lagi padanya. "Aduh Rei. Bilang aja kucing gitu, jangan namanya!" kata bu Guru. "Ya sudah, coba kamu tirukan suara buaya?" lanjut bu Guru kemudian karena Rei dengan mudah menjawab semuanya.
Reihan menjentikkan jarinya terlihat meremehkan. "Gampang, Bu!" ucapnya dengan pede. "Gini suaranya ... Neng, ikut abang dangdutan, yuk!"
Sontak semua orang yang berada di sana tertawa mendengar ucapan Reihan. "Hahaha," riuh suara teman-teman sekelasnya tertawa terbahak bahak.
"Lho kok, suaranya gitu?" Bu Guru bertanya antara bingung dan pengen ketawa.
(Jangan tanya sama Othor ya, Bu Guru! Sumpah, bukan Othor yang ngajarin tuh anak)
Reihan dengan santainya menjawab pertanyaan Bu Guru. "Iya, emang gitu Bu. Kemaren kan Rei jalan sama aunty, terus ada cowok yang godain aunty ... Neng, ikut abang dangdutan yuk! Terus kata aunty ... Naj*s lo, dasar buaya." penjelasan Rei menyebabkan riuh satu ruangan karena tertawa terbahak-bahak.
"Aduh, Rei." Bu Guru menepuk keningnya pelan, bingung mau berkata apa kepada bocah lima tahun tersebut.
•
•
Setelah meninggalkan Reihan di sekolah, Alena melajukan mobil sport merahnya menuju basecamp tempat mereka berkumpul untuk merencanakan sesuatu.
Di luar basecamp, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang sedang menunggu mereka.
"Hai, Dik! Dah lama nunggu?" tanya Alena kepada Dika yang tengah termenung sendirian.
Dika menoleh, "Belom. Gue baru aja dateng," sahutnya sembari tersenyum.
"Yang lain belum dateng, ya?" Alena celingukan mencari ke kanan dan ke kiri.
Dika pun menggelengkan kepala. "Belum sih kayaknya. Motor mereka aja belom keliatan," kata Dika kembali.
Tak lama kemudian, dua motor sport berhenti di depan basecamp.
Indra yang baru datang dengan motor sportnya, disusul dengan Geri dari belakang. "Sorry, gue telat!"
Geri pun berucap sama. "Sorry, gue juga telat!"
Alena dan Dika menggelengkan kepala. "Enggak apa, gaes! Santei aja," ucap keduanya serempak.
"Oke kalo gitu, kita ngobrol di dalem aja deh biar enak!" Sherly kemudian mengajak tiga pemuda itu masuk.
Memang basecamp ini jaraknya lumayan jauh dari rumah mereka, tepatnya pertengahan antara arah rumah semuanya. Tempat ini sudah dari dulunya memang jadi markas mereka.
Banyak kenangan yang tersimpan di rumah yang dijadikan basecamp ini, sebab dulunya rumah ini adalah rumah milik keluarga Alena sebelum pindah ke rumah barunya.
Keempat muda-mudi itu pun mengobrol santai sembari memakan camilan yang dibawa Alena.
"Jadi, kita mau berlibur ke mana?" tanya Dika membuka suara.
"Ke pantai aja. Gimana menurut kalian?" usul Geri.
Indra pun menginterupsi. "Ogah, bosen! Mendaki gunung aja, yuk! Gue penasaran pengen bermalam di puncak gunung,"
"Anjir lo. Naek gunung capek," Alena berpendapat.
"Yaelah, Beib. Masa naek gunung aja lu kagak mampu! Seru tahu, banyak tantangan!" Dika menimpali.
"Tar kalo nafas gue habis gimana? Mau tanggung jawab?!"
"Gue kasih nafas buatan. Gue punya banyak simpenan oksigen, khusus buat lu!" Dika menaik-turunkan kedua alisnya.
Alena bergidik. "Idih. Yang ada gue tambah pingsan, kagak bangun lagi."
"Hahaha."
Ketiga pemuda itupun tertawa terbahak melihat Alena yang bergidik karena candaan Dika padanya.
Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan di puncak gunung yang ada di daerah Jawa Barat.
Keempatnya sepakat akan berangkat akhir pekan ini untuk menghabiskan waktu liburan mereka sebelum memulai kembali aktivitas masing-masing.
Karena Renita sudah bekerja di perusahaan milik Aldrian, maka Alena harus membujuk sang kakak agar mengizinkan Renita untuk ikut dengan mereka.
Dia sudah memikirkan cara terbaik untuk membujuk kakaknya agar Renita bisa izin cuti untuk beberapa hari.
"Lo yakin Kak Al pasti ngizinin Iren cuti?" tanya ketiga pemuda itu.
Dengan percaya dirinya Alena mengangguk. "Gue yakin kakak gue pasti ngizinin Sekretarisnya liburan," ucapnya sembari tersenyum.
...Bersambung ......
Hari yang begitu indah, langit biru cerah dihiasi awan putih terlihat di atas sana. Burung berkicau seakan bernyanyi dengan sangat riang. Cahaya sang mentari menghangatkan tubuh, bagaikan selimut di malam yang dingin.
Bunga yang bermekaran di taman menambah keindahan pagi hari itu. Inilah kenikmatan yang diberkahi sang ilahi untuk dirasakan setiap makhluk ciptaannya.
Diatas pohon beringin yang lebat, di dalam rumah kayu yang dijadikan basecamp mereka. Terlihat lima remaja yang sedang berkumpul, seperti menyusun sebuah rencana yang sudah disepakati oleh para anak manusia itu.
Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan. Pagi hari itu, pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Mereka pergi menuju ke tempat yang sudah direncanakan sebelumnya. Mereka pun tak lupa berpamitan kepada orang tua masing-masing.
Mereka meyakinkan orang tua masing-masing agar mengizinkan pergi berlibur ke daerah Jawa Barat, namun mereka tak mengatakan akan berkemah di puncak gunung. Mungkin, mereka takut para orang tua akan khawatir.
Alena juga meminta izin cuti untuk sahabatnya, Renita, kepada sang kakak sebagai bos sahabatnya tersebut. Bukan perkara mudah untuk membujuk kak Al yang sangat susah sekali untuk berkompromi, sebab pekerjaan di kantor cukup banyak.
Namun, karena itu Alena, maka Aldrian tak bisa menghalangi Renita untuk cuti selama beberapa hari ke depan sesuai keinginan sang adik
Huh, memang menyebalkan Alena itu. Tapi, dia adek gue, batin Aldrian dongkol.
Setelah berpamitan, barulah mereka pergi menuju tempat yang diinginkan sesuai rencana awal. Gunung besar yang tinggi menjulang dan terkenal angker, yang berada di salah satu daerah di Jawa Barat menjadi tujuan mereka.
Dengan menempuh perjalanan selama empat jam menggunakan bis kota, dilanjutkan satu jam menaiki angkot, kemudian dilanjutkan berjalan kaki memanjat gunung selama dua jam. Menyusuri hutan yang lebat, sungai yang jernih, dan akhirnya mereka sampailah di puncak gunung.
Pemandangan yang indah bisa terlihat dari atas sini. Udaranya masih sangat segar untuk dihirup, tanpa tercampur polusi sedikitpun. Benar-benar sejuk.
Karena waktu sudah menunjukan senja, tanpa membuang waktu lagi, mereka langsung mendirikan 2 tenda. Yang satu untuk perempuan dan satu lagi untuk laki-laki.
Tak lupa, mereka juga membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh agar tidak kedinginan. Karena jika malam tiba, udaranya akan sangat dingin.
Rutinitas selayaknya anak kemahan pun dilakukan tanpa terlewatkan. Sekedar bercanda, berdendang ria diiringi alunan gitar, dan sebagainya. Semua mereka lakukan tanpa terlewatkan.
Kelima muda-mudi tersebut sangat menikmati liburan yang menyenangkan ini.
Dengan suara yang kencang dan berjingkrak-jingkrak, mereka menyanyikan lagu dengan sangat heboh seperti terlepas dari beban hidup yang begitu berat. Hahaha.
"Eh bro, jangan terlalu berisik! Kata warga sekitar, di sini itu tempatnya angker. Banyak hantunya," bisik Indra.
"Alah, elu mah bilang aja penakut. Elu jadi cowok cemen banget, sih. Gue mah gak percaya hal begituan!" tukas Alena.
"Serius, gue gak bohong! Sebaiknya, kita berhenti nyanyi terus tidur aja, yuk! Capek gue seharian gak istirahat," lanjut Indra.
Keempatnya pun mengalah karena memang ucapan Indra ada benarnya juga. Tubuh mereka perlu istirahat agar tetap sehat. "Oke lah!"
Akhirnya setelah makan malam, tidur pun jadi pilihan mereka untuk mengistirahatkan otot-otot yang terasa begitu kaku. Perut yang kenyang membuat tidur menjadi lelap, apalagi setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan.
Suara binatang malam yang bersahutan, seakan menjadi pengiring tidur menuju alam mimpi di malam yang dingin ini.
~~
"Hiks ... hiks.," terdengar sayup-sayup suara seseorang yang sedang menangis dari kejauhan. Dari suaranya, sepertinya orang itu sungguh kesakitan.
Ternyata, tangisan orang itu terdengar oleh salah satu dari mereka, yaitu Alena.
Gadis itu terbangun dengan mengerjapkan mata secara berulang. Ia pun menajamkan pendengaran_takut salah dengar. Tapi, tangisan yang berasal dari suara seorang wanita itu masih jelas didengarnya.
"Ada orang nangis? Apa gue gak salah denger?" Alena tak yakin dengan pendengarannya. Bisa saja itu suara hewan yang mirip seperti orang menangis. Tapi, lagi-lagi suaranya terdengar jelas di telinga Alena.
Alena melirik teman di sampingnya. "Ren, Renita, bangun! Ada orang nangis, Ren." ia mencoba membangunkan temannya dengan tepukan di pipi, di bahu, serta menggoyangkan tubuh Renita. Tapi, gadis itu bahkan tak mau beranjak dari posisi tidurnya yang masih meringkuk dengan selimut.
Hanya gumaman yang terdengar dari mulutnya. "Lo salah denger, Alle. Di sini mana ada orang selain kita,"
"Tapi, gue denger jelas kalo ..." ucapan Alena tidak bisa tersampaikan sebab Renita sudah terlelap kembali. "Haish, bener juga apa katanya. Ini pasti karena gue kecapekan," tepisnya seraya merebahkan kembali tubuhnya.
Baru saja Alena memejamkan mata, tangisan itu kembali terdengar. Kali ini, posisinya lebih dekat dari tenda mereka.
Astaga, bikin gue penasaran aja. batin Alena.
Karena besar rasa penasarannya, Alena pun memilih keluar tenda tanpa ditemani temannya. Dia memberanikan diri sebab tangisan itu terdengar seperti mendekat ke arahnya.
"Dari mana sih tangisan itu berasal? Bikin gue penasaran aja," gerutunya sembari menyingkap tirai tenda.
Dengan langkah pasti dan bermodalkan senter kecil di tangan, ia pun berjalan menyusuri gelapnya malam.
Sinar rembulan menemani rasa penasaran Alena akan suara tangisan tadi. Gadis itu berhenti tak jauh dari sebuah batu besar di depan sana.
Terlihat seorang perempuan sedang duduk sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya menutupi bagian wajah. Tangisan tadi berasal dari wanita tersebut.
"Tuh kan, ada orang nangis!" Alena segera menghampiri. Tanpa rasa takut, ia pun bertanya. "Mbak ... Teteh, kenapa menangis?"
~ Hening tak ada jawaban~
Ia pun mencoba memberanikan diri lebih mendekat, seraya menepuk pelan pundak perempuan itu. "Teteh, gak apa-apa kan?"
Namun, perempuan itu tak menjawab pertanyaan Alena. Ia asyik menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Melihatnya tak merespon, Alena pun memutuskan untuk pergi meninggalkan perempuan tersebut. Mungkin perempuan itu tak mau diganggu, batin Alena.
"Ya udah kalau Teteh gak mau cerita, aku pergi aja deh! Takut teman-temanku mencari,"
Alena melangkahkan kaki berbalik menuju tempat mereka berkemah. Namun, baru tiga langkah, suara perempuan itu menginterupsi.
Hei, Indit siah ti dieu!" (Hei, Pergi dari sini) ucapnya dingin dan serak.
"Hah?!" Alena berbalik. "Kenapa Teh?" ia bertanya kembali untuk memastikan pendengarannya.
"Indit ti dieu!" (Pergi dari sini) Perempuan itu berkata kembali dengan ciri khasnya seraya mengibaskan tangan, menyuruh Alena pergi.
Alena termenung sejenak, sebelum kembali bertanya. "Maksud Teteh kami harus pergi dari sini?" Ia mencoba menebak dan perempuan itu mengangguk. "Apa alasannya? Kami bahkan baru saja tiba tadi sore,"
Perempuan itu berdiri secara spontan, lalu berteriak. "Jeuk urang indit nya indit. Tong loba tatanya," (Kataku pergi ya pergi. Jangan banyak bertanya)
Alena terkejut bukan kepalang, melihat tingkah perempuan di hadapannya seperti orang yang tidak waras. Ia mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berlari dengan kencang.
"Asyem, dia orang gila apa ya." gumamnya sembari terus berlari meninggalkan tempat si perempuan tadi.
Sedangkan perempuan itu masih terus berteriak menyerukan kata-kata yang diucapkan kepada Alena dengan sangat keras. "Tinggalkan tempat ini!"
"Huaaaaa, Mommy!" Alena bergegas memperlebar langkahnya agar segera sampai ke tenda di tempat perkemahan.
...Bersambung ......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!