NovelToon NovelToon

You Are My Romance Story

Saksi.

Bruk!

“Eh, maaf Mas!” Salina mengelus lengannya ketika tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek menubruk seorang pria bertubuh tinggi dengan ekspresi wajahnya yang dingin. Pria itu tidak repot-repot menanggapi permintaan maaf Salina, ia terus melangkah meninggalkan Salina.

Sambil mengedikkan bahu, Salina melanjutkan langkahnya.

Salina kembali memastikan pantulan dirinya pada dinding lift yang sepi di rumah sakit HG Hospital, kotak besi itu akan membawanya ke lantai 4, tempat dimana ruangan direktur utama sekaligus pemilik rumah sakit itu berada. Karena hari ini, Sal sudah membuat janji meeting dengan Tuan Hadran, untuk membicarakan soal rencananya yang akan menjadikan kehidupan aktifitas rumah sakit sebagai bahan tulisan novelnya, dengan harapan dan doa sejak dua hari lalu semoga rencana dan ijinnya tidak ditolak oleh Tuan Hadran.

Salina yakin permohonannya akan diterima, mengingat Tuan Hadran sejauh ini dikenal sebagai pribadi yang dermawan, baik hati dan ramah.

“Huuuuf. Semangat, Sal!” Salina memberikan semangat pada dirinya sendiri tepat sebelum pintu lift bergerak terbuka.

Dirinya langsung memasuki sebuah lorong yang akan membawanya menuju ruangan Tuan Hadran. Sesuai instruksi bagian represionis di lantai bawah, Salina bisa langsung saja masuk ke dalam ruangan itu, jadi beberapa langkah sebelum tiba di depan pintu ruangan Tuan Hadran, Salina mengatur napasnya agar bisa bersikap tenang.

Dua langkah kemudian, Salina sudah berdiri di depan pintu ruangan itu, yang menghentikan dirinya adalah pintu itu yang tidak tertutup rapat, dari celah yang terbuka itu, Salina dapat melihat dengan jelas, juga mendengar dengan jelas apa yang sedang terjadi di dalam sana.

Entah apa yang terjadi sebenarnya, yang jelas saat ini, Salina melihat seorang pria tengah berlutut di depan Tuan Hadran, pria itu tampak ketakutan, dan ada seorang pria lainnya yang memegangi pundak pria yang tengah berlutut itu, seperti menahan agar si pria itu tidak dapat berdiri atau pun bergerak.

Napas Salina tercekat di tenggorokan, ia ingin segera pergi dari tempatnya, ia tidak ingin melihat apa yang semestinya tidak dia saksikan. Tapi seluruh ototnya seolah membeku, tidak bisa bergerak sama sekali, termasuk memejamkan matanya.

Dilihatnya Tuan Hadran mengambil sebuah jarum suntik dari meja di belakangnya, ia menunduk, mensejajarkan wajahnya pada wajah pria yang berlutut itu. Mata Tuan Hadran berkilat sadis dan kejam, sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini Salina tahu dari media tentang Tuan Hadran.

“Kau tidak pantas untuk hidup.” Ucap Tuan Hadran lalu detik berikutnya dia menyuntiknya cairan apa pun itu dari jarum suntikan tadi ke leher pria itu. Setelah Tuan Hadran mencabut jarum suntiknya, Salina dapat melihat bagaimana tubuh pria tadi seketika ambruk, lalu kejang-kejang dengan hebatnya, sampai mata, hidung, mulut juga telinganya mengeluarkan darah.

Salina takut! Takut sekali!

Tangannya mencengkram tali tas selempangnya dengan kuat.

Lari, Sal! Lari! Perintah otaknya pada selurut otot tubuhnya, tapi lagi, ototnya kali ini seperti mempunyai otaknya sendiri.

Lain halnya dengan Salina yang ketakutan dan tak tega melihat pria yang tak ia kenal itu merenggang nyawa, Tuan Hadran malah melihat pemandangan itu dengan senyuman sinis yang menghiasi wajahnya.

Drrrt!

Ponsel Salina tiba-tiba bergetar dan berbunyi dari dalam saku celananya.

Seketika itu juga, keberadaan Salina disadari oleh Tuan Hadran.

“Siapa itu?!” Hadran membentak.

LARI!

Akhirnya, Salina mampu menggerakkan tubuhnya untuk melesat dari depan pintu itu. Ia berlari tunggang langgang menelusuri lorong yang sepi menuju kembali kearah lift. Jantungnya berdegup cepat ketika ia sampai di depan pintu lift. Salina menekan-nekan tombol panah ke bawah dengan panik.

Ting!

Pintu lift bergerak terbuka, tapi begitu Salina mau masuk, tubuhnya menubruk dada seorang pria yang berdiri tepat di antara pintu. Pria itu menatap Salina dengan tatapan dingin.

“Tolong saya, Mas!” Pinta Salina sebagai kalimat pertama yang keluar dari bibirnya. Dalam keadaan paniknya, Salina masih bisa mengingat wajah pria itu. Dia adalah pria yang sama dengan pria yang tadi sebelumnya juga tak sengaja ditubruknya.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, pria itu mencekal tangan Salina dengan kuat hingga Salina meringis. Kemudian pria itu langsung menyeret Salina kembali ke dalam lorong.

“Jangan! Jangan, Mas! Saya mohon! Saya harus pergi!” Tapi pria itu tidak merespon apa pun sampai akhirnya Salina dibawa keruangan Hadran.

Ya Tuhan! Ya Tuhan! Batin Salina teriak.

.

.

Abrisam menarik tangan gadis bermata bulat yang dia cekal itu masuk ke dalam ruangan Hadran, kemudian melepaskannya dan dia melangkah beberapa langkah membiarkan gadis itu berdiri sendirian di tengah ruangan.

Kepalanya menunduk, kedua tangannya mengepal, jelas gadis itu ketakutan.

Hadran berjalan perlahan meninggalkan bekas bunyi sol sepatunya pada lantai ruangannya, perlahan dia berhenti tepat di depan gadis itu.

"Kau yang tadi ada di luar ruanganku?" tanya Hadran dengan suara yang mengingimidasi. "JAWAB!" Bentaknya karena gadis itu tak kunjung memberikan jawaban.

"Iya." jawabnya.

Abrisam cukup tertegun dengan jawaban bulat yg keluar dari mulut gadis yang masih menundukkan kepalanya itu.

"Apa kau melihat apa yang terjadi?" tanya Hadran lagi.

Abrisam dapat melihat dengan pasti, kepala gadis itu bergerak sedikit menengok ke samping, ke arah sebuah tubuh pria berkemeja kotak2 yg sudah tidak lagi bernyawa tergeletak tepat di belakang kaki Abrisam. Meski kepalanya tetap menunduk, Abrisam dapat merasakan kebimbangan juga ketakutan yang bercampur dalam hati gadis itu.

"JAWAB!" Lagi, Hadra membentaknya.

"Iya! Saya melihatnya."

"Apa yg kau lihat?"

"Anda... Anda menyuntik sesuatu pada seseorang."

"Ah! Sayang sekali," Hadran melangkah mundur kemudian berbalik badan memunggungi gadis itu. "kau harus menyaksikan apa yang tidak seharusnya kau saksikan."

Gadis itu masih menundukkan kepalanya.

"Siapa namamu? Jangan membuatku bertanya dua kali."

"Sal... Salina."

"Salina?" Hadran mengulang. "Apa kau penulis yang akan meeting denganku pagi ini?"

"Iya, benar."

"Wah, sangat kebetulan yang tak terprediksi. Siapa yang akan menyangka, seorang penulis terkenal sepertimu harus menyaksikan hal yang tidak seharusnya. Kau tahu, apa yang kau lihat bisa kau jadikan cerita thriller." kata Hadran dengan entengnya tanpa beban, tanpa sedikit pun rasa bersalah telah melenyapkan sebuah nyawa manusia.

"Apa kau akan menuliskan sebuah cerita tentang ini? jawab pertanyaanku dan lihat wajahku!"

"Saya tidak akan menuliskan sebuah cerita novel untuk apa yang saya lihat." jawab gadis itu dengan kepalanya yang terangkat. Suaranya bergetar. "Tapi saya akan melaporkannya." Nah, meski bergetar, tapi cukup berani untuk

mengancam Hadran.

"Berani sekali! Padahal kau tahu, nyawamu berada ditanganku!" Hadran kembali melihat gadis itu. "Abrisam! Periksa ponselnya!"

Abrisam dengan langkah lebarnya langsung menarik paksa tas selempang yang dikenakan gadis itu, ia langsung mengeluarkan semua isi tas, tapi tidak menemukan ponsel itu, kemudian ia melihat benjolan kotak pada saku celana gadis itu.

"Berikan ponselmu." Ucap Abrisam dengan suara beratnya yang begitu dingin, sedingin tatapan matanya yang tidak bebelas kasih seperti Hadran.

Gadis itu tidak melawan, ia memberikan ponselnya pada Abrisam setelah menempelkan sidik jarinya pada layar. Tidak sampai lima menit Abrisam mengecek ponsel gadis itu.

"Bersih." ucapnya pada Hadran.

"Kau yakin?" Hadran bertanya.

"Ya."

"Bagus, berarti kau hanya merekamnya di dalam kepalamu itu saja, kan? Sayang sekali, kau akan kehilangan kepalamu sebentar lagi." ujar Hadran.

Gadis itu semakin menguatkan kepalan tangannya.

"Abi, bereskan dia. Dan  juga semua orang yang kemungkinan akan mencarinya. Aku tidak ingin ada kericuhan. Pastikan namaku tetap bersih untuk pilkada ini."

Abrisam mengangguk tanpa suara, kemudian dengan sekali hentakkan ia menarik gadis itu, menyeretnya keluar dari ruangan Hadran kembali menelusuri lorong yang sepi menuju lift.

.

.

"Kemana kau akan membawaku?" tanya Salina, tapi Abrisam diam saja.

"Apa kau akan membunuhku? Seperti pria yang disuntik mati itu?"

"Apakah aku akan mati sebelum menikah?"

"Apakah aku akan mati tanpa perpisahan dengan keluargaku? Dengan kekasihku?"

"Setidaknya kabari keluargaku dimana aku dikubur, agar mereka tetap mendoakan arwahku."

"Apakah aku-"

"Diam atau aku akan membuatmu kehilangan jiwamu, bukan nyawamu!" Bentak Abrisam yang membuat gadis itu sontak merapatkan bibirnya.

Mata bulatnya menatap Abrisam takut tapi juga berani.

Liift bergerak turun, Abrisam mengeluarkan senjata api dari balik pinggangnya yang membuat Salina terkesiap. ini adalah kali pertama ia melihat senjata api sungguhan tepat di depan batang hidungnya.

"Apa itu pistol sungguhan? Bukan korek api?"

"Apa kau selalu banyak tanya begini?"

"Tuntutan profesi."

Abrisam kembali menarik Salina lebih dekat dengannya lalu menempelkan ujung senjata api itu pada pinggang Salina.

"Bersikap normal, lakukan saja apa yang aku katakan, jangan membuat onar, atau aku akan menembak kepalamu sebelum kau sempat menyebut nama Tuhanmu." Bisik Abrisam penuh dengan ancaman yang mana Salina yakin pria itu akan benar-benar melakukannya.

Glek!

Salina tidak membantah dan melawan. Ia berusaha bersikap normal yang berjalan bersisian dengan seorang pria bertubuh tinggi tegap, berpakaian serba hitam dan bermata dingin yang menempelkan pistol dibalik semi blazer yang dikenakan Salina.

Abrisam terus membawanya ke area belakang rumah sakit, kemudian keluar melalui pagar pembatas area rumah sakit itu. Mereka kini berada di tengah kebun kosong yang ditanami pohon-pohon lebat.

"Kemana kau akan membawaku?"

"Ke tempat peristirahatan terakhirmu."

.

.

.

TBC~

Opsi.

"Kemana kau akan membawaku?" tanya Salina. Ia gugup, takut dan cemas sebenarnya. Tapi sepercik keberanian dalam dirinya membuatnya untuk tetap yakin bahwa ia akan tetap hidup. Harus optimis.

"Ke tempat peristirahatan terakhirmu." jawaban Abrisam memupuskan setitik optimis yang Salina pegang dalam hidupnya yang diujung tanduk.

Setelah tiba di tengah-tengah kebun kosong yang luas itu, Abrisam mendorong Salina kasar dengan ujung senjata apinya.

Salina mengangkat ke dua tangannya, ia memberanikan diri bebalik badan untuk melihat dan menatap mata dingin yang tajam dan gelap itu.

"Abrisam... Abrisam kan namamu... kumohon, jangan lakukan ini. Kumohon!" Pecah juga akhirnya tangis Salina melihat bagaimana kerasnya ekspresi Abrisam dengan mulut pistol itu mengarah ke kepalanya.

"Aku yakin, jauh dalam hatimu, kau juga masih manusia, kau masih punya hati, kumohon."

"Kau akan mati dengan cepat. Jangan khawatir. Setelah ini keluargamu juga akan menyusul. Jadi tidak perlu takut kau akan berpisah dengan mereka."

"Apa? Apa? Keluargaku? Bundaku? Adikku? Ya Tuhan, jangan, kumohon! Baiklah, kau boleh menghabisiku, kau boleh menguburku dimana pun kau mau, atau tidak menguburku, terserah! Tapi kumohon jangan sentuh keluargaku. Kumohon!" Air mata semakin deras membanjiri wajah dengan pipi chubby-nya.

Perlahan dengan memberanikan diri, Salina melangkah mendekat pada Abrisam, sambil terus mengucapkan permohonan agar tidak menyakiti orang-orang yang dia sayangi.

"Mundur!" Bentak Abrisam begitu menyadari Salina semakin mendekat.

Salina masih menangis.

"Berlutut!"

"Baik! Baik! Tapi jangan sakiti keluargaku!"

"Berlutut!"

Salina berlutut, tangannya ke atas. Ia pasrah!

Abrisam pun mendekat hingga jarak antara kening dan mulut pistol itu hanya 5 cm.

"Apa ada kata-kata terakhir?" tanya Abrisam.

Salina mendongak, menatap lurus ke mata Abrisam dengan matanya yang basah dan ketakutan, kemudian menjawab, "Selamatkan aku."

Tapi yang terdengar kemudian bukanlah jawaban dari bibir tipis Abrisam melainkan suara letupan dari senjata api itu.

DOR!

.

.

Salina membuka mata setelah keheningan yang cukup menggigit setelah suara letupan pistol Abrisam.

"Apakah aku sudah mati?" Suaranya bergetar bertanya pada satu-satunya manusia yang berdiri di depannya.

"Kalau kau mati, apakah kau masih bisa bertanya pada pembunuhmu?" Abrisam balas bertanya dengan nada suaranya yang dingin.

"Oh Tuhan! Oh Tuhan! Terima kasih! Aku janji akan menutup mulutku! Aku janji!" Salina berdiri dan hendak pergi.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?!" Bentak Abrisam.

Langkah kaki Salina terhenti. "Bukankah kau membebaskanku?"

Abrisam tersenyum tipis. "Apakah aku mengatakan itu?"

"Tapi kau tidak menembakku."

"Kau minta diselamatkan, bukan?"

"Ya!" jawab Salina diiringi anggukan kepala dengan cepat.

"Maka aku akan memberikanmu dua opsi."

"Baiklah, apa itu?"

"Jika kau ingin kau dan keluargamu selamat, maka kau harus menikah denganku.”

“APA?” Salina melotot, dengan sisa air mata pada ujung-ujung matanya. “Menikah?”

“Ya. Om Hadran tidak akan menyakiti anggota keluarga. Jadi jika kau ingin selamat, maka satu-satunya jalan adalah dengan menjadi istriku. Kau otomatis akan menjadi anggota keluarga, dan keluargamu akan menjadi keluargaku.” Abrisam menjelaskannya singkat, jelas, padat dan dingin.

“Tapi… tapi itu tidak mungkin, aku sudah mempunyai kekasih, kami saling mencintai!”

“Terserah saja padamu. Tapi jika kau tidak menikah denganku, maka hayatmu berakhir di tempat ini, begitu pun dengan nyawa anggota keluarga, juga kekasihmu itu. Aku tidak bisa menyisakan orang-orang yang akan mencarimu dan akan mengarah pada Om ku.”

“Tapi… ini tidak adil… ini sungguh tidak adil…”

“Aku tidak memaksamu. Kau yang minta diselamatkan. Dan aku memberikanmu pilihan. Kau yang menentukan. Apanya yang tidak adil?”

“Jika… jika aku menikah denganmu, apa aku akan bebas?”

“Bebas?” Abrisam tersenyum sinis. “Kau akan hidup dalam peraturanku. Tapi aku akan menjamin keselamatan dirimu juga keluargamu, tapi tidak dengan kekasihmu.”

“Apa maksudmu aku akan menjadi tawananmu?”

“Ya.”

“Oh Tuhan…. Apa sebaiknya aku mati saja?”

“Terserah kau saja.”

“Jika aku memilih opsi kedua, tidak bisakah kau lepaskan keluargaku?”

“Tidak bisa.”

“Tidak bisakah aku saja yang kau habisi?”

“Memangnya kau ingin mati?” tanya Abrisam balik.

“Tidak! Sesungguhnya aku ingin lari saat ini.”

“Aku berikan kau waktu satu menit untuk memikirkannya.”

“Aku ingin hidup panjang, menikah, memiliki anak, berkeluarga dengan damai dan bahagia, tapi… tapi… jika aku hidup, aku harus menikah denganmu, itu sama saja aku mengubur mimpiku dan-“

“Waktumu habis!” Potong Abrisam, ia kembali mengarahkan pistol di depan wajah Salina yang panik. “Aku hitung sampai tiga, jika tidak menentukan pilihanmu, aku akan ambil pilihan kedua.”

“Apa?”

“Satu…”

“Tunggu dulu… aku…”

“Dua…”

“Ya Tuhan! Tunggu, aku tidak bisa berpikir!”

“Tig-“

“Baiklah! Baiklah!” Potong Salina dengan cepat dan setengah berteriak. “Pilihan pertama! Aku pilih pilihan pertama!”

Abrisam menyunggingkan senyuman sinis yang dingin.

“Ya Tuhan!” Salina kembali menangis.

“Bagus! Sekarang ayo pergi!” Abrisam kembali memasukkan pistolnya ke balik pinggangnya yang ditutupi bawahan jas hitamnya. “Ayo cepat! Dan hapus air matamu!”

Abrisam membawa Salina ke parkiran mobil, dan memerintahkan Salina untuk masuk ke dalam mobil sedan model tua namun sangat antik.

“Masuk!”

Tanpa membantah, Salina masuk dengan patuh.

Tak lama kemudian Abrisam pun masuk ke dalam mobilnya dan duduk di belakang kemudi.

“Katakan dimana alamat rumah keluargamu.”

“Hah? Untuk apa? Bukankah kau bilang keluargaku akan selamat jika aku menikah denganmu?”

“Ya. Karena itu, kita harus menikah dengan secepat mungkin. Kita harus temui mereka sekarang juga. Dan katakan besok kita akan menikah.”

“Apa?”

Mobil melaju meninggalkan pelataran parkir, keluar dari rumah sakit. “Dimana rumah keluargamu?”

“Tapi… apa yang akan aku katakan pada mereka? Keluargaku tahu aku sudah mempunyai Bagas. Aku dan Bagas saling mencintai.”

“Lupakan cintamu dengan pria itu mulai detik ini. Dan karanglah cerita untuk kau jelaskan pada keluargamu, bukan kah kau seorang penulis?”

“Astaga! Apa yang harus aku katakan!” Salina mengusap wajahnya dengan kasar.

“Katakan dimana rumah keluargamu, atau aku akan membawamu langsung ke KUA tanpa keluargamu perlu tahu.”

“Apa kau hobi mengancam?!”

“Aku tidak mengancam, Nona Penulis! Aku akan membawamu ke KUA sekarang jika kau tidak juga beritahu aku dimana rumah keluargamu.”

“Bogor! Aku akan tunjukkan jalannya!”

Pluk!

Tiba-tiba saja Abrisam melemparkan sekotak tisu basah di atas pangkuan Salina. “Bersihkan wajahmu. Kau harus terlihat tenang tanpa tekanan di depan keluargamu.”

“Kau menyimpan tisu basah di dalam mobilmu? Untuk apa? Menghilangkan sidik jarimu pada orang yang kau bunuh?” Sarkas Salina sambil menarik dua lembar tisu basah tanpa pewangi itu.

“Ya, begitu lah.” Jawab Abrisam santai.

Salina hanya mampu menggelengkan kepala.

“Apa yang terjadi pada… pada tubuh orang yang… yang meninggal di ruangan Tuan Hadran?”

“Bukan urusanmu. Pikirkan saja cerita yang masuk akal untuk kau ceritakan.”

Salina menarik napas panjang dan dalam, kemudian mengembuskannya perlahan, ia melakukannya berkali-kali sampai ia merasa tenang.

“Baiklah, aku rasa aku ada ide.”

“Aku mendengarkan.”

“Sekitar dua tahun lalu, aku pernah tinggal sementara di Bali untuk menulis. Aku akan katakan bahwa kita pernah bertemu disana, jatuh cinta, tapi kemudian kita berpisah tanpa saling mengungkapkan perasaan kita. Dan kita bertemu lagi, dan kau langsung melamarku, karena kau tidak ingin kehilanganku lagi. Bagaimana?”

“Apakah akan masuk akal jika sekarang kau menerima lamaranku sementara kau berhubungan dengan pria lain?”

“Tidak, tentu saja tidak masuk akal. Tapi, jika aku bersikap seolah aku adalah gadis egois yang berhati dingin, maka cerita itu akan masuk akal. Oh, Bagas… maaafkan aku.” Keluhnya pada akhir kalimat.

“Baiklah. Bali dan dua tahun lalu kurasa waktu dan tempat yang pas. Dua tahun lalu pun aku juga pernah bertugas disana.”

“Bertugas? Membunuh maksudmu?” Lagi, Salina melemparkan pertanyaan sarkas yang membuat Abrisam dengan sepasang mata dinginnya yang setajam elang melirik gadis itu dengan senyuman tipis yang sinis.

“Ya, anggap saja seperti itu.”

“Semoga Tuhan tidak akan pernah memaafkanmu dan Om mu itu.” Ujar Salina dengan penuh kebencian.

.

.

.

TBC~

Calon Suami.

Setelah satu jam perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan dan menenangkan, Salina dan Abrisam  akhirnya sampai di rumah keluarga sekaligus rumah yang selama ini juga Salina tinggali. Rumah sederhana dengan halaman kecil di bagian terasnya yang ditumbuhi berbagai macam tumbuhan. Seorang wanita  berpakaian rumahan keluar dari dalam rumah begitu Salina mengucapkan salam.

"Sal? Sudah meeting? Bunda pikir sampai... eh, siapa itu Sal?" Bunda menghentikan ucapannya begitu melihat seorang pria berjalan menyusul Salina di belakang putri sulungnya itu.

"Ehhh... ini..." Keraguan dan kebimbangan melanda dirinya. Ia melihat Abrisam dan bundanya bergantian. Kemudian sesuatu menyentak Salina sedikit ketika ia merasakan tangan Abrisam menyentuh punggungnya kemudian pundaknya dengan sedikit memberikan efek cengkraman kecil.

"Ini Ab... Abrisam, Bunda." Salina memperkenalkan.

Apa yang paling meengejutkan lagi? Salina melihat Abrisam tersenyum lalu mendekati Bundanya dan mencium tangan Bunda.

Apa-apaan?! Tadi dia hampir membunuhku, sekarang dia mencium tangan Bunda?! Wah benar-benar topeng tipu muslihat! Gerutu Salina dalam hati.

"Kau temannya Sal? Bunda baru kali ini melihatmu?" tanya Bunda, melihat dua anak muda itu bergantian. Namun ada yang cukup mengganjal, ia merasa ada yang tak beres.

"Dia...  bisa kita bicara di dalam saja, Bun?" Salina lebih dulu masuk ke dalam rumah, lalu Bunda mempersilakan Abrisam masuk dan duduk pada salah satu sofa di ruang tamunya.

"Bunda buatkan minum dulu, ya?"

Abrisam mengangguk dengan senyuman yang ramah dan sopan.

Sementara di dalam kamar Salina berniat hendak menelepon polisi tapi sayang sekali, ia baru teringat, tasnya tertinggal di ruangan Hadran ketika Abrisam menyeretnya keluar. Dan ponselnya...

Salina menepuk jidat.

"Masih sama orang itu!" Sesal Salina. Ia menemui jalan buntu. Tidak bisa kabur karena tidak mungkin ia meninggalkan Bundanya dengan si darah dingin itu.

"Aku pura-pura pinjam ponsel Bunda saja. Ya!" Rencana kedua. Salina keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang ditenang-tenangin. Begitu keluar kamar yang mana kebetulan kamarnya bersebrangan dengan ruang tamu, Salina langsung melihat Abrisam tengah menatapnya tajam penuh kecurigaan.

Astaga! Itu orang makannya daging srigala kali ya!

"Sal." Abrisam memanggilnya, untuk kali pertama dalam pertemuan mereka hari ini. "Ini ponselmu, ada pesan masuk."

Salina mengernyit. Tapi dengan cepat dia menghampiri Abrisam untuk mengambil kembali ponselnya. Kerutan pada keningnya semakin dalam lantaran sebuah notif pesan masuk dari kontak baru bernama 'Calon Suami'.

Salina menatap sinis pada Abrisam yang menatapnya balik dengan tatapan datar. Ia membuka pesan singkat itu dan membacanya dengan cepat dalam hati.

[Aku sudah menyadap ponselmu, semua pesan dan panggilan keluar dan masuk pasti aku tahu. Begitu pun dengan nomor bunda dan adikmu. Jadi, jangan berpikiran untuk mengkhianatiku.]

Salina menutup layarnya begitu mendengar suara Bunda datang.

“Ini minumnya.” Bunda menyuguhkan dibantu oleh Salina meletakkan tiga gelas di atas meja. “Silakan.”

Abrisam mengangguk kemudian menyeruput teh dalam cangkir yang disuguhkan Bunda. Salina percaya, pasti ini adalah kali pertama pria itu menelan teh manis, karena pasti pria itu lebih sering minum minuman beralkohol yang pahit.

“Jadi, apa ada yang perlu Bunda dengar dari kalian? Kenapa sepertinya kalian serius sekali.” Bunda duduk dengan santun.

“Jadi sebenarnya, Sal dan Abrisam ingin beritahu Bunda, kalau… kalau kami… kami akan menikah.”

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

“Lelucon apa yang kau ucapkan, Sal?” Suara Bunda terdengar tegas.

“Ini bukan lelucon, Bunda. Sal dan Abrisam serius akan menikah. Secepatnya.” Salina menambahkan.

“Secepatnya?” Bunda mulai menegakkan punggungnya. “Salina Humaira! Apa yang telah kalian lakukan?!”

“Tidak, tidak, ini tidak seperti yang Bunda pikirkan, Sal dan Abi tidak melakukan apa-apa sama sekali, Sal berani bersumpah!”

Tunggu! Barusan kupanggil apa manusia berdarah dingin itu? Abi? ABI? Astaga!

Bunda beralih pada Abrisam, menatap galak pada Abrisam.

“Saya tidak menyentuh Salina sama sekali, Tante. Kami murni jatuh cinta dan memang tidak ingin membuang waktu.” Jawab Abrisam dengan tenang.

Hebat sekali aktingnya! Apakah aku harus bertepuk tangan untuknya? Cih!

“Apa Salina tidak memberitahumu kalau dia sudah punya kekasih? Sal, apa kau tidak memberitahu kalau kau sudah mempunyai seorang kekasih?”

“Sudah.” Sal dan Abrisam menjawab bersamaan. Salina tak tahan untuk tidak melirik sinis pada Abrisam.

“Lalu kau tetap mau menikah dengan orang lain? Apa kau sudah putus dengan Bagas? Apa Bagas tahu hal ini?”

Salina menggeleng. “Sal… Sal akan bicara padanya setelah ini, Bun.”

“Apa? Ini sama saja kau mengkhianatinya, Sal! Ini sama saja kau berselingkuh! Apa kau mau mengikuti jejak ayahmu itu?!” Suara Bunda mulai meninggi dan tatapan tak suka dia berikan pada Abrisam.

“Bunda bukan begitu, hanya saja… hanya saja sebenarnya…” Ayo Sal, berpikirlah cerita yang masuk akal!

“Hanya saja apa?!”

“Hanya saja sebenarnya Sal dan Abi sudah pernah bertemu dua tahun lalu di Bali, saat Sal pergi ke Bali waktu itu. Kami saling jatuh cinta, tapi tidak sempat mengungkapkan perasaan kami. Dan ketika kembali dari Bali, Sal pikir bisa melupakan Abi, ternyata tidak, dan Bagas… Bagas hanya sebagai pelarian saja.”

Oh, Tuhan… jahat sekali aku! Kutuk saja diriku menjadi agar-agar!

“Seperti yang saya katakan, Tante, saya tidak mau membuang waktu dan tidak mau lagi kehilangan Salina.”

Bunda menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Tidak, Bunda tidak bisa membiarkan kalian menikah begitu saja, sementara kau dan Bagas juga sudah serius, kita juga sudah kenal dengan keluarganya, Sal! Bunda tidak akan mengijinkan kalian menikah!” Tegas Bunda.

“Bunda… kumohon jangan begini….” Bunda, aku harus menikah dengan si darah dingin itu Bunda, demi kita.

“Bunda tidak mengenal orang ini, datang-datang tiba-tiba kalian ingin menikah secepatnya pula! Kau pikir pernikahan adalah permainan? Dan kau mengkhianati Bagas juga keluarganya. Dimana hatimu, Salina!”

“Maafkan, Sal, Bunda. Tapi Sal tidak pernah mencintai Bagas, Sal hanya berpura-pura, berupaya mencintai Bagas untuk bisa melupakan Abrisam. Tapi ternyata itu tidak mengubah apa pun. Dan… dan rupanya takdir mempertemukan kami kembali, Abrisam adalah keponakan dari Tuan Hadran, orang yang kutemui untuk meeting pagi tadi. Ini takdir, Bunda.”

“Bunda tetap tidak mengijinkan kalian menikah!” Tegas Bunda.

Salina menatap Abrisam, pria itu membalas tatapan Salina yang Salina tahu betul apa arti tatapan itu.

Salina memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberaniannya dan mengambil resiko bahwa setelah ini Bunda akan sangat marah padanya.

“Maafkan, Sal, Bunda, tapi dengan atau tanpa ijin Bunda, Sal dan Abrisam akan tetap menikah. Besok.”

“Sal!” Bentak Bunda.

Salina tahu, saat ini Bundanya sangat marah juga kecewa padanya, karena Bunda tidak akan membentak dirinya atau pun adiknya jika tidak benar-benar marah dan kecewa.

“Maafkan Sal, Bunda…” Air mata mulai meleleh dari mata Salina.

Grep!

Tiba-tiba saja Abrisam meraih tangan Salina, menggenggam tangan itu seolah memberikan kekuatan, tapi Salina tahu genggaman tangan itu adalah sebuah ancaman agar Salina tidak berubah pikiran atau pistol dibalik jas hitam Abrisam akan kembali mengarah padanya juga pada Bundanya.

“Maafkan kami, Tante. Tapi saya tidak akan melepaskan Salina kali ini. Saya akan membantu Salina berbicara pada Bagas, jika memungkinkan, juga pada keluarganya.” Ucap Abrisam dengan sangat tenang seperti permukaan danau alami. Tapi, ingat, di bawah air yang tenang menyimpan sejuta misteri dan buaya air tawar yang ganas.

Bunda menyandarkan punggungnya. Ia memijit pelipisnya, menatap kecewa pada anak sulungnya.

“Kau telah mempermainkan hati seseorang selama ini, Sal. Bunda kecewa. Sangat.”

“Maafkan aku…”

“Dan kau tetap akan menikah besok meski kau tahu itu akan sangat menyakitkan Bagas?”

Salina mengangguk.

“Maka kau tidak akan melihatku juga adikmu pada hari pernikahan kalian.”

Hancur sudah hati Salina, begitu pun juga dengan hidupnya. Takdir apa yang tengah membawanya hingga mendapati kesialan seperti ini?

.

.

.

TBC~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!