Hana Saraswati, gadis remaja berusia dua puluh satu tahun. Dia anak tertua dari satu bersaudara. Rambutnya panjang, tinggi semampai, berkulit putih berseri, berlesung pipi dan setiap kali dia tersenyum, senyumnya sangat manis sekali.
Dia lahir dari keluarga miskin, ayahnya telah lama meninggal, setiap hari dia harus bekerja keras, membanting tulang demi menghidupi keluarganya.
Kalau saja Hana ditakdirkan lahir dari keluarga berada, lemari di rumah mereka pasti dipenuhi dengan piala-piala, gadis itu pintar, rajin dan tidak suka mengeluh.
Keluarga mereka mampu bertahan hidup dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun hingga cobaan besar itu datang, ketika Mina, ibunya, jatuh sakit.
Ibunya mengidap paru-paru basah. Kondisinya memburuk, parah karena tidak segera mendapat pengobatan yang baik.
Sejak ibu mereka sakit, pengeluaran baru harus di tambah. Semua beban itu jatuh kepada Hana, dia di bantu oleh adiknya merawat sang ibu, di tambah dia pula harus bekerja di sebuah cafe hingga larut malam yang bayarannya tidak seberapa.
Sore itu...
Tiba-tiba ponsel Hana berdering. Renata, adiknya menelepon.
"Kak...." Suara isak tangis Renata di ujung telepon, seketika membuat Hana menghentikan kegiatannya.
"Ada apa Nat? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Hana bertanya dengan nada suara yang cemas, firasat nya seketika menjadi tidak enak.
"Iya kak. Ibu jatuh pingsan kak, tubuhnya membiru, dan dengus napasnya hampir habis. Hiks...." Renata menangis terisak di seberang sana, tak kuasa memberitahukan kabar ini kepada sang kakak.
"Renata sedang di rumah sakit sekarang, kakak cepat lah kemari, Renata takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Hiks.. Hiks...." Kata Renata yang masih terisak-isak di seberang sana.
Seperti disambar petir, badan Hana seketika ambruk, mendengar perkataan Renata di ujung telepon.
Air matanya mengalir dengan sendirinya.
Wulan sahabat nya dan sekaligus patner kerja nya Hana yang berada di tempat itu juga mendekati Hana, bertanya apa yang terjadi.
Bukan nya menjawab, Hana langsung bergegas mengambil tas-Nya, dia berlari meninggalkan Wulan yang keheranan.
Wulan menatap Hana yang terlihat cemas, "Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" Wulan menggaruk kepala nya yang tidak gatal.
Hana berlari keluar dari cafe sambil menangis, hingga membuat beberapa pelanggan dan juga karyawan keheranan.
Hana lalu menaiki taksi, meminta sopir mengantarkannya ke salah satu rumah sakit di kota itu, sepanjang perjalanan Hana berdoa dalam hati dan meyakinkan hatinya, bahwa ibunya akan baik-baik saja.
"Bu, ku mohon bertahanlah...!" Batin Hana.
Keadaan lalu lintas sore itu tampak tersendat, semakin membuat Hana frustrasi karena dia tidak bisa dengan segera tiba di rumah sakit, air matanya mengalir dengan deras sedari tadi.
Akhirnya, meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, Hana bisa segera sampai di rumah sakit, dia segera berlari ke ruang perawatan tempat Ibunya dirawat.
"Kakak...." Renata segera berlari menghambur ke pelukan kakaknya.
Mereka berpelukan erat. Saling menguatkan satu sama lain.
*****
Hana dan adiknya, duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan perasaan gelisah. Wajah cantik Hana terlihat cemas, kedua tangannya sesekali meremas, telapak tangannya terasa dingin, dan basah penuh keringat.
"Kak, kenapa dokter itu belum juga selesai memeriksa ibu? Ini sudah hampir se-jam. Renata takut ibu akan meninggalkan kita kak." Ucap Renata memelas memandangi wajah Hana.
"Nat tenanglah, tidak akan terjadi sesuatu pada ibu. Ibu pasti akan baik-baik saja." Kata Hana meyakinkan adiknya sambil mengelus lembut puncak kepala Renata.
Hana mencoba meyakinkan Renata meskipun dia sendiri tidak yakin apa ibunya baik-baik saja di dalam sana atau malah sebaliknya.
Hana dan Renata segera beranjak dari duduknya setelah melihat dokter yang memeriksa Mina, ibunya, keluar dari ruangan perawatan.
"Bagaimana keadaan ibu saya, dok?" Hana menatap dokter di depannya.
Sang dokter menghela napas panjang sambil menatap sepasang saudara di depannya.
"Kondisinya memburuk, pasien harus segera dioperasi." Ucap dokter tersebut.
"Operasi?" Tanya Hana lirih.
"Iya mbak, dan ini harus di lakukan secepatnya." Ucap dokter itu.
"Baik dok, lakukan yang terbaik untuk kesembuhan ibu saya." Ucapnya.
"Baik mbak. Dan untuk sementara waktu ibu anda kami pindahkan ke ruang ICU ya, dan segera lakukan pembayaran administrasinya, maksimal besok pagi Ibu Mina harus sudah menjalani operasinya." Ucap dokter tersebut yang lantas di iyakan oleh Hana.
Dokter itu pun melenggang pergi dengan seorang suster yang memerintahkan Hana untuk menuju ruang administrasi terlebih dahulu.
"Nat, kamu tunggu disini sebentar ya, nanti kakak akan kembali."
Renata mengangguk, kemudian Hana dengan lunglainya berjalan menuju meja administrasi dan menanyakan berapa biaya yang akan di tanggung nya agar Ibunya bisa diselamatkan.
Dengan tangannya yang menyentuh dada, Hana merasa sesak karena melihat biaya yang sangat besar bahkan hingga ratusan juta rupiah.
"Darimana aku mendapatkan uang sebanyak ini?" Gumamnya dengan mata yang masih memandangi kertas itu, jangankan uang ratusan juta, ratusan ribu saja dia tidak memegang nya saat ini.
****
Hana dan Renata menatap Mina yang kini terbaring lemah dengan selang infus dan beberapa alat medis yang terpasang di beberapa bagian tubuh Ibunya. Hati mereka begitu kalut melihat keadaan sang Ibu yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
Saat ini Ibu mereka sudah dipindahkan ke ruang ICU.
Dokter bilang, Ibunya harus segera di operasi secepatnya.
Hana menghela napas berat, saat mengingat kembali nominal uang yang harus di siapkan untuk biaya operasi ibunya.
"Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebesar itu untuk biaya operasi ibu?" Batin Hana.
Hana tampak berpikir keras sambil menatap wajah pucat sang ibu. Dia tidak memiliki uang sepersen pun saat ini, Hana harus segera mencari pinjaman agar ibunya segera di operasi.
Akan tetapi, di mana ia akan mencari pinjaman untuk biaya operasi Ibunya?
"Kakak...." ucapan dari adiknya membuyarkan lamunan gadis itu.
"Ibu kita harus segera di operasi, kak, sedangkan kita tidak mempunyai uang sepersen pun sekarang." Renata menatap kakaknya dengan sedih.
"Bagaimana kalau kita jual rumah saja, kak?" Lanjut Renata. Kedua netranya menatap Hana yang terlihat terkejut.
"Tidak boleh, Nat. Kalau nanti kita jual rumah, kita mau tinggal di mana?" Hana menggeleng, tanda tidak menyetujui usul adiknya itu.
Renata menarik napas panjang, matanya meneteskan air mata saat kembali melihat sang Ibu terbaring tak berdaya dengan beberapa alat medis terpasang di tubuhnya.
Hana membawa adiknya ke dalam pelukannya, dia memeluk adiknya dengan erat, mencoba memberikan gadis kecil itu kekuatan.
"Aku harus melakukan sesuatu agar ibu sembuh dan segera dioperasi. Harus!" Batin Hana.
Bersambung...
Joseph Stalin seorang CEO muda dan kaya, berusia hampir mendekati kepala tiga. Wajahnya yang tampan dan menawan didukung oleh fostur tubuh yang ideal, garis wajah nya yang tegas juga dengan sorot mata nya yang tajam di tambah dengan sikap nya yang dingin dan arrogant, selain itu memiliki kekuasaan dan status yang tinggi.
Orang tua nya telah meninggal beberapa tahun lalu dalam insiden kecelakaan pesawat terbang di atas Laut Selat Sunda, dan jasad mereka tidak pernah di temukan.
Orang tua Joseph mewariskan perusahaan nya dan semua harta benda pada anak semata wayang mereka. Namun, naas nya untuk mendapatkan semua warisan mendiang orang tua nya Joseph di haruskan telah menikah untuk memperoleh semua harta benda dan juga kalau sampai diumur tiga puluh tahun Joseph belum kunjung menikah maka otomatis semua harta yang ada akan jatuh kepada negara.
Isi wasiat itulah yang membuat kapiran semua masalah.
...****************...
Joseph menatap keluar kantor nya dari jendela kaca besar di hadapan nya, menatap padat nya bangunan-bangunan pencakar lagi dengan mata elang nya. Dia sesekali mengusap kasar wajah nya dan juga mendengus kesal.
"Shitt!!" Umpat nya dengan tangan nya mengepal kuat, sampai-sampai urat nadi nya terbentuk dengan jelas.
Pria blasteran Indonesia-Amerika itu mengumpat berkali-kali. Jef sang sekretaris menciut di belakang nya. Wajah nya tertunduk dalam tidak berani menatap wajah bos nya yang sangat menyeramkan itu. Meski Jef berdiri membelakangi nya tapi aura yang di keluarkan nya terlalu menakutkan.
"Bagimana bisa kedua orang tua bangka itu sebelum meninggal memberikan syarat semacam ini?" Gumam nya kesal.
Joseph begitu kesal pasal nya surat warisan yang di pegang pengacara keluarga mensyaratkan dia harus telah menikah untuk memperoleh semua harta benda dan juga kalau sampai diumur tiga puluh tahun Joseph belum menikah maka otomatis semua harta yang ada akan jatuh kepada negara.
Di usia nya yang hampir mendekati kepala tiga itu, Joseph masih belum terpikir untuk mencari pasangan hidup nya, dia masih betah menyendiri dan fokus pada pekerjaan nya.
Pekerjaan nya masih menjadi prioritas utama nya, dia tidak ingin memikirkan hal yang lain nya, tapi karena surat wasiat itu mau tidak mau, suka tidak suka, Joseph harus segera mencari wanita untuk di jadikan istri.
"Jef.." Suara baritonnya terdengar berat.
"Iya, Tuan." Jawab Jef menunduk takut-takut.
"Apa kau punya ide?"
"Maksud tuan?" Tanya sekretaris Jef tak mengerti.
"Carikan aku wanita yang cocok untuk menjadi istri ku. Aku menginginkan wanita yang tidak banyak tingkah untuk aku nikahi."
"Tuan jika kau ketauan menikah karena terpaksa dan alasan nya hanya karena harta orang tuamu maka.." ucapan sekretaris Jef terpotong oleh Joseph.
"Itulah alasan nya aku menyuruh mu mencarikan wanita yang tidak banyak tingkah. Lagipula di surat wasiat itu tidak mengatakan kalau aku harus menikah dengan cinta kan? Jadi tidak ada yang perlu di khawatir."
"Tiga hari lagi aku akan berumur 30 tahun. Kita tidak banyak waktu lagi, aku tidak ingin jatuh miskin Jef." Tambah nya lagi, masih menatap keluar kantor nya dari jendela kaca besar di hadapan nya.
Sekretaris Jef berpikir sejenak di mana mendapatkan wanita sesuai keinginan tuan nya itu, yang tidak banyak tingkah, karena sekarang sudah sangat sulit menemukan gadis seperti itu.
"Ah iya. Aku tau tuan, kalau tidak salah, saya pernah mendengar di wilayah Sumatra tentang amoy sikarawang, gadis-gadis yang bisa beli, mereka tidak banyak tingkah, anda bisa memilih nya sesuai selera anda."
Joseph berpikir sejenak mengenai apa yang sekretaris nya usulkan, tidak terlalu buruk pikir nya, maka ia menyetujui usulan dari sekretaris nya itu.
"Oke. Aku tidak ingin menunda nya lagi. Lebih cepat lebih baik. Segera persiapkan semua nya. Kita akan berangkat hari ini.
Jef mengangguk, "Baik, Tuan."
Maka berangkat lah Joseph dengan sekretaris nya untuk mencari istri yang bisa dibeli, yang tidak banyak tingkah.
...****************...
Hana dan Renata masih setia menemani Ibu nya yang terbaring lemah dengan selang infus dan beberapa alat medis yang terpasang di beberapa bagian tubuh Ibu nya. Hati mereka begitu kalut melihat keadaan sang Ibu yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
"Aku harus melakukan sesuatu agar ibu sembuh dan segera di operasi. Harus!" Batin Hana.
Hana tiba-tiba teringat pada Wulan, sahabatnya. dia takut jika Wulan mengcemaskan nya karena pergi dengan tergesa-gesa sambil menangis tadi sore. Hana pun menghubungi Wulan.
"Halo Wulan."
"Hana akhir nya kau menghubungi ku, kamu baik-baik saja kan..? Tanya Wulan dengan cemas.
"Kamu tahu aku sangat mengkhawatirkan kamu, Hana. Tadi sore kamu pergi dengan tergesa-gesa sambil menangis." Tambah nya lagi.
"Aku baik-baik saja. Tapi..." Hana tak mampu membendung air mata kesedihan nya, Hana menangis dengan suara terisak, seketika membuat Wulan menghentikan kegiatan nya.
Wulan yang harus mengantar pesanan pelanggan terpaksa menunda nya, dia meminta teman nya yang lain untuk mengantar pesanan itu kemudian meminta waktu beberapa menit untuk menerima telepon dari Hana, sahabat baik nya.
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Ibuku masuk rumah sakit, Lan, penyakit paru-paru basah nya memburuk. Aku butuh uang secepatnya untuk biaya operasi Ibu." Ucapnya penuh dengan nada kesedihan.
"Emmm... Hana sebenarnya aku ingin sekali membantumu, tapi uang di tabungan aku saja tidak separuhnya dari biaya operasi ibumu." Ujar Wulan dengan sangat menyesal.
"Wulan aku sudah cukup bahagia mendengar niat mu yang ingin membantu ku, kau tidak perlu khawatir! Aku pasti akan mendapatkan uang itu." Ucap Hana dengan penuh semangat, tidak ingin membuat Wulan ikut pusing memikirkan masalah nya.
"Baiklah, tapi kalau kau butuh apa pun jangan sungkan untuk menghubungi aku, oke!"
"Oke, terima kasih Wulan." Hana langsung menutup ponsel nya.
"Ya ampun uang dari mana untuk biaya operasi ibu?" Hana menghela napasnya. "Aku tidak mungkin meminjam uang pada bos, dia sangat arrogant dan kasar, pasti tidak akan meminjamkan ku uang." Gumam Hana dalam hati.
...****************...
Di tengah situasi darurat itu, di tengah kalut pikiran, tidak ada tetangga, kerabat atau sahabat yang bisa membantu, Hana tiba-tiba teringat tentang "kawin foto". Kejadian setahun silam terputar ulang di memori ingatan nya.
Dua orang teman dekatnya, setahun silam dipaksa orang tua mereka (kawin foto) menikah dengan pria dari Jakarta.
Dia menyaksikan sendiri dua teman nya itu menangis hingga kering air mata, Hana sendiri yang memeluk, menghibur, melakukan apa saja untuk kedua teman nya yang tidak punya kekuatan untuk menolak nya. Hana benci pernikahan itu, sebenci dia dengan kemiskinan dan kebodohan yang menjerat mereka.
"Hanya ini jalan satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan ibu." Batin Hana
Sayang nya, kebencian yang besar terkadang tidak cukup untuk melawan sesuatu. Hana memutuskan mengambil pilihan itu, pilihan yang amat dia benci, dia bersedia menjadi istri belian. Maka berangkat lah Hana ke tempat itu, tempat pemuda asing mencari istri.
******
Bersambung...
Joseph menyandarkan tubuh nya pada sandaran kursi mobil sambil menatap keluar ke arah jalanan, senyum nya mengembang dengan sempurna.
"Kalian kira aku tidak bisa melalui hal semacam ini? Itu sebuah kesalahan besar! Aku Yoseph Stalin akan memperjuangkan apa pun yang menjadi hak ku. Aku tidak akan aku biarkan semua nya jatuh segampang itu ke tangan negara." Ucap Joseph dalam hati, masih setia menatap ke arah jalanan lewat jendela nya.
"Jef, kalau sudah sampai bangunkan aku. Aku ingin istirahat sejenak." Kata Yoseph kepada sekretaris kepercayaan nya. Dia memejamkan mata nya dengan tangan yang terlipat di dada.
"Baik tuan." Ucap nya tanpa mengalihkan padangan nya ke arah depan.
Joseph dan sekretaris Jef tidak membutuhkan waktu lama, mereka pun sampai di tempat yang dituju. Sekretaris Jef memakirkan mobil nya di area parkiran hotel yang telah di sediakan dan kemudian membangun' kan tuan nya.
"Tuan, kita sudah sampai." Kata sekretaris Jef pelan, penuh kehati-hatian.
Yoseph mengerang beberapa saat dan mengerjapkan mata nya untuk menyesuaikan kondisi cahaya yang ada. Kemudian sekretaris Jef turun terlebih dahulu untuk membuka' kan pintu mobil untuk tuan nya.
"Mari tuan." Kata sekretaris Jef membungkuk hormat pada sang tuan.Joseph melangkahkan masuk dengan penuh angkuh memasuki hotel itu dengan di ekori oleh sang sekretaris Jef dari belakang nya.
Ternyata pak Arnord sudah menunggu mereka di ambang pintu sana.
"Mari tuan Joseph, kami sudah menemukan beberapa amoy cantik dengan kriteria anda. Mungkin ada yang tertarik untuk anda pinang." Ucap pak Arnord ramah sambil tersenyum.
Joseph tidak mengubris sedikit pun perkataan pak Arnord. Pria paruh baya itu hanya bisa menelan saliva nya dengan susah payah karena aura orang di hadapan nya benar-benar menakut' kan.
Joseph berjalan dengan begitu angkuh nya masuk ke dalam ruangan seleksi, di dalam sana sudah ada enam gadis amoy. Dari penampilan nya semua amoy itu sangat menarik untuk di pinang, termasuk Hana ada di sana juga.
Pak Arnord mempersilakan Joseph duduk di kursi yang sudah di sediakan, lalu tanpa mau basa-basi Joseph langsung bersuara.
"Perkenalkan diri kalian satu persatu." Ujar Joseph dengan gaya angkuh nya.
"Perkenalkan saya---"
"Satu persatu." Ucap Joseph lagi dengan suara tinggi nya, saat mereka serentak ingin memperkenalkan diri nya masing-masing.
"Tolong nona yang baju merah dulu ya. Lalu sebelah nya dan berikut nya." Kata pak Arnord tenang menunjuki si wanita paling ujung kanan berbaju merah.
Sepuluh menit kemudian...
"Jadi bagaimana tuan? Bukan'kah mereka benar-benar cantik dan sesuai dengan kriteria anda? Jadi tentukan lah pilihan anda tuan."
"Hmm.." Joseph tampak berpikir, tangan telunjuk nya menyentuh hidung nya sambil di gerakan.
"Jef.." Ucap Joseph pada sekretaris nya yang berdiri di samping kanan nya.
"Iya tuan." Sekretaris Jef sedikit menunduk, mensejajarkan posisi nya dengan posisi sang tuan.
"Aku ingin minta pendapat mu, di antara mereka aku harus memilih yang mana?" Tanya Joseph kepada sekretaris kepercayaan nya.
"Hah, kenapa jadi aku yang harus memilih di antara gadis-gadis ini? Yang menikah aku atau tuan ku?!" Batin Sekretaris Jef menggerutu.
"Tuan.. anda sudah pasti tahu yang mana yang harus anda pilih yang terbaik untuk diri anda tuan." Ucap sekretaris Jef hati-hati tidak ingin tuan nya tersinggung dengan perkataan nya.
"Aku ingin mendengar pendapat mu Jef." Ucap Joseph dingin, tidak ingin di bantah.
Sekretaris Jef menghela napas nya pelan. Baru kali ini diri nya di hadapkan dengan situasi seperti ini. Dia melirik sekilas ke arah pak Arnord. Pak Arnord yang sudah paham apa maksud nya. Dia memberikan kode kepada sekretaris Jef untuk memilih gadis amoy yang sebelah kiri.
Sekretaris mengangguk paham, lalu dia menunduk pelan ke tuan nya, membisik'kan sesuatu ke telinga nya.
"Jika aku harus memilih, aku akan memilih wanita itu tuan, seperti nya dia masih gadis, bukan amoy tipuan seperti yang lain nya." Bisik sekretaris Jef kepada tuan nya.
Sekretaris Jef berharap cemas, apa pilihan nya akan di setujui oleh tuan nya atau tidak.
Joseph melihat Hana dari atas hingga ke bawah, "Lumayan." Batin nya, lalu mengangguk setuju, "Baiklah."
"Aku memilih gadis itu." Joseph menunjuk ke arah Hana yang menunduk kan kepala nya.
Hana menunduk dalam. Sekujur tubuh nya ingin berontak, dia hampir muntah menahan rasa benci atas apa yang telah di lakukan nya.
"Hanya karena bayangan wajah Ibu yang sekarat, membuat ku mampu bertahan." Batin Hana, terus menunduk dalam sambil mencengkram paha nya kuat.
*****
"Kalau semua sudah beres, apakah pembayaran bisa dilakukan sekarang?" Tanya Hana dengan suara bergetar.
Joseph tertawa renyah, "Mana ada pembayaran sebelum menikah." Joseph memukul meja di hadapan nya, membuat Hana tersentak kaget.
Yoseph mendekat kan wajah nya ke arah wajah Hana dan membisik kan sesuatu di telinga nya, "Kalian dari kalangan bawah memang rendahan, jika sudah bicara tentang uang lupa segala nya." Setelah mengatakan itu Joseph kembali duduk di posisi nya semula.
Kata-kata Joseph membuat hati Hana seperti di iris-iris sembilu, menyayat sekali. Hana sekuat tenaga menahan tangis nya.
"Saya membutuhkan uang sekarang tuan, jika memungkinkan, pernikahan di langsungkan hari ini juga saya siap."
Astaga, Hana yang sangat benci dengan "kawin foto" ini, justru malam itu dia meminta pernikahan di segerakan.
Kalian tahu, dalam hidup ini, kita masih sangat beruntung, karena kita masih selalu banyak pilihan. Apa saja masalah kita, tetap saja banyak pilihan solusi yang tersedia.
Namun, Hana tidak punya sama sekali. Dia sungguh tidak punya pilihan. Bapaknya sudah meninggal dunia. Ibu nya sedang sekarat, adik nya butuh makan. Pernikahan ini yang akan memberikan jalan keluar.
Joseph berjanji akan membiayai semua biaya pengobatan ibu nya, menjamin seluruh pengeluaran keluarga Hana setiap bulan, dan dia pun akan merenovasi rumah Hana agar menjadi lebih bagus lagi.
Pikiran nya buntu, bagi Hana, pilihan ini lebih terhormat di banding mengemis, meminta-minta atau menjual diri seperti gadis-gadis lain. Lagi pula, tidak ada hukum yang melarang membeli istri, bukan? Itu sah-sah saja, anggap saja pembayaran mahar.
"Ku mohon tuan, Ibu ku sedang sekarat saat ini, tolong berbelas kasih lah padaku." Ucap Hana memelas.
"Aku tidak peduli tentang apa masalah mu gadis bodoh. Mau ibu mu sekarat, mati pun sekalian, aku tidak peduli." Kata nya, yang membuat Hati Hana lagi-lagi tersayat.
Hana beranjak dari kursi nya dan bersimpuh di kaki Yoseph, memohon belas kasih nya, "Ku mohon tuan." Kata Hana sambil menangis.
Yoseph merasa kesal dengan tindakan Hana, dia menendang Hana, hingga tersungkur beberapa centi, "Jef kau urus semua nya." Joseph memalingkan wajah nya dengan angkuh.
Sekretaris Jef mengangguk.
"Mari Nona.."
Hana lantas bangkit, dia mengikuti langkah kaki sekretaris Jef dari belakang sambil menahan air mata nya sepanjang jalan menuju area parkiran. Dia ingin berteriak, tapi kerongkongannya kelu. Dia ingin marah, tapi pada siapa? Pada Tuhan? Keputusan itu dia ambil sendiri, tidak ada yang bisa di salahkan. Semua pilihannya sendiri, apa pun risiko dan harga nya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!