"Vin, tolong nikahilah Azizah seandainya usia kakak benar-benar hanya sampai sini!" pinta Hasan kepada adiknya yang paling dia sayang dan percayai selama ini.
"T-tapi, Kak. Dia istrimu, lagipula daripada bicara yang tidak-tidak seperti ini, lebih baik Kakak fokus untuk sembuh!" Gavin menggenggam erat tangan kiri Hasan yang terasa lemas dan dingin. Dia tidak mau kehilangan kakaknya, dia tidak mau ditinggal lebih dulu, dia tidak siap untuk itu.
"Kakak rasa usia kakak tidak akan lama lagi, tolong ingat permintaan kakak, Vin! Jangan biarkan anak yang dikandung Azizah menjadi yatim, lambat laun cinta pasti akan tumbuh di hati kalian. Kakak titip istri kakak, Vin. Tolong jaga dan sayangi dia seperti kakak menjaga dan menyayanginya selama ini!" Hasan menatap adiknya sendu, rasanya dia ingin sekali menua bersama dengan istri tercinta, tapi apalah daya jika Tuhan tidak mengizinkan takdir itu untuk terjadi.
"Aku tidak berjanji, Kak. Tapi, seandainya itu benar-benar terjadi, aku akan mencoba untuk menjadi ayah yang baik untuk anak kalian." Gavin mencium punggung tangan Hasan beberapa kali, berat sekali mengatakan kalimat itu, apalagi dia tahu seberapa besar rasa cinta di antara Hasan dan Azizah.
"Terima kasih, Vin. Terima kasih banyak. Kakak sangat mengantuk sekarang, kakak izin tidur dulu ya?"
Dan kalimat itu menjadi penutup ucapan Hasan untuk terakhir kali dalam hidup. Hasan meninggal dunia pukul 07.34 WIB setelah seminggu dirawat di rumah sakit karena sirosis hati yang baru diketahui penyakitnya satu setengah bulan yang lalu.
Selama ini Hasan tidak pernah memiliki keluhan sama sekali, dia terlihat sangat sehat. Memang, terkadang penyakit kronis baru ketahuan ketika sudah cukup parah. Sebenarnya Hasan masih bisa sembuh dengan menjalani operasi donor hati, tetapi sayang sekali keluarganya belum menemukan donor yang cocok sehingga Hasan harus meninggal karena penyakit kronis itu.
Kepergian Hasan membawa luka dan kesedihan tersendiri untuk orang-orang yang mengenal dan menyayanginya, baik dari pihak istri, kerabat lain, ataupun teman dan rekan kerja. Usianya baru dua puluh sembilan tahun ketika Tuhan mengambilnya kembali, dia meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.
Hari itu, Hasan langsung dimakamkan dan sekarang pemakaman masih terlihat ramai, beberapa orang masih menangis sesenggukan. Sekuat apa pun mereka berusaha untuk tidak meneteskan air mata, tetapi kesedihan membuat air mata mereka tetap mengalir dengan derasnya.
Setelah pemakaman selesai, satu per satu orang mulai meninggalkan pemakaman. Sekarang tinggal keluarga inti saja yang masih setia di sana dan enggan untuk pergi. Dua jam tanpa terasa sudah berlalu setelah pemakaman selesai.
"Sayang, ayo kita pulang. Kita sudah terlalu lama di sini!" ajak Farah kepada menantunya yang sejak tadi sibuk mengusap nisan Hasan sambil terus melantunkan doa.
"Ti-dak mau. Azizah masih mau di-di-sini, Ma!" tolak sang menantu dengan terbata-bata. Suaranya sangat serak, wajahnya sudah basah karena terus dialiri air mata, kelopak matanya bengkak dan memerah.
"Besok kita ke sini lagi, Sayang. Sekarang pulang dulu, ya! Ingat, Nak! Kamu sekarang sedang hamil dan kehamilan kamu itu cukup lemah, jangan sampai anak kamu kenapa-kenapa karena kamu keras kepala tidak mau pulang. Hasan tidak akan suka melihat kamu seperti ini kalau dia masih ada," nasihat Farah lembut seraya merangkul dan mengusap bahu menantu satu-satunya itu.
"Aku masih ingin di sini, menemani Mas Hasan, Ma. Jangan paksa aku pulang!" tolak Azizah lagi dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Kami tahu kamu sedih dan kehilangan, tetapi jangan sampai kesedihan kamu semakin bertambah karena kehilangan calon anak juga!" ucap Gavin yang sejak tadi hanya diam memerhatikan kakak iparnya, dia kasihan melihat Azizah seperti ini, tetapi dia juga kesal karena wanita itu benar-benar keras kepala.
Mendengar ucapan Gavin, Azizah malah kembali terisak kencang, dia tidak suka Gavin berkata seperti itu, dia benci kata-kata itu. Azizah kemudian langsung berdiri dengan perlahan, tetapi saat itu dia merasa kepalanya sangat pusing dan semua yang dia lihat menjadi gelap, tubuhnya terasa begitu lemas sampai akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri, beruntung seseorang menahan tubuhnya sehingga tidak langsung terjatuh di tanah kuburan.
***
Lima bulan berlalu dan kandungan Azizah sudah memasuki bulan ke delapan sekarang. Perutnya semakin besar dan bayinya juga sangat aktif di dalam sana. Beberapa kali dia masuk rumah sakit dan harus dirawat inap di sana karena kandungannya yang lemah. Dia juga sering drop karena merasa sedih tidak ada suaminya yang mendampinginya ketika dia hamil. Namun, Azizah sudah mulai mengikhlaskan Hasan karena tahu jika Tuhan lebih sayang dengan suaminya.
"Mbak, ini rujak mangga ya kamu minta. Saya membelikannya di tempat yang kamu maksud." Gavin yang baru saja pulang bekerja langsung menghampiri Azizah dan memberikan titipan kakak iparnya itu.
"Aku sudah tidak ingin memakannya, kamu saja yang makan!" ucap Azizah dengan begitu santai tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Saya tidak suka makanan yang asam," jawab Gavin sambil membuang napas kasar.
"Keponakan kamu yang memintanya, kamu tidak mau mengabulkan keinginannya?" Azizah menatap Gavin dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa sejak suaminya meninggal mereka memang menjadi lebih dekat, tetapi Azizah masih menganggap Gavin hanya sebagai adik ipar saja.
"Dih, padahal saya tahu kalau sebenarnya itu keinginan kamu melihat saya tersiksa makan makanan yang asam ini, 'kan?" tuduh Gavin dengan ekspresi wajah yang begitu kesal.
"Jadi kamu tidak mau? Kalau tidak mau ya sudah!" Setetes air mata menetes begitu saja di pipi Azizah. Entah kenapa dia benar-benar kesal karena Gavin menolak permintaannya.
"Lah, kok malah nangis beneran? Cengeng banget sih kamu, Mbak." Gavin kelimpungan, dia menatap rujak mangga di depannya kemudian tanpa aba-aba membuka dan berdoa kemudian memakannya. "Nih, aku sudah memakannya, jadi berhentilah menangis!" pintanya setelah menelan sesuap rujak mangga asam, pedas, dan manis itu dengan susah payah.
Azizah yang melihat itu langsung tersenyum senang. "Habiskan!" pintanya semakin melunjak.
"Mbak!" Gavin berteriak kesal tidak terima.
Azizah kembali menunduk dan ekspresi wajahnya berubah sedih lagi.
"Dasar keponakan yang sholeh, oke paman akan menghabiskan rujak ini." Gavin menatap perut buncit Azizah kemudian kembali memakan rujak mangga tadi dengan tenang.
Azizah yang melihatnya menelan ludah beberapa kali karena rujak itu terlihat sangat enak dimakan Gavin. "Vin, aku juga mau makan itu," katanya ketika rujak hanya tinggal separuh porsi.
"Beneran?"
"Iya." Azizah mengangguk dengan antusias.
"Ya sudah ini dihabiskan sekarang!" Gavin tersenyum lega, dia terkekeh pelan melihat Azizah mengambil rujak mangga tadi kemudian memakannya dengan begitu lahap. "Enak, Mbak?" tanyanya masih dengan senyuman, tetapi kali ini dia menatap sendu wanita itu.
"Enak, kapan-kapan belikan lagi ya!" ucap Azizah tanpa menatap adik iparnya.
"Oke." Gavin mengangguk, dia merasa sedih sekarang. Mungkin kalau Hasan masih hidup, yang ada di posisi ini adalah kakak tersayangnya itu. Namun, semua sudah berbeda sekarang, kakaknya sudah tenang di alam lain dan dirinya punya tanggung jawab yang sangat besar sekarang. Menggantikan posisi kakaknya dalam keluarga dan untuk Azizah juga.
Apakah aku harus menikahimu sesuai dengan permintaan terakhir kakakku, Zi? batin Gavin dalam hati dengan begitu sedih.
.......
.......
.......
...Usahakan setelah baca komen dan like ya. Share cerita ini juga boleh banget. Kasih hadiah juga alhamdulillah banget....
"Semuanya sehat, ibu dan bayinya sehat. Alhamdulillah sepertinya Bu Azizah bisa melahirkan secara normal karena posisi bayi sangat bagus dan sudah turun." Dokter wanita bernama Alana itu tersenyum seraya menatap Azizah yang juga tersenyum kepadanya.
"Alhamdulillah, memang itu yang saya harapkan, Dok. Saya tidak mau operasi." Azizah mengusap lembut perutnya dan merasakan pergerakan kuat di sana. "Eh, anaknya bunda pintar banget ya, Sayang?" sapanya dengan senyuman penuh kebahagiaan.
"Nanti resep vitamin dari saya diambil di bagian farmasi ya, Bu!"
"Baik, Dokter." Azizah mengangguk, setelah selesai periksa dia pun langsung keluar dari ruang praktik dokter dan mengambil vitamin miliknya di apotek rumah sakit. Setelah selesai, dia pun memutuskan untuk langsung pulang karena sudah tidak memiliki urusan lain setelah itu.
Dia memang masih tinggal di rumah mertuanya sekarang atas permintaan mertuanya sendiri karena khawatir dengan dirinya yang sedang hamil besar. Keluarga Azizah hanya tinggal ayah dan kakaknya saja yang sekarang tinggal di luar negeri sehingga mereka jarang sekali bertemu.
Azizah itu dua bersaudara dan dia anak, dia memiliki kakak laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya. Namanya Arshaka Maulana, seorang pengusaha muda yang belum menikah. Azizah sendiri sekarang berusia dua puluh dua tahun, dia menikah dengan Hasan ketika berusia sembilan belas tahun dulu karena dijodohkan oleh orangtua mereka.
Mamanya sudah berpulang ketika usia Azizah enam bulan dan ayahnya tidak menikah lagi karena katanya selamanya hanya mama yang ada di hati dan tidak akan pernah terganti. Padahal Azizah dan Shaka pernah meminta ayahnya untuk menikah lagi, tetapi ayahnya itu dengan tegas menolak sehingga baik Azizah ataupun Sakha tidak pernah membahas masalah itu lagi.
Ketika suaminya meninggal, Ayah dan Shaka meminta izin untuk membawanya tinggal bersama mereka di luar negeri, tetapi Farah dengan tegas menolak karena kandungan Azizah lemah dan dia juga belum siap berpisah dengan menantu satu-satunya.
"Assalamu'alaikum, Mama," Azizah yang baru saja keluar dari mobil langsung menyapa mama mertuanya yang sedang duduk santai di teras rumah, sepertinya Farah memang sengaja duduk di sana dan menunggu dirinya pulang.
"Wa'alaikumussalam, Sayang. Kamu kenapa tadi ngeyel pergi sendirian ke rumah sakit?" Farah menatap menantunya dengan sangat khawatir, tadi dia dihubungi Gavin kalau Azizah pergi sendirian ke rumah sakit, padahal selama ini setiap periksa selalu dia yang menemani. Azizah memang pergi dengan sopir, tetapi tetap saja membuat Farah khawatir dengannya.
"Maaf, Ma. Lain kali nggak akan Azi ulangi lagi." Azizah merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Sayang. Sekarang kita masuk dan makan siang dulu, tadi mama sudah memasak makanan kesukaan kamu," kata Farah dengan senyum cerah, dia menggenggam tangan putrinya kemudian langsung mengajak ke ruang makan. "Nasinya mau seberapa banyak, Nak?" tanyanya ramah sekali.
"Satu centong saja, Ma. Nanti misal kurang biar Azi nambah sendiri," jawabnya sambil mencuci tangan terlebih dulu.
Setelah makanan disiapkan, keduanya langsung makan bersama. Kebetulan hari ini Gavin dan papa mertua Azizah sedang pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan sehingga tidak bisa makan siang bersama mereka seperti biasanya.
"Nak, HPL kamu tiga Minggu lagi, 'kan?" Farah menatap menantunya yang masih sibuk makan.
"Iya, Ma."
"Jadi dokter bilang apa untuk kamu melahirkan nanti?"
"Dokter Alana bilang kalau aku bisa melahirkan dengan normal karena posisi bayi bagus dan sudah mulai turun."
"Alhamdulillah kalau begitu, mama senang sekali mendengarnya." Farah benar-benar bahagia dan tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertamanya.
Azizah hanya menganggapi dengan mengangguk dan tersenyum kepada mertuanya itu. Mertua yang begitu baik dan seperti mama kandung sendiri, dia tidak pernah memarahinya walau memang Farah itu tegas dan suka dibantah.
Setelah selesai makan dan mencuci piring, mereka berdua duduk di sofa ruang keluarga. Farah ingin sekali membahas masalah pernikahan Azizah dengan Gavin seperti yang diinginkan almarhum Hasan, tetapi sepertinya sekarang belum tepat waktunya karena Azizah masih terlihat sedih kalau membahas Hasan.
Sejak Azizah hamil, dia memang sudah tidak bekerja lagi karena dulu suaminya melarang. Azizah yang pada dasarnya sangat penurut pun mematuhi semua aturan yang dibuat suaminya. Dia sangat mencintai Hasan sehingga tidak pernah merasa keberatan sama sekali dengan aturan yang dibuat suaminya.
Azizah sangat bersyukur bisa menikah dengan Hasan walau usia mereka terpaut tujuh tahun, Hasan selalu bisa menyesuaikan diri dengannya begitu juga sebaliknya. Azizah jadi merindukan suaminya itu sekarang, selama dua bulan terakhir dia tidak pernah pergi ke makam suaminya lagi demi kebaikan dirinya sendiri.
"Mama," panggil Azizah tiba-tiba karena dia teringat dengan sesuatu dan ingin menanyakannya.
"Kenapa, Nak?"
"Dulu bukannya sebelum aku menikah dengan Mas Hasan, Gavin pernah mengatakan akan menikah?" Azizah benar-benar sangat penasaran dengan hal itu karena sejak mendengar kabar itu sampai sekarang Gavin malah belum menikah juga, padahal seharusnya Gavin menikah lebih dulu daripada dirinya dan Hasan.
Farah diam sebentar ketika Azizah menanyakan hal itu, dia bingung harus menjawab bagaimana karena sebenarnya alasan Gavin belum menikah sampai sekarang adalah Azizah.
Sebenarnya dulu yang mau dijodohkan dengan Azizah itu adalah Gavin, tetapi suami dan ayah Azizah salah paham dan bepikir jika anak pertama yang akan dijodohkan dengan Azizah. Kesalahpahaman itu akhirnya berlanjut dan Azizah menikah dengan Hasan. Gavin pun menerima semuanya dengan lapang dada walau sebenarnya sangat berat merelakan wanita yang diam-diam dia kagumi menikah dengan kakaknya sendiri.
Melihat Azizah dan Hasan bahagia, akhirnya Gavin bisa benar-benar ikhlas dan ikut bahagia karena pernikahan itu. Namun, dia belum bisa membuka hati untuk wanita baru karena jujur dia sangat berat melakukannya.
"Mama, kenapa malah diam?" Azizah menepuk bahu Farah pelan.
"Eh, maaf, Nak." Farah tertawa canggung. "Gavin belum menikah karena belum bertemu dengan jodohnya," kata Farah memberi alasan yang sekiranya bisa diterima dengan baik oleh Azizah. "Sayang, apa mama boleh bertanya sesuatu padamu?" Farah menatap mata menantunya lekat, sepertinya dia memang harus membahas masalah permintaan terakhir Hasan kepada Azizah sekarang juga.
"Boleh dong, Ma. Mau tanya apa memang?"
"Usia kamu masih muda, Nak. Semisal nanti setelah melahirkan ada seorang lelaki baik yang melamar kamu, kamu akan menerimanya, 'kan?" Farah bertanya dengan sangat hati-hati, takut kalau pertanyaannya membuat Azizah tersinggung.
"Aku belum memikirkan masalah itu, Ma. Tanah kuburan suamiku bahkan masih basah sekarang, tetapi jika takdir Tuhan membuat aku berjodoh dengan orang lain, mau mengelak sekuat tenaga pun aku tidak akan bisa, 'kan?" Azizah tersenyum simpul dan menunduk, dia memainkan jari-jemari tangannya dan menahan tangis karena teringat dengan mendiang suami tercintanya.
Mas Hasan, jika aku ditakdirkan menjadi seorang istri untuk laki-laki lain. Nama kamu tidak akan pernah terhapus dari hatiku, Mas. Kalian pasti akan mempunyai tempat sendiri di hatiku, 'kan? batinnya ragu.
"Kalau kamu mau menikah lagi, mama tidak akan melarang kamu Azizah. Bagaimanapun kamu masih sangat muda dan masih membutuhkan seorang suami, janda di mata masyarakat memang kadang dipandang rendah. Namun, kamu menjadi janda karena suamimu meninggal dan hal itu cukup menjadi alasan baik seandainya kamu menikah lagi," ucap Farah yang membuat Azizah merasa jika mertuanya ini sudah tidak menginginkan dia lagi tinggal di rumah mereka.
"Kenapa Mama membahas masalah menikah lagi? Apa Mama ingin aku segera pergi dari rumah ini?" Azizah menatap sendu mertuanya, hatinya merasa sedikit sakit karena pertanyaan itu.
"Ya Allah, maaf kalau perkataan mama sudah membuat kamu tersinggung, Sayang. Mama tidak bermaksud seperti itu, kamu adalah menantu mama dan selamanya akan tetap menjadi menantu mama, bahkan mama sangat berharap kamu akan tinggal di rumah ini selamanya. Maafkan mama, Sayang!" Farah yang merasa bersalah langsung memeluk menantunya dan mencium puncak kepalanya beberapa kali.
Sepertinya pembahasan tentang pernikahan sangat sensitif untuk ibu hamil ini dan Farah tidak akan mengulanginya lagi sampai waktunya tiba. Ya, setelah Azizah melahirkan dia akan berdiskusi dengan Gavin dan papanya Azizah untuk melamarnya lagi menjadi menantu keluarga Farah lagi dengan cara menikahkan Gavin dan Azizah.
"Iya, Ma." Azizah mengangguk lemah.
***
Farah dan Azizah sedang memasak ketika Gavin dan Fahri pulang dari luar kota setelah tiga hari bekerja di sana. Azizah memang sangat suka memasak dan rasanya pun sangat enak, maklum saja dia dulu sekolah boga dan selalu menjadi juara satu ketika mengikuti lomba, walau saat kuliah pindah jurusan jadi management bisnis.
Azizah sendiri punya bisnis restoran yang resep menunya adalah racikannya sendiri. Papa dan kakaknya juga sangat mendukung sehingga walaupun dia sibuk kerja di kantor, kepandaiannya dalam memasak tetap berguna. Selain restoran, dia juga punya toko kue yang cukup terkenal namanya dengan harga terjangkau untuk kalangan kelas bawah maupun atas.
"Assalamu'alaikum." Fahri langsung menghampiri istri dan menantunya ke dapur. Dia bahkan tanpa segan memeluk pinggang Farah dari belakang, membuat Farah merona malu. Pasangan tua ini memang masih sangat romantis dan membuat anak muda iri.
"Wa'alaikumussalam. Kamu jangan peluk-peluk aku begini dong, Mas! Malu tau akunya di depan anak-anak!" ucap Farah sambil membalikkan tubuh sehingga berhadapan dengan suaminya. Dia juga melirik ke arah Gavin yang ikut menghampiri mereka ke dapur dan sekarang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan memutar bola mata jengah melihat kemesraan mereka.
"Papa sama Mama romantis banget deh. Gavin kapan nyusul?" goda Azizah seraya menatap Gavin yang masih terlihat kesal melihat kemesraan orangtuanya.
"Setelah kamu melahirkan," ucap Gavin tanpa sadar.
"Kenapa harus nunggu aku melahirkan dulu? Memang ada hubungannya?" Azizah mematikan kompor karena masakannya sudah matang. Dia juga sedikit bingung dengan ucapan adik iparnya yang sebenarnya lebih tua empat tahun darinya.
"Aku bicara apa tadi, Mbak?" tanya Gavin kebingungan.
"Aku kan tadi tanya kamu kapan nyusul, terus kamu jawab setelah aku melahirkan." Azizah bicara apa adanya, mengulang apa yang dia katakan tadi.
"Oh." Gavin mengangguk paham, dia lalu menatap Azizah lekat, tetapi yang ditatap sekarang malah memunggunginya karena sibuk mengangkat memindahkan nasi goreng dari wajan ke piring hidang yang besar. "Mbak kalau capek istirahat sana, nanti biar aku yang bantu nyiapin makanan ke meja!" perintah Gavin begitu perhatian.
"Udah selesai kok, kita langsung makan malam setelah ini." Azizah berbalik kemudian tersenyum.
"Kalian lebih baik masuk ke kamar masing-masing dan mandi dulu, setelah itu baru makan!" perintah Farah yang langsung diiyakan kedua pria berbeda usia itu. Mereka dengan patuh langsung pergi ke kamar masing-masing dan tidak sampai lima belas menit sudah datang ke ruang makan.
"Pekerjaan kalian lancar kan, Mas?" Farah membuka pembicaraan ketika di meja makan.
"Alhamdulillah lancar semuanya, Sayang. Beberapa investor bahkan memperpanjang kontrak kerjasama dengan perusahaan kita karena puas dengan hasil kerjasama yang sebelumnya." Fahri terlihat sangat antusias dan bangga ketika mengatakannya, dia bahkan beberapa kali menepuk pundak Gavin juga karena merasa bangga dengan putra keduanya itu. "Ini semua juga berkat, Gavin. Dia mampu menggantikan pekerjaan Hasan dengan sangat baik," katanya bangga sekali.
Azizah yang mendengarnya ikut tersenyum, dia juga bangga dengan Gavin. Namun, dia kadang juga merasa kasihan melihat Gavin karena harus menanggung tanggung jawab yang besar setelah kepergian Hasan.
"Mama bangga sama kamu, Vin. Sekarang kita berdoa terus makan!" katanya kemudian.
Fahri langsung memimpin doa dan mereka pun makan bersama. Azizah seperti biasa menghabiskan dua porsi dan selanjutnya makan salad buah yang dibuat Farah tadi siang.
"Mbak, kalau sudah selesai makan nanti ke kamarku sebentar ya!" pinta Gavin yang sedang duduk santai di sofa ruang keluarga sambil memakan keripik singkong kesukaannya.
"Ngapain ke kamar kamu?" Mata Azizah langsung memicing.
"Aku punya oleh-oleh buat Mbak Azi dan keponakan aku," kata Gavin santai, tidak terlihat canggung sedikit pun.
"Ya udah nanti aku ke kamar kamu." Azizah kemudian melanjutkan makan salad sampai habis.
Setelah selesai makan dan mengobrol sebentar, Azizah langsung mengikuti Gavin pergi ke kamarnya.
"Mbak duduk dulu, aku mau ambil oleh-olehnya!"
"Oke." Azizah langsung duduk di sofa kamar Gavin, dia menatap ke sekeliling dan melihat foto yang di panjang di dinding sambil tersenyum tipis. Foto suaminya dengan Gavin ketika mereka masih kecil dulu, kalau dilihat-lihat dengan seksama, wajah Gavin dan Hasan ketika kecil sangat mirip seperti anak kembar, bahkan sisa-sisa kemiripan itu masih ada sampai sekarang.
Jujur saja, wajah Gavin lebih tampan daripada Hasan, tetapi kalah berwibawa dari Hasan. Hasan yang pembawaannya kalem dan dewasa sangat berbanding terbalik dengan Gavin yang ceria dan kadang usil juga, tetapi di balik sikapnya, sebenarnya Gavin juga sosok yang dewasa dan serius.
"Mbak!"
"Eh iya kenapa?" Azizah sedikit terkejut saat Gavin menepuk bahunya pelan.
"Aku panggil dari tadi nggak jawab-jawab malah melamun. Lihatin apa sih?"
"Itu foto kamu sama Mas Hasan. Kalian imut banget waktu kecil," katanya sambil tersenyum hangat.
"Gantengan aku kan, Mbak?" Gavin menaik turunkan alisnya menggoda.
"Dih kepedean! Gantengan almarhum suami aku tau, Vin!" Azizah tentu akan selalu ada di pihak suaminya karena dia sangat mencintai Hasan.
"Iya deh yang bucin sama suami. Nih oleh-olehnya, Mbak. Yang tas kecil punya kami dan yang besar punya keponakan aku." Gavin memberikan dua paper bag itu kepada Azizah.
"Boleh dibuka, Vin?" Azizah menatap adik iparnya sekilas, meminta persetujuan demi kesopanan.
"Boleh, Mbak." Gavin mengangguk dan ikut duduk di sebelah Azizah.
"MasyaAllah, baju bayinya lucu-lucu banget, ini kamu yang pilih?" Azizah sangat antusias melihat beberapa pakaian bayi yang Gavin berikan untuk anaknya.
"Iya, Mbak." Gavin tersenyum lega karena melihat Azizah menyukai hadiahnya.
"Lho, Vin. Kenapa ada jepit rambut pink di sini?" Azizah sebenarmya suka dengan jepit rambut kecil yang lucu-lucu itu, tetapi dia heran saja karena Gavin memberikan untuk calon anaknya.
"Buat keponakan aku, Mbak. Lucu deh pasti nanti kalau rambutnya dikasih jepit." Gavin yang membayangkan saja sudah sangat gemas.
"Tapi kan anak aku laki-laki, Vin!" Azizah mengusap perutnya sambil geleng-geleng kepala.
Nah lho, gimana sih Vin kamu tuh? Author ikut geleng-geleng.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!