NovelToon NovelToon

Mencintai Kakak Angkat

Bab 1

Pagi itu, Nirmala berangkat sekolah dengan semangat. Dia tidak sabar untuk bertemu temannya. Dia ingin segera bercerita dengannya. Nirmala berlari menuju ke kelasnya, dia langsung mendekati teman sebangkunya yang duduk di pojok depan kiri ruang kelas itu.

"Ros! Kamu tau nggak?" Nirmala meletakkan kedua tangannya di atas meja Rosa dengan kuat, lebih mirip menggebrak, mengagetkan Rosa yang asyik membaca novel.

"Astaga! Nirmala! Bikin kaget aja, sih? Dateng-dateng langsung gebrak-gebrak meja gitu!" Rosa ngomel-ngomel nggak jelas.

"Hehe, maaf deh, maaf. Nggak sengaja. Habisnya aku semangat banget! Aku punya berita bagus!" Nirmala tersenyum sumringah, tanpa merasa bersalah. Memang, Nirmala punya perawakan tinggi gagah, karena dia salah satu atlet basket di sekolahnya. Meskipun penampilannya tomboy, dia tetap cantik dan manis. Banyak teman-teman cowok yang suka padanya, meskipun belum ada yang berani menyatakannya secara langsung.

"Berita apaan?" Rosa menutup novel remaja yang dia pinjam dari perpus kemarin. Tak lupa menandai halaman terakhir dia membaca.

"Di rumahku ada cowok ganteng banget! Dia bakal tinggal di rumahku!" Nirmala bercerita dengan penuh semangat.

"Maksudnya gimana sih? Aku nggak paham. Ada anak KKN, nginep di rumahmu? Apa gimana? Coba cerita yang jelas! Jangan setengah-setengah gitu!" Rosa mendengus kesal.

"Bukan anak KKN! Tapi salah satu anak buahnya ayahku. Jadi gini, ayahku punya anak buah kan, dia datang dari luar kota. Trus di sini itu awalnya kos, tapi di kos itu sering sakit dan nggak ada yang ngurusin. Sampai badannya kurus banget. Nah, ayahku nggak tega. Jadi dia menawarkan cowok ganteng itu tinggal di rumahku. Di rumahku kan ada satu kamar kosong, jadi dia tidur di sana." Nirmala menceritakan kronologi kedatangan cowok ganteng yang menarik perhatiannya itu.

"Oh, jadi dia bakal tinggal di rumahmu, selama dia masih kerja di dealer tempat kerja ayahmu itu?" Rosa memastikan, dia tidak salah tanggap dengan cerita Nirmala.

"Iya, ya pokoknya semaunya dia. Tapi kalau aku jadi dia sih mendingan dia tinggal di rumahku. Gratis, nggak perlu bayar sepeserpun. Makan juga tinggal makan apa yang dimasak ibuku sih. Apalagi ayah dan ibuku sudah menganggap dia seperti anak sendiri. Meskipun tanpa dokumen resmi, jadilah dia kakak angkatku. Kemarin aku denger percakapan ayah ibuku sama dia."

"Wah. Apa nggak canggung? Tiba-tiba ada kakak cowok di rumah?" Rosa nampak berpikir.

"Nah itu dia, aku rasanya jadi aneh. Tapi suka sih, soalnya jadi bisa cuci mata tiap hari." Nirmala terkikik.

"Aku juga lihat, ayahku sayang banget sama dia, seperti sayang sama anaknya sendiri gitu. Padahal sama aku yang anak kandungnya aja nggak kaya gitu, loh." Nirmala duduk di tempat duduknya, di samping Rosa. Dia kembali mengingat nasib buruknya. Selama ini dia haus kasih sayang seorang ayah, meskipun secara materi, dia berkecukupan.

"Dia udah lama kerja jadi anak buah ayahmu?" Rosa bertanya lebih lanjut.

"Sekitar enam bulan mungkin, selama itu juga, ayahku selalu menceritakan anak buahnya yang katanya hebat inilah, itulah. Jujur aja, dulu aku iri sama orang yang selalu dibanggakan sama ayahku itu. Sampai aku punya keinginan ambil jurusan bengkel aja, biar bisa seprofesi sama ayahku. Jadi dia bisa membanggakan aku di depan teman-temannya. Nggak seperti saat ini." Nirmala kembali meratapi nasibnya.

"Mungkin ayahmu itu sebenarnya pengen anak cowok, La. Makanya dia menuntut kamu dan adik kamu untuk jadi seperti cowok. Makanya kalian berdua sama-sama tomboy." Rosa yang merupakan teman dekat Nirmala sejak kecil, tahu betul bagaimana sifat Ayah Nirmala. Memang, Rosa mengakui bahwa Ayah Nirmala adalah orang yang tegas, keras, juga tidak banyak bicara. Bahkan tersenyum pun sangat jarang.

"Mungkin iya, soalnya di rumah jadi nggak punya teman ngobrol, karena cowok sendiri di rumah. Beda banget sama saat ini, ayahku jadi punya teman ngobrol. Mereka berdua terlihat nyambung banget. Aku jadi kepikiran buat jadiin dia bener-bener anaknya ayah deh." Nirmala tersenyum penuh arti.

"Maksudmu, anak angkatnya ayahmu? Jadi kakak angkatmu gitu? Kan emang udah dianggap anak sendiri sama ayahmu?" Rosa pura-pura bodoh.

"Bukan! Bukan jadi kakak angkat, tapi mau aku jadiin suami! Kan nanti jadi anak mantunya ayahku, gitu." Nirmala kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar.

"Hidiiih! PD banget kamu! Emangnya dia mau sama kamu?" Rosa meledek sahabatnya itu.

"Pasti mau lah! Aku kan cantik dan menarik. Buktinya aja banyak yang suka sama aku!" Nirmala melenggak-lenggokkan tubuhnya, sok jadi cewek centil yang nggak pas banget dengan dandanannya yang tomboy.

"Tapi sampai sekarang masih jomblo aja? Wek!" Rosa menjulurkan lidahnya, mengejek Nirmala lagi.

"Ya itu sih pilihanku. Inget ya, jomblo bukan berarti nggak laku! Wek!" Nirmala nggak mau kalah, dia membalas menjulurkan lidah pada Rosa.

"Iya, iya! Nona Nirmala yang cantik jelita tiada tara sejagad raya!" Rosa hiperbol.

"Apaan sih, ya nggak segitunya juga kali!" Nirmala tertawa, mendengar ucapan Rosa yang berlebihan.

"Habisnya kamu, sih! Eh, ngomong-ngomong, siapa nama kakak angkat kamu itu?" Rosa kembali ke topik pembicaraan awal.

"Kak Dimas, bagus kan? Seperti parasnya yang juga tampan." Nirmala kembali tersenyum-senyum sendiri, mengingat wajah Dimas, kakak ketemu gede. Bisa juga dianggap sebagai kakak angkat, meskipun tanpa dokumen pengangkatan. Hanya rasa dan tindakan orang tua Nirmala saja yang menyatakan seperti itu. Menganggap Dimas seperti anak sendiri.

"Eleh! Kalau tampan, nggak mungkin nggak punya pacar! Jadi, mending kamu nggak usah banyak berharap deh!" Rosa kembali mengingatkan.

"Nggak janji, ya! Hati nggak ada yang tau. Nggak masalah kalau dia punya pacar, yang penting, dia tetap serumah sama aku. Jadi aku punya banyak waktu untuk menggaet hatinya." Nirmala kembali tertawa.

"Astaga! Bocah ini, udah mulai gila kayaknya ya!" Rosa memegang dahi sahabatnya itu, mengecek apakah suhu badannya tidak normal. Nirmala menerima saja perlakuan konyol sahabatnya itu.

"Pantes agak gesreh! Panas banget!" Rosa mengibas-ngibaskan tangannya, pura-pura kepanasan.

"Biarin!" Nirmala cuek saja.

"Gimana kalau kita taruhan!" Tiba-tiba saja Rosa jadi punya ide gila.

"Taruhan apaan?" Nirmala tertarik dengan tawaran Rosa.

"Kalau dalam waktu satu minggu, eh, satu bulan aja deh, biar agak lama dikit. Kalau dalam waktu satu bulan, kamu bisa mendapatkan hatinya Kak Dimas, aku bakalan nraktir kamu bakso Mamang di depan sekolah selama seminggu. Tapi kalau kamu nggak berhasil mendapatkan hati Kak Dimas dalam waktu satu bulan, berarti kamu yang nraktir aku bakso Mamang selama satu minggu. Gimana?" Rosa menaik turunkan alisnya. Menantang Nirmala dengan idenya.

Nirmala berpikir sejenak. Saat ini memang dia belum terlalu mengenal Kak Dimas. Tapi dalam waktu satu bulan, dan berada dalam satu atap, bukan hal yang nggak mungkin, kan? Bisa tumbuh cinta di hati Kak Dimas?

"Oke, aku terima tantangan kamu!" Nirmala berkata dengan mantap.

Rosa terenyum bahagia. Dia yakin kalau Nirmala tidak akan bisa mendapatkan hati kakak angkatnya itu, apalagi kalau ternyata memang dia sudah punya pacar. Jadi, Rosa yakin bakalan makan bakso gratis selama seminggu.

Bab 2

Sepulang sekolah, Nirmala berniat untuk langsung PDKT dengan Dimas, karena saking semangatnya. Dia tidak mau membuang-buang waktu.

"Bu! Aku pulang!" Nirmala berteriak dari depan pintu.

"Ganti baju, terus makan, La!" Bu Sukma, ibunya Nirmala berteriak dari dalam rumah.

"Ya, Bu!" Nirmala langsung menuju kamarnya di lantai atas.

Rumah Nirmala tergolong unik, tidak seperti rumah pada umumnya. Di lantai bawah sebenarnya sudah ada tiga kamar tidur, masing-masing untuk orang tua, Nirmala dan juga adiknya, Claudia. Juga ada garasi untuk parkir motor juga mobil. Namun, dulu saat masih kecil, Nirmala pernah merengek pada ayahnya, untuk dibuatkan kamar di lantai atas. Hanya karena ingin naik turun tangga, seperti di film-film. Jadilah dibuatkan kamar lagi di atas garasi. Benar-benar hanya satu kamar saja.

Setelah ganti baju, Nirmala turun lagi. Dia langsung menuju kamar mandi, untuk cuci tangan dan kaki. Kemudian langsung ke ruang tengah, tempat biasa ibunya menyimpan makanan. Sekaligus tempat untuk makan dan juga bersantai, menonton TV.

"Bu! Ayah belum pulang ya?" Nirmala bertanya pada ibunya yang sedang melipat baju di dalam kamar. Pintunya dibiarkan terbuka, jadi Nirmala tau keberadaannya.

"Ya belum lah! Baru jam berapa ini? Biasanya juga belum pulang kan, kalau kamu pulang sekolah? Kamu tumben nanyain ayahmu?" Sukma memyelidik. Karena anak sulungnya ini memang tidak terlalu akrab dengan ayahnya yang super dingin juga galak.

"Hehe, enggak kok, Bu." Nirmala nyengir, dia tidak mau memberitahukan alasan yang sebenarnya,dia secara tersirat bertanya Dimas sudah pulang atau belum. Karena ayahnya dan juga Dimas berada dalam satu kantor perusahaan mobil yang ada di kotanya.

"Pasti ada maunya, ya? Cepet bilang sini sama Ibu! Mau minta uang? Berapa? Buat apa sih?" Sukma langsung berpikir itu pasti tentang uang.

"Bukan kok, Bu. Aku nggak mau minta uang. Yang kemarin juga masih." Nirmala mulai menikmati makan siangnya, sambil menonton TV yang ada di ruang tengah itu juga.

"Gimana kamu di sekolah? Lancar kan?" Sukma mengalihkan pembicaraan.

"Lancar kok, Ma. Semua baik-baik aja. Nggak ada yang usil atau apa." Nirmala menjawab sekenanya. Dia sudah asyik dengan tontonannya.

"Ya syukur deh kalau gitu." Sukma sadar diri, kalau anaknya tidak terlalu memperhatikannya lagi.

***

Saat tiba makan malam, Nirmala membantu ibunya menyiapkannya. Tanpa diduga, Dimas tiba-tiba datang ke dapur, ikut nimbrung dengan Sukma dan Nirmala.

"Udah mau mateng belum, La?" Dimas mengagetkan Nirmala yang tengah membolak-balik tempe goreng supaya tidak gosong.

"Eh, copot, eh, copot!" Nirmala melonjak kaget, latahnya tiba-tiba jadi kambuh.

"Apanya yang copot?" Dimas kembali bertanya, tanpa rasa bersalah.

'Jantungku yang copot, Kak!' Nirmala membatin.

"La! Kok diem aja sih? Ditanya nggak jawab?" Dimas tidak terima dicuekin.

"Hehe, enggak kok, Kak. Cuma kaget aja, tiba-tiba Kakak udah di belakangku gini." Nirmala tersipu malu. Tiba-tiba saja wajahnya memerah. Dia berusaha menutupinya setengah mati.

"Sorry deh, sorry. Masak apa ini, Bu?" Dimas berpindah menyapa Sukma.

"Sayur kangkung, kamu doyan apa enggak?"

"Apa aja doyan, Bu. Yang penting enggak pedes." Posisi Dimas sangat dekat dengan pundak Sukma maupun Nirmala, karena dia berada di tengah-tengah keduanya. Membuat jantung Nirmala berdegup cepat tidak karuan. Wajah semakin memerah.

"Loh, kok sama kayak Nirmala? Dia juga nggak suka pedes. Cabe satu aja dia nggak kuat!" Sukma membuat Nirmala semakin tersipu, hanya karena disamakan dengan Dimas.

"Masa sih, Bu? Aku nggak gitu-gitu banget sih, kalau cuma cabe satu masih bisa terima, tapi nggak bisa kalau yang udah pedes banget. Langsung mules, Bu." Dimas menceritakan dirinya.

"Nggak papa, kalau makan masakan Ibu, dijamin aman. Nggak bakal mules. Karena paling cuma pakai cabe merah yang nggak pedes. Cuma biar sayurnya kelihatan cantik aja." Sukma tersenyum.

"Cantik, seperti Ibu dan anak-anak Ibu, ya!" Dimas menggoda Sukma, secara tidak langsung menggoda Nirmala juga.

"Ah, kamu itu bisa aja." Sukma tidak menganggap serius ucapan Dimas, dia menganggap hanya bergurau saja.

"Beneran, Bu. Pantes Bapak suka sama Ibu, ya. Udah cantik, baik, pinter masak." Dimas kembali melemparkan pujiannya.

"Nggak tau itu, kenapa dia suka sama Ibu. Tapi cueknya itu lho, bikin Ibu kadang ngrasa bingung sendiri!" Sukma menceritakan suaminya.

"Masa sih, Bu? Sama aku enggak cuek tuh? Kalau ngobrol betah lama, nggak selesai-selesai." Dimas heran, karena yang dikatakan Sukma bertolak belakang dengan yang terjadi dengannya.

"Eh, nggak percaya. Ngapain juga Ibu bohong. Tanya aja itu sama Nirmala. Gimana Bapak kalau sama kami." Sukma meminta dukungan pada Nirmala.

"Beneran, La?" Dimas kembali membuat jantung Nirmala berdegup kencang.

"I - iya, Kak." Nirmala tergagap.

"Udah, ayo kita makan! Udah mateng ini." Sukma menyudahi pembicaraan, mengajak Dimas ke ruang makan.

"Siap, Bu!" Dimas menyomot sepotong tempe goreng yang dibawa Nirmala, kemudian berjalan duluan ke ruang makan.

Entah kenapa, setiap tindakan Dimas, membuat Nirmala benar-benar berdebar. Dalam hati dia tersenyum girang.

'Apa mungkin Kak Dimas suka sama aku? Makanya dia bersikap seperti itu?' Nirmala membatin, sembari menata makanan di meja makan.

Nirmala mengambilkan seporsi makanan untuk ayahnya, kemudian memberikannya.

"La, aku juga mau diambilin sekalian." Dimas tersenyum, membuat wajahnya yang tampan semakin menawan.

"Oh, oke, Kak. Banyak apa sedikit?" Nirmala gugup, dia belun tau porsi makan Dimas.

"Terserah kamu aja!"

"Oke." Nirmala mengambilkan makanan untuk Dimas, seperti porsinya saat makan. Kemudian membawanya ke tempat Dimas duduk di depan TV. Memang, di keluarga Nirmala, tidak ada meja makan dengan kursi mengelilinginya seperti di kebanyakan rumah. Jadi, mereka biasa makan dengan duduk di sofa yang disusun letter L menghadap meja kecil, juga TV tertempel di dinding.

"Nih, Kak!" Nirmala menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya kepada Dimas.

"Weh! Banyak banget, La! Kayak porsi kuli aja!" Dimas protes.

'Ya ampun, berarti aku makan kayak kuli dong?' Batin Nirmala, mengingat dia biasa makan segitu banyaknya.

"Ya, tadi katanya terserah. Yaudah, aku ambilin segitu!" Nirmala tidak mau disalahkan.

"Nirmala biasa makan segitu banyaknya soalnya, Dim!" Sukma menimpali perdebatan kedua anak muda itu.

"Yang bener, Bu? Astaga! Cewek kok makannya kaya barongan gitu sih, La!" Dimas tertawa meledek Nirmala.

"Biarin aja! Kan masa pertumbuhan! Wek!" Nirmala tidak mau kalah.

"Eleh! Yaudah, kamu harus tanggung jawab, sama makanan ini!" Dimas kembali ke topik pembicaraan.

"Maksudnya gimana? Masa dibalikin ke tempat nasi dan sayur sih? Nggak mungkin kan?" Nirmala belum nyambung dengan maksud Dimas.

"Siapa yang nyuruh kamu balikin makanan?"

"Lah itu tadi? Katanya suruh tanggung jawab sama makanan itu?"

"Iya, tanggung jawab habisin. Sini, makan bareng sama aku!"

Deg!

Deg!

Deg!

Nirmala terdiam, pikirannya melayang.  'Makan bareng sama Kak Dimas? Sepiring berdua?'

Bab 3

"La! Kok malah bengong? Udah! Buruan ambil sendok satu lagi! Makan bareng sini!" Dimas membuyarkan lamunan Nirmala.

"Eh, iya. Bentar, Kak."

Tanpa penolakan, Nirmala mengambil sendok dan makan sepiring berdua dengan Dimas. Kali ini dia makan dengan anggun dan lambat. Nirmala menyuap dan mengunyah dengan sangat hati-hati. Dia harus menjaga citranya di depan Dimas. Dia tidak mau dibilang nggak sopan atau yang lain sebagainya.

"Nah, gitu. Kakak adik harus akur. Jadi yang lihat juga seneng." Sukma mendukung Nirmala dan Dimas yang sudah dianggap sebagai anak sendiri itu makan bersama. Dia tidak berpikir bahwa hubungan kakak adik itu akan membuat mereka saling mencintai, sebagai dua orang yang berlainan jenis. Sukma hanya menganggap, Dimas dan Nirmala akan saling menyayangi, selayaknya kakak dan adik.

"Hehe, iya, Bu." Dimas tersenyum, apalagi mendapat dukungan seperti itu.

"La! Coba sini, A!" Dimas menodongkan sendoknya kepada Nirmala. Dia mencoba menyuapi Nirmala.

"Hah? Apaan sih, Kak?" Nirmala tersipu malu. Dia benar-benar dibuat melayang oleh Dimas.

"Buruan, buka mulutnya! A!" Dimas mengulangi ucapannya, kali ini Nirmala mengikuti, tanpa banyak tanya lagi.

"Aaaa!" Nirmala membuka mulutnya lebar-lebar. Dimas segera menyuapkan sendoknya pada Nirmala.

"Cie cieee!" Claudia yang baru nongol dari kamar tidurnya meledek Nirmala dan Dimas. Sontak saja Nirmala bertambah salah tingkah.

"Kamu mau disuapin juga? Sini!" Dimas menyodorkan sesendok nasi pada Claudia yang bahkan belum keluar dari kamarnya.

"Enggak, ah! Aku kan udah gede! Emang Kak Lala? Badannya aja yang gede, tapi makan aja masih minta disuapin." Claudia kembali meledek Nirmala. Tak tahan dengan ledekan adiknya yang masih kelas 3 SD itu, Nirmala berlari, memeluk dan menaboki adiknya tanpa ampun.

"Aduh! Aduh! Sakit, Kak! Ampun! Ampun!" Claudia berteriak minta ampun, meskipun sambil tertawa, karena berhasil membuat kakaknya jadi salah tingkah.

Semua orang di ruang keluarga itu tertawa melihat tingkah dua kakak beradik yang sangat menggemaskan.

***

Setelah selesai membantu ibunya berberes, Nirmala masuk ke kamarnya di lantai atas. Meskipun terpisah dari rumah utama, Nirmala tidak takut. Dia perempuan pemberani, prinsipnya, malu sama badan yang gagah, kalau mental ciut.

Nirmala mencoba mengerjakan PR, tapi entah kenapa, pikirannya tidak fokus. Dia terbayang-bayang kejadian tadi bersama Dimas. Nirmala tersenyum-senyum sendiri. Dia meraih ponselnya, kemudian mengirim pesan pada Rosa.

[Ros. Aku pengen main deh! Pengen cerita!]

Tak lama kemudian, Rosa sudah membalas pesan Nirmala.

[Heh! Udah malem! Nggak baik anak gadis keluar malem-malem! Wkwk]

Nirmala tertawa, padahal mereka tetangga. Jaraknya hanya tiga rumah saja.

[Astaga! Nggak mungkin juga ada yang mau nyulik aku kan? Lagian rumah kita cuma deket. Wkwk]

[Wkwk yaudah terserah sih, kalau mau kesini ya nggak papa. Nginep juga boleh. Kaya nggak biasanya aja.]

[Oke, bentar. Aku ijin dulu.]

Nirmala menyiapkan buku pelajaran, dia memasukkan ke dalam tas. Dengan semangat, dia turun ke ruang keluarga.

"Bu, aku mau ngerjain tugas kelompok di rumah Rosa, ya!" Nirmala meminta ijin pada ibunya.

"Kenapa nggak dari tadi siang, sih? Udah malem ini lho! Nanti kalau ada orang jahat gimana?" Sukma keberatan memberi ijin.

"Halah, kan udah biasa juga aku ke rumah Rosa malem-malem, Bu. Dan nggak pernah terjadi apa-apa tuh?" Nirmala tetap kekeuh ingin ke rumah Rosa.

"Kalau ada bahaya, siapa yang tau. Sekarang lagi marak pembegalan. Bahkan di jalan kecil. Apa kamu nggak takut jadi sasaran begal?" Sukma tetap berat memberi ijin. Karena memang sedang banyak kejahatan, bahkan menimpa orang yang tidak bersalah.

"Yah, trus gimana dong, Bu? Tugas kelompokku? Besok pagi dikumpulkan, ini!" Nirmala merajuk. Padahal sebenarnya tidak ada tugas kelompok, hanya PR biasa yang bisa dikerjakan sendiri.

"Minta tolong sama Ayah buat anterin aja kalau gitu. Biar ditungguin sekalian." Sukma memutuskan.

"Nggak berani lah, Bu. Nanti malah aku kena omelan ayah." Nirmala menciut.

Tiba-tiba saja Dimas muncul dari dalam kamarnya. Dia mendengar obrolan ibu dan anak itu dari tadi.

"Aku anterin aja! Kemana sih?" Dimas langsung sigap menawarkan diri.

"Ke rumah Rosa, Kak. Nggak jauh kok. Jalan kaki juga nggak sampai tiga menit. Tapi Ibu itu, terlalu parno. Biasanya juga ke sana sendiri nggak papa, ini tumben nggak dibolehin." Nirmala mengadu.

"Yaudah, ayo aku anter. Nanti kalau mau pulang, telfon aja! Nanti aku jemput lagi." Dimas menutup pintu kamarnya, langsung siap berangkat.

"Beneran, Kak? Nggak ngerepotin?" Nirmala pura-pura nggak enak. Padahal dalam hati dia melonjak kegirangan.

"Beneran, nggak repot, kok. Lagian di rumah juga nggak ngapa-ngapain, sekalian mau beli rokok." Dimas meyakinkan Nirmala.

"Gimana, Bu? Sekarang boleh, kan?" Nirmala tetap meminta persetujuan ibunya.

"Yaudah, nggak papa kalau sama Dimas sih. Kan jadi Ibu nggak khawatir." Sukma akhirnya mengijinkan.

"Makasih, Bu. Aku berangkat dulu, ya! Yuk, Kak!"

"Pergi dulu, Bu."

"Ya, sana hati-hati! Tolong jagain Nirmala ya, Dim!" Sukma berpesan.

"Siap, Bu!"

Nirmala dan Dimas pergi ke rumah Rosa, sepanjang perjalanan, mereka berdua berbincang dengan akrab.

"Kamu kelas berapa, La?" Dimas membuka pertanyaan.

"Kelas 9, Kak."

"Oh, bentar lagi ujian, dong."

"Masih lama lah, Kak. Masih semester depan."

"Percaya deh, itu bukan waktu yang lama. Apalagi kalau udah semester dua, kamu bakalan sibuk, les dan lain sebagainya. Pokoknya waktu bakalan berjalan cepet banget."

"Iya juga sih, Kak. Tapi nggak usah dipikirn sekarang deh, takut jadi stres." Nirmala tertawa kecil.

"Iya, bener juga."

"Udah sampai nih, Kak." Nirmala menghentikan langkahnya.

"Oh, udah sampai, ya. Deket banget ternyata."

"Lah, emang iya. Ibu aja yang over."

"Nggak papa lah, namanya Ibu, pasti khawatir sama anaknya. Apa lagi kamu perempuan."

"Iya juga sih, Kak. Yaudah, kalau mau pulang dulu nggak papa, Kak. Aku mau panggil Rosa dulu." Nirmala langsung mendekat ke pintu rumah Rosa.

"Aku nunggu sampai kamu masuk."

"Oke deh. Rosaa! Roosaa!" Nirmala berteriak-teriak, memanggil Rosa.

"Eh! Jangan teriak-teriak! Udah malem ini, nggak enak sama tetangga!" Dimas menegur cara Nirmala memanggil tuan rumah.

"Hehe. Maaf, Kak. Kebiasaan." Wajah Nirmala memerah, menahan malu.

Tok tok tok!

"Rosaa!" Nirmala memelankan suaranya.

"Ya, sebentar!" Terdengar suara Rosa dari dalam rumah. Tak lama kemudian, pintu dibuka.

"La! Kok baru sampe?"

"Iya, tadi sama Ibu pakai acara nggak dikasih ijin, sih. Untung Kak Dimas MENAWARKAN DIRI nganterin aku, jadi akhirnya dibolehin, deh." Nirmala sengaja menekankan kata menawarkan diri, berniat menyombongkan diri pada Rosa.

Rosa langsung memandang ke tempat Dimas berdiri. Dia terdiam cukup lama. Mulutnya hampir ternganga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!