Peron kereta api sudah tidak seramai tadi. Memasuki rute terakhir pada jam sebelas malam, tidak sulit untuk mencari kursi kosong. Hanya beberapa penumpang yang masih setia duduk disana, beberapa tertidur, sibuk dengan ponselnya, berkomunikasi, atau sekedar mengitari pandangan pada gerbong sederhana kereta bawah tanah itu.
Younha duduk pada salah satu kursi agak belakang. Ia sedikit mengerang halus saat punggung lelahnya bersandar pada dudukan kursi sesekali mengusap lengannya yang merinding. Musim semi di Korea telah tiba, hawa disana masih sedingin musim salju walau tak begitu menggigit.
Hari ini Younha hanya berpakaian kantor sederhana, celana kasual hitam panjang dengan atasan kemeja putih sedikit bercorak abstrak lengkap dengan renda ringan pada bagian leher. Penampilannya sangat cocok dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai.
Saat ingin memejamkan mata sejenak tanpa sengaja monolidnya menangkap poster drama terbaru dengan genre komedi romantis, bibir cherrynya perlahan menyungging senyum tipis. Dalam sandarannya, poster itu nampak aestetik. Dua tokoh utama terlihat sangat manis walau hanya duduk bersama di sebuah kursi taman yang panjang. Memang chemistry itu luar biasa, dapat memikat siapapun yang melihat kemanisannya.
Drrttt......Drrttt.....
Segera setelah ia merasa ada getaran pada ponselnya, Younha membuka tas kerja yang ada di pangkuannya kemudian mencari benda yang menimbulkan suara getar itu. Senyuman yang terulas beberapa menit yang lalu perlahan memudar saat mendapati nama kontak yang memanggil. Tanpa peduli, ia mengabaikan ponselnya begitu saja. Namun panggilan itu tiada henti, dengan malas Younha menempelkan ponsel dengan sedikit daya itu ke telinganya.
"Halo?"
"Oh sudah diangkat." Suara berat dari seberang terdengar agak terkejut saat panggilannya terjawab. "Hm, bagaimana ya? Kamu belum pulang?"
"Bisakah kamu langsung ke intinya saja?" Ucap Younha agak gereget. Jujur ia malas mendengar suara pria itu. "Aku masih perjalanan. Ada apa?"
"Bisakah kamu yang menjemput anak-anak?"
Younha reflek mendongak dengan dahi mengernyit. Ia menatap ponselnya sekilas dan melihat bahwa kini sudah pukul sebelas malam lewat dan pernyataan "Bisakah kamu menjemput anak-anak." adalah suatu hal yang perlu penjelasan.
"Kamu belum menjemput mereka?" tanya Younha sebal. "Bukankah kamu berkata punya waktu? maka dari itu aku ambil lembur hari ini."
"Ya, tadinya begitu. Tapi mendadak aku harus pergi, ada sedikit urusan."
"Ini sudah sangat larut, apa kamu tidak memikirkan anak-anak?" Lanjutnya. "Harusnya kamu bilang dari tadi, maka aku tidak jadi ambil lembur."
"Maaf baru memberi kabar, aku terlalu fokus pada pekerjaanku." Nada suara si pria menyesal. "Tak apa, Mirae menyukai anak-anak. Dia tidak akan keberatan. Baiklah itu saja, aku harus pergi sekarang."
Younha memutus sambungan tanpa peduli. Ia berdecak, emosinya semakin naik setelah seharian bekerja. Younha menghembuskan nafas kasar, mengusap wajah kusut dan lelahnya sambil mengulum bibir bawahnya cemas, ia tidak enak dengan Mirae.
Ponsel tak bersalah itu ia banting kedalam tas dan menjadi korban atas kekesalanya. Demi Tuhan, wanita itu ingin menjerit agar seluruh dunia tahu bahwa ia sangat lelah.
...*****...
"Maafkan aku Mirae."
Younha mengemong bayi tujuh belas bulannya yang tengah terlelap ditengah ranjang milik Mirae saat ia akan membawanya pulang ke rumah mereka sendiri. Tidur Seojun tidak terusik di bahu mamanya, namun Yeonjun terpaksa dibangunkan sebab Younha tidak bisa menggendong kedua putranya sekaligus. Yeonjun anak pertama, bocah empat tahun itu seringkali dikorbankan untuk hal-hal seperti ini.
"Tak apa, mereka tidak rewel kok." Ucap Mirae mengancingkan mantel mungil ke tubuh Yeonjun yang masih mengucek mata. Anak itu juga sudah terlelap tadi. "Bahkan tidak masalah jika mereka menginap di apartku. Jinan tidak pulang malam ini, ada piket jaga di kepolisian. Kamu juga boleh menginap Younha, aku akan menjaga mereka selagi kamu beristirahat."
Younha tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak perlu Mirae, aku tidak mau merepotkanmu, kamu pasti juga lelah seharian menjaga mereka. Dan juga aku akan menitipkan mereka ke Daycare milik Eunseo mulai besok." lanjut Younha menpuk-puk punggung Seojun yang mulai terbangun. "Ada banyak hal yang dapat kamu lakukan selain menjaga mereka. Aku tidak mau waktumu terhambat."
"Hei, kenapa menurutmu menjaga mereka merepotkan? Aku senang bersama Seojun dan Yeonjun. Mereka anak yang baik." sanggah Mirae mengusap helai rambut Yeonjun. "Titipkan saja mereka padaku, kamu jangan khawatir. Aku malah senang dapat bermain dengan mereka. Dan juga kebanyakan Daycare tutup jam sembilan malam, bagaimana jika kamu tiba-tiba lembur seperti ini?"
"Mama, kakak mengantuk." Yeonjun mengerakkan jemari Younha yang memang sedang bocah itu genggam dari tadi.
"Sebentar aku ambil kunci mobil dulu."
Younha langsung menahan tangan Mirae yang akan beranjak hingga ia berbalik badan lagi. Ia tidak ingin terus merepotkan istri sahabatnya itu. Walau Mirae berkata tidak keberatan, namun hati Younha yang merasa berat. Hidupnya sudah penuh kesusahan dan ia tidak ingin orang lain ikut susah juga karenanya.
"Tidak perlu Mirae, kami akan jalan saja. Apartku dekat dari sini." Ujar Younha. "Ini sudah malam dan kamu pasti kelelahan setelah seharian menjaga mereka."
"Younha, justru ini sudah malam maka aku akan mengantarmu. Apa yang harus kukatakan pada Jinan jika dia tahu kamu pulang seperti ini." Mirae berjongkok dihadapan Yeonjun yang terlihat beberapa kali menguap, bocah itu bersandar pada kaki sang ibu. "Lihatlah, kasihan Yeonjun harus berjalan dalam keadaan mengantuk seperti ini. Jangan sungkan Younha, jadi biarkan aku mengantar kalian, hm?"
"Aku pasti sangat merepotkan, ya?" Lirih Younha menahan sendu. Mata lelah itu begitu jelas, mengisyaratkan kesedihan yang mendalam.
Mirae bangkit, kedua tangan ramping itu terulur untuk memeluk Younha sekilas. "Kamu selalu berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan perasaanmu. Tapi tidak dihadapan ku Younha." Senyum cantik terukir indah dari bibir Mirae, sedikit membawa ketenangan untuk Younha. "Aku juga perempuan. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Jadi, jika kamu butuh teman bicara katakan padaku. Aku akan selalu mendengarmu, dan janganlah sungkan. Aku juga ingin dekat denganmu sama seperti Jinan."
Pelupuk mata Younha terasa sudah penuh, buliran air mata ingin berdesakan keluar. Mirae orang yang sangat baik dan lembut, Younha bersyukur sahabatnya dapat bersanding dengan wanita berhati bidadari seperti Mirae. Namun Younha terkadang iri dengan istri sahabatnya itu, andai ia juga menerima cinta yang sama mungkin Younha tidak akan serapuh ini.
Harapannya hanya seutas do'a yang selalu ia panjatkan pada Tuhan.
Younha melirik putra pertamanya dengan binar sayu, kemudian berganti pada Mirae sambil mengucapkan terimakasih. Istri sahabatnya itu tersenyum dan bergegas mengambil kunci mobil dari kamarnya lalu mengantar mereka pulang.
...*****...
"Kakak tidak bisa tidur lagi."
Younha menatap wajah anak pertamanya itu kemudian tersenyum simpul, mengusap kepala dan pipinya bergantian. Bagaimana mungkin wajah gembil dengan mata sayu itu berkata tidak bisa tidur?
"Mau tidur sama mama?" bujuk Younha yang tengah berjongkok mengancingkan piyama bermotif bulan sabit pada Yeonjun. Putra pertamanya itu memang masih kecil, namun Younha merasa hati Yeonjun sudah dewasa. Bocah itu tahu saat dimana mamanya sedih, bahagia, lelah, bahkan sakit sekalipun. Walau Younha selalu akting baik-baik saja didepan anaknya, Yeonjun selalu tahu apa yang Younha rasakan.
Yeonjun menggeleng. "Tidak mau, kakak sudah besar. Nanti kasur mama tidak muat."
Tawa lirih Younha keluar otomatis saat mendengar penuturan random putranya. Pipi gembil itu ia cubit kecil untuk menyalurkan rasa gemas. "Kenapa tidak muat? Badan kakak 'kan masih kecil."
"Tidak!" Seru Yeonjun cemberut. "Kakak sudah besar. Kakak bisa gendong adek."
Younha tersenyum, mengusap kepala anak pintarnya lalu menuntun bocah empat tahun itu ke kasurnya.
"Waktu pagi masih lama. Kalau kakak tidak tidur besok mengantuk saat bermain. Mama bacakan dongeng mau?"
Yeonjun cemberut. "Kakak bosan kalau cerita tentang tiga beruang terus."
Younha memilah milih deretan buku yang berada di rak lemari Yeonjun. Beberapa buku dongeng tertata rapi disana. Buku yang diberikan sang ayah saat ulang tahun Yeonjun tahun lalu. Yeonjun sangat suka buku dongeng, walau baru berusia empat tahun namun bocil itu beberapa kali pernah menceritakan pada adik bayinya tentang cerita yang Younha bacakan. Walau kalimatnya acak acakan, Younha sangat bangga pada putra pertamanya itu.
"Bagaimana kalau kisah kancil yang cerdik?"
"Apa itu seru?"
"Mama coba bacakan mau?" Younha menarik selimut sampai bahu Yeonjun dan ketika akan merebahkan diri, tanpa sengaja suara retakan tulang agak nyaring hingga membuat bocah yang tak tahu itu khawatir.
"Mama tak papa?" Yeonjun setengah bangkit untuk memastikan keadaan mamanya. "Mama istirahat saja, tak usah bacakan cerita untuk Yeonjun."
Younha tersenyum. "Kakak penasaran dengan kisah kancil yang cerdik 'kan?"
Yeonjun menggeleng kuat. "Tidak. Mama istirahat saja, Yeonjun takut mama sakit."
"Mama tidak akan sakit hanya karena membacakan dongeng untuk pangeran mama." Younha merebahkan badan kecil itu dan menarik selimutnya kembali. Menpuk-puk punggung si kecil. "Suatu hari dipertengahan musim panas, seekor kancil terlihat sangat kehausan. Karena tidak ada air didekat sana sang kancil pergi mengunjungi desa sebelah."
Younha memulai narasi sambil memfokuskan pandanganya yang kabur efek dari seharian menatap layar komputer. Radiasi layar komputer terasa masih menempel di mata Younha. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sambil melirik putranya, suara lembut itu mengantarkan sang bocil terlelap kembali. Younha mengusap poni Yeonjun dan memberikan kecupan kecil pada pelipis sang putra.
Buku dongeng itu diletakkan kembali pada tempatnya. Younha melangkah tidak lupa mematikan lampu utama kamar meninggalkan suasana nyaman karena temaram lampu tidur kemudian menutup pintu kamar itu perlahan.
Ketika baru saja akan merebahkan tubuhnya sendiri, Seojun menangis dari boks tidurnya. Younha menghela napas panjang. Hatinya dongkol dan serasa ingin meledak. Dia hanya menatap Seojun yang menangis kuat hingga wajah bayi empat belas bulan itu memerah sebab tidak segera ditenangkan.
Younha ingin egois dan mengabaikan anak anaknya sesekali, hidupnya sungguh melelahkan.
"Cup, cup, Seojun mau susu?" setelah menampar dirinya sendiri ia menggendong Seojun keluar kamar. Younha mengambil duduk disofa ruang tengah sambil menepuk-nepuk bayinya yang menyusu. Matanya terasa berat. Seharian bekerja dan kini ia belum istirahat sama sekali.
Younha menatap wajah anaknya sambil tersenyum getir. "Tidak apa-apa nak jika kamu ingin menangis. Dunia ini besar, mereka tidak akan mendengarmu."
Hingga iapun ikut tertidur bersama Seojun dalam emongannya.
...*****...
"Seojun? Dimana Seojun?" tubuh lelah itu langsung panik saat mendapati dirinya sudah berada di kasur kamarnya sendiri sambil kebingungan sebab bayinya sudah tidak dalam emongannya.
Tungkainya segera turun menapaki lantai dingin menuju boks bayi didekat ranjang yang ia tiduri. Hatinya langsung lega begitu melihat Seojun telah tertidur dalam boks tersebut. Ia menaikkan selimut bayinya agar lebih hangat.
Younha mengalihkan pandangannya ke pintu kamar yang terbuka sedikit. Ia mulai melangkah saat mendengar suara dentingan gelas dari dapur dan ruang tengah dengan lampu yang sudah menyala. Atensinya langsung menangkap seorang pria tengah sibuk mengaduk minuman di dapurnya.
"Oh, kamu bangun?" Suara rendah pria yang hanya memakai celana panjang hitam juga kaos hitam polos agak mengagetkan Younha. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. Mengapa pria itu datang sepagi ini?
"Mau ku buatkan teh?"
Younha mengerjap. "Oh, tidak perlu. Sejak kapan kamu disini?"
"Belum lama, sekitar setengah jam yang lalu" suara khusky itu terdengar hangat dan apa adanya. Masih sama seperti dulu.
Pria itu meletakkan kopi dimeja kemudian duduk pada salah satu kursi diruang makan. Benar-benar tidak menatap Younha, kedua pupil kembar itu hanya terus fokus pada ponselnya.
"Harusnya kamu berhati-hati. Bagaimana jika Seojun terjatuh dari pangkuanmu saat kamu tertidur?"
"Maaf, aku terlalu kelelahan."
"Kamu selalu berkata seperti itu."
Seketika Younha menatap pria di hadapannya tajam. Apakah berkata jika dia lelah adalah hal yang salah? sehingga orang lain yang tidak tahu kesehariannya dengan mudah berkata seperti itu. Younha merotasikan bola matanya, ingin beranjak untuk tidur lagi dan mengabaikan pria itu.
"Kenapa kamu datang kesini sepagi ini?" tanya Younha menghentikan langkahnya sejenak.
"Aku membawa beberapa buah untuk Yeonjun juga susu Seojun." Pria itu menunjuk bungkusan plastik disofa ruang tengah dengan dagunya.
"Bukankah tadi kamu bilang ada urusan?"
"Aku sudah menyelesaikannya dan mampir kesini." Jawab si pria sambil menyeruput kopinya. "Tidurlah jika kamu lelah. Nanti aku akan pulang saat subuh."
"Kamu tidak ingin melihat anakmu dulu?"
"Mungkin lain kali. Aku belum ada waktu, jadwal penerbanganku jam enam pagi dan mereka belum bangun saat itu."
Satu alis Younha menukik, tidak ingin mendengarkan alasan dari pria itu. Ia mulai melangkah memeriksa bungkusan plastik disofa ruang tamu kemudian membawanya ke dapur untuk diletakkan pada tempatnya. Buah buahan, susu Seojun, beberapa bumbu dapur dan tidak lupa vitamin penambah darah. Younha melihat tablet vitamin itu sejenak dan memandang si pria bergantian. Pria itu memang tidak pernah menanyakan kesehatannya namun ia selalu tahu apa yang Younha butuhkan.
Juga hal sesederhana ini yang membuatnya tidak bisa membenci suami yang telah meninggalkannya.
...*****...
"Hari ini, masih sama. Satu garis lagi."
Mirae menatap suaminya, Jinan—saat suasana hening di ruang makan. Hanya dentingan suara sendok dan garpu berpaut dengan piring yang menyela obrolan mereka. Sesekali Younha melirik, bukan bermaksud untuk menguping percakapan rumah tangga orang lain, namun kini posisi Younha sedang makan bersama mereka dan luput dari pendengaran itu adalah hal yang mustahil. Younha mengalihkan perhatian pada Seojun yang sedang makan biskuit di pangkuannya sesekali mengajak bayi empat belas bulan itu berbicara.
Sesekali ia juga ikut menatap Jinan yang sedang meneguk air putih. Dia tahu obrolan yang sedang Mirae luruskan dan ia merasa salah tempat sehingga bingung sendiri untuk mengambil sikap.
"Lalu kenapa bersedih jika Tuhan belum menghendaki?" Tanya Jinan selagi menggenggam tangan Mirae yang tampak menunduk, sedih, dan gelisah. "Tak apa Mirae, berarti kita belum sempurna menjadi orang tua. Masih banyak hal yang harus kita pelajari. Kamu jangan terlalu memusingkan itu, bersabarlah. Aku takut kamu stress."
Mirae mengangkat pandangannya dan langsung lurus pada Younha dan kedua putranya yang berada tepat diseberang meja makannya. Tatapannya seolah menyimpan kesedihan juga ketegaran yang luar biasa.
Tangan rantingnya perlahan menggenggam tangan mungil Seojun yang berada pada pangkuan Younha. Mirae mengelus tangan lembut itu penuh kasih sayang dengan senyuman agak getir terselip dari bola matanya.
Younha hanya mengerjap. Tidak tahu harus berbuat apa. "Turutu.... Seojun mau ikut bibi Mirae?" Younha membujuk putranya agar mau menjulurkan tangan. Mirae tersenyum kemudian saat bocah itu merentangkan tangan. Badan kecil itu digendong perlahan untuk berpindah pangkuan.
"Tak apa Mirae, kamu bisa anggap Seojun dan Yeonjun seperti anakmu sendiri." Tukas Younha memberikan satu biskuit kecil.
"Terimakasih Younha." Jawab Mirae tersenyum.
Sambil mengajak main bayi di pangkuannya, Mirae berpikir dalam hati. Bukannya ia ingin membandingkan, namun bukankah tidak adil jika Tuhan malah menitipkan anak pada Younha dan suaminya. Mereka menyia nyiakan Seojun dan Yeonjun, menitipkan anak anaknya kesana sini, kurang kasih sayang dan perhatian. Sedang Mirae bahkan bisa memberikan segala cintanya untuk anaknya kelak.
Mirae menghembus nafas panjang. Terkadang ia kesal, namun ia tahu rasa kesalnya itu sangat tidak mendasar.
"Aku tidak seberuntung kamu Younha." ucap Mirae sambil mengelus rambut Seojun penuh kesedihan. "Karena itu aku senang jika kamu mau menitipkan mereka padaku. Mereka dapat menutupi rasa sedih dan kesepianku. Jadi jangan sungkan, titipkan saja mereka padaku ya?"
Younha melihat Yeonjun yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri—memainkan sosis goreng dengan garpu disamping tempat duduknya. Lalu pada Seojun yang berada di pangkuan Mirae. Anak seusia Seojun memang butuh kasih sayang lebih juga waktu bersama dengan keluarganya yang kini tidak bisa ia terima dari Younha dan suaminya.
Younha bersyukur bahwa Mirae sangat menyayangi Seojun dan Yeonjun. Setidaknya mereka tidak merasa kesepian.
"Kalau kamu tidak keberatan, aku akan menitipkan mereka kepadamu selagi aku bekerja." Keputusan Younha seketika membuat Mirae tersenyum dan antusias.
"Serius? Terimakasih Younha." sahut Mirae penuh binar bahagia. "Bahkan tak apa jika mereka menginap. Jika kamu mengizinkan, aku sama sekali tidak keberatan."
Jinan menepuk bahu istrinya pelan. "Seojun masih bayi, ia harus selalu dekat dengan mamanya. Ia tidak akan bertahan selama itu."
Teguran dari suaminya itu agaknya membuat Mirae tersadar dan meralat ucapannya. "Maafkan aku. Aku terlalu bersemangat."
"Hei, kenapa minta maaf?" Younha mencoba mencairkan suasana. "Seojun pasti rewel ya. Ia akan menangis saat mulai haus."
"Awalnya aku gugup saat Seojun menangis, aku bahkan menghubungi ibu mertuaku. Bertanya bagaimana cara menenangkan bayi menangis, aku juga ragu untuk menggendongnya karena anak seusia Seojun tulangnya belum terlalu kuat. Bahkan ibu mertuaku sampai datang untuk mengajariku cara menggendong bayi." Lanjut Mirae dengan nada cerita renyah, seolah menjelaskan bahwa ia sangat bahagia dapat menyayangi Yeonjun dan Seojun seperti anaknya sendiri. "Tapi kini tak apa, lama kelamaan aku mengerti dan mulai memahami."
Younha hanya mengangguk, memaksa otot kaku di sekitar bibirnya untuk tersenyum. Dalam batinnya ia berkata bolehkah berkata jika Younha sebenarnya iri dengan Mirae?
Mirae dicintai banyak orang. Suami, mertua, kakak, kerabat, tetangga, dan Younha sendiri. Ia juga ingin seperti Mirae yang keberadaannya memang dianggap dan dibutuhkan tidak sepertinya. Younha selalu menghadapi semua kehidupannya sendiri. Tidak ada dukungan, tidak ada kasih sayang, tidak ada yang menganggapnya.
Younha hanya lelah, ia ingin bersandar pada bahu seseorang sesaat. Seperti dahulu saat ia sering bersandar pada bahu Jinan. Ah, apakah hal itu mungkin terjadi lagi? Jinan kini telah memiliki pasangan sehidup sematinya. Younha jadi teringat dulu, kira-kira apa yang akan terjadi jika ia memilih tangan Jinan saat itu?
Kenangan hanya kenangan. Kini telapak tangan itu telah meraih orang lain.
...*****...
"Mama, memang peri Gigi itu ada?"
Kerjapan manis tapi penuh rasa penasaran, selimut yang menutupi sampai pinggang dengan kedua telapak tangan berada diperutnya. Yeonjun menatap sang mama yang duduk disamping ranjangnya dengan binar ingin tahu.
Younha tersenyum sambil mengusuk poni Yeonjun. "Kenapa tiba-tiba kakak tanya tentang peri Gigi?"
"Oh ya, kakak lupa. Ada sesuatu yang ingin kakak tunjukkan pada mama." Yeonjun langsung bangkit dari tidurnya, menyibak selimut kemudian kaki mungilnya mulai berlari untuk mengambil sebuah benda dari dalam tasnya yang berada diatas meja yang penuh dengan buku dongeng. Younha hanya melihat dengan heran, membiarkan jagoannya menunjukkan sesuatu padanya tanpa dibantu.
Sambil perlahan mendekati Younha, kedua tangan mungil itu menyembunyikan sesuatu dibalik badannya.
"Tada!!!" Seru Yeonjun mengeluarkan sebuah kotak plastik kecil yang berisi giginya sambil memamerkan kepada Younha deretan gigi yang sudah hilang satu dari tempatnya. "Gigi kakak udah copot."
"Wah, sekarang kakak sudah besar." Sahut Younha bangga. "Tapi pasti nangisnya kenceng 'kan?"
"Hehe, iya." Yeonjun memanyunkan bibirnya. "Tapi mama jangan bilang ayah kalau kakak menangis. Nanti kakak dimarahin ayah dan tidak dapat hadiah dari bibi Hyejin."
Seketika senyum Younha mulai luntur setelah mendengar nama Hyejin disebut. Kekasih suaminya itu sangat menyayangi Seojun dan Yeonjun seperti anaknya sendiri. Namun dibalik kasih sayang itu terselip rasa khawatir di benak Younha. Tidak tahu rasa kasih sayang itu asli atau sekedar kedok untuk lebih dekat dengan suaminya.
Younha menarik selimut Yeonjun saat bocah itu mulai berbaring lagi. Mendekatkan guling kesamping badan kecil itu tidak lupa satu boneka Kelinci kesayangannya. "Tapi kakak tahu dongeng peri Gigi dari siapa? bibi Mirae?"
Yeonjun menggeleng. "Dari ayah. Tadi siang ayah telfon dan bercerita tentang peri Gigi saat kakak bilang giginya copot."
"Ayah telfon?"
"Hm."
Hati Younha sedikit lega mengetahui jika mantan suaminya itu masih sering menghubungi anak anaknya walau melalui nomor Mirae. Lee Jihoon—mantan suaminya itu tahu jika setiap hari Mirae yang menjaga putranya saat Younha bekerja, sehingga menghubungi istri sahabatnya itu lebih efektif daripada Younha yang jarang bersama anaknya sendiri.
Jihoon itu sebenarnya perhatian, hanya terkadang salah menempatkan perhatian sehingga menimbulkan kesalahan.
Setelah lima belas menit membacakan Yeonjun dongeng, kini bocah empat tahun itu telah nyenyak menjelajah alam mimpi. Younha mengecup dahi putranya sekilas sebelum beranjak. Lampu utama kamar dimatikan, tidak lupa juga Younha menutup pintu kamar anaknya.
Waktu terus merangkak, hawa juga semakin dingin. Sebenarnya Younha lelah. Matanya berat dan tubuhnya lemas namun ia harus menuntaskan beberapa pekerjaannya.
Setelah memastikan bayi kecilnya pulas dalam boksnya, Younha melangkah ke konter dapur—mengambil kopi yang sudah mulai mendingin. Langkahnya menuju ruang tengah dengan laptop dan beberapa tumpukan berkas yang masih setia disana.
...*****...
Drrttt...... Drrttt.....
Getaran dan layar handphone yang menyala mengalihkan atensi Younha dari radiasi layar laptop—dibalik kacamata minusnya nama kontak itu masih sangat jelas terbaca.
Younha melirik jam dinding di konter dapur. Jam sebelas malam—hampir memasuki dini hari dan ada gerangan apa mantan suaminya menelpon. Tadinya Younha mengabaikan, biar saja mantan suaminya mengira bahwa ia sudah tidur. Namun panggilan masuk berkali-kali.
Ikon hijau digeser, Younha menekan tombol loudspeaker dan lanjut berkutat dengan laptopnya.
"Belum tidur?" gumam suara berat khusky seberang.
"Menurutmu?" Sahut Younha yang masih fokus pada layar laptopnya. "Lembur, ada report yang harus ku selesaikan. Besok setor ke atasan."
"Aku juga belum, sedang ingin mendengar suaramu."
Younha mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Eh, maksudnya ingin mendengar cerita tentang anak anak." Jihoon terkekeh. Ia tersenyum tipis ditengah ruang apartemennya yang berpenerangan redup.
Younha menghela nafas, menyeruput kopinya perlahan. "Bukankah kamu sudah menelfonnya tadi siang? Yeonjun yang bercerita tadi."
"Ya, Yeonjun bilang giginya copot. Jagoanku sudah besar, ya" lirih Jihoon. "Rasanya baru kemarin aku menyuapinya makan bubur."
"Tubuhnya juga bertambah tinggi dan berbobot. Aku agak tidak kuat saat menggendongnya."
"Wah, kamu pasti mengurusnya sangat baik." senyum Jihoon dapat terlihat dari ruang gelap itu. "Mereka tumbuh dengan baik bersamamu, terimakasih."
Younha spontan menggeleng walau mantan suaminya tidak bisa melihat itu.
"Kamu juga ayahnya anak-anak, Mas." Younha merendahkan suaranya seolah menahan sendu. "Eksistensi kamu juga yang membantu pertumbuhan mereka."
"Malam itu, maaf aku benar-benar ada urusan mendesak."
Younha menghela nafas sesaat, sebenarnya masih dongkol dengan kejadian malam itu. Namun apakah ia harus selalu marah? Lagipula yang ia hadapi adalah anaknya sendiri. Mustahil jika Younha mengabaikan mereka.
"Tidak apa, aku mengerti."
Jihoon mengusuk tengkuknya ragu ingin mengatakan sesuatu. "Hm, akhir pekan bolehkah aku mampir?"
Seketika jemari Younha terhenti sesaat dari keyboard laptopnya. "Bukankah kamu selalu datang tanpa permisi?. Younha terkekeh. "Bahkan ditengah malam."
"Maaf untuk itu, salahmu sendiri tidak mengunci pintu dengan benar. Untung aku yang masuk bagaimana jika gorila." Jihoon tertawa lirih. "Jadi bagaimana?"
"Ya, anak-anak dirumah saat akhir pekan. Kamu bisa mengajaknya keluar."
"Bagaimana denganmu?"
Younha mengernyit, agak tidak faham dengan pertanyaan Jihoon. Kini pria itu sudah punya kekasih dan apakah mungkin Younha bisa keluar bersamanya walau untuk anak-anak? Sedangkan Hyejin seperti perangko kepada Jihoon. Menempel kemana mana.
"Kurasa Hyejin selalu senang membawa anak-anak." Tukas Younha mengangguk ragu. "Dia pasti juga merindukan Seojun dan Yeonjun."
Spontan Jihoon mengerjap tidak enak pada Younha. Sebenarnya Jihoon selalu mencari cara agar bisa bersama dengan Younha. Namun wanita itu selalu menyangkutkan Hyejin, walaupun Jihoon tahu bahwa Younha menahan perasaannya sendiri.
"Hei, aku bertanya tentangmu?" Lirih Jihoon mencairkan suasana. "Bisakah?"
"Sebenarnya akhir pekan waktu santaiku, tapi—"
"Jadi?" Sahut Jihoon.
"Ya?"
"Baiklah, akhir pekan aku akan menjemputmu. Oh, menjemput anak-anak maksudnya."
"Bagaimana dengan Hyejin?"
"Apakah aku harus mengirim dia ke Jepang dulu?" Jawab Jihoon terkekeh. "Jangan khawatir, dia memang akan ke Jepang besok. Katanya rindu dengan ibu."
"Jadi ini ajakan diam-diam?"
"Kurasa."
"Dasarr." Sahut Younha agak salah tingkah. "Sudahlah tutup telfonnya, aku tidak ingin dianggap sebagai perusak hubungan orang."
Jihoon terkekeh. "Aku sedang sendirian."
Tanpa sadar senyuman terulas perlahan dari bibir tipis Younha mendengar candaan dari sang mantan suami membuatnya agak berdebar dan sombong. Apakah pria itu selalu mencari cara untuk diam diam menghubunginya?
"Jangan terlalu larut mengerjakan tugasmu, hawa malam dingin jangan lupa gunakan pakaian yang hangat. Dan.." Jihoon agak menjeda kalimatnya. "Selamat malam."
Tutt..
Panggilan diputus Jihoon. Younha melihat layar ponselnya yang sudah berganti lockscreen foto Yeonjun sedang memeluk Seojun membuatnya otomatis mengulas senyum. Namun pikirannya bergelayut dengan satu kalimat Jihoon tadi.
"Selamat malam" adalah kalimat terindah yang menemaninya dalam kesunyian sendiri. Kalimat sederhana yang menjadi penyokong hari esok.
...*****...
"Mama kerja dulu ya, jangan nakal sama bibi Mirae. Nanti kalau ada apa-apa telfon mama, Oke!"
Younha berjongkok dihadapan putra pertamanya yang terlihat memanyunkan bibir. Pagi ini entah mengapa Yeonjun sangat rewel, menangis dan manja sebab ingin ditemani Younha bermain. Namun Younha tidak bisa izin, Minggu deadline sudah dimulai dan karyawan perusahaannya benar-benar tidak boleh izin. Laporan untuk majalah baru selalu dikejar atasan.
"Ow, kok manyun gitu bibirnya sih?" tukas Younha mengusap kepala Yeonjun. "Nanti mama pulang cepet, terus makan malam diluar mau?"
Yeonjun mengangguk walau masih cemberut. "Makan ayam goreng."
"Oke pangeran." Younha merentangkan tangan menjemput pelukan kecil putranya. Dengan penuh hati-hati dan kalimat lembut, Younha berusaha membujuk sang putra agar tidak marah lagi. Seperti ini hal yang selalu dialami Younha, kurangnya waktu bersama sang buah hati agaknya bisa membuat bocah empat tahun itu hilang Mood juga bayi kecilnya yang kurang perhatian.
Namun Younha tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini demi masa depan anak-anaknya.
"Sudah hampir setengah delapan, nanti keburu penuh keretanya. Apalagi hari Senin seperti ini, penumpang biasanya membludak." Mirae membawa satu piring nasi dan sayuran untuk sarapan Yeonjun yang masih menunggu Younha di ruang tamu apartemen Mirae.
"Aku titip anak-anak ya, Mirae. Maaf merepotkan lagi." Kata Younha sambil menggendong Seojun. "Jika kamu lelah hubungi aku. Nanti kujemput mereka."
Mirae meletakkan sepiring nasi itu, mempersilahkan Yeonjun sarapan lalu berganti menggendong Seojun. Bayi gembul itu langsung tertawa bahagia seolah sudah sayang dan terbiasa dengan Mirae.
"Jangan berkata seperti itu lagi, Younha. Aku benar-benar suka dengan mereka. Kata ibuku, salah satu cara untuk cepat punya momongan adalah dipancing seperti ini." ucap Mirae mengayun Seojun dalam emongannya. "Aku harus sering bersama anak kecil, siapa tahu dapat memancing anakku."
"Amen." Younha tersenyum kepada Mirae, melihat bagaimana ketegaran hatinya. Ia hanya bisa berdoa agar Mirae juga segera dikaruniai momongan.
"Sebentar, apa kamu bawa mobilku saja?" Tukas Mirae bersemangat. "Aku tidak ada jadual keluar hari ini."
"Tidak perlu Mirae, aku naik kereta saja yang sudah biasa. Lagipula aku malas menyetir sendiri."
"Oh ya sudah kalau begitu. Nanti biar Jinan yang menjemputmu."
Younha langsung melotot, berusaha menyanggah Mirae yang terlihat memaksa. Walau istri sahabatnya itu sangat faham hubungan persahabatan Younha dengan sang suami tetap saja akan aneh jika wanita seperti Younha dijemput suami orang lain. Dan juga Younha sangat menghargai Mirae, untuk hal-hal seperti ini Younha tidak akan menurutinya.
"Tidak perlu Mirae, waktu pulangku tidak pasti dan Jinan sangat sibuk di kepolisian. Aku mau mampir dulu ke rumah Bu Jang." sanggah Younha pelan yang dapat difahami Mirae. "Baiklah, aku pergi dulu." ucap Younha memakai mantel dan tas kerjanya.
Younha berjongkok untuk mengecup dahi Yeonjun sekilas, bocil itu sudah tidak marah—kini mulut kecilnya penuh dengan makanan yang dibuat Mirae.
"Hati-hati dijalan dan selamat bekerja." Jawab Mirae sambil menuntun tangan kecil Seojun melambai demikian juga dengan Yeonjun.
Mirae menatap punggung sempit Younha yang perlahan hilang bersama lift yang tertutup sambil menyungging senyum, ada sedikit ngilu jika mengingat kasih sayang suaminya dengan Younha. Mirae tahu jika mereka tidak lebih dari sahabat, namun tetap saja mengganjal hatinya.
Mirae hanya berusaha mengelola perasaannya sendiri.
...*****...
"Pak Kim memintamu segera membuat sketsa tempatnya." Younha meletakkan sebuah berkas dimeja teman kantornya, namun saat mau langsung berbalik ia mendapati rekannya itu melamun. Telapak tangan Younha dilambaikan ke depan wajah rekannya yang kemudian tersadar.
"Oh, ada apa Younha?" Tanya Eunbi gelagapan.
Younha mengambil duduk di kursi samping Eunbi. "Ini tugas dari pak Kim, laporan sketsa. Kamu kenapa? Sakit?"
Eunbi menggeleng. "Ya, mungkin sakit hati."
Mendengar omongan tanpa filter dari rekannya itu, Younha malah tertawa lirih. "Seperti anak muda saja, sakit hati. Ya, tapi semua orang punya masalah sendiri sendiri."
"Jelas aku sakit hati, suamiku berkata jika sekarang aku gendut setelah melahirkan. Aku jadi geram."
"Sudah, jangan diambil pusing. Suamimu mungkin hanya bercanda."
Younha sedikit melirik ke samping layar komputer Eunbi dan mendapati bunga segar disana. Pada ikatan bunga itu ada kartu ucapan kecil. "Itu bungamu?"
Eunbi menoleh pada bunga itu. "Ya, dia yang mengirimnya tadi pagi." Decak Eunbi masih cemberut. "Tapi tetap saja aku marah."
Younha tersenyum tipis lalu memberi pengertian pada rekannya itu. "Bukan berarti teguran itu wujud kebencian, namun sebaliknya. Mungkin suamimu hanya heran dengan perubahanmu yang drastis. Dan karangan bunga itu sebagai rasa cintanya, suamimu meminta maaf lewat bunga itu."
"Benarkah?" Agaknya Eunbi mulai tenang. "Tapi aku tetap marah, dia menyebalkan." decak Eunbi sambil menyilangkan tangan didepan dada. "Younha, kamu tahu kalau pak Jihoon katanya dulu pernah punya istri, tapi sekarang sudah bercerai karena Bu Hyejin."
Younha hanya mengerjap pelan tidak mau menanggapi saat tiba-tiba Eunbi mengganti topik pembicaraan. Direktur itu mantan suaminya, hanya Younha yang tahu. Dan karyawan disini tidak tahu hubungan Younha dan Jihoon. Mereka telah sepakat untuk sama-sama menutupi demi eksistensi di perusahaan ini.
"Sudahlah jangan terlalu ingin tahu urusan orang apalagi atasan sendiri." Younha bangkit sambil merapikan pakaiannya. "Oh ya, jangan lupa sketsanya. Aku permisi."
Jika mengingat permintaan maaf, Younha jadi teringat dahulu ia pernah menjadi wanita paling beruntung karena memiliki suami seperti Jihoon. Masa dimana sang suami membelanya tepat didepan sang mertua. Ibu tiri Jihoon.
Saat itu Younha juga habis melahirkan putra keduanya Seojun. Memang masa masa menyusui seorang Ibu biasanya lebih cepat lapar karena tenaganya juga disedot sang bayi.
Suatu hari di penghujung musim salju, ibu mertuanya datang ke rumah sambil mencibir Younha sebab berat badannya naik drastis. Pipinya juga terlihat gembul.
"Kamu harusnya bercermin." Seoyeon—ibu tiri Jihoon memegang lengan atas Younha dan seketika dia langsung terkejut mendapati begitu banyak lemak yang menumpuk disana, Seoyeon bahkan agak mencubitnya untuk memastikan lagi sampai membuat Younha kesakitan. "Astaga, b-bagaimana tubuhmu bisa seperti ini? Bagaimana anakku mau tidur denganmu?"
Yeonjun menatap mama dan neneknya dengan kerjapan pelan, sejak tadi dia mendengarkan kedua orang itu berbicara. Meski dia tidak mengerti banyak, Yeonjun tahu bahwa mamanya sedang dimarahi. Anak itu hendak bangkit dan melindungi mamanya, namun sang nenek langsung melayangkan tatapan tajam kepadanya. Membuat nyali Yeonjun ciut, bocah itu hanya bersembunyi dibalik meja makan.
"Maaf ibu, aku akan memperbaiki pola makanku."
"Memang harus!!" Tegur Seoyeon menaikkan suaranya. "Jangan karena menyusui kamu jadi gendut seperti ini."
Younha hanya menunduk sambil menautkan sepuluh jarinya didepan perut. Tidak berani membantah sang ibu. Ia hanya menurut dan mendengarkan ocehan mertuanya itu.
"Ayah!!" Yeonjun langsung berlari saat menyadari sang ayah pulang sambil menenteng sebungkus ayam goreng. Dengan sigap, Jihoon menerima pelukan putranya.
"Kenapa kamu sudah pulang jam segini?" tanya Seoyeon ketus. Wanita tua itu merebahkan tubuh di sofa ruang tengah sambil terus menghardik Younha yang sedang membereskan piring.
Jihoon meletakkan tas dan jasnya, lalu dengan sopan Salim pada sang ibu. "Tumben ibu kesini?"
"Awalnya ibu kesini pingin lihat Seojun, tapi tahu istrimu seperti itu ibu jadi malas."
Jihoon mengerutkan dahi sambil melirik Younha yang kini sedang menenangkan Seojun. Suara ibu mertua itu sangat menggelegar, membuat bocah Lima bulan itu terbangun dari tidurnya.
"Memang Younha kenapa?"
Seoyeon mendengus. "Itu lho lihat badannya, sekarang ngga ideal gitu. Gendut juga."
"Wajar kan Bu orang menyusui butuh gizi lebih. Lagian Younha tetap cantik kok seperti ini."
"Kamu itu lho Ji, selalu membantah ibu."
"Siapa yang membantah ibu? Hanya saja penuturan ibu itu keterlaluan dan tidak wajar." Jihoon menghampiri Younha yang masih berdiri sambil menepuk-nepuk punggung Seojun, matanya sudah merah sebab menahan tangis dan amarah. Ia hanya menunduk, walau tidak salah namun Younha merasa dipojokkan, ia juga tidak berani menatap sang suami.
"Maafkan aku mas." lirihnya.
Jihoon tersenyum kemudian berjongkok didepan putra pertamanya. "Yeonjun makan ayamnya di kamar dulu ya. Nanti ayah menyusul." Ucapnya mengelus pipi sang putra. Dan tanpa berlama-lama bocah itu langsung berlari ke kamar sambil membawa makannya.
Jihoon bangkit juga mengelus rambut bayi lima bulannya sambil berkata lirih pada Younha untuk istirahat saja di kamar. Namun Younha menolak, tidak sopan rasanya meninggalkan ibu mertua yang berkunjung.
Jihoon menghembuskan nafas sambil menukik sebelah alis menatap Seoyeon "Jika sudah selesai, ibu boleh pulang. Kasihan Younha dan Seojun perlu istirahat. Tidak mungkin Younha meninggalkan bayinya dan terus menanggapi omongan kasar ibu."
"Apa? Jihoon, kamu mengusir ibu?" Decih Seoyeon tak percaya.
"Jika ibu mengganggap seperti itu silahkan. Kami permisi."
Jihoon menuntun Younha dan bayinya menuju kamar, walau Younha tidak mau tapi Jihoon tetap memaksa. Ia tahu watak dari si ibu yang memang suka mencibir orang bahkan Jihoon juga sering membantah ibu tirinya itu.
Setelah menutup pintu kamar, tangis Younha pecah. Ia benar-benar malu dan kecewa, apakah dia memang seburuk itu dimata sang mertua? Hingga layak dikatakan seperti itu?
Jihoon mengusap pipi sembab Younha perlahan lalu memeluk istrinya itu bersama bayi yang masih digendongnya. Dalam lirihnya Jihoon mengucapkan maaf beribu kali, belum bisa melindungi Younha sepenuhnya.
Kini permintaan maaf itu hanya angin yang singgah pada masa lalu.
...*****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!