NovelToon NovelToon

Ijinkan Aku Menghapus Lukamu, Tuan Mafia.

Kematian

Suara tembakan bertubi-tubi terdengar di tengah kota. Kegaduhan terjadi lagi di kota. Suara tembakan, teriakan, pukulan jadi satu.  Semua orang yang tak sengaja melintas di sana. Mereka segera menyelamatkan dirinya.  Mereka berlari ketakutan. Semua gedung-gedung tinggi tertutup rapat. Bahkan para penjual pinggir jalan berhamburan meninggalkan barang dagangannya. Ya, seperti biasa ini adalah pertempuran antara geng mafia. Mereka selalu membuat rusuh di kota. 

Ada salah satu pasangan terjebak di antara kerumunan. Dion seorang laki-laki anak ketua mafia. Dia berusaha melawan mereka dan hanya untuk melindungi kekasihnya. Meski dirinya tidak membawa senjata apapun. Hanya satu senjata dengan peluru seadanya. Itu juga mengambil dari anak buahnya. 

"Della, kamu sembunyi. Aku akan melindungimu," ucap Dion. Mencoba menarik tangan Adella. Menyuruhnya bersembunyi di belakang punggungnya. Mereka berada di tengah kerusuhan para mafia. 

"Dion, sepertinya suasana semakin mencengkam. Kita harus pergi," ucap Adella ketakutan. 

"Iya, aku akan bawa kamu pergi dari sini," kata Dion. Tangan kirinya memegang jemari tangan Adella sangat erat. Seolah dia tidak mau Adella pergi dari sisinya. Pandangan mata lurus kedepan. Dengan tangan kanannya terus menembak membabi buta pada para musuh ayahnya. 

Pertikaian itu tak diketahui olehnya. Sepertinya ayahnya memang sengaja untuk membuat rencana sendiri tanpa persetujuan darinya. Dengan penuh rasa amarah, dia menembak beberapa orang yang menghalangi jalannya. Tanpa pedulikan lagi dari pihak musuh atau pihaknya. 

Suara keras rembakan satu kali tepat mengenai seorang pengawal di depannya, yang mencoba menghalangi jalannya. 

"Minggir," bentak Dion. Dia menggunakan kakinya menendang beberapa orang yang menghalangi jalannya. Hingga sebagian terjatuh di aspal. Dion segera menarik tangan Adella, pergi dari sana. 

Tembakan itu terus menggema Di pusat kota. Tak ada habisnya. Hingga salah muncul beberapa agen intelijen yang bersembunyi di balik gedung bertingkat. Tepat di lantai paling atas. Agar tak begitu jelas tembakan yang dia berikan. 

"Bella, mana pelurunya," ucap Amera. Dia sudah bersiap mengincar musuhnya di balik gedung tinggi tepat di lantai ke tiga. Mereka mengintai musuhnya, seorang ketua yang membuat rusuh di kota. Dia hanya melakukan tugas dari sang boss untuk membunuh orang. Meski ini di luar kendalinya. Dia tidak suka membunuh.

"Ini," ucap Bella. Sebuah senapan akan segera diluncurkan dari tangan seorang sniper wanita. 

"Amera … sebentar!" Bella mencoba mendekati Amera tanpa sengaja dia terpeleset menabrak Amera yang sudah bersiap membidik. Hingga tembakan itu terjadi di luar kendalinya.

Suara tembakan yang tak begitu keras itu. Seketika langsung tertuju tepat sasaran. Namun, sasaran itu bukanlah orang yang di incar. Tetapi, seorang wanita yang sudah terjatuh, terkapar ke aspal dengan cairan merah kental gang terus keluar dari dadanya

Amera menatap ke bawah. Dan, ternyata benar. Dia salah menembak. 

"Astaga … salah Sasaran," kesal Amera. Dia memukul dinding di depannya. 

"Damn it ." Amera tak berhenti menyalahkan dirinya. 

"Shhiitt …,” Decak kesal Amera. “ Semua gara-gara kamu. Aku jadi salah tembak orang. Gimana kalau dia orang yang tak berdosa?" kesal Amera. Dia bangkit dari duduknya. Seketika tubuhnya gemetar ketakutan. Jemari tangannya tak berhenti terus gemetar. Amera menggigit jemari-jemarinya. Menghilangkan rasa khawatir dalam dirinya. 

Dia memang pembunuh tetapi yang dibunuh adalah komplotan yang meresahkan. Tetapi kali ini penyesalan menghantui kepalanya. 

"Amera, Bagimana kita? Semua orang menatap kearah kota. Kita harus cepat pergi," ucap Bella panik. Menarik tangan Amera yang dari tadi tubuhnya hanya diam. Tubuhnya tak berhenti gemetar ketakutan. Ia membunuh orang tak berdosa menjadi penyesalan sendiri baginya. 

"Bella, aku tak bisa seperti ini. Bella, aku takut," ucap Amera. Menarik tangannya dari cengkeraman Bella. 

"Amera, dengarkan aku. Ini bukan saatnya untuk takut. Kita harus pergi dari sini." Bella memegang kedua lengan Amera, kesalahan fatal yang membuat wanita itu tegang. Amera bahkan belum pernah melakukan kesalahan seperti ini sebelumnya. Dan, ini benar-benar membuat dirinya gila. Gimana jika atasan tau. Dia pasti yang akan disalahkan. 

"Tapi dia tidak berdosa, Bella." Amera menatap kesal kea rah Bella. 

"Aku tahu, tapi sekarang kita tidak punya waktu lagi. Semua sudah menuju kesini. Lebih baik kita pergi dan pikirkan cara lain nanti."

"Tapi …," ucap Amera ragu.

"Amera, dengarkan aku. Kakak kamu, membutuhkanmu untuk mengungkap kasus pembunuhnya. Jadi jangan sia-siakan hidup kamu di sini," tegas Bella meninggikan suaranya. Dia sengaja berbicara dengan nada keras agar Amera sadar. Jika itu tak sepenuhnya salah dia. Dan ada yang lebih membutuhkan dirinya daripada merenungkan kesalahannya.

Merasa Amera sudah tenang. Bella menarik tangan Amera untuk segera pergi. Mereka melompat dari gedung satu ke gedung lainya yang hanya berjarak satu langkah. 

Dan, mereka memutuskan untuk berpencar dan mulai menyamar sebagai karyawan di salah satu gedung yang berbeda sampai semuanya terkendali. 

***

Sementara di sisi lain, Dion masih meratapi kesalahannya. Ia mengira jika itu juga salah dia yang tak bisa melindungi kekasihnya.

"Adella, Adella, kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit." Dion memeluk tubuh Adella, dia terlihat sangat panik. Adella hanya tersenyum tipis menatap wajah Dion. Sembari menahan rasa sakit tembakan yang menembus dadanya. Cairan merah yang sudah meulai mengental itu melumuri tangannya. Adela yang meringis, mencoba untuk tersenyum, sembari menahan rasa sakitnya. Adella mengangkat perlahan tangan kanannya. Jemari tangan penuh noda merah itu menyentuh wajah Dion. Butiran kristal keluar dari bola mata indahnya. 

Cairan berwarna merah kental itu semakin keluar begitu derasnya dari perut Adella. Dion mengangkat tanganya. Seketika air matanya keluar begitu derasnya.

"Dion, Aku mohon, setelah aku tiada nanti. Jangan ikut campur dalam dunia ayah kamu. A– Aku tidak mau, kamu terluka, sekarang biarkan aku jadi korban. Jangan sampai kamu jadi korban lagi." Adela mengangkat tangannya yang sudah dipenuhi dengan darah segar. Ia mencoba memegang pipi Dion. Dengan cepat Dion menggapai tangannya. Menyentuhkan ke dalam pipinya. Mengganggam sangat erat tangan penuh warna merah itu. 

Butiran kristal keluar dari bola kata indah milik Dion. 

"Enggak … aku mohon kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit sekarang.  Kamu harus bertahan, aku yakin, kamu pasti selamat. Jangan putus asa, kamu harus bertahan." Dion mencoba mengangkat tubuh Adella. Dia berusaha menyemangati Adella sebelum bantuan datang.

"Dion, percuma. A– Aku tak bisa bertahan lama." suara Adelia sudah di ujung tanduk. Ia sudah berat untuk berkata lebih banyak lagi. Jemari tangannya masih menyentuh wajah Dion. 

"Di– Dion … aku pergi!" Adella tersenyum. Perlahan ia memejamkan matanya, tangannya yang semula memegang pipi Dion perlahan sudah mulai lemas. Dan tergeletak lemas. 

"ADELLA ...," teriak Dion. Menggema ke seluruh penjuru. Semua orang menghentikan perkelahian mereka. Dan menatap ke arah Dion. Para musuh seketika berlari berhamburan. Hanya tersisa para pengawal ayahnya, yang hanya diam menatapnya sambil menundukkan kepalanya. 

Dion meletakkan tubuh Adella di bawah. Seketika dia beranjak berdiri. Menatap tajam tepat ke arah gedung di mana tembakan itu meluncur sempurna ke arah kekasihnya. Seakan sengaja mengincar tubuh kekasihnya. Dion mengepalkan tangannya. 

Aku akan mencari tahu siapa kamu. Jangan harap kamu bisa lari dariku. Entah kamu wanita atau laki-laki aku akan membunuh kamu dengan cara yang sama.

"Siapa yang berani menembak Adella. Aku tidak akan tinggal diam." Dion berteriak sangat keras. Sedangkan seseorang di dalam gedung itu masih bersembunyi. Ia takut jika dirinya akan terlibat dalam kematian teman Dion. Dan pastinya akan berakibat fatal. 

"Jika kalian tahu siapa yang menembak Adella. Aku akan berikan kalian uang. Berapapun kalian minta," lanjut Dion penuh ambisi. Aura balas dendam mulai meracuni otaknya.

"Tuan, apa anda tidak kenapa-napa?" suara seorang pelayan membuat dia terkejut. Ia menoleh cepat. Menajamkan pandangan matanya.

"Apa kamu buta, lihatlah! Apa yang terjadi dengan kekasihku. Ini semua juga gara-gara kalian. Jika kalian tidak membuat kehebohan di kota semua tidak akan seperti ini," bentak Dion. Membuat semua pengawalnya menciut. Mereka tertunduk dengan senjata yang masih di tangan mereka masing-masing. 

"Aku tahu, kalian suruhan ayahku. Tetapi, kalian apa tidak lihat. Ini pusat keramaian kota." Dion tidak berhenti memberikan bentakan penuh dengan kemarahan pada para pengawalnya. Dia meninggikan nada suaranya satu oktaf lebih keras. 

"Bukannya melindungi, aku. Tetapi, kalian sibuk dengan musuh kalian masing-masing," lanjutnya kecewa. Meraih kerah salah satu pengawalnya. 

"Jika kekasih kalian mati dengan cara yang sama. Apa kalian bisa tinggal diam? Apa kalian rela?" tanya Dion, melepaskan kerah pengawalnya, sedikit mendorongnya ke belakang. 

"Maafkan kami, tuan!" ucap salah satu pengawal itu terbata-bata. 

"Kalian bisa minta maaf! Tapi tidak bisa untuk mengembalikan nyawa Adella," pekik Dion. Suara kerasnya semakin membuat semua orang yang mendengarnya bergidik takut. 

"Sekarang cepat cari tahu siapa dalang dari ini semua. Jika dalam dua minggu kalian tidak menemukan siapa dalangnya. Maka aku akan membunuh kalian semuanya," Umpat Dion. Dengan sigap dia penuh dengan air mata. Mengangkat tubuh Adella yang sudah tak bernyawa. Dia benar-benar merasa sangat terluka dengan apa yang terjadi. 

"Adella ... aku janji, aku akan memberikan siapa yang membunuhmu," ucap Dion. Memeluk tubuh Adela. Ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan tubuh lemas tanpa nyawa itu. 

"Aku, Janji Adella … Aku janji." 

Dion terdiam, dia menatap dengan tatapan mata kosong. Pikiran aneh mulai muncul di otaknya.

"Tapi, siapa yang membunuh Adella. Apa motif mereka? Apa mereka sengaja melibatkan agen intelijen? Atau, kelompok mafia yang saat ini bermusuhan dengan ayahku? Jika memang agen, aku yakin ada motif lain. Tidak mungkin ini kesengajaan. Mereka pasti merencanakan sesuatu. Iya, aku yakin. Jika mereka tidak mungkin sengaja. Dengan gaya penuh penyesalan."

Berduka

Dua hari berlalu. Dion masih terus mengenang kepergian Adella. Dia belum bisa terima jika kekasihnya sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Dan hari ini, ia akan kembali lagi ke Sydney untuk mencari tahu siapa dalang sebenarnya. 

Tapi entah kenapa hatinya sangat berat.

Hari demi hari dihabiskan oleh dion dengan beberapa botol minuman. Di dalam bayangannya dia selalu bertemu dengan Adella. Di setiap katanya tak sadar di situ hadir sosok Adella yang selalu berada di sampingnya. Seakan dia merasakan kedekatan tubuh Adela di sisinya. 

Sudah dua hari, Dion merasa benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya. Hatinya benar-benar terluka. Hanya karena kematian seseorang membuat dirinya hancur seakan dirinya tak punya lagi semangat untuk hidup kembali. 

Dua hari juga Dion tak mau makan. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Tanpa ada yang berani satu pengawal pun yang mengikutinya. Jika ada yang masuk dia tidak akan segan-segan melukainya. 

***

Tuan Delmon. Dia adalah ketua mafia yang berkuasa di negaranya. Tak ada yang berani menandinginya. Tetapi, bukannya tak ada musuh yang berani melawannya.

Dia duduk di tempat kerjanya. Dengan kaki menyilang menghadap para pengawalnya yang berdiri dengan tangan di depan tertunduk seakan ingin menyampaikan sesuatu.

"Apa yang kalian ingin bicarakan?" tanya tuan Delmon. Tangannya memegang sebatang rokok, lalu menghisapnya, mengeluarkan asap dari bibir dan hidungnya begitu banyak. 

"Maaf, tuan! Apakah anda tidak mau menemui Tuan Dion. Dia sudah dua hari tidak keluar dari kamarnya."

"Biarkan saja dia," ucap Delmon begitu santainya. Dia menghisap rokoknya kembali. Seakan tak perduli lagi dengan keadaan anaknya. 

"Tapi, tuan. Dia belum makan sama sekali dari kemarin."

"Terus kamu lihat dia masih hidup, gak?" tanya Delmon, menarik kedua alisnya. Tatapannya sangat mengerikan. Seketika sisi ruangan itu tertunduk takut padanya. 

"Dia masih hidup, tuan."

"Kalau dia masih hidup kenapa kalian yang bingung. Biarkan saja dia. Hatinya sekarang sedang terluka. Biarkan sampai dia merasa puas dengan kesendiriannya." Delmon membuang puntung rokok ke sembarang arah. Menginjakkan dengan sepatu yang melekat dikaki. 

"Baik, tuan!" jawab salah satu pengawal. 

"Tugas kalian hanya mengawasi dia. Jangan ikut campur kehidupan dia. Dia bukanlah orang yang lemah. Aku, yakin, besok dia akan keluar dengan sendirinya. Meski hatinya masih sangat terpukul atas kepergian calon istrinya itu," jelas Delmon, tatapannya membuat semua orang bertanya-tanya. Entah dia sayang atau tidak dengan anaknya. tetapi tatapan itu, seakan menyimpan kebencian terhadap calon istrinya.

Semua pengawal segera pergi. Mereka menjaga tuan muda yang biasa ia jaga di depan kamarnya. Karena tak boleh mengusirnya sama sekali. Mereka hanya menjaga dari luar, dan sesekali mengintip dibalik celah kunci kamarnya. 

***

Pov Amera. 

Di balik kamar sederhana. Dengan dua kamar tidur di dalamnya. Kamar yang terlibat sedikit berantakan tak beraturan itu. Bahkan seperti kapal pecah. Banyak barang-barang di lantai. Bahkan senjata mereka seakan di letakkan ke sembarang tempat tanpa di sembunyikan atau pun. 

Ya, Amera tinggal di sebuah asrama agen intelijen IWO. Agen intelijen yang paling berbahaya dan ditakuti oleh komplotan mafia. Mereka bergerak secara diam-diam, bahkan tanpa disadari mereka menyamar sebagai anggota mafia untuk menyelidiki apa yang akan terjadi berikutnya. Jika punya informasi, teman yang lainya melakukan tugasnya untuk mengamankan pertempuran itu. 

Bella sedang duduk santai menikmati mie instan yang baru saja ia buat. Sembari melihat Amera yang dari tadi jalan mondar-mandir di depannya. 

"Amera, diamlah. Aku pusing melihat kamu jalan kesana kemari," decek kesal Bella. Tangannya seakan naik turun mengikuti nada suaranya.

"Bella ... aku tak bisa diam. Sebelum aku menemukan ide."

"Ide, apa?" tanya Bella, sembari mengunyah mie instan yang sudah penuh dalam mulutnya. 

"Bella, apa yang harus kau lakukan. Kamu tahu semenjak kejadian kemarin. Aku benar-benar menyesal sekarang. Aku bingung apa yang harus aku lakukan?" ucap Amera panjang lebar dengan tangan bergerak mengikuti dia berbicara. 

"Kamu tahu, itu semua juga gara-gara kamu. Kalau kamu gak terpeleset kemarin. Semua gak akan terjadi," umpat kesal Amera. Ia yang sudah capek jalan, seketika ia duduk tepat di lantai samping Bella, meraih mie instan di tangan Bella. Makannya sangat lahap tanpa pedulikan Bella. Yang dari tadi hanya bisa menelan ludahnya melihat mie yang baru saja dia buat ludes dimakan Amera. 

"Amera ...." teriak Bella menggema ke seluruh penjuru ruangan. 

"Apa, sih, bella. Kamu bukanya kasih saran yang baik buatku. Tapi malah teriak-teriak gak jelas.

"Kamu, itu tak jelas!"

"Apalagi yang tak jelas?" tanya Amera.

"Kamu makan mie milikku," geram Bella, menatap tajam ke arah Amera. Amera menatap ke meja, seketika dua meringis memandang Bella meraih tangannya. 

"Bella ... Maaf, ya, aku tadi terlalu panik. Jadi Gak bisa konsentrasi." ucap Amera beralasan. 

"Tahukah, kamu selalu saja begitu," decak kesla Bella. 

"Baiklah, jangan ngambek lagi ya. Aku akan buatkan kamu mie instan yang baru lagi.

"Gak mau, karena kamu telah makan semuanya. ganti dengan spageti," pekik Bella kesal, kedua tangannya bersedekap, memalingkan wajahnya acuh.

Kedua mata Amera melebar seketika saat mendengar apa permintaan Bella. 

"Kamu gak mau?" tanya Bella memastikan."Ya, sudah, kalau kamu gak mau.  Aku marah," lanjut Bella. Dia sengaja ngerjain Amera. Lagian salah sendiri dua hari dia tidak pernah keluar kamar sama sekali. Setiap beli makan selalu saja Bella jadi sasaran. 

Amera meraih tangan Bella. Menggoyang-goyangkan tangan ramping berkulit kenal dan terlihat sedikit pucat.

"Bella … Bella …." Amera menggelengkan kepalanya. 

"Iya, iya, aku akan carikan makanan untuk kamu. tak hanya spageti. Aku akan bawa banyak macam makanan," ucap Amera, sembari memikirkan apa uangnya cukup untuk beli makanan nanti. 

Bella terjingkat seketika, kedua matanya menatap Amera. "Kamu, yakin? Gak bohong, kan?" tanya Bella memastikan. 

"Emangnya tampang aku pembohong?"

Wajah Bella berbinar seketika. "Wah ... Makasih banyak. Aku sayang banget sama kamu, Amera." Bella memeluk erat tubuh Amera. "Kamu tahu saja kalau aku gak punya uang. Kamu memang teman paling baik."

Amera merasa geli dengan pelukan Bella, dia mencoba melepaskan pelukan Bella. "Bella, lepaskan. Aku masih normal. Jadi jangan terlalu sering memelukku. Aku takutnya kamu jatuh cinta." ucap Amera bergidik geli.

"Hello … Ara … aku masih normal juga. Aku masih bisa melihat laki-laki tampan. Jadi gak mungkin aku suka dengan kamu." pekik Bella, menggelengkan kepalanya. Bergidik geli juga saat membayangkan jika dia suka dengan Amera. 

"Ih … jijik!"

"Kalau jijik jangan dibayangkan Bella, sudah sekarang ikut aku keluar," ucap Amera beranjak berdiri. Ia meraih jaket levis di atas kursinya.

"Kamu ajak aku?" tanya Bella. 

"Iya, cepat sekarang pergi. Aku tak punya banyak waktu lagi." Amera bergegas pergi meninggalkan keluar dari kamar kecil miliknya itu. 

"Bella, kamu masih ingat kasus kakakku?" 

"Kasus apa?" Bella menoleh ke arah Amera. 

Siapa Kamu?

Selesai beli beberapa makanan. Amera dan Bella kembali lagi ke asrama dia. Mereka tidak berhenti terus berbicang saling meledek satu sama lain.

"Amera, sepertinya ada yang mengikuti kita," ucap Bella, memegang tangan Amera. Dia menghentikan langkah kakinya. Melirik ke belakang sambil begidik takut.

"Apa, sih, Bella. Udah, deh. Jangan parno!" Amera mendorong tubuh Bella sedikit menjaga jarak dengannya.

"Ara, beneran. Aku lihat ada seseorang di belakang. Dia mengikuti kita dari tadi." Kedua mata Bella berkeliling. 

"Jangan kebanyakan nonton film horor," ledek Amera. "Itu, sih, mata kamu yang bermasalah. Sekarang,  tiap jam jangan lihat film horor, lagi. Kalau di asrama. Lebih baik lihat film pembunuhan. Pasti lebih, wow." Amera peragakan dengan kedua bahu tertarik ke atas bersamaan.

"Apaan?" Bella menarik salah satu alisnya. "Sama aja, itu lebih mengerikan tahu," umpat kesal Bella. Mengatupkan bibirnya.

"Emm … tapi, lebih mengerikan jika di tolak oleh laki-laki yang kita cinta." goda Amera, ia berlari pergi meninggalkan Bella. Sembari tersenyum menggoda.

Bella memincingkan salah satu matanya. "Gimana, bisa tahu kalau aku juga ditolak laki-laki." Bella mengangkat kepalanya berlari mengikuti Amera.

"Amera ... kamu kenapa bisa tahu…." Teriak Bella. "Apa kamu diam-diam mengikuti, ku."

"Ogah, juga mata-matain kamu. Lebih baik aku laksanakan tugas dari boss," jawab Amera berjalan normal kembali.

"Oh, ya! Boss bilang ingin bertemu denganmu."

Bella menarik dua sudut bibirnya. Seketika dia tersenyum lebar, saat mengingat sesuatu. Bella meraih tangan Amera. "Kamu yakin?" tanya Bella memastikan. Dia terlihat penuh semangat. 

"Yakin, dia mau beri kamu hadiah, mungkin." 

"Waahh ... aku tak menyangka, akan dapat hadiah dari dia. Emm … aku senang sekali hari ini. Jika itu memang benar." Bella membalikkan tubuhnya cepat.

Amera hanya diam, memalingkan wajahnya. Sesekali dia tersenyum paksa. Dia niat ngerjain tapi malah temannya itu salah paham.

"Kamu, tau, gak? Dia akan memberi aku hadiahnya apa?" tanya penasaran Bella. Memegang lengan Amera, laku menarik-nariknya pelan tangannya.

"Emm … hadiah tugas baru," tawa Amera meledek. 

Bella melepaskan tangan Amera. Bibirnya mengerucut. Dengan kedua mata merebak menatap kesal Amera. Memalingkan wajahnya.

"Kalau mau hadiah lebih. Minta langsung sama dia. Tapi, itu juga, dia lagi baik hati. Atau, kalau dia suka denganmu," kata Amera. 

Bella menghela napasnya kesal. "Boro– boro suka, melihatku saja, tak pernah. Dia malah sering melirikmu." Bella menatap Amera. "Atau jangan-jangan ... kalian punya hubungan?"

"Ngaco, kamu." Amera mengibaskan tangannya tepat di depan bibir Bella. Lalu melangkahkan kakinya pergi lebih dulu meninggalkan Bella.

Suara serak langkah kaki yang melintas di antara semak-semak pinggir jalan. 

Langkah Bella dan Amera terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Bahkan kaki itu tertuju pada semak-semak di sampingnya. Amera menoleh cepat. Seketika dia meraih senjata kecil di saku lututnya. Dan, Amera memasang kuda-kuda kakinya, bersiap untuk menyerang kedua matanya berkeliling was-was.

"Siapa, di sana?" tanya Amera tajam. Ia mengernyitkan matanya mengalami situasi di sekitar.

"Keluarlah!" saut Bella meninggikan suaranya. Dia berjalan ke depan, mengobrak-abrik semak-semak di kiri tempat dia berdiri dengan kaki kanannya.

"Tak ada siapa-siapa," ucap Bella.

"Hati-hati... Kita juga harus waspada." gumam Amera.

Suara tepuk tangan yang begitu nyaring di telinganya. Diiringi hentakan kaki beberapa sepatu yang melangkah ke arahnya. seketika membuat Bella dan Amera berdiri tegap, menoleh kompak ke sumber suara.

"Siapa kalian?" tanya Amera. Dengan tangan sudah menodongkan senjata api tepat di dahi laki-laki paruh baya yang berdiri dengan setelan jas hitam. Berpakaian sangat rapi, dengan rokok yang masih menyala di sela jari tangan kanannya.

Laki-laki itu tersenyum tipis. Menyingkirkan senjata itu dari dahinya. "Jangan buru-buru menodongkan senjata." ucap laki-laki itu.

"Apa, mau mu?" tanya Amera lagi. "Siapa kamu?"

"Kamu memang tidak kenal denganku. Tapi sekarang aku akan perkenalkan diriku." laki-laki paruh baya itu mengulurkan tangannya. Menarik satu sudut bibirnya.

"Aku Delmon," tegasnya.

"Gak usah basa-basi. Apa sebenarnya, maumu?" tanya Amera judes. Menepis tangan laki-laki di depannya.

Laki-laki itu terkekeh. "Iya, oke!" ucapnya menganggukan kepalanya. Dengan bibir yang mulai menghisap rokok, ia tiupkan gumpalan asap itu tepat di wajah Amera.

"Uhuk.. Uhuk.." Amera mengibaskan tangannya mencoba membuang asap rokok yang hampir saja dia hirup. Ia menutup hidungnya. Menghindari bau asap rokok yang menyeruak masuk ke dalam penciumannya. 

"Dasar aneh!" pekik Bella berjalan mendekati.

"Aku hanya ada urusan denganmu, Amera." laki-laki itu meraih rambut Amera. Di tepis cepat olehnya.

"Jaga batasan kamu, laki-laki tua bangka!" umpatan kasar.

"Oke … oke …." laki-laki itu menepuk pundak kiri Amera dan berbisik pelan. "Tapi kalau kamu mau tahu tentang kematian kakak Verdino, kamu. Pergilah, dekati anakku," ucap laki-laki itu singkat, tanpa menjelaskan panjang lebar. Dia beranjak pergi dengan beberapa pengawal di belakangnya.

Amera di buat bingung dia hanya diam, mendengar nama kakaknya. Hatinya mulai bergetar mengingat tentang masa lalu dengan kakaknya. Dia masih menyimpan bekas terluka dan dendam yang belum sembuh. Tak terasa air mata mulai menetes. Membayangkan gimana sadisnya kakak dia dibunuh saat dia belum cukup umur. Dulu dia hanya bisa menatapnya, bagi umur dia yang masih kecil hanya bisa menonton pertunjukan mengerikan tanpa berani melawannya. Hal itu yang membuat Amera menjadi wanita tangguh. Untuk membalas dendam semuanya. Dia belajar segala hal, dengan ayahnya. Belajar bela diri. Bahkan, ahli dalam strategi. Meski begitu, dirinya terlihat begitu gemetar takut. Di saat berhadapan dengan nama kakaknya, hal yang membuat dia terpuruk akan pembunuhan kakaknya. Ingatan itu masih tersimpan jelas di dalam otaknya.

"Ara, apa yang dikatakan laki-laki itu?" tanya Bella menepuk pundak Amera dari belakang.

"Kakakku?"

Bella berdiri di depan Amera, memegang kedua bahunya. "Apa yang dia katakan? Apa dia yang membunuh kakakmu? Atau dia tahu semua dalangnya?" tanya tanpa jeda Bella, menggoyang-goyangkan tubuh Amera yang hanya diam tertunduk seperti orang yang membisu.

Amera menghela napasnya. "Aku juga gak tahu... Sepertinya aku harus cari tahu tentang dia. Dan anaknya." Amera berjalan cepat meninggalkan Bella yang masih berdiri di belakangnya.

"Bella, apa yang kamu katakan? Kamu mau cari tahu, kemana? Gak mungkin kamu mengejar dia, kan?" tanya Bella dengan nada cepat sedikit menaikan nada suaranya satu oktaf. Sembari berjalan cepat mengikuti Amera.

"Ara ... sudah jangan cepat-cepat jalannya. Kamu tahu sendiri aku lapar. Tapi kamu jalan udah kayak kereta aja, gak ada remnya," decak kesal Bella, seketika dia ngos-ngosan. Mengikuti jalan Amera yang sudah jauh di depannya.

Amera membalikkan badannya. Berjalan mundur.

"Cepetan! Aku tunggu kamu bertemu dengan boss sekarang," ucap Amera, dengan jari tangan membentuk 'oke'.

"Iya ... Tapi– Ara …." Bella berbicara dengan napas berantakan. Lalu menghela napasnya, membungkukkan badannya.

"Padahal, aku mau makan dulu. Sebelum bertemu boss tambah grogi nantinya," gerutu Bella menghela napasnya kesal.

***

Pov Delmon.

Di dalam mobil warna hitam pekat. Delmon dan para pengawalnya mengamati dari jauh wanita yang baru saja dia menemuinya tadi. Apa yang dia lihat sudah sesuai dengan rencana liciknya.

"Tuan, apa anda yakin memberi tahu dia?" tanya ajudan yang sangat dekat dengan tuan Delmon.

Tuan Delmon terkekeh kecil. "Aku yakin! Biarkan saja mereka bertemu nantinya. Tapi dia akan mengira jika pembunuhnya adalah anak ku. Tapi, itu tak masalah bagiku."

"Tapi, gimana jika tuan nanti kenapa-napa?"

Delmon mengangkat kepalanya melotot tajam. Membuat ajudan di depannya hanya diam tertunduk. "Jangan pernah pikir anak aku akan dengan mudah kalah."

"Iya, tuan, Maaf!"

"Aku sudah merencanakan semuanya. Jika mereka dekat. Aku akan dengan mudah mendapatkan apa yang dia sembunyikan selama ini." lanjut Delmon, ia menarik ujung bibirnya tipis. Lalu tertawa terbahak saat membayangkan harta itu ada di tangannya

Aku akan begitu mudah mendapatkannya.

"Apa rencana tuan selanjutnya? Apa tuan akan membongkar siapa yang membunuh kakak Amera?" Delmon hanya tersneyum tipis. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!